webnovel

BOUND BY PROMISE

Sepasang sahabat yang tidak pernah bermimpi akan menjadi pasangan kekasih. Mereka hanya percaya pada apa yang mereka jalani selama ini, termasuk hubungan dekat sebagai seorang teman. Rainold Faya adalah anak tunggal dari Fadly dan Raya. Laki-laki itu sering sekali menyangkal pertanyaan dari Papanya sendiri yang mengatakan tentang bagaimana perasaannya terhadap seorang gadis yang selalu bersamanya sedari kecil. Raina Martha adalah anak tunggal dari Amar dan Mitha. Gadis itu sudah memiliki kekasih yang begitu sangat posesif terhadapnya sehingga membuat mereka sering bertengkar dan sahabatnya selalu menjadi penengah diantara keduanya. Orang tua mereka adalah sepasang sahabat sedari kecil, sama halnya seperti Rai dan Rain. Entah bagaimana takdir mempermainkan keduanya, berawal dari sebuah perjanjian yang dibuat ketika masih berumur 5 tahun. Persahabatan mereka terikat oleh sebuah janji yang menjadi takdirnya suatu hari nanti. Keduanya tidak bisa menentang hal itu sehingga Rai dan Rain terbelenggu dalam sebuah perjodohan. Entah itu akan berakhir bahagia atau tidak, tanpa disadari bahwa perjodohan menyatukan mereka dan menjadi penentuan dari kisahnya. Lantas, bagaimana kehidupan mereka selanjutnya setelah menikah ? Art by Pinterest

giantystory · Urbano
Classificações insuficientes
280 Chs

MENYESAL DENGAN PERBUATANNYA

Bibi tersenyum berjalan menuju ke ruang tamu dengan nampan yang dibawanya tersebut. Wanita paruh baya itu belum mengetahui yang sebenarnya sedang terjadi di depan sana, hingga akhirnya ia pun melihat suasana ruangan tersebut yang membuat dirinya cukup kebingungan karena ketiga anak muda itu yang saling menatap satu sama lain dengan cara yang tidak biasa.

"Kalian berdua kenapa?" tanya wanita tersebut dengan kening yang berkerut. "Kalian berantem, ya?!"

Samuel dan Denis yang mengetahui kehadiran dari wanita paruh baya tersebut pun langsung memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya menghela nafas. Sedangkan Rai sudah berhasil melepaskan diri dari sahabatnya tersebut sehingga kini berhadapan dengan Vano cukup dekat.

"Gue nggak peduli mau lo bakal terus beralasan yang sama atau nggak sama sekali. Pada intinya lo tetap jadi orang yang akan gue tunggu jawabannya, karena nggak mungkin kalau lo nggak tahu dimana keberadaan cewek lo sendiri, ngerti?!"

Setelah itu Rai pun menoleh ke arah seorang wanita paruh baya yang masih memandangnya dengan cukup terheran. Laki-laki itu tersenyum sopan dan berkata, "Maaf Bi, Rai nggak bisa lama-lama di sini, makasih udah buatin minuman, kalau gitu aku pamit."

"O-oh, iya nak Rai, silakan." Wanita paruh baya tersebut menatap kepergian Rai yang baru saja keluar dari Rumah dengan penampilan yang sudah sangat kacau, tidak lama disusul dengan kedua temannya yang juga sudah berlalu pergi mengikuti laki-laki itu.

Kini tinggalah Bibi dan Vano yang masih memandang kepergian ketiga orang tersebut dengan pipi yang sedikit lebam akibat pukulan Rai yang cukup keras. Satu tangannya sedari tadi terus saja memegang bagian yang menurutnya terasa sakit.

Bibi yang baru saja menyadarinya pun langsung membelalak terkejut melihatnya, lalu berkata, "Ya ampun, nak Vano! Kamu kenapa bisa lebam begini? Kok bisa, sih, kalian sampai berantem kaya gini?!" ujarnya dengan khawatir.

"Aku nggak apa-apa, kok, Bi. Udah, nggak usah khawatir," ujar Vano dengan menahan ringisannya tersebut. "Vano ke kamar dulu, ya, Bi."

Wanita itu menggeleng mendengarnya, kemudian menarik lengan anak majikannya tersebut menuju ke ruang tengah setelah menyimpan nampan dengan 4 gelas minuman tersebut.

"Bibi obatin dulu, ya. Kamu tunggu di sini, jangan kemana-mana."

Kemudian wanita paruh baya itu pun langsung bergegas menuju ke kamarnya yang berada di dapur untuk mengambil kotak P3K sebelum akhirnya ia pun kembali ke ruangan tengan untuk mengobati luka lebam yang berada dibagian pipi kiri Vano.

"Ah, pelan-pelan Bi, sakit." Vano meringis ketika merasakan pipinya yang sedikit ngilu, ingin sekali laki-laki itu memukul Rain jika saja tadi tidak ada wanita yang berada di hadapannya saat ini.

"Iya, ini Bibi juga pelan-pelan, kok, nak Vano," sahut wanita paruh baya itu dengan serius. "Lagian, kenapa sih nak Vano harus berantem segala sama temen? Masalah cewek, ya?"

Deg.

Vano yang mendengarnya langsung diam dengan kedua mata yang terpejam merasakan sakit di pipi dan juga hatinya. Ia tidak tahu bagaimana keadaan dari kekasihnya saat ini dikarenakan hujan turun begitu deras dan dirinya merasa menyesal telah meninggalkan gadis itu di tempat yang jauh dari perkotaan.

"Bi," panggil laki-laki itu. Sedangkan wanita tersebut yang mendengarnya langsung berkata, "Iya nak Vano?"

"Menurut Bibi, kira-kira Papa sama Mama masih lama nggak, ya, pulangnya?"

"Hm, memangnya kenapa? Nak Vano mau pergi, ya?"

"Iya, Bi. Nggak apa-apa, 'kan?" tanya Vano dengan kedua alis yang terangkat. "Ada yang harus aku urus soalnya."

Wanita paruh baya tersebut yang mendengarnya pun langsung menghela nafas lalu menganggukkan kepala sebelum akhirnya memandang wajah Vano dengan serius.

"Kenapa, Bi?" lanjut Vano dengan kedua alis yang terangkat. "Jadi gimana boleh, 'kan?"

"Memangnya nak Vano mau kemana lagi?" tanyanya dengan kedua alis yang terangkat. "Di luar lagi hujan deras, loh."

"Makanya itu, Bi. Aku harus pergi dulu, ada masalah yang belum selesai."

Mendengar hal itu membuat wanita paruh baya tersebut langsung menghela nafas sebelum akhirnya mengangguk membuat Vano yang melihatnya pun tersenyum senang dan bergegas mengenakan jaket dan kunci mobil yang berada di atas meja.

"Loh, nak Vano mau bawa mobil?" tanya wanita itu lagi dengan kening yang berkerut.

"Iya, kan di luar hujan, Bi." Vano tersenyum sebelum akhirnya membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. "Aku pamit, Bi."

"Oh, iya, ya, lupa. Hati-hati nak Vano, jangan ngebut."

Kini Vano baru saja masuk ke dalam mobil dengan perasaan yang tidak karuan. Ia ingin segera menuju ke lokasi dimana tadi dirinya meninggalkan kekasihnya itu seorang diri.

"Maafin aku, Rain. Aku memang nggak pantas buat dapetin maaf kamu," ujarnya dalam hati. "Tapi aku mohon sama kamu untuk bertahan sedikit lagi, aku akan jemput kamu sekarang."

Vano pun langsung bergegas keluar dari pekarangan Rumah besar itu setelah pintu gerbang dibuka. Laki-laki itu sudah tidak bisa memikirkan apapun lagi selain seorang gadis yang entah bagaimana keadaannya sekarang ini, bahkan di dalam lubuk hatinya banyak sekali pertanyaan untuk dirinya sendiri tentang ia yang tiba-tiba saja berbuat sejahat ini kepada kekasihnya sendiri, seseorang yang begitu disayangi dan dicintainya.

Di sisi lain saat ini Rai sedang bersama Samuel, tadi setelah keluar dari Rumah Vano, kedua sahabatnya tidak mungkin membiarkan laki-laki itu untuk membawa mobil seorang diri dalam keadaan dimana emosinya yang belum stabil.

"El," panggil Rai yang saat ini berada di samping Samuel. "Thank you, ya."

Samuel yang sedari tadi sedang sibuk memerhatikan jalanan pun menyempatkan diri untuk menoleh sekilas ke arah samping dimana sahabatnya tersebut berada.

"Kenapa Rai?" tanyanya. "Kok, lo nggak istirahat, sih?"

"Memangnya kenapa?" ujar Rai dengan kedua alis yang terangkat. "Gue mau bilang makasih sama lo karena udah sepeduli ini sama gue."

"Bukannya itu, ya, gunanya sahabat?" sahut Samuel dengan kedua alis yang terangkat serta senyum manisnya. "Gue juga kaya gini karen kita udah kenal lama dan bareng juga lama, 'kan. Lo itu teman terbaik gue pokoknya, deh."

Mendengarnya membuat Rai langsung menaikkan satu alisnya ke atas dan berkata, "Oh, ya? Terus Denis, apa kabarnya? Lo nggak anggap dia gitu?" tanyanya sediki menggoda.

"Y-ya, dia juga. Denis juga sahabat terbaik gue, pokoknya lo sama dia dan gue bener-bener beruntung banget udah kenal kalian berdua."

"Gue juga, kok.Tapi El, menurut lo, Vano ada hubungannya 'kan sama hilangnya Rain?"

"Hm, ya, bisa jadi juga, sih. Soalnya 'kan gue sama Denis aja ngeliat dia pulang bareng Rain."

Rai langsung menghela nafas dan kembali memandang lurus ke depan dengan kening yang berkerut memikirkan masalah ini.

"Lo bener, gue juga pasti akan tetap cari dia ke Rumah Vano, karena gimanapun juga dia itu pacarnya, 'kan?" Laki-laki itu menatap Samuel kembali dengan kedua alis yang terangkat lalu kembali berkata, "Jadi nggak mungkin kalau dia nggak tahu sama sekali."

"Ya tapi gimana, Vano-nya sendiri bilang kalau dia nggak tahu apa-apa. Tapi kalau diiat dari wajahnya, terutama matanya, sih, itu anak ngebohong, deh."

"Gue juga ngeliatnya kaya gitu," ujar Rai yang kembali mengingat kejadian di Rumah Vano tadi. Ketika sedang memikirkan hal itu, tiba-tiba saja laki-laki tersebut langsung tersadar dan berkata, "Eh, iya, sekarang kita ke mana?"

Samuel yang mendengarnya pun langsung menyunggingkan kedua sudut bibirnya.