webnovel

-44-

Pagi yang cerah, dengan wajah Sinta yang tak kalah cerah. Hari ini adalah hari Minggu, hari di mana dirinya akan berangkat menuju ke acara pernikahan sepupu Bima. Wajah cerah milik Sinta itu sempat murung karena Bima yang memintanya untuk tidak memaksakan diri. Dirinya berkata supaya Sinta tak perlu khawatir sehingga nantinya akan membuat keadaan dirinya semakin buruk.

"Kau jangan terlalu memikirkan acara pernikahan sepupuku. Yang penting saat ini adalah dirimu baik-baik saja." Kata Bima saat menelepon Sinta. Dirinya saat ini sibuk membantu perkara urusan pernikahan sepupunya yang akan digelar esok hari.

"Kau tak mau aku membaik?" Tanya Sinta dengan nada sedih.

"Apa maksudmu? Justru aku menyuruhmu untuk tetap di rumah supaya keadaanmu membaik."

"Justru itu. Jika kau menyuruhku untuk tetap di rumah, keadaanku akan semakin buruk. Aku mau datang karena aku ingin membaik. Aku senang jika bertemu denganmu, maka dari itu keadaanku akan membaik." Kata Sinta dengan kesal.

Terdengar suara helaan napas Bima, "Resepsi akan dimulai pukul sembilan. Jika kau, memang mau datang, aku akan menjemputmu pukul setengah sembilan." Kata Bima dengan penuh penekanan di setiap katanya.

Senyum perlahan-lahan tercetak di wajah Sinta, menggantikan wajah murungnya.

"Yeaayy, terima kasih! Oh iya, ngomong-ngomong, apakah ditentukan warna dari pakaian yang dipakai oleh tamu?"

"Ya, warna navy."

"Wah!"

"Kenapa?"

"Tidak, tidak kenapa-kenapa."

Sinta bersiap untuk mandi pada pukul tujuh sebelum bersiap dengan merias wajah dan menata pakaian yang akan dia kenakan. Penata rias dan penata busana Sinta kali ini adalah seseorang yang begitu andal di bidangnya. Siapa lagi kalau bukan Bunda.

Ketika Sinta mandi, Bunda menyiapkan pakaian yang akan Sinta kenakan, menyiapkan segala perlengkapan rias wajah yang sekiranya Sinta butuhkan. Pakaian telah Bunda letakkan di atas kasur Sinta. Semuanya sudah rapi dan wangi. Sepatu, tas, dan barang-barang yang akan Sinta bawa seperti ponsel, tisu, dan lain sebagainya sudah Bunda siapkan juga.

Sesuai kata Bima, dia menjemput Sinta pada pukul setengah sembilan. Saat ini Bima mengenakan kemeja batik lengan panjang. Kemeja tersebut memiliki pattern Batik Parang warna putih yang menghiasi bagian dada dan punggung. Motif batik tersebut tidak penuh di bagian tersebut, namun menyisakan bagian kain polos warna navy. Bima memakai celana kain pensil yang berwarna senada dengan sepatunya. Sepatu jenis plain toe warna hitam itu dipakai Bima untuk melengkapi penampilan formalnya. Rambutnya disisir rapi tanpa membiarkan anak rambut berkeliaran di dahinya.

Bima sedang bercakap-cakap dengan Ayah ketika Sinta menuruni tangga. Dia memakai kebaya modern kain katun polos warna navy dengan lengan sepanjang siku. Kebaya tersebut dipadupadankan dengan rok motif batik warna hitam. Sinta memakai block heels warna hitam dan tas kecil dengan warna senada. Riasan wajahnya tak terlalu tebal, Bunda hanya merias Sinta dengan bedak, perona bibir warna nude, blush on tipis, eyeliner, dan juga maskara. Rambut pendek Sinta di kepang jadi satu di belakang supaya menampilkan kesan rapi.

Bima yang melihat Sinta berjalan menghampirinya pun berdiri dari duduknya. Dia menatap Sinta lekat-lekat, berdiam beberapa saat sampai dirinya lupa jika ada kedua orang tua Sinta yang ada di sebelahnya.

"Berhentilah menatapku seperti itu." Kata Sinta malu-malu yang membuat Bima tersadar kembali.

"Astaga, aku pasti kurang tidur semalam."

"Kenapa?"

"Bukannya menjemput Sinta, aku justru menjemput bidadari." Kata Bima dengan gelengan kepalanya. Bunda dan Ayah tertawa.

"Iiiihh, Mas Bima." Kata Sinta.

"Baiklah ayo berangkat. Om, Tante, kami pamit dulu." Kata Bima.

"Tunggu sebentar, kalian harus berfoto terlebih dulu sebelum meninggalkan rumah ini." Bunda pun mengarahkan Sinta dan Bima untuk berfoto di halaman rumah Sinta. Taman di halaman depan rumah Sinta menjadi background foto mereka berdua. Sesaat setelahnya, mereka pun pergi menuju ke tempat pernikahan sepupu Bima, yakni rumah dari mempelai wanita itu sendiri.

Beberapa menit setelahnya, mereka telah sampai di lokasi. Sinta bisa melihat banyaknya tamu undangan yang telah datang.

"Tunggu, ini adalah garden party?" Tanya Sinta.

"Ya, konsep outdoor." Sahut Bima.

"Astaga."

"Kenapa?"

"Aku memiliki keinginan untuk mengadakan acara pernikahan menggunakan konsep itu. Dan kau tahu? Aku juga sangat ingin acara pernikahanku itu bernuansa navy. Pernikahan sepupumu ini adalah gambaran yang bagus untuk pernikahanku kelak." Kata Sinta sambil tertawa yang dibalas senyum manis Bima.

"Baiklah, kita lihat bagaimana acara pernikahan yang kau idam-idamkan itu." Kata Bima yang membuat tawa Sinta semakin lebar. Sebelum mereka masuk Bima meletakkan kado dari dirinya di tempat yang sudah disediakan, sedangkan Sinta, memasukkan amplop berisi uang di kotak yang juga sudah disediakan.

Sinta memandang ke sekitar. Halaman depan, samping, hingga belakang rumah di hias dengan sedemikian rupa. Bunga, balon, dan hiasan lain berwarna navy dan putih mendominasi lokasi pernikahan. Sinta bisa melihat meja-meja serta kursi-kursi kayu dihias dengan pita berwarna senada, dresscode yang dipakai oleh tamu undangan juga semakin membuat suasana menjadi indah. Di ujung sana ada deretan kursi di sisi kanan dan kiri yang menyisakan jalan lurus diantaranya. Jalan lurus tersebut langsung menghadap menuju singgasana pengantin yang dihias begitu cantik, ada lampu-lampu yang juga dipasang di sekitar lokasi. Sinta sungguh mengagumi dekorasi pernikahan sepupu Bima. Garden party dan nuansa warna navy serta putih, konsep acara yang begitu Sinta kagumi.

Bima berjalan lebih dulu menuju halaman belakang rumah sepupunya. Sinta berjalan tepat di belakangnya. Karena banyaknya tamu yang datang dan saat ini tidak sedang duduk di kursi, Bima kesulitan mencari jalan menuju sepupunya. Dirinya pun menggenggam tangan Sinta dengan erat dan berjalan bersamanya menghampiri sepupunya.

Belum sempat mereka sampai di singgasana pengantin pria dan wanita, ada seorang wanita yang berteriak.

"Astaga, anak siapa yang lelaki ini bawa!" Karena suasana yang ramai, teriakan heboh itu mengundang tatapan mata banyak orang. Bima menoleh ke sumber suara dan menghela napas panjang.

"Mama! Mama di mana? Lihat anakmu yang satu ini!" Teriakan wanita itu mengundang tatapan semakin banyak orang dan membuat suasana menjadi hening.

Lalu tiba-tiba, dua wanita datang. Kemudian disusul tiga lelaki yang menghampiri tempat di mana Sinta dan Bima berdiri.

"Astaga!" Seru mereka secara bersamaan. Sinta yang paham dengan siapa saja orang yang menghampirinya pun tertawa.

"Oh, ayolah! Tak perlu kalian merusak acara pernikahan seseorang dengan teriakan kalian." Kata Bima dengan dingin.

Suasana hening itu membuat tawa dari mempelai pria dan wanita terdengar sampai tempat Sinta dan Bima berdiri.

"Maaf, maaf." Kata seorang wanita kepada tamu undangan yang saat ini memandangi mereka.

"Jika kau tak mau kami berteriak, lalu kenalkan dia pada kami." Kata wanita yang sebelumnya berteriak kepada Bima sambil menyenggol lengannya.

Sinta tersenyum pada wanita tersebut dan di balas senyum yang tak kalah manis.

Bima tak mengindahkan perkataan wanita yang ada di sampingnya, ia justru berjalan ke depan dan mengajak Sinta untuk berkenalan dengan orang lain. Seorang wanita berhijab yang Sinta tebak adalah ibu Bima.

"Ma. Ini Sinta." Kata Bima pada seorang wanita yang ada di depan Bima.

"Wah, cantik sekali kekasih anakku! Pa, lihat!" Kata mama Bima sambil memeluk Sinta. Sinta tertawa lepas mendengar perkataan mama Bima. Dirinya pun bersalaman dengan kedua orang tua Bima.

"Bukan main. Jadi dia yang membuatmu betah tinggal di kota ini?" Tanya papa Bima yang hanya dibalas tatapan datar Bima.

"Perempuan yang tadi berteriak itu adalah kakak pertamaku, Kak Wulan. Itu suaminya, Kak Derka. Dan yang di sebelahnya, yang kalem, adalah Kak Ganesya. Dia kakakku yang kedua dan suaminya, Kak Calum." Kata Bima kepada Sinta. Sinta pun berkenalan dengan mereka serta anak-anak mereka.

"Lepaskan dulu genggaman tanganmu, kami mau berkenalan dengannya." Kata Wulan dengan menepuk pelan tangan Bima yang menggenggam tangan Sinta.

Setelah Bima melepaskan genggaman tangannya, Wulan mengajak Sinta berjalan ke tempat yang lain.

"Sabar, Sinta akan bersama dengan kami lebih dulu." Kata Ganesya sambil tertawa. Bima hanya menghela napas.

Mama, Papa, kedua kakaknya serta suami mereka membawa Sinta berkeliling. Mereka tampak bercakap-cakap dengan asyik.

"Bima tak pernah bertindak menyakiti hatimu, bukan?" Tanya Ganesya.

Sinta tertawa sebelum menjawab, "Sering, Kak. Dia sering menyakitiku. Tapi tenang, aku juga membalasnya. Jadi, saat sikap negatif bertemu negatif, akan menghasilkan sikap yang positif, yakni kebahagiaan." Mereka semua tertawa bersama.

"Pantas saja Bima betah di sini." Seru Calum.

"Makan dulu, Cantik." Kata Mama sambil menyodorkan Sinta sebuah puding cokelat di atas sebuah mangkuk kecil.

"Terima kasih, Tante."

"Ini minumannya." Mama kembali menyodorkan minuman yang sebelumnya dibawa oleh Papa.

"Wah, jadi merepotkan."

"Tidak, tidak merepotkan." Saat ini mereka duduk di salah satu meja dengan lima kursi yang masing-masing diduduki oleh Mama, Papa, kedua kakak Bima, dan juga Sinta. Suami kedua kaka Bima berdiri bersama Bima di dekat meja yang mereka duduki.

"Kamu suka makanan apa, Sinta?" Tanya Wulan.

Sinta mengunyah dan menelan puding yang saat ini ia makan sebelum menjawab pertanyaan Wulan. Namun, sebelum Sinta sempat menjawab, Bima berkata, "Biarkan dia makan dulu."

"Tidak apa-apa, aku suka makan, Kak." Sahut Sinta yang lagi-lagi membuat mereka semua tertawa.

"Ya sudah, berarti tidak masalah jika aku mengambilkan kamu makanan dengan lauk ikan atau ayam?"

"Ya, tapi biar nanti aku saja yang ambil Kak. Terima kasih."

Obrolan mereka pun berlanjut, lebih banyak topik obrolan seputar Sinta dan Bima. Sinta juga banyak menghabiskan waktu bermain dengan anak perempuan Ganesya yang baru berusia satu tahun lebih satu bulan yang saat ini dipangku oleh Ganesya. Namanya adalah Hazel, dibaca Heizel. Namun, nama panggilannya adalah Azel.

Azel adalah anak pertama Ganesya dan Calum. Mereka bisa dibilang baru menikah, sekitar tiga tahun lalu. Sedangkan Wulan dan Derka, mereka memiliki anak laki-laki yang berusia sepuluh tahun dan anak perempuan berusia lima tahun.

"Kamu menggemaskan sekali!" Azel tampak begitu senang ketika Sinta berbicara dengannya.

"Azel ini tipe anak yang waspada, lho. Jika ada orang yang belum pernah dia temui, dia akan nempel terus ke aku atau papanya. Saat melihat dia segirang ini ketika bertemu denganmu, itu tandanya kamu telah mendapatkan hatinya." Jelas Ganesya.

"Oh, ya? Wah, aku juga suka kok sama kamu Azel." Sinta berkata dengan terus mengajak bermain Azel.

"Oke, waktu habis. Kami harus bertemu dengan pengantin terlebih dulu." Bima berkata demikian kepada keluarganya, namun, "Tunggu dulu, kami kenalkan Sinta dulu kepada keluarga yang lain." Sinta pun diajak berkeliling oleh kedua orang tua Bima dan juga kedua kakaknya.

"Duduk dulu, Bim. Minumlah biar tenang." Kata Derka dengan terkekeh.

"Ini, minum." Kata Calum.

Sinta diajak berkeliling dan berkenalan dengan keluarga Bima yang lainnya. Beberapa menit kemudian, mereka kembali dan menuju tempat di mana kedua pengantin sedang bersalaman dan berfoto.

Sinta, Bima, dan keluarga Bima berjalan menuju ke pasangan pengantin untuk mengucapkan kata selamat sebelum berfoto bersama. Mereka mengobrol dan saling berkenalan bersama Sinta. Tampak suasana bahagia begitu kental di sana. Sinta yang baru saja mengenal keluarga Bima bisa sangat diterima dan mereka begitu senang dengan kehadiran Sinta yang juga begitu menarik. Ia berkali-kali melontarkan guyonan yang membuat keluarga Bima yang lain tertawa. Perangainya yang asik dan menarik itu menyenangkan hati keluarga Bima, sehingga dia mudah untuk diterima.

Banyaknya tawa dan ramainya percakapan kini telah berubah. Bima telah diberi kesempatan oleh keluarganya untuk berdua saja dengan Sinta, setelah Sinta diambil alih oleh keluarganya.

Bima menghela napas perlahan dan duduk di salah satu kursi di sebelah Sinta.

"Kau mau aku ambilkan minum?" Tawar Sinta kepada Bima.

"Tak perlu."

"Keluargamu sangat menyenangkan. Mereka keluarga yang asyik untuk diajak berbicara. Aku penasaran, jika memang mereka begitu menyenangkan, kenapa kau begitu berbanding terbalik dengan keluargamu?" Pertanyaan Sinta membuat dirinya menoleh ke arahnya sambil mengerutkan dahi.

"Kau sungguh ingin tahu?" Tanya Bima dan Sinta mengangguk antusias.

"Aku juga tak tahu. Sejak kecil aku memiliki watak pendiam. Mungkin Tuhan menghadirkan diriku sebagai penengah dari keluargaku yang terlalu suka berbicara. Jika tak ada aku sebagai orang yang paling diam, keluargaku tentu tak akan bisa berhenti berbicara. Lihat saja kelakuan mereka saat tahu aku membawamu kemari, sungguh kau tak mengira jika ada sesuatu yang tak beres dengan keluargaku?" Sinta menatap Bima dengan serius sebelum tertawa kencang.

"Mereka justru sangat membuatku seperti dikelilingi oleh diriku sendiri. Keluargamu mirip diriku yang tak suka untuk diam saja." Bima memutar kedua bola matanya, "Ya, kau benar."

"Mengenal mereka hari ini membuatku tahu semakin banyak tentang dirimu. Tapi sebuah fakta yang begitu mengejutkan adalah, kau pernah punya pacar."

"Aku punya banyak mantan." Sinta menatap Bima dengan tidak percaya.

"Tidak mungkin."

"Aku tidak berbohong."

"Kenapa bisa begitu?"

"Aku akan menceritakannya saat kau percaya."

"Apa maksudmu? Lalu selama ini kau menilaiku seperti apa? Aku percaya padamu, hanya kau yang belum bisa percaya padaku." Bima terdiam menatap mata Sinta lekat-lekat, dirinya pun mulai membuka mulutnya untuk bercerita, "Diriku yang sekarang sungguh berbeda dengan diriku yang dulu. Semasa SMP dan SMA, aku banyak berganti pasangan. Karena aku menilai mereka hanya seseorang yang mudah sekali tergiur oleh tampang. Teman-temanku ketika bersekolah, mengenalku sebagai lelaki brengsek yang suka bermain perempuan, dan itu benar. Aku begitu menikmati saat di mana aku menakhlukkan hati perempuan dan kemudian memutuskannya. Entah kenapa waktu itu aku begitu suka melakukan hal itu. Sampai ketika aku menyadari jika ada sesuatu yang salah denganku."

Bima berhenti sejenak sebelum melanjutkan, "Seorang guru BK SMA yang begitu akrab denganku, beliau sangat tahu diriku yang langganan datang ke kantornya. Banyak kenakalan yang aku lakukan, bolos, menggambari tembok sekolah dengan graffiti, merokok, tapi paling sering adalah permasalahanku dengan perempuan. Aku tak pernah bertindak terlalu jauh seperti menghancurkan sesuatu yang paling berharga di diri perempuan, namun kesenanganku ketika memutuskan mereka begitu sulit untuk mereka terima. Jadilah hal tersebut menjadi hal yang begitu heboh di sekolah. Waktu itu aku datang ke kantornya, seperti biasa, kami mengobrol. Sampai beliau berkata, lelaki sepertimu sungguh idaman semua wanita. Ibu juga tak menyangkal kamu memiliki pesona yang begitu sulit untuk ditolak mata wanita. Hanya saja, saat semua pesona itu kamu gunakan untuk menjerat mereka tanpa mau kamu perlakukan mereka dengan benar, kamu sungguh tak hanya menyakiti mereka tapi juga dirimu sendiri. Mereka yang sakit hati kepadamu, bisa menjadi orang jahat yang mendoakanmu hal-hal yang buruk. Kamu tentu tahu jika setiap perbuatan selalu ada dampak yang akan didapatkan, bukan? Kamu sendiri yang bilang, mereka kamu putuskan karena memang mereka pantas mendapatkannya. Kamu selalu tak suka dengan seseorang yang hanya memandang dari segi fisik saja, oleh karena itu kamu membalas mereka dengan perbuatan buruk. Tapi bagaimana dengan perlakuanmu itu sendiri? Apa dampak yang akan kamu dapatkan? Untuk tindakan yang kamu nilai sebagai kebaikan, apakah menurutmu semua tindakanmu itu adalah hal yang baik sehingga akan mendapat balasan yang baik pula?"

Sinta menatap Bima dengan begitu serius, "Sejak saat itu aku ingin mengubah semuanya. Memulai dari awal, memperbaiki segala sikapku yang salah. Aku pergi merantau dari Jakarta ke kota ini supaya bisa jauh dari teman-temanku di masa lalu. Dan di tempat yang baru ini, mereka tak mengenal bagaimana diriku di masa lalu. Jadi, aku memiliki kesempatan untuk menjadi orang yang baru." Lanjut Bima.

"Lalu, apakah kau nyaman dengan dirimu yang sekarang?" Tanya Sinta yang membuat Bima terdiam.