webnovel

-9-

Waktu itu malam konser begitu meriah. Sinta dan Ruri sangat menikmati malam dimana mereka bernyanyi bersama. Mereka berdua bernyanyi bersama dengan suara lantang, terpancar kebahagiaan dari raut wajah mereka. Saka yang melihat kedua sahabatnya senang itu pun ikut terbawa suasana. Ia merasakan kebahagiaan itu juga, meskipun dari sekian banyaknya lagu yang dibawakan, ia hanya tahu beberapa lagu untuk dinyanyikan. Tapi itu bukan menjadi masalah.

Setelah malam konser terlewati, keesokan hari berjalan tidak seperti biasa. Hari Minggu yang biasanya digunakan untuk Sinta mengganggu kegiatan Bunda menyiapkan sarapan, kini dirinya hanya tidur di dalam kamarnya. Semalam, konser dimulai pukul delapan dan baru selesai pada tengah malam. Oleh karena itu Sinta terlambat bangun dan melewatkan kegiatan rutin mengganggu Bunda saat sedang memasak untuk sarapan.

"Sinta, sarapan sudah siap. Ayo bangun dan kita makan bersama." Kata Bunda mencoba membangunkan Sinta.

Sinta hanya diam tak bergerak, dirinya tetap diam di dalam balutan hangat selimutnya itu. Bunda tahu jika sepertinya akan membutuhkan waktu yang lama untuk membangunkan Sinta pagi ini. Setelah beberapa kali mencoba dan berkali-kali pula mengalami kegagalan, pada akhirnya Bunda dan Ayah melakukan kegiatan sarapan tanpa kehadiran Sinta.

Beberapa jam setelah kegiatan sarapan Bunda dan Ayah selesai, tepatnya pukul sepuluh pagi, Sinta bangun dari tidurnya.

"Bunda, tolong siapkan sarapan. Tuan Putri sudah turun dari singgasananya." Kata Ayah dan dibalas gerutuan Sinta.

"Kamu tahu berapa kali Bunda mondar-mandir dari ruang makan ke kamar kamu, Ta?"

"Memangnya kenapa Bunda mondar-mandir?"

"Ya untuk membangunkanmu. Bunda dan Ayah menunggumu untuk sarapan bersama, tapi kamu malah susah sekali untuk dibangunkan."

"Itu Bunda sendiri yang bilang. Jika memang Bunda tahu jika aku tidur, lalu kenapa Bunda bertanya kepadaku berapa kali Bunda mondar-mandir dari ruang makan ke kamarku?" Kata Sinta sambil duduk di meja makan.

Ayah tertawa mendengar penuturan anaknya itu, "Sinta benar," dan Bunda pun mengerucutkan bibirnya.

Sinta segera sarapan setelah selesai mengobrol dengan Bunda. Di saat sarapan, Bunda dan Ayah bertanya mengenai konser semalam. Seketika raut wajah Sinta berubah menjadi sangat cerah hingga menyilaukan mata, dirinya menceritakan dengan detil bagaimana konser penyanyi idolanya kemarin berlangsung. Ia sangat bersemangat menceritakannya bahkan sampai menyanyi dengan menjadikan sendok sebagai pengeras suara dan diikuti lambaian tangan ke atas. Bunda dan Ayah tertawa melihat tingkah laku anak mereka itu.

Hari Minggu berjalan dengan lancar, meskipun kebanyakan waktu Sinta habiskan untuk tidur. Selepas sarapan waktu itu, dirinya menelepon kedua sahabatnya dan kembali bercerita tentang konser. Tak lupa dirinya mengucapkan terima kasih kepada Saka, sebab ia telah membelikan dirinya tiket konser yang mahal itu. Seperti kesepakatan Saka, Ruri, dan Banu kemarin malam, mereka tidak memberitahu Sinta tentang seseorang yang datang bersama dengan Prada. Ruri dan Banu yang terkejut mengetahui nama orang itu pun tak memberitahu Sinta, sebab mereka tahu jika Sinta tak suka jika ia diingatkan tentang malam di mana ia menonton pertunjukkan teater atau apapun terkait malam itu.

Pagi hari di hari Senin pun tiba, Sinta telah bersiap untuk berangkat sekolah, sama seperti Ruri dan Saka yang juga telah bersiap untuk berangkat. Mereka mempersiapkan diri dengan baik dan memastikan jika tidak ada barang yang terlupa atau tertinggal, sebab mereka tak ingin jika sampai mereka terkena hukuman di awal minggu seperti ini. Mereka berharap jika hari ini sama seperti hari-hari biasanya yang baik-baik saja. Namun lagi-lagi, tak ada yang tahu tentang apapun yang akan datang di masa depan.

"Aku masih belum bisa melupakan konser malam itu" Kata Sinta kepada Ruri saat mereka berada di dalam bus.

"Ya, aku juga. Rasanya sangat menyenangkan bisa menonton penyanyi idola kita bernyanyi secara langsung." Kata Ruri.

"Sama, aku juga," ucap seseorang di belakang Sinta dan Ruri.

"Saka?" Kata mereka bersamaan.

Rupanya yang menimpali obrolan mereka adalah Saka. Saat ini dirinya berdiri di belakang Sinta dan Ruri di dalam bus. Hal tersebut merupakan hal yang sangat tak biasa, sebab biasanya Saka pergi ke sekolah menggunakan sepeda motor. Ditambah lagi bus ini yang tidak melewati rute rumah Saka.

"Kenapa kamu di sini?" Tanya Sinta.

"Untuk berangkat ke sekolah bersama dengan kalian."

"Kenapa naik bus?" Kini giliran Ruri yang bertanya.

"Motorku sedang diperbaiki di bengkel karena kemarin ia tak mau bergerak. Mungkin aneh rasanya melihatku di sini karena saat tidak membawa motor memang biasanya aku diantar oleh Mama, tapi Mama saat ini sedang berada di luar kota." Orang tua Saka sudah sejak lama berpisah, sehingga saat ini segala sesuatu dikerjakan oleh mamanya.

"Oh, begitu. Lalu kenapa kamu naik bus ini? Bus ini kan tidak lewat di dekat rumahmu." Tanya Ruri.

"Aku memang sengaja naik bus ini supaya bisa berangkat bersama dengan kalian."

"Ya, begitulah Saka, Ri." Kata Sinta dan mereka semua tertawa.

Tak perlu waktu yang lama hingga bus sampai di sekolah. Mereka pun segera menuju ke kelas sebelum melakukan upacara.

"Seperti kataku, aku tak membelikan kalian susu kotak lagi." Kata Saka saat mereka sudah menyelesaikan kegiatan upacara.

"Ya, itu bagus. Itu tandanya jika kamu menepati ucapanmu." Kata Sinta.

"Aku selalu berusaha dengan baik untuk menepati ucapanku, supaya tidak ada seorangpun yang kecewa atau tidak percaya. Jadi, jika nanti saat aku berkata yang sebenarnya, tiada seorang pun yang meragukan ucapanku."

"Siapa yang kamu bicarakan saat ini?" Tanya Sinta penuh selidik.

"Aku tidak membicarakan siapapun."

"Baiklah, sebab aku percaya kepadamu."

"Kamu mempercayai orang yang tepat. Lalu kapan kamu juga akan mempercayakan hatimu kepadaku?"

Pertanyaan Saka membuat Ruri menoleh, "Maaf mengganggu percakapan menyenangkan milik kalian, tapi bisakah kita tunda sampai nanti? Pelajaran kita akan dimulai sebentar lagi." Kata Ruri saat guru mata pelajaran pertama di hari Senin memasuki ruang kelas mereka. Sinta dan Saka tertawa bersama.

Waktu itu, hari Senin di sekolah terlewati dengan baik. Ketiga sahabat itu akhirnya telah bersiap untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka menghabiskan waktu dengan banyak mengobrol di jam mata pelajaran terakhir, sebab guru yang mengajar berhalangan hadir. Waktu itu, tepat beberapa jam sebelum sesuatu akan terjadi.

Kakak Saka mengirim pesan kepada Saka jika di rumahnya nanti akan datang seorang teman. Dirinya tidak bisa menemuinya saat ini dan tidak ada orang di rumah yang bisa membukakan pintu. Saka membalas pesan kakaknya itu dan mengatakan jika dirinya akan segera pulang setelah sekolah berakhir.

Bel pulang sekolah pun berbunyi, Sinta, Ruri, dan Saka pun berjalan menuju halte untuk naik bus pulang ke rumah masing-masing. Saat ini Saka masih menaiki bus yang sama dengan Sinta dan juga Ruri, lalu saat mereka berdua hendak turun, Saka juga mengikuti mereka dan menunggu bus yang melewati rute dekat rumahnya.

"Lain kali kalau kamu mau naik bus, langsung saja naik bus yang melewati rute rumahmu, jangan naik bus yang sama dengan yang aku serta Ruri naiki, sebab akan membuang banyak waktumu." Kata Sinta kepada Saka.

"Tidak apa-apa, aku suka membuang-buang waktu jika bersama denganmu." Kata Saka dengan tertawa.

"Wah, ternyata aku hanya membuang-buang waktumu."

"Ya, kamu sangat membuang-buang waktuku. Oleh karena itu cepatlah berikan aku hatimu, supaya tidak ada lagi waktu yang terbuang sia-sia." Ruri dibuat tertawa keras oleh ucapan Saka kepada Sinta.

Muka Sinta memerah, tapi untung saja bus yang ditunggu Saka cepat datang, sehingga Saka pun segera pergi.

"Lihat, Saka berhasil membuatmu tersipu malu." Goda Ruri.

Bus yang Saka tumpangi memerlukan waktu yang cukup lama untuk membawanya sampai di rumah, sebab rute bus yang memutar. Saat ia berjalan menuju rumahnya, terlihat seorang lelaki duduk di atas motornya yang terparkir di depan rumahnya. Saka berpikir jika itu adalah teman yang kakaknya maksud.

"Sudah lama menunggu, Mas Bim?"

"Sekitar sepuluh menit." Saka mengangguk mendengar ucapan Bima.

"Maaf membuatmu menunggu, motorku mogok, jadi aku harus pergi ke sekolah menggunakan bus."

"Tak masalah, Prada sudah mengatakannya."

"Ngomong-ngomong, kenapa bukan Mas Prada yang menemuimu?"

"Dia ada kelas pengganti." Saka hanya mengangguk mendengar penuturan Bima.

Mereka segera masuk ketika pintu gerbang telah terbuka, namun ada suara motor yang berhenti tepat di depan rumah Saka. Ia menoleh ke belakang, "Reksa?"

Ternyata seseorang yang membawa motor itu adalah Reksa, "Aku telah menunggumu lama."

"Ada apa?"

"Ada hal yang ingin aku bicarakan." Bima yang mendengar dua lelaki di hadapannya berbicara ini memperhatikan dengan seksama.

"Masuk dulu ke rumahku, kita mengobrol di dalam." Ajak Saka ramah.

Reksa tersenyum sinis, "Tak perlu. Kita bicara saja di sini."

"Bicara saja di dalam, tak enak jika dilihat tetangga." Rumah Saka memang kawasan rumah yang ramai, waktu itu banyak tetangga yang sedang mengobrol di depan rumah mereka. Reksa menengok ke belakang sebelum akhirnya mengangguk kepada Saka.

Mereka bertiga pun segera masuk ke dalam rumah, "Duduklah, aku akan membuatkanmu minum. Mas Bima mau langsung ke kamar Mas Prada saja?" Bima mengangguk.

Waktu itu Bima melangkahkan kakinya ke lantai atas rumah Saka menuju ke kamar Prada. Namun langkah kaki miliknya itu berjalan dengan ragu-ragu. Dirinya merasa jika kedua lelaki yang sedang berada di lantai bawah itu tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Karena jika melihat ekspresi orang yang dipanggil Reksa oleh Saka saat itu, ia tahu jika ada sesuatu yang tidak beres. Bima pun tak langsung masuk ke kamar Prada. Ia membuka pintu kamar Prada, lalu menutupnya kembali seakan-akan dirinya telah masuk ke dalamnya. Namun yang terjadi sebenarnya adalah dirinya memilih untuk berdiri dan menunggu. Dirinya pun menyenderkan badan di tembok dekat tangga, dari arahnya berdiri, Saka ataupun Reksa tak bisa melihatnya kecuali mereka menaiki tangga langsung menuju ke lantai dua.

"Sebentar, akan aku buatkan minum." Kata Saka kepada Reksa.

"Aku tidak datang ke tempat ini untuk mendengar basa-basimu. Aku tak punya waktu untuk itu."

"Lalu ada urusan apa kau kemari?"

Reksa tertawa mengejek, "Tak usah berlagak baik di depanku. Aku tahu kelakuan busukmu, Saka."

Mendengar ucapan Reksa, Saka mengernyitkan dahi. Dirinya dibuat bingung atas perkataan yang Reksa lontarkan kepada dirinya.

"Apa maksudmu?"

Reksa kembali tertawa, "Saka, Saka. Aku tahu jika kau juga menyukai Sinta."

Bima yang berdiri itu semakin menajamkan pendengarannya. Dari tempatnya berdiri, ia bisa dengan jelas mendengar percakapan kedua lelaki di lantai bawah itu, sebab suasana rumah yang sepi. Ia tahu nama perempuan yang disebut oleh Reksa, dia adalah perempuan itu, perempuan yang disukai oleh Saka yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. Ia tahu jika Saka menyukai sahabatnya itu sebab dirinya sering mendengar Saka bercerita saat dirinya sedang ikut berkumpul dengan kawan-kawan Prada.

"Dan aku tahu jika kau telah melakukan cara yang licik untuk mendapatkan Sinta."

"Aku tak yakin dengan ucapanmu. Tapi cara licik apa yang kau kira aku lakukan?"

Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya, "Seperti seorang penjahat yang tertangkap kebanyakan. Kau mengelak atas perbuatan yang telah kau lakukan. Aku tahu jika selama ini ada orang yang membuntutiku, tapi aku tak peduli akan itu. Lalu aku masih tak peduli saat ada seseorang menerorku, ia berkata supaya aku berhenti mendekati Sinta. Sampai orang itu menyentuh adik perempuanku. Kau melakukan itu semua dan mengancam adikku. Aku tak akan tinggal diam kali ini."

Bima terkejut dan tak percaya mendengar penuturan orang bernama Reksa itu. Ia mengenal Saka, selama ini Saka yang ia kenal adalah orang baik-baik. Ia bisa mengatakan itu sebab Saka banyak membantu kakak serta teman-temannya.

"Aku tidak melakukannya."

"Omong-kosong! Kita semua tahu jika kau suka dengan Sinta dan kau berpura-pura baik di hadapannya. Di hadapan kami semua! Jika kau memang menyukainya, bicaralah! Kita bersaing secara adil! Tidak perlu mengacam dan meneror! Kamu kira aku takut jika kamu bertindak seperti itu? Aku tak takut ancamanmu! Mungkin orang lain akan diam saja tak melakukan apapun, tak melapor kepada siapapun karena ancaman yang kau berikan itu, tapi aku tak seperti mereka yang menuruti keinginan busukmu itu!"

"Kau membuang-buang waktumu, aku tidak melakukannya."

"Akui saja! Aku tak akan membiarkanmu lolos kali ini."

"Aku. Tidak. Melakukannya."

"Brengsek!"

Reksa menarik baju Saka sebelum menonjok pelipis kiri wajahnya yang membuat Saka mundur beberapa langkah sebelum pada akhirnya membalas pukulan. Perkelahian tak terhindarkan di ruang tengah rumah Saka itu. Kedua lelaki itu saling serang. Mendengar perkelahian di lantai bawah, Bima turun untuk memisahkan mereka.

Dengan badan tegap dan kokoh milik Bima, ia dengan sekali sentak dapat menarik tubuh Saka dari perkelahian. Kemudian dia menahan tubuh Reksa, Reksa yang dicegah di dalam perkelahiannya itu mencoba memberontak. Namun tak berhasil sebab kekuatan Bima lebih besar di dalam menahannya, "Kau mengancam adik perempuanku! Aku tak akan memaafkanmu dan akan kuhabisi kau sekarang juga!" Reksa berteriak sambil menunjuk-nunjuk Saka.

"Mana buktinya jika aku yang mengancam adikmu? Kau tak punya bukti!" Teriak Saka tak mau kalah.

Reksa mendecih, "Kau ingat Tama? Ia berbicara padaku jika dirinya juga mendapatkan teror yang sama hingga dia berhenti mendekati Sinta."

"Dan kau percaya padanya?"

Reksa terdiam, "Kau percaya dengan orang yang sangat berambisi itu? Aku juga memiliki teror yang sama, bodoh! Dan aku tak tahu siapa pelakunya!"

Saka mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, "Kau lihat! Ia bahkan mengancam hendak mencelakai Sinta! Ia menerorku hampir setiap hari! Setiap pagi aku mendapati foto Sinta yang ia coret-coret dengan darah di loker mejaku, di atas jok motorku, bahkan di depan pintu rumahku!" Reksa terdiam melihat banyak foto Sinta yang penuh dengan darah.

"Masih banyak lagi di kamarku jika kau ingin lihat!" Dan Reksa hanya diam.

Beberapa menit setelah perkelahian itu terjadi, Prada pulang ke rumah. Ia masuk ke dalam rumah dan segera menuju ke kamarnya. Saat melewati kamar adiknya, ia melihat wajah adiknya itu terluka di bagian pelipis kirinya.

"Kenapa?" Tanya Prada.

"Kepleset trus pelipisku kena meja waktu di kelas."

"Lain kali, sekalian kenain matamu." Kata Prada yang membuat Saka tertawa, ia pun segera berjalan menuju kamarnya.

"Si Saka, aku kira dia berkelahi dengan temannya, eh, tahunya hanya gara-gara kepentok meja. Coba tiru kakaknya ini, paling jago kalau berkelahi. Ini malah adiknya sama sekali tak pernah berkelahi." Kata Prada kepada Bima, namun Bima hanya diam saja.