webnovel

-8-

"Jangan bertanya kepadaku. Bertanyalah pada dirimu sendiri." Kata Sinta kepada Saka.

"Tidak, pertanyaan itu memang aku tujukan untukmu, bukan untuk diriku sendiri, sebab aku sudah yakin."

"Sudah yakin apa?"

"Aku sudah yakin jika aku menyukaimu. Lebih dari seorang sahabat."

Ruri dan Banu saling bertatapan, mereka sungguh terkejut dengan perkataan yang Saka lontarkan sekaligus penasaran dengan jawaban yang akan Sinta katakan.

"Ya sudah. Lakukan saja."

"Kamu hanya membiarkanku melakukan itu sendiri atau mau membantuku juga?" Tanya Saka dan membuat Ruri refleks memegang tangan Banu.

"Tentu aku membantumu. Sebagai sahabat yang baik aku akan membantu sahabatku." Jawab Sinta.

"Tapi jika kamu membantuku, mungkin saja nanti aku bukan lagi sahabatmu dan kamu bukan sahabatku."

"Tak masalah, aku fleksibel untuk jadi siapapun bagi orang lain."

"Mungkin kamu akan menjalankan peran yang belum pernah kamu lakukan sebelumnya."

"Tak masalah, aku termasuk orang yang bisa cepat belajar."

"Bagaimana jika kamu ternyata tidak nyaman atau tidak suka? Atau berubah pikiran?"

"Tidak masalah. Aku punya kamu kan?"

Saka terdiam sejenak, "Tentu, kamu selalu punya aku."

Dan Ruri semakin kuat menggenggam tangan Banu. Lebih tepatnya meremas tangan Banu.

Acara ulang tahun Banu selesai dengan baik. Semua orang lega dengan terselesaikannya acara kejutan yang ditujukan kepada Banu. Dan tanpa diduga oleh siapapun, mereka juga menjadi lega saat masalah Sinta dan Saka akhirnya terselesaikan. Perasaan yang Saka pendam akhirnya naik ke permukaan, segala kekhawatiran yang bukan hanya dirasakan oleh Saka, Ruri, atau bahkan Banu mengenai respon Sinta juga telah diketahui. Sinta yang mereka kenal sebagai orang yang tak terduga itu pun seperti biasa bertindak tidak disangka-sangka. Respon biasa yang cenderung mendukung perasaan Saka yang ditunjukkan oleh Sinta membuat semua orang bernapas lega.

Setelah obrolan antara Saka dan Sinta selesai, semua orang tertawa bersama layaknya mereka baru saja menonton tayangan komedi. Mereka menertawai diri mereka sendiri yang khawatir berlebihan padahal mereka tahu jika orang yang mereka hadapi yakni Sinta ini adalah orang yang santai.

"Jadi, setelah ini kalian akan memasuki babak baru?" Kata Banu sambil menaik-turunkan alisnya.

"Ya. Kalian juga tidak mau menyusul?" Kata Sinta.

"Menyusul? Kita sudah menjadi sepasang kekasih, bukan seperti kalian yang saat ini masih dalam tahap pendekatan."

"Aku tahu, sebab itu aku bertanya kepada kalian. Apakah kalian tidak mau menyusul kami yang memasuki babak baru? Tidak bosan dari dulu sampai sekarang berada di tahap yang sama terus?"

"Oh, kamu berharap kami memasuki tahap yang baru? Untuk anak seusia kami, kalian berharap kita punya lembaran baru yakni menikah?" Tanya Banu.

"Tahap baru bagi kalian tak harus menikah. Putus juga termasuk ke dalam kategori tahap baru bagi kalian. Kalian belum pernah melakukannya, bukan?"

"Sial." Kata Banu dan semua orang tertawa.

Setelah Saka berterus terang tentang perasaannya kepada Sinta, mereka lebih dekat dari biasanya. Persahabatan ketiga orang itu pun menjadi lebih dekat, sebab tak ada lagi yang menjadi penghalang. Tak ada lagi rasa gengsi untuk mengatakan suka, lebih bisa bersikap jika ada orang yang mendekati Sinta. Jadilah persahabatan mereka lebih transparan dan terbuka. Mereka menjadi lebih ekspresif dari sebelumnya seiring berjalannya waktu.

Hubungan antara Sinta dan juga Saka pun tak terhalang oleh orang lain sebab saat itu tak ada lagi Reksa di antara mereka berdua. Reksa berhenti mengejar cinta Sinta sama seperti Tama waktu itu. Tak ada pertandingan futsal, tak ada traktiran di kantin, dan tak ada lelucon yang tidak lucu dari Reksa yang disampaikan lagi oleh Sinta. Bahkan nama Reksa juga tak banyak disebut, hanya beberapa kali saja saat mereka membahas tentang adik kelas yang waktu itu memiliki masalah dengan Sinta.

"Pagi ini aku tak bisa membawakan kalian susu sebab stok di minimarket yang biasa aku beli sedang habis. Tapi sebagai gantinya aku membawakan kalian yogurt." Kata Saka kepada kedua sahabatnya.

"Tak perlu kamu setiap hari membelikan kami susu. Lagipula saat ini Sinta sudah berubah. Dia sudah suka minum susu. Bahkan saat di rumah, dia punya stok susu yang dia beli dari minimarket." Jelas Ruri.

"Itu bukan menjadi masalah, Ri."

"Dia benar, sudah berapa banyak uang yang kamu buang untuk membelikan kami susu kotak?" Tanya Sinta.

"Tidak, aku tidak membuang uang. Aku hanya menukarkan uangku dengan susu kotak kesukaan kalian. Atau kalian sudah bosan dengan susu yang setiap hari aku berikan?"

"Ya."

"Tidak." Sinta dan Ruri saling bertatapan.

"Kalau begitu aku akan membelikan kalian minuman yang lain."

"Tidak, Saka. Tidak seperti itu. Kami tidak bosan dengan minumam susu yang hampir setiap pagi kamu belikan." Kata Ruri sambil menyenggol lengan Sinta.

"Hanya saja sayang jika uangmu habis, sebab selalu membelikan kami susu."

"Ya, lebih baik jika uangmu habis untuk membelikan kita tiket konser penyanyi kesukaan kami." Ruri melotot ke arah Sinta.

Saka tertawa, "Tentu, aku akan membelikan kalian tiket konser penyanyi kesukaan kalian itu. Sekaligus tiket untuk Banu juga."

Ruri hendak berbicara saat Sinta berkata, "Nah! Tapi jika kamu membelikan kami tiket konser itu, kamu harus berhenti membelikan kami susu setiap pagi atau kami tidak akan datang ke konser itu meski kamu sudah membelikan tiketnya. Bagaimana?" Tawar Sinta.

"Baik, setuju." Sahut Saka.

"Hei! Aku tidak setuju! Harga tiket konser sepuluh kali lipat lebih mahal dari harga susu kotak. Aku lebih setuju jika Saka berhenti membelikan kita susu dan tidak membelikan kita tiket konser."

"Oh, ayolah! Penawaranku itu paling ampuh untuk membuat Saka berhenti membuang-buang uang hanya untuk membelikan kita susu. Walaupun harga tiket konser lebih mahal sepuluh kali lipat, tapi dia berhenti untuk membuang-buang uang yang bahkan kita tak tahu sampai berapa jumlahnya saat ia hampir setiap hari membelikan kita susu. Tanpa ada penawaran, Saka tak akan berhenti."

Ruri terdiam sejenak,"Kalau dipikir-pikir memang benar. Tapi, Sa, untuk Banu, biar dia yang membeli tiket konser untuk dirinya sendiri."

"Aku setuju!" Kata Sinta.

"Tak bisa kulakukan, aku merasa tak enak jika tiket konser untuk Banu tak sekalian kubeli." Untuk kali ini tak ada yang bisa menghentikan Saka.

Saka adalah tipe orang yang sekali dia membuat keputusan, dia akan konsisten dan teguh di dalam pendirian. Hingga saat sahabatnya sendiri yang melakukan protes pun tak ia hiraukan. Tiket konser yang diminta oleh Sinta untuk dirinya dan Ruri dibeli oleh Saka dan tak lupa dirinya juga membelikan tiket tersebut untuk Banu. Kedua sahabatnya melarang dirinya untuk juga membelikan tiket konser bagi Banu, sebab mereka tahu jika harga tiket konser yang mereka maksud tidak murah. Penyanyi yang meramaikan konser musik itu walaupun merupakan penyanyi lokal, ia merupakan penyanyi dengan bayaran yang mahal. Tapi Saka tetaplah Saka, dia tetap teguh di dalam mengambil keputusan.

"Aku belum beli tiket konser untuk kalian, tapi aku sudah minta tolong Mas Prada untuk membelikannya. Sebab yang mengadakan acara konser itu adalah salah satu fakultas di universitas Mas Prada." Kata Saka saat mereka ada di kelas.

"Maaf, ya. Kita jadi merepotkan kakakmu juga." Kata Ruri.

"Iya, Sa." Timpal Sinta.

"Tidak, tidak. Mas Prada justru senang. Ia sekalian mau membelikan tiket konser itu untuk calon kekasihnya."

"Calon kekasih? Perempuan yang kita lihat sewaktu kita nonton teater itu?" Tanya Ruri.

"Bukan, ada lagi yang lain."

"Ah, sepertinya Mas Prada adalah lelaki yang suka bermain dengan hati perempuan." Ujar Sinta.

"Hei! Kamu bilang seperti itu di hadapan adiknya. Tidak sopan, Ta!" Kata Ruri yang lemah lembut itu.

"Oh tidak, tidak masalah. Memang seperti itu faktanya. Mas Prada juga tak akan tersinggung jika kita mengatakan hal itu. Karena dia juga mengakuinya. Tapi tenang saja, Ta."

"Kenapa kamu menyuruhku untuk tenang?" Tanya Sinta kebingungan sebab tak mengerti maksud dari perkataan Saka.

"Aku bukan seperti Mas Prada yang suka bermain-main dengan perempuan."

Ruri tertawa dan Sinta pun sama, "Bagus! Sebab jika kamu suka bermain-main dengan perempuan, aku tak akan menganggapmu serius."

"Dan menurutmu, apakah aku suka bermain-main dengan perempuan?"

"Tidak, kamu cukup serius, sebab kamu memiliki masalah yang juga sama seriusnya. Yakni menyukaiku. Menyukai diriku ini persoalan yang serius, kamu tahu?"

"Tentu, menyukai dirimu tak pernah main-main. Aku serius melakukannya." Kata Saka.

"Berhenti, dong! Aku tidak kuat mendengarnya! Seharusnya kalian sadar jika saat ini tidak ada Banu yang bisa kuremas tangannya, sebab aku yang terlampau gemas dengan kalian berdua!" Protes Ruri.

Waktu itu satu minggu sebelum konser, kakak Saka telah membeli tiket konser yang dimaksud dan juga telah diberikan kepada Saka. Tak perlu banyak tanya, Saka segera memberikan tiket tersebut ke kedua sahabatnya saat mereka bertemu di sekolah. Sinta juga Ruri begitu senang saat tiket konser sudah di tangan mereka, hingga tak sabar menunggu hari dimana konser tersebut dilaksanakan. Saat yang mereka nantikan akhirnya tiba dan tanpa mereka tahu, ada juga seseorang yang ikut tiba di sana.

"Aku begitu tak sabar nanti malam!" Seru Sinta bersemangat.

"Aku juga! Rasanya pasti menyenangkan bisa berteriak sambil bernyanyi lagu kesukaan kita." Kata Ruri tak mau kalah.

"Bersemangat boleh, tapi nanti jangan lupa kalian membawa hal-hal yang diperlukan. Seperti jaket, sebab konser ini akan selesai di malam hari, yang mana udara di malam hari sangat dingin."

"Iya, benar sekali." Kata Ruri.

"Oh iya, kita nanti kumpul di rumahku atau langsung bertemu di tempat konser?"

"Kita kumpul dulu saja. Bagaimana menurutmu, Sa?" Saran Ruri.

"Iya, kita berkumpul dulu di rumah Sinta."

"Lalu kakakmu bagaimana, Sa? Apakah dia juga berangkat bersama dengan kita?" Tanya Ruri kepada Saka.

"Tidak, dia pergi bersama dengan teman-temannya."

"Oh, teman-temannya juga ikut?" Tanya Ruri.

"Iya, rencananya dia hanya pergi berdua dengan calon kekasihnya itu, tapi ternyata teman-temannya tahu. Jadilah mereka ikut datang."

"Kasihan, gagal jalan berdua." Kata Sinta diikuti tawa kedua sahabatnya.

Beberapa jam setelahnya, mereka sudah berkumpul di rumah Sinta sebelum mereka bersama-sama pergi ke konser.

"Perlu bawa air minum?" Tanya Sinta.

"Beli saja di sana. Pasti ada yang jual, daripada kamu bawa-bawa botol minum. Nanti yang ada, malah kamu dikira mau jelajah malam, lagi." Kata Banu.

Banu dan Sinta memang suka sekali bersitegang, saat mereka bertemu, selalu saja ada saat di mana mereka saling mengejek. Namun jika mereka bersatu, akan menjadi hal yang merepotkan. Sebab jika itu terjadi, pasti mereka berdua sedang merencanakan sesuatu yang seru. Tentu kata seru di sini berkonotasi negatif, sebab seru bagi Sinta dan Banu adalah usil bagi Ruri dan Saka.

"Betul juga, apalagi saat kamu berjalan di belakangku. Mereka pasti lebih yakin jika aku adalah anak yang sedang jelajah malam. Sebab saat melihatmu yang berambut cepak, mereka yakin jika kamu adalah kakak pembina pramuka."

Saka dan Ruri tertawa sangat keras saat mendengar ucapan Sinta sekaligus saat melihat ekspresi Banu.

"Sudahlah, Nu. Berhentilah mencela Sinta jika tak mau celaanmu berbalik bak bumerang kepadamu." Kata Saka.

"Saka benar. Masih untung jika bumerang iti berhasil kamu tangkap. Itu akan lebih seru untuk kita karena kita bisa bermain bumerang. Tapi nyatanya kamu lebih sering gagal menangkapnya dan bumerang itu justru mengenai wajahmu hingga membuatnya merah seperti saat ini."

Wajah Banu saat ini memang memerah, sebab dirinya yang berwajah putih itu akan membuat orang lain sadar dengan cepat jika ada perubahan di wajahnya. Dan biasanya saat wajahnya memerah, ia sedang kesal atau malu. Tapi bisa dipastikan jika saat ini dirinya sedang kesal akibat ulah Sinta.

"Sudah, daripada kalian beradu kata-kata yang tak ada satupun dari kalian yang mau mengalah, lebih baik kita berangkat ke lokasi konser."

Mereka segera menuju ke lokasi konser yang memerlukan waktu sekitar setengah jam perjalanan. Pada sekitar pukul enam, mereka sampai di lokasi konser. Saat sampai di sana, sudah banyak motor yang terparkir dan banyak orang yang berkerumun untuk mengantre masuk. Mereka segera mengantre, setelah berhasil masuk, mereka membeli minuman dan makanan terlebih dulu.

"Kalian mau beli minum apa?" Tanya Saka.

"Aku mau beli es cokelat." Kata Sinta.

"Di mana ada yang jual es cokelat?" Tanya Ruri.

"Itu!" Seru Sinta sambil menunjuk stan minuman di sebelah kiri.

"Aku mau beli jus jeruk saja, deh!"

Saka dan Sinta pun berjalan untuk membeli es cokelat dan mereka pun berpisah dengan Ruri dan Banu yang membeli jus jeruk. Cukup banyak orang yang mengantre untuk membeli es cokelat sehingga membuat mereka cukup lama menunggu giliran. Lalu saat mengantre, Sinta berkata, "Aku mau beli sosis bakar di sana, ya!"

"Mau beli sendiri?" Tanya Saka.

"Iya, kamu tunggu di sini."

"Baik, hati-hati."

Saat Saka mengantre di stan es cokelat, seseorang menepuk pundaknya.

"Mana Sinta?" Ternyata itu adalah kakaknya.

"Beli sosis bakar."

Tak lama setelah itu Ruri dan Banu datang menghampiri Saka

"Eh, Mas Prada!" Sapa Ruri.

"Wah, Ruri! Sama pacarmu ya?"

"Iya, Mas." Banu dan Prada pun berkenalan.

Selain menyapa kakak Saka, Ruri juga menyapa seorang perempuan yang berdiri di samping kakak Saka dan mereka berkenalan satu sama lain. Saat pandangan mata Ruri beralih ke tiga orang di belakang kakak Saka, Ruri terkejut dan bertanya lirih kepada Banu, "Lho, itu bukannya orang yang waktu itu memainkan peran Bimasena, ya?"

Banu mendengar ucapan kekasihnya itu menambahkan, "Kayaknya iya."

"Memang iya." Jawab Saka yang membuat Ruri terkejut.

"Mana Sinta? Sembunyi?" Tanya Banu.

"Sinta sedang beli sosis bakar, jadi dia belum tahu." Ruri dan Banu mengangguk-anggukkan kepala mereka.

"Biarkan saja dia tak tahu, kan kita ke tempat ini mau nonton konser, cari kesenangan. Nanti malah takutnya merusak suasana." Tambah Saka.

"Iya, setuju." Kata Ruri dan Banu.

"Kalau begitu aku mau ke tempat Sinta dulu. Takutnya dia sebentar lagi ke sini. Tolong kalian tunggu es cokelat punya Sinta. Kalau sudah selesai kalian ke sana juga supaya Sinta tak perlu kemari." Kata Saka kepada Ruri dan Banu yang dibalas anggukkan kepala.

"Mas aku ke sana dulu, ya. Ke tempat Sinta." Kata Saka kepada Prada.

"Iya."

Saka pun menghampiri Sinta yang sedang mengantre sosis bakar.

"Masih lama?" Tanya Saka.

"Sudah mau selesai. Itu punyaku masih dibakar."

"Es cokelatmu nanti akan dibawa sama Ruri kemari. Kita tunggu mereka di sini saja."

"Oke."

Di luar sepengetahuan Sinta dan yang lainnya, malam itu sepasang mata menatap Sinta dari kejauhan. Mata itu menatap cukup lama sebab dirinya mengenali seorang perempuan berbaju navy itu. Dia adalah perempuan yang dulu ia temui saat di pentas teater pertamanya.

"Lho, kalian sudah bawa es jeruk kok antri es cokelat?" Tanya Prada.

"Ini punya Sinta, Mas." Jawab Banu.

"Oh."

"Lalu Mas Prada bagaimana? Mas yang mau beli es cokelat atau mbaknya?" Tanya Ruri.

"Bukan aku, segini banyak orang yang antre, yang beli hanya satu. Bima." Jelas Prada sambil menunjuk temannya dengan menggunakan pandangan matanya.

Mendengar kata terakhir yang disebutkan Prada, Ruri dan Banu saling berpandangan.

"Kakak itu namanya Bima?" Ruri bersuara.

"Iya." Jawab Prada.

"Astaga." Kali ini Banu yang bersuara.