webnovel

-46-

"We're on the new page

hope that we're not gonna running out of ink

cause i have a lot of word to say.

But i'll keep it short:

The moon is beautiful is'nt it?"

*

Kertas puisi di jaket Saka itu masih menjadi misteri. Hingga sore menjelang dan kedua sahabatnya itu pulang, kertas tersebut tidak sampai di tangan Sinta. Sinta berpikir keras akan hal tersebut, apakah memang benar jika Saka adalah penulis puisi misterius itu? Jika memang benar dirinya adalah penulis puisi itu, bagaimana bisa begitu banyak puisi yang telah sampai di tangan Sinta padahal dirinya berada jauh dari tempat Sinta? Apa mungkin jika selama ini Saka meminta orang lain untuk menuliskan puisi tersebut ke dalam kertas dan mengirimkannya kepada Sinta? Hal tersebut bisa saja terjadi, karena Prada menjadi salah satu orang pengirim puisi juga.

Spekulasi demi spekulasi berputar di kepala Sinta hingga malam hari, sampai Bunda mendatangi kamar Sinta dan memberitahukan jika Bima menunggunya di ruang tamu.

"Mas Bima? Kok aku tidak mendengar suara motornya?" Tanya Sinta kepada Bunda.

"Bagaimana bisa kamu mendengar suara motor ketika kamu sibuk melamun?" Jawab Bunda dan dibalas cengiran oleh Sinta.

Sinta berjalan menghampiri Bima yang seketika dirinya berdiri saat melihat kedatangan Sinta.

"Ya sudah, kalian mengobrol dulu." Kata Ayah sambil berdiri.

"Diminum ya minumannya, Nak Bima." Kata Bunda.

"Iya, Om, Tante. Terima kasih."

Sinta duduk di salah satu kursi, Bima juga melakukan hal yang sama. Malam ini Bima datang dengan membawa aura yang berbeda, entah kenapa rasanya lebih kelam dari biasanya. Sinta juga bisa melihat ada sesuatu di mata Bima yang membuat dirinya bergidik.

"Apa saja yang kalian bicarakan?" Pertanyaan Bima membuat Sinta langsung memikirkan kedua sahabatnya.

"Banyak hal, lebih banyak kami mengomel tentang Saka yang tiba-tiba datang."

"Apa dia memberitahumu alasan kenapa dia datang?" Sinta mengerutkan dahinya ketika mendengar Bima bertanya hal itu.

"Tidak, kami tak bertanya juga. Kenapa? Rasanya seperti ada sesuatu yang kau sembunyikan."

"Bukan aku yang menyembunyikan sesuatu. Percayalah kepadaku, Ta. Saka tak sebaik yang selama ini kau kira."

"Apa maksudmu berkata demikian?" Sinta begitu tak paham dengan maksud dari perkataan Bima.

Bima menghela napas, saat ini ia mencoba untuk menenangkan dirinya yang seperti ingin meledak. Ia menenangkan dirinya supaya tidak berkata-kata yang nantinya justru membuat dirinya dan Sinta mengalami hal yang buruk. Ditambah saat ini dirinya berada di rumah Sinta dengan kedua orang tua Sinta yang memiliki potensi untuk mendengar percakapan mereka.

"Boleh kita bicara di depan saja?" Tanya Bima. Sinta yang merasa kebingungan itu menganggukkan kepalanya, Bima menghabiskan minuman yang diberi oleh Bunda sebelum dirinya bangkit dari duduknya.

Saat ini mereka telah duduk di kursi yang ada di depan rumah Sinta. Bima menatap Sinta lekat-lekat sebelum berbicara secara serius, "Aku tahu ucapanku kali ini akan membuatmu tak percaya dan menganggapku pembohong besar. Tapi percayalah, aku bukanlah seorang pembohong. Selama ini aku berusaha untuk melepaskanmu dari sebuah masalah yang tak kau ketahui, hanya saja, ada seseorang yang menganggapku seorang pembohong." Bima pun menceritakan kejadian yang dia tahu soal Saka.

*

Bima menghampiri Saka ketika Prada sedang berada di kamar mandi setelah kejadian perkelahian Saka dengan Reksa beberapa jam lalu. Ia mengetuk pintu kamar Saka sebelum masuk. Di atas kasur, Saka yang sedang mengompres lukanya dengan es batu yang diletakkan di dalam sebuah kain itu menoleh ke arah Bima yang berdiri di depan pintunya.

"Masuk, Mas." Kata Saka yang membuat Bima berjalan masuk.

Saka menegakkan badannya dan duduk di atas kasurnya. Bima duduk di sofa yang ada di kamar Saka.

"Bagaimana keadaanmu?" Tanya Bima kepada Saka setelah dirinya duduk.

"Tidak baik. Luka ini pasti akan membekas."

"Bagaimana bisa dia datang kemari dan tak lama setelah itu aku harus memisahkan kalian dari perkelahian?"

Saka tertawa kecil mendengar pertanyaan yang dilontarkan Bima, "Dia mengira aku mengancam hendak membunuh adiknya. Yang benar saja. Aku bahkan tak tahu jika dia punya adik." Kata Saka yang membuat Bima diam di tempat duduknya.

*

Bima menjelaskan kejadian yang dirinya tahu tentang Saka bertahun-tahun lalu.

"Kau tentu ingat saat di mana wajah sahabatmu itu terdapat sebuah luka. Aku di sana ketika ada seorang lelaki bernama Reksa menonjok pelipis Saka dan membuat bekas luka di sana. Reksa datang dengan marah dan menuduh Saka telah meneror dirinya dan adiknya. Saat itu aku percaya dengan alibi Saka yang mengatakan jika dirinya juga mendapat teror yang sama tentangmu, dan membuktikan jika bukan dirinyalah pelaku teror itu, melainkan orang lain. Hingga, aku tahu jika Reksa benar dan Saka telah berbohong. Aku mengetahui hal tersebut karena aku mendengar semua percakapan Reksa dan Saka ketika berdebat. Tak ada satu kata pun yang menjelaskan teror apa yang Reksa atau adiknya dapat. Tapi dengan santainya Saka bisa mengetahui hal tersebut. Reksa tak memberitahu teror seperti apa, dan Saka bisa tahu. Apa yang dia katakan padamu ketika ada bekas luka di pelipisnya waktu itu?" Sinta terdiam mendengar semua ucapan Bima. Ia sungguh terkejut dengan semua cerita yang Bima ceritakan padanya itu dan tak mampu menjawab pertanyaan yang Bima lontarkan.

"Tolong percayalah padaku, jauhi Saka. Aku percaya jika selama ini dialah yang membuat lelaki yang mendekatimu berhenti melakukan itu karena mendapatkan teror dari Saka. Dia pelakunya. Dan yang membuat Zizi mengurungmu di kamar mandi, itu juga ide Saka." Perkataan Bima menyambar Sinta dengan keras. Rasanya ada sebuah petir besar dan secara cepat menyambar tubuh Sinta yang kaku. Sinta yang sebelumnya tak bisa bergerak itu semakin terpaku di tempatnya.

"Aku," Sinta berkata perlahan, "Aku tak tahu apa yang sedang kau bicarakan."

Bima yang mendengar hal itu pun langsung berkata, "Tolong, tolong percaya padaku. Aku tak ingin dia melakukan hal buruk kepadamu lagi saat kau masih bersahabat dekat dengannya. Dia tak ingin kita bersama, sungguh dia tak akan membiarkan itu. Jauhi dia, karena aku tak ingin kau mendapat rasa sakit yang lebih dari sebelumnya."

"Katakan padaku jika semua itu adalah kebohongan." Sinta berkata begitu pelan, suaranya tertahan di tenggorokkan karena saat ini ia mencoba menahan air mata yang begitu ingin menghirup udara bebas.

"Aku tidak berbohong." Sinta menggeleng dengan keras, berusaha menghalang semua suara-suara Bima yang terus terngiang di dalam kepalanya. Tangisnya pecah sudah.

Sinta menangis dengan begitu derasnya air mata itu mengalir dari matanya. Bima yang tahu jika Sinta begitu terpukul oleh semua cerita yang ia ceritakan itu pun mencoba menenangkan Sinta. Tangannya menyentuh pundak Sinta untuk memberinya ketenangan, namun tangan Sinta menepisnya.

"Jangan sentuh aku. Berhenti mengatakan hal itu, berhenti!" Seru Sinta kepada Bima.

"Maafkan aku yang harus mengatakan hal ini. Tapi kau harus tahu kebenarannya. Maafkan aku tak bisa memberitahumu lebih cepat sebelum sesuatu yang buruk menimpa dirimu."

"Berhenti mengatakan semua itu! Saka tak mungkin melakukan itu! Dia adalah sahabat baikku!" Sinta berkata demikian dengan berdiri dari duduknya sambil menunjuk-nunjuk Bima. Ia terus menangis dan berkata dengan sesenggukkan. Bima yang tahu jika saat ini Sinta sedang emosi pun mencoba untuk tetap tenang. Ia berdiri dari duduknya dan berkata, "Aku tahu semua ini sulit untuk dipercaya, tapi itu semua adalah fakta."

"Tidak! Saka tak mungkin melakukan itu! Kau hanya tak suka dengannya dan kau mengarang semua itu!"

"Aku tidak mengarangnya."

Tangis Sinta semakin keras dan membuat Bima harus menenangkannya dengan segera, "Maafkan aku."

"Kenapa? Kenapa kau melakukan ini?"

"Maaf, aku tak mau kau terus terikat dengan seseorang yang merusak hidupmu dan bertindak seolah-olah dirinya adalah orang yang baik."

"Tidak mungkin. Tidak mungkin Saka melakukan semua itu." Sinta menghentikan tangisnya dan mengusap air matanya dan berkata, "Pergilah." Bima terdiam di tempatnya.

"Pergilah. Aku butuh waktu sendirian." Kata Sinta sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya, sebelum dirinya masuk, Bima menahan tangan Sinta.

"Tolong percaya padaku."

"Berhentilah membicarakan hal itu!" Sinta melepaskan genggaman tangan Bima dan membentaknya, "Kau hanya tak suka dengannya dan menuduhnya dengan semua omong kosongmu itu! Saka bukan seseorang seperti itu! Dia sahabatku yang baik!"

"Dia orang dibalik perlakuan Zizi. Aku menyuruhnya untuk menemuiku, itu alasan kenapa dia datang kemari."

Sinta tertawa sinis, "Kau tahu? Kurasa kau memiliki ketertarikan dengan perempuan itu. Hal itu terbukti dari setiap tindakanmu yang membelanya secara tidak langsung. Kau tak mau dirinya mendapat perlakuan buruk, padahal dia pantas untuk mendapatkannya!"

"Tidak, aku membelamu di sini. Dan akan selalu begitu." Kata Bima dengan dingin.

Sinta menggeleng dan tertawa mengejek, "Tidak. Kau tak pernah membelaku. Pergi dan bela saja perempuan itu sesukamu! Tinggalkan aku dan pergi kau bersamanya!" Bentak Sinta kepada Bima. Bima terdiam, dia menatap Sinta lekat-lekat, "Katakan sekali lagi dan tatap mataku ketika kau mengatakannya."

Sinta terdiam. Dia menghela napas sebelum berdiri tegak di hadapan Bima, Sinta membalas pandangan mata Bima dengan tatapan mata yang begitu serius, "Tinggalkan aku dan pergilah ke perempuan yang selalu kau bela itu." Bima pun pergi meninggalkan Sinta.

Bima berjalan pergi meninggalkan Sinta, namun baru beberapa langkah Bima berjalan, ia menghentikan langkahnya dan berbalik, "Tanya Ruri soal ini, dia tahu semuanya sejak lama. Tapi dia sama sepertimu yang tak percaya denganku." Bima kembali berbalik dan meninggalkan Sinta yang mematung.

Sinta berlari masuk ke kamarnya. Beberapa menit setelahnya, Ruri datang dengan napas terengah. Bunda mengantar Ruri ke depan kamar Sinta dan ia membukanya perlahan. Ketika Ruri masuk, Bunda berjalan kembali menuju lantai satu.

Ruri masuk ke dalam kamar Sinta dan melihat Sinta meringkuk di atas kasurnya. Ia tampak begitu sedih dengan air mata dan suara sesenggukkan itu. Ruri pun menghampiri Sinta dan memeluknya. Sinta yang tahu jika Ruri datang itu pun membalas pelukannya dan menangis semakin keras.

"Mas Bima, Ri." Kata Sinta dengan sesenggukkan.

"Sudah, ceritanya nanti saja. Tak apa, tenangkan dulu dirimu." Kata Ruri.

Sinta menegakkan tubuhnya dan mengusap wajahnya kasar. Ia menatap Ruri dengan serius, "Apakah kau tahu tentang Saka?" Pertanyaan Sinta membuat Ruri terkejut. Rupanya, Bima telah mengambil langkahnya dalam memberitahu Sinta tentang Saka.

Sinta yang melihat adanya keterkejutan di wajah Ruri pun semakin mencecarnya, "Katakan padaku apa yang kau tahu." Ruri perlahan membuka mulutnya, "Aku tak yakin dengan semua ini, tapi sampai saat ini pun aku tak tahu siapa yang benar meski aku telah mencoba mencari kebenaran sejak kita berada di tahun terakhir masa SMA."

*

Ruri menoleh ke arah sumber suara. Keberadaan seseorang di belakangnya itu membuat dirinya terkejut bukan main. Perkara menemukan foto Sinta dengan noda merah di dalam tas Saka adalah hal yang sudah begitu mengejutkan ditambah dengan kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja berada di belakangnya.

"Letakkan kembali foto itu ke tempatnya semula." Kata Bima. Ya, orang yang berdiri di belakang Ruri dan memergoki dirinya tengah mengamati foto Sinta bernoda merah dari tas Saka adalah Bima. Ruri tak bisa memproses segala hal dengan baik, sehingga dirinya masih terpaku di tempatnya. Bima pun merebut foto-foto yang ada di tangan Ruri dan meletakkannya kembali ke tempat semula. Ia memastikan jika semuanya tampak terlihat tak mencurigakan sebelum menarik Ruri untuk berbicara dengannya di depan rumah Prada.

"Aku tahu semua ini akan terdengar tak masuk akal, mengingat kau mengenal Saka sebagai sahabatmu yang baik. Tapi, segera jauhi dia. Terutama jauhkan dia dari sahabatmu yang lain, Sinta. Saka memiliki obsesi gila dengan sahabatmu itu sehingga tak membiarkan lelaki lain memilikinya kecuai dirinya. Ia mencipta teror yang membuat semua lelaki berhenti mendekati Sinta. Foto-foto yang kau lihat tadi adalah ulah Saka. Dia membuat foto-foto itu dan menyimpannya, ia akan menggunakannya ketika ada orang lain yang menuduhnya sebagai pelaku teror untuk meyakinkan mereka jika bukan dia pelakunya." Perkataan Bima membuat Ruri semakin terkejut, ia berkata lirih, "Apa?"

"Dengarkan aku, jauhkan Saka dari sahabatmu jika kau ingin semua kegilaan ini berhenti. Aku tahu kau sulit mempercayai ini, tapi jika memang kau ingin sahabatmu tak mendapatkan hal-hal yang buruk, segera jauhkan Saka darinya. Jika kau tak melakukan itu, aku sendiri yang akan melakukannya."

*

"Aku tak tahu dengan kebenaran perkataan Kak Bima waktu itu, tapi sejak itu aku mulai mencari-cari kebenaran. Kami sering bertemu setelah itu untuk bertanya lebih lanjut tentang apa saja yang dia ketahui dan yang tak aku ketahui. Dia menceritakan padaku tentang luka di pelipis Saka dan kejadian itulah yang membuat Bima mengetahui semuanya. Dia bilang jika waktu itu Reksa berkata tentang teror yang didapat adiknya, hingga saat Kak Bima mencoba bertanya kembali ketika ia tahu jika Saka berbohong dengan kakaknya soal luka itu, Saka berbicara jika adik Reksa mendapat teror ancaman pembunuhan. Padahal waktu itu Kak Bima tak mendengar teror macam apa yang didapatkan oleh adik Reksa, dan Saka tahu akan hal itu. Jika kamu pernah bertanya tentang alasan kenapa aku melarangmu satu kampus dengan Saka, sebenarnya alasan inilah yang membuatku melakukannya. Maaf, sewaktu itu aku terdesak dengan waktu dan tak memberitahukanmu tentang hal itu karena hal yang aku ketahui begitu menakutkan." Sinta terdiam mendengar perkataan Ruri. Dia tak mengira jika Ruri akan mengatakan hal yang sama persis dengan Bima, dan ia mengetahui semua itu bahkan sejak saat mereka masih SMA.

*

Bima melajukan motornya menembus malam. Dia pergi menuju tempat kosnya untuk melakukan sesuatu. Saat ramainya kendaraan memenuhi jalanan, Bima melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia tak peduli dengan segala bunyi klakson yang pengendara lain tujukan padanya, tujuannya hanya ingin supaya dirinya cepat sampai di tempat kosnya.

Beberapa menit setelahnya Bima telah sampai, ia memarkirkan sepeda motornya di sembarang tempat di halaman kosnya. Ia berlari masuk dan segera membuka pintu kamar kosnya. Berjalanlah ia menuju meja yang ada di kamar kosnya dan membuka laci yang ada di sana. Bima mengeluarkan semua kertas-kertas dan semua amplop putih dari dalam sana. Semua kertas itu ia masukkan paksa ke dalam saku jaketnya, setelah semua masuk, Bima berjalan pergi keluar kamar kosnya dengan tak lupa menyambar korek api yang ada di atas mejanya.

Ia mengunci kembali pintu kamar kosnya sebelum berjalan perlahan namun pasti menuju halaman depan tempat kosnya. Bima berjalan ke halaman depan, terus berjalan maju. Ia meninggalkan sepeda motornya yang terparkir sembarangan itu. Terus, terus berjalan menuju lahan kosong yang ada di dekat tempat kosnya. Di sana, tanah terhampar dengan luas yang tak seberapa. Tepat di sebelah tanah kosong ini ada sebuah lapangan yang biasa digunakan anak-anak bermain. Di malam seperti ini, tak ada orang di tempat ini, dan tanah kosong yang sungguh kesepian tanpa sedikit pun ditemani oleh rerumputan yang biasanya menyembul di permukaan itu akan menjadi tempat di mana Bima meninggalkan semua hal yang ia mulai.

Kertas-kertas serta amplop putih itu ia keluarkan dari dalam saku jaketnya. Ia melihat ke satu per satu kertas itu. Banyak sekali guratan pena yang hatinya itu tuliskan. Meski tangannya yang menulis, tapi sebenarnya hatinya lah yang ada di balik itu semua. Hanya karena ia terlalu malu, tangannya lah yang akhirnya menggantikannya.

Bima menghentikan gerakan tangannya yang satu per satu membaca tumpukan kertas yang ia baca itu. Satu kertas yang berisi sebuah puisi pamungkas. Seharusnya puisi ini telah lama tak berada di sini, melainkan sampai ke perempuan yang selama ini pantas mendapatkannya. Bima membaca perlahan puisi yang ia tulis itu.

Tangannya melemparkan kertas puisi pamungkas itu dan melemparkan kertas lainnya ke atas tanah. Tangan satunya merogoh saku jaketnya dan mengambil amplop putih dari dalam sana, ia melemparkannya juga, terjatuh ia di atas kertas-kertas sebelumnya. Tangan kirinya memegang satu kertas tersisa, tangan kanannya mengambil korek api di saku celananya. Ia menyalakan api di sana, memandanginya sejenak. Melihat kilatan api yang sama persis dengan emosinya yang kini berkilat-kilat.

Api itu ia dekatkan ke arah kertas yang tangan kirinya pegang, membiarkannya membakar kertas itu dan segala kata yang tertulis di sana. Bima melihat api yang perlahan menghapus kata demi kata yang ada di kertas itu sebelum melemparkan kertas itu ke arah tumpukan kertas dan amplop yang sebelumnya telah ia lemparkan.

Kertas itu melayang-layang perlahan, membuat Bima melayangkan pikirannya menuju perjalanan hidupnya selama ini. Segala kesalahan di masa lalu hingga terbentuknya karakter dirinya saat ini, telah mengalami banyak lika-liku. Ia ingat saat semua ini bermula, ketika ia bertemu perempuan sekeras kepala dirinya, perempuan yang membuatnya kesal, perempuan yang juga membuatnya jatuh hati. Sinta adalah orang yang begitu banyak membawa perubahan di diri Bima, termasuk segala puisi yang saat ini perlahan terbakar di hadapan matanya.

Mata Bima mengarah pada api yang perlahan menghabisi kertas dan amplop putih itu. Ia membawa mereka menuju ketiadaan. Sebuah tiada yang membuat Bima juga harus meniadakan segala perasaan yang ia tumbuh suburkan untuk Sinta. Terbakarnya puisi itu, terbakarlah pula rasa cintanya hingga rasanya semua panas itu merambat hingga wajahnya dan sampailah mereka di mata Bima.

Kini, semua kertas itu telah habis terbakar. Menyisakan asap yang terbang ke udara, tanah yang menghitam, serta raga Bima yang menatap bekas itu hingga beberapa menit. Habis sudah puisi-puisi itu, begitu pula dengan habisnya kisah antara dirinya dan Sinta.