webnovel

-6-

Pertandingan futsal yang berakhir itu mengundang banyak percakapan sebelum akhirnya percakapan itu juga menemui akhir. Mereka semua pulang menuju rumah masing-masing. Ruri diantar oleh Banu, Sinta diantar oleh Saka. Seperti yang dikatakan Sinta sebelumnya, setelah sampai di rumah, dirinya segera menyelesaikan pekerjaan rumah miliknya. Tugas bahasa Indonesia mengharuskan dirinya berkutat dengan kata-kata selama beberapa jam. Namun, hal itu bukan menjadi kendala, ia justru menikmatinya. Sebab mata pelajaran bahasa Indonesia adalah mata pelajaran kesukaan Sinta, apalagi saat ia diharuskan untuk menulis prosa atau puisi.

Tugasnya pun selesai dikerjakan dan Sinta bersiap untuk bersekolah di kemudian harinya. Banyak hal yang dipersiapkan untuk melanjutkan aktivitas di kemudian hari, namun yang Sinta tak tahu adalah ia harus bersiap untuk menghadapi suatu masalah yang akan datang kepadanya.

"Kalian hari ini tidak bawa bekal, kan?" Tanya Reksa kepada Sinta, Ruri, dan Saka saat berjalan menuju kelas masing-masing.

"Tidak. Kan kamu bilang mau traktir kita." Kata Sinta. Ruri dan Saka mengangguk.

"Baiklah, sampai ketemu nanti di kantin." Reksa pun pergi ke kelasnya.

Saat jam istirahat, Reksa telah menunggu di depan kelas Sinta. Mereka semua pun segera pergi menuju kantin. Di kantin, mereka memesan mie ayam dan es jeruk. Mereka menikmati makanan dan minuman mereka masing-masing dengan sesekali saling melontarkan obrolan. Percakapan mereka berjalan dengan baik, namun tanpa mereka sadari, ada seseorang yang menatap mereka dengan tidak suka. Ia adalah orang yang sama yang menatap mereka di tempat pertandingan futsal kemarin sore.

Tatapan tidak suka itu berlanjut hingga ke dalam sebuah masalah yang bersinggungan langsung dengan Sinta. Keesokan harinya ketika keluarga Sinta bangun kesiangan, Sinta tak sempat untuk sarapan. Bunda dan ayahnya kelabakan, mereka dikejar-kejar waktu. Akibatnya, Sinta tak sempat pula membawa bekal.

"Kenapa kalian baru datang?" Tanya Saka.

"Sinta kesiangan." Jawab Ruri.

"Memangnya kamu kemarin tidur jam berapa?"

"Bukan perkara tidur jam berapa, tapi bangun jam berapa. Bunda yang biasanya membangunkan kami di pagi hari, pagi ini terlambat bangun. Jadilah kami semua bangun kesiangan."

"Tapi kamu sarapan?" Tanya Saka.

"Tidak sempat. Aku juga tidak bawa bekal."

"Kamu mau makan bekalku untuk sarapan? Nanti biar kita makan di kantin sama-sama." Tawar Ruri.

"Terima kasih, tapi tidak usah, Ri. Yang aku butuhkan sekarang hanya minum karena aku sangat haus."

"Bahkan air minum juga tidak kamu bawa?" Tanya Saka dengan heran.

"Andai kamu tahu seberapa sibuknya keluarga Sinta pagi ini, Sa." Kata Ruri dengan menggeleng-gelengkan kepalanya dan diikuti anggukan keras dari Sinta.

"Baiklah." Kata Saka sambil mengeluarkan dua kotak susu dari dalam kantong plastik.

Sinta tersenyum melihat Saka yang memberinya satu kotak susu. Sinta dan Ruri paham betul akan kebiasaan Saka, sebab hampir setiap pagi Saka akan memberikan kedua sahabatnya ini minuman susu kotak. Kebiasaan ini mulai dilakukan saat Saka tahu jika Sinta tak suka dengan produk susu karena menurutnya rasanya aneh. Dan sebagai sahabat yang baik serta pengertian, Saka pun berinisiatif untuk membelikan kedua sahabatnya ini susu hampir setiap pagi.

"Nanti kalian makan bekal di kantin saja, ya? Aku nanti mau beli soto." Ruri dan Saka mengiyakan ucapan Sinta.

Ketika bel tanda jam istirahat berbunyi, ketiga sahabat ini berjalan menuju kantin. Sinta segera memesan soto yang sejak pagi ia bayangkan rasa serta aromanya.

"Aroma soto memang tak pernah mengecewakan. Lidahku sudah tidak sabar untuk merasakannya." Kata Sinta sambil menelan ludahnya.

"Tunggu dulu sampai agak dingin." Ruri mengingatkan Sinta untuk tak langsung memakan soto yang panas itu dan Sinta pun setuju.

"Aku mau beli minum dulu, ya. Kalian mau titip sesuatu?" Ruri dan Saka menggeleng.

Disaat Sinta membeli minuman, ada empat orang perempuan duduk di dekat tempat duduk Sinta. Lebih tepatnya mereka duduk di meja sebelah dan tempat duduk Sinta menghadap ke arah mereka secara langsung.

"Aku lupa hendak bertanya kepadamu, Ri." Kata Sinta saat ia sudah kembali dari kegiatannya membeli minuman.

"Apa?"

"Hari Minggu besok kamu jadi ajak aku untuk beli kue ulang tahun?"

"Jadi."

"Ulang tahun Banu?" Tanya Saka.

"Iya. Kamu jadi ikut, kan?"

"Iya."

"Jadi, kita berencana melemparinya dengan semua bahan kue atau melemparkannya ke sungai?" Tanya Sinta.

Kedua sahabatnya tertawa, "Kamu sepertinya sangat ingin melakukan itu, ya?" Tanya Saka.

"Tidak juga, sebenarnya aku hanya ingin membuatnya sadar untuk berhenti berkata-kata yang nantinya menyakiti perasaan orang lain. Untuk urusan melempari atau melemparkan tadi hanya gambaran kekesalanku saja."

"Ia tak akan bisa sadar jika kamu sendiri juga tidak sadar, Ta. Kalian kan punya kesamaan dalam hal berkata-kata yang menyakitkan." Kata Saka yang dibalas anggukkan Ruri.

"Memangnya perkataanku semenyakitkan itu?" Tanya Sinta.

"Tentu saja!" Seru Ruri dan Saka secara bersamaan.

Mendengar perkataan kedua sahabatnya itu, Sinta mengalihkan pandangannya ke arah depan. Ia pun bertemu pandang dengan seorang perempuan yang sepertinya adalah adik kelasnya. Sinta tak mengenalinya, namun jika dilihat dari tatapannya, perempuan itu memandang Sinta dengan rasa tidak suka.

Sinta mencoba untuk bersikap biasa saja setelahnya. Ia tak menganggap penting pandangan adik kelasnya terhadap dirinya itu. Hingga ia mendengar perkataan yang ditujukan kepadanya.

"Lihat saja, pasti dia akan dibuang sebentar lagi. Lagipula siapa yang suka dengan perempuan banyak tingkah sepertinya." Kata adik kelas itu dengan tatapan yang mengarah kepada Sinta. Ucapan adik kelas itu cukup nyaring sehingga bisa didengar oleh Sinta atau mungkin bisa jadi orang-orang yang berada di meja kantin lainnya juga bisa mendengarnya

Sinta yang menyadari hal itu pun membalas pandangan adik kelasnya sambil mengernyitkan dahi.

"Kamu besok bisa pergi denganku jam berapa, Ta?" Tanya Ruri.

"Setiap jam bisa." Sinta menjawab pertanyaan Ruri dengan tak melepas pandangannya dari adik kelas yang ada di depannya itu.

"Memang sih, dia cantik. Tapi percuma jika selalu genit ke sana-sini." Kata adik kelas yang lain.

"Kalian juga tahu kan jika dirinya datang ke pertandingan futsal? Hanya menunggu beberapa saat sebelum dia ditinggalkan."

"Ya, itu sudah pasti. Lihat saja sekarang, dia bahkan tak makan bersama si lelaki itu di kantin. Padahal kemarin mereka sangat akrab bercanda di kantin."

"Kurasa memang ia sudah ditinggalkan."

"Tapi sayang sekali jika mereka berpisah."

"Kenapa?"

"Karena sejujurnya mereka adalah pasangan yang serasi. Keduanya sama-sama suka bermain-main dengan perasaan orang lain. Datang dan pergi seenaknya."

"Sudah banyak sekali korbannya, kasihan para lelaki itu. Mereka hanya membuang-buang waktu dan tenaga."

"Benar, kurasa dia juga mempermainkan perasaan sahabatnya sendiri. Siapa juga yang tidak tahu jika sahabat lelakinya juga menyukainya." Keempat perempuan itu tertawa dan salah satu diantara mereka mencuri-curi pandang ke arah Sinta.

Obrolan demi obrolan terdengar di telinga Sinta. Meski tak menyebut nama, ia tahu jika seseorang yang adik kelasnya bicarakan adalah dirinya. Sebab walaupun mereka saling berbicara, pandangan mata mereka sesekali bertemu dengan mata Sinta. Ia rasa salah satu adik kelas itu adalah korban dari Reksa. Karena yang ia tahu, Reksa adalah orang yang suka bermain-main dengan perempuan. Jadi, ia akan menunjukkan kepada perempuan-perempuan itu jika mereka telah salah memilih lawan.

"Oh iya, Ta. Apa kamu punya ide untuk kejutan ulang tahun Banu?"

Ruri bertanya kepada Sinta dan Sinta pun menolehkan pandang ke arahnya.

"Ri, aku tahu jika saat ini kamu hanya ingin mengalihkan perhatianku. Tapi aku harus meminta maaf kepadamu karena usahamu itu tidak berhasil." Kata Sinta sambil berdiri membawa mangkuk soto dan gelas minuman yang belum tandas itu.

Saka yang melihat gelagat aneh dari kedua sahabatnya itu segera merasakan jika ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Saka mendengar ucapan adik kelas yang membicarakan seseorang itu, sebab mereka duduk tepat di belakang Saka. Namun karena posisi duduk Saka yang membelakangi mereka, ia tak tahu jika sudah sejak lama Sinta menaruh curiga kepada mereka. Seketika dirinya sadar jika seseorang yang dibicarakan oleh adik kelas di belakangnya itu adalah Sinta.

"Aku boleh duduk di sini?" Tanya Sinta kepada sekelompok adik kelasnya itu.

Adik kelas Sinta sangat terkejut. Mereka tak menyangka jika seseorang yang sedari tadi mereka bicarakan itu kini bertanya boleh atau tidak duduk bersama mereka.

"Boleh kan, ya? Lagipula ini tempat duduk untuk umum." Kata Sinta sembari duduk di salah satu kursi yang masih kosong.

Kedua sahabat Sinta kini saling berpandangan, mereka tak tahu harus berbuat apa. Sebab jika Sinta sudah bertindak, tak ada yang bisa membuatnya berhenti kecuali memang dirinya yang menyudahi.

"Kudengar sedari tadi kalian membicarakan seseorang. Aku hanya ingin memastikan siapa nama perempuan yang kalian bicarakan itu, apakah aku?"

Mendengar perkataan Sinta, Saka pun berdiri, "Ta, sebentar lagi jam istirahat selesai. Kamu tidak mau kembali ke kelas?"

"Kalau kamu mau kembali, kembali saja dulu dengan Ruri."

"Tapi bagaimana denganmu?"

"Sa, sudahlah. Aku hanya ingin berbicara dengan mereka. Kamu dan Ruri tak perlu khawatir. Kami hanya mengobrol di sini. Ya, kan?"

Usaha Saka tidak berdampak.

"Sampai di mana percakapan kita tadi? Ah iya, jadi, siapa?" Empat orang perempuan yang ditanyai oleh Sinta hanya terdiam.

"Oh ayolah! Sedari tadi kalian mengobrol dengan lugas dan berani. Kenapa saat ini kalian diam saja?" Satu demi satu pasang mata memandang ke arah Sinta.

"Kenapa Kakak mengira jika orang yang sedari tadi kami bicarakan adalah Kakak?" Akhirnya satu orang yang sedari tadi memandangi Sinta angkat bicara.

"Oh, jadi kamu orangnya. Memangnya kapan kamu ditinggalkan oleh Reksa dan tidak terima jika saat ini dirinya dekat denganku?"

"Apa hubungannya dengan Kak Reksa?"

Sinta tersenyum, "Aku bukan orang yang bodoh."

Adik kelas itu tersenyum meremehkan ke arah Sinta.

"Tidak ada yang menyebut nama Kakak atau menyebut jika Kakak bodoh. Jadi tidak usah kepedean."

"Begini ya, Nak. Akan kuberitahu padamu bagaimana cara membicarakan seseorang tanpa menyinggung perasaan orang lain. Pertama, jangan pernah berbicara sambil menatap mata orang lain. Kedua, atur volume berbicaramu. Ketiga, jangan membicarakan seseorang saat orang yang kamu bicarakan ada di depan matamu. Dan yang kalian lakukan tadi sangat bertentangan dengan ketiga poin di atas. Aku punya kehidupan yang aku tahu betul bagaimana peristiwanya. Tentu aku tak akan sulit mengenali apakah kalian benar membicarakan diriku atau orang lain."

"Memangnya kenapa jika kami membicarakan Kakak?"

"Membicarakan orang lain itu merupakan hal biasa. Tapi jika orang lain yang kalian bicarakan itu adalah aku, ditambah semua ujaran kebencian yang kalian lontarkan, aku tak akan membiarkan kalian meneruskan kegiatan kalian itu."

Adik kelas itu tertawa mengejek, "Kenapa harus marah jika yang kami bicarakan adalah fakta? Kak Reksa meninggalkan Kakak sebab Kakak tak cukup pantas untuk dipertahankan."

"Ah begitu. Mungkin memang aku tak pantas untuk dipertahankan, tapi setidaknya aku tak Reksa tinggalkan hanya karena ada yang lebih cantik dan cerdas. Terkadang manusia memiliki obsesi yang mengerikan sehingga membuat mereka ditinggalkan."

Sinta tahu jika adik kelas ini adalah orang yang dulu pernah Reksa bicarakan. Reksa pernah berbicara mengenai adik kelas yang terobsesi dengan dirinya. Awalnya ia tak mempercayai hal itu, namun setelah tahu jika ada adik kelas yang berani mencari masalah dengan dirinya, saat itulah ia tahu jika Reksa mengatakan hal yang sebenarnya.

"Apa maksud perkataan Kakak itu?"

"Aku lupa jika seseorang dengan tingkat kecerdasan yang rendah membutuhkan penjelasan di setiap perkataan. Tapi sayangnya aku tak punya banyak waktu untuk itu."

"Jangan bicara sembarangan, ya! Seharusnya Kakak malu! Genit sana-sini, suka menggoda lelaki yang bahkan sudah memiliki kekasih. Seorang penggoda tidak pantas untuk sekolah!"

Sinta menatap adik kelas di hadapannya itu dengan tatapan terkejut, "Wow! Untuk seseorang di umur belasan tahun, kamu tahu betul tentang seorang penggoda. Kalau aku jadi kamu, aku tak akan melakukan ini. Maksudku, berurusan denganku bukan perkara yang mudah. Apalagi saat kamu nekat bersitegang denganku walau tahu jika dirinya tak memiliki hubungan apa-apa dengan lelaki yang diperdebatkan."

Sinta melihat Reksa berjalan menuju kantin.

"Saranku, pastikan dulu siapa orang yang hendak kamu sindir. Dan tentu, saat menyindir seseorang yang mengganggu hubunganmu, pastikan jika kamu sudah memiliki hubungan yang nyata."

"Aku punya hubungan dengan Kak Reksa dan Kakak menghancurkan hubungan itu!"

"Oh ya? Mari kita tanya Reksa." Perkataan Sinta mengundang keterkejutan adik kelas di hadapannya itu.

"Reksa, dia ini pacarmu atau siapamu?" Tanya Sinta kepada Reksa.

Reksa terdiam untuk beberapa saat karena terkejut sebelum akhirnya menjawab, "Aku tidak memiliki kekasih."

"Sangat mengejutkan. Lalu hubungan apa yang kamu maksud? Hubungan khayalan? Hubungan sepihak? Atau apa?" Adik kelas di hadapan Sinta itu hanya terdiam.

Sinta berdiri dari duduknya sambil memegang gelas yang berisi minuman miliknya itu. Ia menggoyang-goyangkan gelas tersebut guna mengaduk minuman di dalamnya.

"Aku hanya mengingatkanmu, kalian semua." Kata Sinta dengan menatap adik kelasnya itu satu per satu.

"Berhati-hatilah di dalam memilih lawan. Lihat dan ukur seberapa kemampuanmu dan bandingkan dengan musuhmu. Jangan asal pilih dan nekat menghabisi. Karena bisa jadi bukannya berhasil mengalahkan, justru kalianlah yang diterkam." Segerombol adik kelas itu menatap gerakan tangan Sinta dengan waspada, takut jika isi gelas tersebut pindah ke wajah mereka. Bukan hanya mereka yang waspada, Ruri dan Saka juga merasakan hal yang sama. Namun, alih-alih menumpahkannya, Sinta justru meneguk habis seluruh minumannya setelah berbicara demikian kepada para perempuan itu. Segera setelah itu, ia pergi meninggalkan kantin diikuti dengan kedua sahabatnya.