TOK TOK TOK
"Selamat Siang!", Airin berjalan masuk dan Kami masih menunggu didepan. Menunggu sampai Airin memanggil Kami.
Rangga masih diam dan wajahnya masih tegang..
"Yang..."
"Aku tahu harus bagaimana bersikap, Kamu jangan khawatir, sayang!", lalu Rangga menatapku. "Jika istriku macam-macam, Aku pasti memberikannya hukuman selesai ini!", Rangga mendaratkan satu ciuman di dahiku.
Klek
"Vina, Rangga, masuklah!"
Fuih.... Jantungku sepertinya semakin ga normal.
Rangga melangkah masuk, membawaku dalam gendongannya.
"Hai, Vivi!!", Senyuman Ramah Kak Doni sudah menyambutku.
Nindy duduk ditempat tidur Vido, sambil tertunduk. Sedangkan Vido, layaknya anak-anak, menatap orang baru dengan antusias.
Rangga membawaku melangkah masuk, dan berjalan terus menuju tempat tidur dimana Kak Doni berbaring, mendudukkanku di sana, dengan tetap memastikan Aku duduk dengan benar dan tak terjatuh.
"Makasih, yang..." Aku tersenyum pada Rangga dan rangga memegang tangan kiriku.
"Ehmm.. Bagaimana keadaanmu, kak?", Kini Aku mengalihkan pandanganku pada Kak Doni.
Kak Doni tersenyum.
"Aku gapapa, Vi! Kamu ga usah khawatir. Kamu sebaiknya istirahat, dan prioritaskan kesembuhanmu, Aku sudah bisa berjalan lagi sekarang!", Kak Doni masih tersenyum.
"Pa, siapa Tante ini?", Vido sudah ga sabar sepertinya.
"Tante Vina, Vido..", Rangga menjelaskan.
"Yang namanya jadi nama Vido? Vina dan Doni?", Aku langsung menatap Vido.. Berbalik menatap Kak Doni. Oh Nooo.. Kenapa Dia menceritakan pada anak ini??
"Iya sayang!", Rangga tersenyum pada Vido.
"Jadi Tante kembarannya Papa Vido?", Tanyanya lagi
Aku hanya tersenyum dan kembali melihat Kak Doni.
"Apa maksudmu?", Dengan suara pelam dan sedikit kesal! Bagaimana bisa Dia menceritakan asal usul namanya ke anak kecil.
TOK TOK TOK
Klek,
Airin membuka pintu, abang delivery online memberikan bungkusan makanan padanya. Lalu Airin memberikan pada Nindy, yang berjalan ke arah pintu.
"Berikan pada Vivi satu bungkus dan sisanya untuk Vido! bawa dan makanlah, Vi!", Kak Doni menatap Nindy dan menatapku kemudian.
Nindy agak kikuk. Tapi tetap memberikannya padaku.
"Bukan Kau membelinya untukmu?", Tanyaku.
"Aku bisa pesan lagi. Itu kesukaanmu, Vi. Kau pasti sudah sepuluh tahun tak memakannya!", Kak Doni terlihat santai dan tak ada beban. Dia tetap tersenyum dan sejujurnya ini membuatku lebih nyaman untuk berteman dengannya.
"Terima kasih!",
"Aku juga berterima kasih, padamu yang sudah mau menjengukku dan suamimu yang telah memberimu izin!", Kak Doni menatap Rangga.
"Terima Kasih sudah menjaga Vina! Dia sangat bahagia denganmu! Aku, belum pernah melihatnya sangat bergantung pada seorang pria, kecuali denganmu!", Kak Doni tersenyum tulus dan tidak ada sandiwara didalamnya.
"Ehmm.. Kau juga! Terima kasih, sudah menyelamatkan Istriku!", Rangga sedikit kaku.. Tapi dia berusaha se-normal mungkin.
Aku membuka bungkusan makanan.. Didalamnya, bubur ayam polos 'wan! Aku tersenyum. Aku.. Tahu harus bagaimana sekarang..
"Yang, maafin Aku.. Aku izin padamu, Aku mohon, jangan marah kepadaku, anggaplah Kak Doni adalah kakak yang telah menjagaku untukmu, dimasa laluku.", Aku menatap Rangga.
Rangga menatapku balik, menarik napas, dan membuangnya kembali, lalu mengangguk. Sepertinya Dia tahu yang ingin Aku lakukan, apalagi Dia juga melihat isi plastik itu.
Tanpa perlu Aku meminta tolong, Rangga sudah otomatis menggendongku, membantuku duduk lebih dekat ke Kak Doni.
"Vivi.. Kamu ga per.."
"Ssttttt...", Aku menaruh tanganku dibibir Kak Doni.
"Anggap aja ini sebagai rasa terima kasihku, Kak! Aurel kemarin berencana membunuhku. Dan Kau menyelamatkan hidupku!", Aku berkata sambil memberikan suapan pertama padanya.
"Dan sekarang, Kamu lebih membutuhkan bubur ini daripada Aku.. Karena, Aku sudah punya bubur favoritku.. Rasanya, lebih enak dari bubur ini.. Kapan-kapan, kalau chef pribadiku mengizinkan, Aku akan mengundangmu mencicipinya!", suapan kedua.
"Aku bersyukur.. Karena sekarang sudah ga ada lagi dendam dihatiku padamu, setelah Aku tahu apa yang sebenarnya terjadi! Walaupun sakit, karena Aku mengetahuinya terlambat, tapi Aku bahagia karena Aku tak harus menahan sakit karena membencimu", Suapan ketiga.
"Terima kasih, telah mewujudkan semua impian-impian Kita dulu, walaupun Kau mewujudkannya sendiri tanpa Aku..", Suapan ke empat.
"Bagaimanapun juga, Aku pernah mencintaimu dan Aku juga pernah merasakan sakit dalam hatiku karena mencintaimu, walaupun itu bukan sepenuhnya kesalahanmu!", Suapan kelima.
"Tapi Aku bersyukur, lelaki yang dibelakangku ini telah mengobati luka itu, memperbaiki hatiku yang telah hancur lebur!", Suapan keenam.
"Hanya saja, Aku masih belum tenang. Saat ini, masih ada rasa sakit tersisa dihatiku karena melihamu seperti ini!", suapan ketujuh,
"Melihatmu yang masih menyimpan semua memory tentang kita, melakukan semua hal yang seharusnya Kita lakukan berdua, dan menjaga hatimu untukku! Itu menyakitkanku!", suapan ke delapan dan kini air mataku sudah tumpah
"Vivi.."
Aku menaruh tanganku dibibirnya
"Aku mohon padamu, Kak. Hentikan dan lupakan Aku.. Simpanlah Aku dalam kenanganmu, jangan Kau menyiksa dirimu seperti ini!", suapan ke sembilan.
"Aku berterima kasih untuk semua kenangan indah tentang Kita dimasa lalu.. Semua itu membantuku menjadi seperti ini.. Menjadi kuat dan mampu membangun kembali hidupku saat keadaan memaksa Kita untuk berpisah.", suapan ke sepuluh.
"Dan sekarang, Aku ingin melihatmu bahagia. Menemukan hidupmu dan suatu saat nanti, saat Kau mengingat memory tentang Kita, sudah tak ada rasa sakit dihatimu lagi!", suapan ke sebelas.
"Berjanjilah padaku, untuk kembali seperti dulu.. Menjalani hidupmu yang luar biasa! Menjadi Kak Doni yang serba hebat dan serba tahu dan membuatku bangga telah mengenalmu dan pernah dekat denganmu!", suapan ke dua belas.
"Berjanjilah padaku, untuk mencintai dirimu sendiri dan berhenti untuk lebih mencintaiku dan menyiksa batinmu!", suapan ke tiga belas.
"Berjanjilah padaku, untuk tidak kembali ke pohon tua itu dan tidak perlu menyalakan kembang api disetiap hari ulang tahunku!", suapan ke empat belas.
"Berjanjilah padaku, untuk berhenti bermain bola! Karena Aku tahu penyakit di paru-parumu. Kau masih bermain bola dengan tujuan mempercepat membunuh dirimu sendiri!", suapan ke lima belas.
"Tinggalkan beban kayu bakar dipunggungmu.. Dan bebaskan punggungmu.. Bebaskan dirimu.. Hiduplah, Kak.. Ganti Ringtone handphonemu, Ganti olat nomor mobilmu, Ganti wallpaper handphonemu. Jangan ingat Aku lagi, Kau pantas bahagia!", suapan ke enam belas.
"Berjanjilah padaku, untuk menemukan tempat berlabuh untuk hatimu!", suapan ke tujuh belas..
Dan bubur itu telah habis..
Akupun menangis.. Ada rasa tak rela menyuruhnya mencari hati lain untuk berlabuh.. Tapi Aku tak boleh egois. Aku sudah memilih suamiku. Dan Aku harus melepaskannya.
"Vivi..!"
Aku menatap Kak Doni masih sambil menangis.
"Vivi, Jangan menangis, Kamu.. Jelek kaya badut kalau menangis!", Dia menatapku, dan menempelkan jari telunjuk di bibirnya masih dengan tersenyum.
Sama seperti dulu.. Masih sama.. Tak ada yang berubah. Membuatku cukup sakit melihatnya..
"A.. Aku.. Sudah mengikhlaskanmu, Kak.. Jangan Kau siksa dirimu lagi, Aku mohon.. Hiduplah.. Kita sudah sama-sama menderita sepuluh tahun terakhir ini!", Aku menatapnya.. Berusaha untuk tetap kuat menatapnya.
"Vivi.. Apa ku katakan tadi.. Kamu jelek, kaya badut! Jadi berhentilah menangis! kayu telah berubah menjadi perahu!", Kini Kak Doni melipat tangannya didada, menegakkan duduknya, dan menatapku seperti seorang guru yang ingin memarahi muridnya, dengan dahi mengernyit dan mata sedikit menyipit.
Aku langsung menghentikan tangisanku, menghapus air mataku, dan Aku mengerti maksudnya.
"Bagus Kau masih mengingatnya, Vivi!", Kini senyum itu kembali, dan Dia sudah tidak melipat tangan di dadanya lagi.
"Berjanjilah padaku!", Aku memaksa
Kak Doni mengangguk, memberikan jari kelingkingnya.
Aku tersenyum dan menyambut jari kelingkingnya.
"Aku janji akan memberitahumu, kepada Siapa hatiku berlabuh, suatu saat nanti! Tapi untuk enambelas hal lainnya, baru akan Aku lakukan setelah Aku benar-benar yakin pilihanku!",
Aku tahu, lelaki didepanku tak akan berbohong.. Dan Aku percaya Dia akan mewujudkan janjinya.
"Nindy, Aku sadar kalau Aku membencimu, dan Aku ga suka melihatmu disini menemani Kak Doni dan sampai kapanpun sulit untukku untuk memaafkanmu. Tapi, Aku kini merendahkan egoku, karena Aku ga bisa lagi menjaganya. Jadi, anggap saja ini hukumam bagimu. Jagalah Kak Doni, sampai Dia sembuh, sebagaimana Dia menjaga dan menyayangi sesuatu dari hasil hubungan gelapmu dengan orang lain.. Aku tahu Kak Doni ga akan mudah menerimamu apalagi atas apa yang sudah Kau lakukan. Tapi setidaknya kalian bisa berteman untuk membesarkan anakmu. Maafkan Aku, karena Aku tak pandai berpura-pura.. Untuk mengatakan sesuatu yang bukan benih Kak Doni sebagai miliknya!", Aku tak ingin menatapnya, Karena untuk yang satu ini.. nindy bersalah. Dia didekat Kak doni dan tahu nomor teleponku. Dia sengaja tak memberitahuku karena ingin memanfaatkan kondisi kami waktu itu untuk kepentingannya sendiri.
"Vina, Kau sungguh kejam!!", Nindy kini menangis.
"Simpanlah air matamu. Aku kebal dengan air mata. Karena selama sepuluh tahun Aku sudah menangis bukan hanya dengan air mataku! darahku, keringatku, lelahku, dan seluruh sisa tenaga yang kupunya.. akan menjadi saksi betapa kejamnya seorang sahabat sepertimu! Aku sendirian berjuang di England untuk hidupku. Siapa yang peduli padaku? Percuma menangis didepanku, tak akan pernah mengubah pernah mengubah pandanganku terhadapmu!!", Aku tak ingin memandangnya..
"Tante, kenapa mama menangis setelah mendengarkan Tante?", Vido bertanya kepadaku.. Dia terdengar seperti marah.
"Vido sayang, Apa yang dilakukan papamu ketika Vido mencuri barang teman Vido?"
"Papa marahin Vido."
"Apa yang harus Vido lakukan selanjutnya supaya Papa ga marah lagi?"
"Mmm.. Minta maaf, dan kembalikan barang temen Vido."
"Gimana kalau misalnya Vido ga mau balikin barang temen Vido?"
"Papa marahin Vido lagi."
"Apa yang Vido rasain kalau papa marahin Vido?"
"mmm.. Vido sedih, terus Vido nangis!"
Aku tersenyum.
"Vido memang anak pinteeeer banget! Mama Vido udah ambil belahan jiwa Tante sepuluh tahun lalu dan ga mau mengembalikan ke Tante, terus Tante marah, jadi mama Vido nangis! Apa Vido mengerti?", Tanyaku.
Vido terdiam dan sepertinya sedang berpikir. Nindy menatapku dengan marah. Sedangkan Kak Doni hanya geleng-geleng kepala dan tersenyum setengah tertawa melihatku. Dia sudah mengenalku.. Dan Dia tahu sifatku yang ini.
"Vina!!", Kini giliran Airin dan Rangga yang memanggilku dan Aku balik menatap mereka.
"Mama.. Mama ga boleh ambil milik Tante Vina, Mama harus balikin belahan jiwa Tante Vina! Tuhan marah, Ma.. Kalau kita mencuri! Mama sama Papa selalu ingetin Vido kayak gitu, kan?"
"Hahaha.. ", Kak Doni sepertinya sudah tak bisa menahan tawanya.
"Vivi, Kau masih sama seperti dulu!! Fuiiih.. "
"Tante.. Tadi juga Tante menangis.. Apa tante juga mencuri dari Papa Vido?",
Aku menatap Vido
"Iya. Tante udah salah menuduh Papa Vido mencuri, dan masukin Papa Vido sepuluh tahun ke penjara. ternyata bukan Papa Vido yang melakukan. Makanya Tante datang minta maad dan mau kasih tau Papa Vido udah ga di penjara lagi!", Aku menjelaskan.
"Hahaha...Vivi.. Kau semakin berbahaya!", Kak doni semakin tertawa, Tapi Aku mengerti maksud perkataannya. Hanya Kami berdua yang tahu.
"Jangan pernah lupakan darimana Aku belajar, Kak!", Aku mengingatkan. Dan Kak Doni menggaruk-garuk kepalanya, yang Aku rasa ga ada gatal.
"Baiklah.. Aku rasa sudah selesai apa yang ingin kusampaikan.. Sudah Aku sampaikan.. Aku.. Akan kembali ke kamar perawatanku.."
Kak Doni mengangguk
"Semoga Kalian berdua bahagia!", Kak Doni menatapku dan Rangga.
"Aku yakin, Kau pria hebat dan dapat menjaganya dengan baik! Dan satu saja permohonanku..", Kak Doni menatapku.. Dan kemudian kembali menatap Rangga. "Jauhi Vivi dari seluruh keluarganya, kecuali Kakeknya!"
"Kakekku.. Sudah meninggal, Kak!", Aku menberitahunya.
Kak Doni tersenyum.
"Seseorang telah menyelamatkan Kakekmu!", Dia menatap Rangga.
"Kak..ka....", Aku ingin memperjelas padanya
"Vivi, Kau masih ingat, pelajaran dasar untukmu, Ketika seorang bisu makan dumplings?", Kak Doni memotong ucapanku dan tersenyum padaku..
"Hah! Bahkan Aku masih Ingat satu lobak, satu lubang!", kali ini aku duduk lebih tegak, melipat kedua tanganku dan menatap Kak Doni.
"Baguslah.. Lampu minyak akan menjadi terang setelah dipangkas!", sambil memberiku acungan jempol.
Aku tahu maksudnya.. Tapi, Betulkah? Bagaimana Dia bisa tahu? Apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang tidak Aku ketahui?
"Ehmm...Aku permisi!", Aku mencoba berdiri dan Rangga menangkapku.
"Biar Aku gendong!"
Aku menatapnya, begitu dalam.
"Ehmm.. Sayang.. Kamu mau ke kamar sekarang?", Rangga terlihat bingung dengan tatapanku.
"Bawa Aku menemui Kakek, yang..."
"Kita ga akan ke kubu.."
"Bukan, yang.. Ke tempat Kamu amankan Kakek Aku! Aku harus liat kondisinya dan meyakinkannya kalau aman disana!"
Rangga menatap Doni, lalu menatapku.
"Bagaimana Kau.."
"Tahu?", Tanya Kak Doni sambil tersenyum.
Rangga masih menatap Kak Doni semakin serius.
"Anakku masuk IGD di malam Kalian memindahkan Kakek Vina. Aku masih mengenali wajahnya, walaupun sudah sepuluh tahun tak bertemu. Aku mengikuti mereka. Hanya untuk memastikan Kakek bersama orang yang tepat!", Kak Doni tersenyum setelah menjelaskan asal mula informasi yanh didapatkannya.
"Jadi benarkan, yang?", Aku mencari jawaban di mata Rangga dan mengguncangkan kedua lenganya.
"Vina, tenangkan dirimu.. Kita sedang mela...!", Kini giliran Airin mencoba menenangkanku.
"Jadi Kau tahu?", Aku memotong kata-kata Airin.
"Ehm... Sayang, Aku.."