webnovel

-5-

Setelah Tama tahu jika Sinta bermain-main dengannya pagi itu, ia segera pamit dari rumah Sinta untuk menuju ke sekolah. Ia tak habis pikir, dengan segala usaha yang telah ia lakukan, banyak sekali kegagalan yang ia dapatkan. Tama mengerti jika memang Sinta bukanlah seseorang yang mudah untuk di dapatkan, namun ia tak menyangka jika akan sesulit ini. Bahkan saat ia harus berangkat dari rumah pagi sekali untuk menjemput Sinta, itu bukanlah usaha yang cukup untuk membuatnya berhasil berangkat bersama dengan Sinta ke sekolah.

Pagi itu kelas Sinta sedang bersiap-siap untuk mengikuti kelas olahraga. Olahraga pagi ini adalah lari. Semua siswa diharuskan untuk melakukan lari empat putaran mengelilingi sekolah. Dalam hal ini, mereka akan berlari memutari wilayah dalam sekolah.

Olahraga lari bukanlah kesukaan Sinta, sebab di dalam olahraga itu, memerlukan tenaga yang sangat besar. Ditambah lagi dengan wilayah sekolahnya yang tidak sempit. Saat dirinya sampai di putaran kedua, ia mendengar langkah kaki seseorang di belakangnya yang berlari ke arahnya.

"Pagi ini kamu begitu menyebalkan." Ternyata seseorang itu adalah Tama.

"Kakak menjemputku terlalu pagi, biasanya sebelum pukul enam, aku memang menyebalkan. Lain kali coba jemput aku setelah pukul enam." Jelas Sinta.

"Jika aku menjemputmu pukul enam lebih, kamu sudah berangkat ke sekolah dengan menggunakan bus."

"Ya, memang sebelum pukul enam aku menyebalkan, tapi setelah pukul enam, aku menjadi lebih menyebalkan." Kata Sinta dengan napas yang terengah.

Sinta berhenti sejenak untuk mengatur napasnya.

"Baru satu putaran saja kamu sudah ingin istirahat."

"Koreksi, dua putaran."

"Sama saja. Jika kamu sekuat itu lari dariku, seharusnya kamu juga kuat jika harus lari mengelilingi sekolah." Kata Tama.

"Tidak ada manusia yang sempurna di setiap hal. Lagipula harus berlari mengelilingi sekolah sekaligus berbicara denganmu merupakan hal yang sulit untuk dilakukan secara bersamaan." Setelah Sinta berkata demikian, ia melanjutkan kegiatan larinya diikuti dengan Tama di sampingnya.

Ruri yang tahu jika Tama mengikuti Sinta yang sedang berlari pun segera mencari keberadaan Saka. Dan saat ia menoleh ke belakang, ia mendapati Saka yang berlari menuju ke arahnya.

"Kamu sudah tahu jika Tama hari ini menjemput Sinta?"

"Ya, tadi sebelum meneleponmu, ia lebih dulu meneleponku untuk memberitahuku jika ia berangkat bersama denganmu sebab ada Tama di ruang tamu." Jawaban Ruri mengundang anggukkan dari Saka.

Ruri yang sudah sejak lama hendak berbicara dengan Saka sampai saat ini pun belum menyampaikan niatnya itu. Ia belum menemukan waktu yang tepat untuk berbicara dengannya, namun setelah melihat jika Tama tak kunjung menyerah atas Sinta, ia pun memantapkan diri untuk berbicara dengan Saka.

"Sa, nanti malam aku ke rumahmu, ya." Saka menoleh ke arah Ruri dan mengangguk.

Ruri menepati janjinya untuk pergi ke rumah Saka. Kedua sahabat itu akhirnya bertemu di rumah Saka untuk berbicara mengenai perasaan Saka. Ruri datang ke rumah sahabatnya ini dengan maksud agar keberadaan Tama tidak menjadi hal yang nantinya akan membuat Saka sakit hati. Namun, tanpa mereka ketahui, setelah itu nama atau raga Tama tak lagi muncul di antara ketiga sahabat itu karena ia berhenti mengejar cinta Sinta. Bukannya usaha Ruri menjadi tidak berguna, hanya saja itu akan berguna nanti saat ada seseorang yang mendekati Sinta. Sebab tanpa sepengetahuan mereka juga, nantinya akan muncul lelaki lain yang mendekati Sinta.

"Sebentar, ya. Tante mau panggil Saka dulu." Kata mama Saka.

"Ya, Tante."

Beberapa menit Ruri menunggu Saka di ruang tengah sebelum dilihatnya Saka berjalan ke arahnya dari kamar.

"Sendirian, Ri?" Tanya Saka.

"Iya. Sebenarnya aku sudah sejak lama mau ke rumahmu, tapi belum menemukan waktu yang tepat." Ucapan Ruri mengundang tanya di benak Saka.

"Ada apa?"

"Jadi, aku mau tanya ke kamu, Sa. Bukannya aku mempertanyakan persahabatan kita, tapi aku hanya ingin memastikan tentang perasaanmu kepada Sinta." Mendengar pertanyaan Ruri yang menjurus ke dalam topik sensitif itu membuat Saka agak salah tingkah. Namun ia berusaha untuk tetap tenang.

"Aku tahu jika kamu memang orang yang peka, Ri. Dan untuk urusan ini, aku juga tahu jika kamu cepat atau lambat akan membicarakan ini denganku."

Mendengar perkataan Saka, Ruri bertanya untuk memastikan kesimpulannya.

"Jadi, benar jika kamu menyukai Sinta lebih dari teman?"

"Ya. Sama seperti lelaki kebanyakan. Pesona Sinta sulit untuk ditolak."

"Lalu apakah kamu tidak ingin membicarakan hal itu ke Sinta? Kamu tentu tahu sendiri kan jika Sinta sulit untuk menerima hal yang tidak jelas? Maksudku, dia akan sangat menghargai sesuatu yang diutarakan, yang dibicarakan dengan jelas."

"Aku memiliki keinginan yang besar untuk itu, tapi ketakutanku akan kehilangan persahabatan kita jauh lebih besar."

"Sinta tak seperti perempuan kebanyakan. Aku yakin jika dia akan mengerti jika kamu berbicara terus terang. Sebab jika kamu memendamnya lebih lama, kamu juga akan tersakiti lebih lama lagi." Ucapan Ruri membuat Saka terdiam.

Setelah mereka selesai berbicara, Ruri segera pamit untuk pulang ke rumahnya. Saka berpikir sejenak soal perkataan Ruri, dan dirinya pun memutuskan untuk mengejar cinta Sinta dan mengungkapkan perasaannya kepada Sinta.

Banyak hal yang perlu dipertimbangkan. Sebab urusan persahabatan dan juga percintaan tak bisa dipersatukan. Saka memendam perasaannya cukup lama dan ia pun berkali-kali tersakiti, sebab begitu banyak lelaki yang mengejar cinta Sinta. Namun Ruri sebagai sahabat baiknya memberikan dirinya banyak dukungan. Ruri membuat dirinya yakin untuk setidaknya berhenti memendam rasa. Karena rasa seharusnya diutarakan, tak peduli kau sedang ada di Timur, Barat, atau Selatan.

Saka memulai langkah besarnya di dalam mengutarakan rasa, walau mungkin orang lain akan menilai jika itu sebuah langkah kecil. Tapi bagi persahabatan mereka, hal itu merupakan suatu langkah yang besar. Saka mulai mengajak Sinta untuk pergi dengannya, hanya berdua, tanpa Ruri. Terkadang jika Ruri diajak, tak lupa ia mengundang Banu untuk ikut serta. Seperti menonton di bioskop, makan di kafe, jalan-jalan di bazar, dan masih banyak lagi.

Puncak dari langkah perubahan Saka adalah saat Sinta dihadapkan oleh sebuah permasalahan dengan seorang lelaki dan juga perempuan.

"Kalian kenal dengan Reksa?" Tanya Sinta.

"Reksa dari angkatan kita?"

"Aku butuh sebuah jawaban, Ri. Bukan pertanyaan."

"Setahuku Reksa itu anak kelas IPS B. Seangkatan dengan kita." Jelas Saka.

"Mungkin memang dia orangnya." Kata Sinta.

"Memangnya kenapa?" Tanya Saka.

"Dia memintaku untuk menyimpan nomor teleponnya. Ngomong-ngomong, dari mana dia mendapat nomorku?"

"Nomormu ada di grup angkatan, kalau kamu lupa."

"Iya, aku ingat. Tapi dari mana dia tahu jika itu nomorku? Aku kan sudah menggunakan nama yang tak akan orang lain kira jika itu adalah aku."

"Memangnya nama apa yang kamu gunakan?"

"Bukan Sinta." Kata Sinta yang mengundang tatapan aneh dari kedua sahabatnya.

"Sepertinya aku harus menggantinya. Akan kuubah supaya jadi lebih meyakinkan. Bukan Sinta, sungguh." Dan kedua temannya hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Setelah kejadian dimana Sinta menanyakan perihal nama Reksa, ia semakin sering menyebut nama itu di dalam percakapannya dengan sahabat-sahabatnya

"Kalian tahu tidak hewan yang paling miskin itu apa?" Tanya Sinta.

"Tidak tahu." Jawab Ruri.

"Nyamuk. Soalnya kalo dia kaya, pasti dia tidak akan menghisap darah. Melainkan dia akan menghisap rokok karena mampu membelinya." Sinta menjawab dengan tawa nyaring. Ia tak bisa berhenti tertawa bahkan setelah beberapa menit.

"Berhentilah tertawa sekarang jika tak ingin perutmu sakit."

"Tapi itu sangatlah lucu, Ri."

"Itu tidak lucu, Ta. Coba kamu lihat ekspresiku dan Saka. Tidak ada satupun dari kami yang tertawa."

"Masa, sih? Padahal lucu loh. Iya kan, Sa?"

"Aku rasa tidak."

"Itu lucu, ih. Maksudku, itu adalah pertanyaan yang remeh sekaligus aneh. Memangnya siapa yang tahu jika ada pembagian kasta sosial berdasarkan harta di kalangan hewan."

"Memangnya siapa yang memberitahumu lelucon itu?" Pertanyaan Saka membuat Ruri menolehkan pandangannya ke arah Sinta. Ia penasaran dengan jawaban dari pertanyaan Saka, sebab jika dipikir-pikir, Sinta tidak jago dalam membuat sebuah lelucon. Ia hanya ahli di dalam menertawakan.

"Reksa. Kemarin dia bertanya tentang pertanyaan itu kepadaku, sebab kami sedang membahas tentang nyamuk yang ada di rumahku."

"Kamu bertukar pesan dengannya?" Tanya Saka.

"Ya, dia kawan mengobrol yang asyik. Sebenarnya dia sama sepertiku yang suka dengan hal-hal receh."

Suasana canggung dirasakan oleh Ruri dan Saka. Mereka terdiam saat mendengar perkataan Sinta yang membuat mereka sadar jika nama Reksa nantinya akan semakin sering disebut oleh Sinta.

Semakin banyak nama Reksa disebut di dalam percakapan antara Sinta, Ruri, dan juga Saka. Bahkan bukan hanya namanya yang hadir di dalam percakapan, namun juga raganya. Ia berkali-kali hadir di antara jam istirahat, mengobrol selepas jam-jam sekolah, atau saat sedang ada jam olahraga. Reksa terlihat semakin dekat dengan Sinta yang semakin membuat Saka merasa kehilangan kesempatan.

"Besok sore kamu ada acara, Ta?" Tanya Reksa kepada Sinta.

"Tidak ada. Memangnya kenapa?"

"Aku ada final futsal besok sore. Kamu mau datang?"

"Mau. Jam berapa?"

"Jam empat sore. Besok mau aku jemput?"

"Tidak usah deh. Aku berangkat sama Ruri dan Saka saja."

"Oh, dengan mereka."

Ruri dan Saka diam di tempatnya masing-masing, mereka tahu jika maksud Reksa mengajak Sinta untuk menontonnya bertanding futsal adalah dengan tidak mengajak Ruri dan juga Saka. Namun, untungnya Sinta bukan orang yang mudah untuk menangkap maksud terselubung milik orang lain. Atau bisa saja Sinta tahu, hanya saja dia berpura-pura untuk tidak tahu. Saka berharap jika Sinta berpura-pura tidak tahu.

"Ya sudah, sampai jumpa besok sore." Kata Reksa sambil berjalan menuju kelasnya.

"Kamu mengajakku untuk nonton pertandingan futsal?" Tanya Ruri.

"Iya. Memangnya kamu tidak mau?"

"Kamu yakin aku juga diajak?"

Untuk beberapa saat Sinta terdiam, "Kalau memang kamu tidak diajak, Reksa seharusnya bicara jika dia hanya mengajakku."

"Tidak semua lelaki bisa berterus terang, Ta." Kata Saka yang membuat kedua perempuan itu terdiam.

Setelah percakapan itu, mereka duduk di bangku masing-masing.

"Kamu juga ikut kan, Sa?" Tanya Sinta kepada Saka.

"Iya."

"Bagaimana jika Banu juga mau ikut?" Tanya Ruri kepada kedua sahabatnya.

"Boleh, nanti biar aku berangkat dengan Saka. Boleh kan, Sa?"

"Tentu, besok aku jemput."

Keesokan harinya mereka bersiap untuk pergi menonton pertandingan futsal. Sinta bersiap untuk mandi saat Ruri menghubunginya.

"Nanti kumpul di rumah kamu saja dulu. Lalu, kita akan pergi bersama untuk menonton pertandingannya."

"Oke. Aku mau mandi dulu, ya."

"Iya, nanti aku sampai di rumahmu kira-kira pukul setengah empat. Kamu beri kabar juga kepada Saka."

"Oke." Sinta pun menghubungi Saka. Ia memberitahu tentang percakapannya dengan Ruri dan ia menyetujuinya.

Beberapa menit setelahnya, mereka semua telah berkumpul di rumah Sinta dan bersiap-siap untuk pergi. Lokasi pertandingan futsal tidak jauh dari rumah Sinta, hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit perjalanan. Saat sampai di lokasi pertandingan futsal, mereka melihat banyak orang yang mereka kenal. Lalu saat seseorang berlari ke arah mereka dari kejauhan, Sinta melambaikan tangan.

"Hai, sudah sampai?" Reksa bertanya kepada Sinta dan yang lainnya.

"Aku punya pertanyaan yang bisa menyaingi pertanyaanmu." Kata Sinta.

"Apa?"

"Kamu belum bertanding?"

"Kurasa pertanyaanmu belum cukup kuat untuk menandingi pertanyaanku. Sebab bisa jadi jawabannya adalah sudah."

"Memang, lagipula siapa yang bilang jika persaingan antara pertanyaanku dan pertanyaanmu bisa kumenangkan? Yang tidak jelas itu kamu, Re. Mana mungkin aku bisa menyaingi ketidakjelasan pertanyaanmu."

"Ya, kalian berdua tidak jelas. Siapa pula orang yang mau berdebat di tengah lalu lalang manusia. Lebih baik jika kita duduk di tempat duduk yang masih banyak tersedia di sana." Kata Banu sambil berjalan menuju tribun penonton.

"Ayo, Ta." Ajak Saka.

"Aku duduk di sana, ya." Kata Sinta kepada Reksa.

"Iya, sebentar lagi aku bertanding."

"Ya, pastikan jika kamu menendang ke gawang yang benar." Kata Sinta yang membuat Reksa tertawa.

Pertandingan berjalan cukup seru. Kedua tim berlarian bukan hanya karena mengejar bola dan poin, namun juga berlarian dikejar waktu. Mereka adalah tim yang sama-sama ingin keluar sebagai pemenang di dalam pertandingan ini sehingga skor yang didapat juga saling mengejar. Sinta baru pertama kali melihat pertandingan futsal, karena sebenarnya ia tak pernah melihat pertandingan yang berhubungan dengan bidang olahraga sebelumnya. Namun setelah mengetahui jika pertandingan futsal bisa menjadi seseru ini, sepertinya ia akan lebih sering menonton pertandingan olahraga.

Reksa adalah pemain yang andal di dalam pertandingan futsal, ia mencetak gol pertama dan kedua untuk timnya. Dan berkali-kali hendak membobol gawang tim lawan. Sepertinya ia mendapat suntikan semangat dari kehadiran Sinta di pertandingan ini sebagai penonton. Kerap kali Reksa mencuri pandang ke arah Sinta yang dengan semangat memberinya dukungan. Ia bersorak dengan suara lantang, sesekali berdiri untuk bersorak lebih kencang. Sinta adalah pendukung yang totalitas di dalam melakukan pekerjaannya dan hal itu membuat Saka resah.

"Aduh, Ta. Pelankan sedikit suaramu. Di sana ada yang membawa pengeras suara tapi suaramu bahkan lebih keras darinya." Keluh Banu.

Seperti Ruri, Banu tahu jika Saka menyukai Sinta. Dan dirinya paham jika saat ini keadaan Saka sedang tidak baik-baik saja. Yang menjadi pembeda di dalam diri Banu dan Ruri adalah Banu menjadi orang yang berani berekspresi, walaupun terkadang yang ia ekspresikan adalah suara kritikan pedas yang menusuk.

"Seharusnya aku membawa pengeras suara untuk menusuk gendang telingamu. Agar kamu juga rasakan bagaimana tajamnya ucapanmu menusuk orang lain." Kata Sinta kepada Banu.

Saka yang mendengar perkataan Sinta kepada Banu pun tertawa, "Kamu benar, tapi maksud Banu adalah kamu duduklah. Berteriak untuk mendukung itu boleh, tapi jangan berlebihan. Kamu tidak mau jika suaramu serak dikemudian hari, kan?"

"Saka benar, seharusnya kamu bisa lebih peka, Ta. Pelajari baik-baik maksud yang ingin disampaikan oleh orang lain." Kata Banu.

"Iya, mereka benar." Kata Ruri menambahkan.

Sinta pun duduk dengan tenang. Beberapa menit setelah Sinta bersikap lebih tenang, pertandingan futsal pun selesai. Pertandingan dimenangkan oleh tim Reksa yang mencetak skor 3-2.

"Selamat untuk kemenangan timmu, Re!" Seru Sinta kepada Reksa.

"Pertandingan yang bagus!"

"Selamat, Re!"

"Ya, selamat untukmu dan juga timmu!" Ruri, Saka, dan Banu bersahutan memberi selamat kepada Reksa

"Terima kasih semuanya! Bagaimana pertandingannya? Kamu bilang kepadaku jika ini pertama kalinya kamu nonton pertandingan futsal, kan?" Reksa mengucapkan terima kasih kepada Sinta dan yang lainnya yang dilanjutkan dengan pertanyaan khususnya kepada Sinta.

"Keren sekali! Mungkin setelah ini aku akan lebih sering menjadi penonton pertandingan olahraga. Sebab aku bisa dengan sesuka hati berteriak tanpa takut dicibir oleh orang lain. Tak perlu jauh-jauh dan tak perlu biaya mahal, aku bisa melepas stres dengan berteriak. Tapi mungkin lain kali aku tak akan mengajak Banu. Karena dia adalah penonton yang cerewet." Kata Sinta sambil melirik sinis Banu.

"Andai kamu tahu seberapa menyebalkannya suaramu, apalagi ketika kamu berteriak." Kata Banu yang mengundang tawa Ruri, Saka, dan Reksa.

"Setelah ini kalian langsung pulang?" Tanya Reksa.

Pertanyaan Reksa membuat muncul kekhawatiran di benak Saka, Ruri, dan Banu.

"Iya, aku belum mengerjakan tugas bahasa Indonesia." Kata Sinta.

"Kalian tidak mau beli makan atau minum dulu? Aku yang traktir." Kata Reksa.

"Aku bukan orang kaya yang bisa dengan sombong menolak rezeki, tapi PR bahasa Indonesia sangat banyak dan jika tak segera kuselesaikan, aku mungkin akan menolak rezeki yang lain." Jelas Sinta.

"Rezeki yang lain?" Tanya Reksa.

"Ya, mungkin aku akan dihukum di jam istirahat dan melewatkan traktiranmu esok hari di kantin." Kata Sinta dengan cengiran khasnya.

Reksa tertawa keras dan yang lainnya menggeleng-gelengkan kepala, "Oh, aku mengerti. Baiklah, aku akan traktir kalian esok hari di jam istirahat."

"Kamu lihat, Banu. Ucapanmu yang menyakiti hatiku membuatmu tak bisa mendapat traktiran Reksa." Kata Sinta yang membuat Banu mencibirnya.

Dan ya, kekhawatiran yang dirasakan Ruri, Saka, dan Banu berlanjut hingga tak ditentukan batas waktunya.

Banu memang siswa dari sekolah lain. Ia hanya berada di sekolah yang sama dengan Ruri dan Sinta saat berada di sekolah menengah pertama, sebab saat di jenjang selanjutnya ia lebih memilih bersekolah di SMK, bukan SMA.

Sebelum mereka semua memutuskan untuk pulang, mereka terlebih dulu mengobrol satu sama lain. Mereka membicarakan tentang pertandingan futsal dan sesekali terjadi perdebatan antara Sinta dengan Banu. Kedua teman itu memang sedari dulu tidak akur sebab sama-sama memiliki karakter yang keras. Sinta dan Banu, mereka memiliki kesamaan yakni sama-sama suka berkata sinis yang menyakiti hati lawan bicara. Dan hal itulah yang membuat mereka tak bisa berhenti berdebat.

Diantara serunya obrolan mereka dan suara tawa atau gerutuan yang mereka hasilkan, banyak orang yang memperhatikan. Mereka paling banyak memandang orang yang tadi mencetak gol di pertandingan futsal dan seorang perempuan yang tak berhenti mengoceh sedari tadi yang tak lain dan tak bukan adalah Reksa serta Sinta. Banyaknya tatapan itu didominasi oleh tatapan penasaran dan kekaguman, sebab bagaimana tidak, dari kelima orang yang sedang mengobrol itu tak satupun dari mereka yang berparas biasa saja. Namun, dari sekian banyaknya tatapan kekaguman, ada satu tatapan yang begitu menusuk dan panas yang mengarah kepada Sinta.