webnovel

-43-

"GELOMBANG

Ombak berlarian.

Mencoba ia mengejarku

namun tak pernah sekalipun aku berlari.

Pecah sudah gelombang itu,

atas tajamnya karang di bibir pantai.

Serpihan dan pecahannya menyentuhku

sebelum dibawanya aku tenggelam."

*

Keterdiaman Sinta mengundang berbagai spekulasi di kepala Prada. Tangannya yang terulur ke arah Sinta dengan amplop berisi puisi itu tak kunjung Sinta terima. Sinta diam sambil memandang ke arah amplop yang diulurkan kepadanya itu.

"Tunggu, apa semua itu adalah pemberianmu?"

"Apa?" Prada merasa terkejut dengan perkataan yang Sinta lontarkan, ia pun paham dengan arah pembicaraan mereka, "Oh, bukan. Aku hanya sebagai seseorang yang mengantar barang ini kepadamu."

"Apa?" Saat ini giliran Sinta yang terkejut. Ia melanjutkan, "Jadi, bukan kau?"

Prada tertawa, "Bukan. Kau tak tahu siapa penulisnya?"

"Tidak."

"Kalau begitu, nanti kau akan tahu. Aku pamit pulang dulu." Prada pun pamit dan pulang menuju rumahnya.

Kepergian Prada meninggalkan rasa penasaran di diri Sinta. Ia pun bergegas menuju kamarnya untuk membuka amplop berisi puisi dari seseorang sampai saat ini belum ia ketahui identitasnya.

Tak seperti biasanya, hari ini dia tak mengirim sebuah puisi narasi. Dia bahkan membubuhkan sebuah judul yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Ketika Sinta membaca puisi yang seseorang ini tuliskan untuk Sinta, dia merasa jika selama ini, dia telah banyak sekali membaca keindahan puisi yang seseorang ini kirimkan kepadanya. Namun, puisi ini adalah yang terbaik.

Sinta membaca puisi ini berulang-ulang sampai ponselnya berdering. Ada telepon masuk dari Ruri. Sinta pun mengangkat panggilan telepon dari Ruri dan menyapa sahabatnya yang satu itu.

"Ta, aku mau cerita." Kata Ruri dengan senang.

"Oke, langsung saja."

Ruri segera bercerita tentang pengalaman memalukan sekaligus lucu yang baru saja terjadi di antara dirinya dan Banu.

"Kamu tahu, betapa malunya kami ketika datang ke restoran itu dan pelayannya berbicara jika seseorang yang makan di tempat itu harus memesan terlebih dulu. Jadilah kita makan bebek goreng yang ada di pinggir jalan." Kata Ruri di akhir ceritanya.

Sinta tertawa sepanjang Ruri bercerita tentang dirinya dan Banu yang gagal makan malam romantis.

"Lalu, kalian makan bebek goreng dengan memakai setelan rapi?"

"Ya."

"Astaga." Sinta tak henti-hentinya tertawa membayangkan sahabatnya dan kebodohan Banu ketika mereka berdua makan di pinggir jalan.

"Kenapa kalian tidak makan di restoran lain saja? Setidaknya pakaian kalian tidak terlalu mencolok seperti saat kalian makan di pinggir jalan."

"Aku ingin makan bebek goreng yang pedas, dan kebetulan di dekat restoran yang kami gagal makan di sana dekat dengan warung bebek goreng yang enak. Ya sudah kami pergi ke sana."

"Astaga. Bilang ke Banu, jika terbiasa makan di pinggir jalan, tak perlu ingin bergaya makan di restoran mahal!" Seru Sinta yang dibalas tawa nyaring oleh Ruri.

"Ya, akan aku sampaikan." Kata Ruri sambil tertawa.

Sepanjang Sinta, Ruri, dan Banu saling mengenal satu sama lain, mereka sering menghabiskan waktu bersama makan di warung pinggir jalan. Mereka menikmati kegiatan itu bersama, Sinta selalu suka saat di mana dirinya mengganggu kencan dua sejoli itu. Karena bagi Sinta, di manapun tempat mereka makan, itu tak penting, yang penting adalah kegiatan makan itu sendiri. Ia tak memusingkan di mana dirinya harus makan, apalagi ketika dirinya makan sambil menganggu Ruri serta Banu. Ia akan sangat menyukai hal itu.

"Saka harus tahu hal ini." Kata Sinta yang membuat Ruri tertawa. Mereka pun segera menghubungi Saka.

"Halo?"

"Ada cerita lucu! Ceritakan, Ri." Kata Sinta.

Ruri kembali mengulang cerita miliknya itu dan kembali mengundang tawa dari Sinta. Saka? Dirinya tentu saja menjadi orang yang tertawa paling keras. Bagi seseorang yang suka sekali tertawa pada hal-hal lucu, kejadian yang Ruri ceritakan tentu memancing tawa Saka.

"Aduh, perutku sakit!" Seru Saka karena tak bisa berhenti tertawa. Mendengar hal itu, Sinta dan Ruri semakin tertawa kencang.

Beberapa menit setelah itu, mereka telah menghentikan tawa mereka.

"Terima kasih telah membuatku tertawa lepas dan menghilangkan kesedihanku." Kata Sinta.

"Lho, ada apa?" Tanya Ruri kepada Sinta yang merasa ada sesuatu yang tak beres.

Sinta bercerita kepada Ruri dan Saka tentang kejadian yang menimpa dirinya hari ini. Dirinya yang sudah di tengah-tengah cerita baru saja ingat jika Bima memperingatkannya untuk tidak melakukan ini, tapi sudah terlambat. Kedua sahabatnya sudah tahu tentang apa yang terjadi.

Di bagian akhir Sinta bercerita, terdengar Ruri yang terisak pelan, sangat pelan. Saka sama sekali tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Maaf telah membuat kalian bersedih setelah kita baru saja tertawa lepas."

"Tidak, tidak. Terima kasih sudah bercerita. Justru seharusnya aku yang meminta maaf, maaf karena aku tak ada di sana untuk memelukmu. Sebentar lagi aku akan ke rumahmu untuk menemanimu." Kata Ruri.

"Tidak perlu repot-repot. Aku tahu jika perkuliahan begitu banyak menghabiskan tenagamu, Ri. Kamu juga besok masih ada jadwal kuliah, kan?"

"Aku akan tetap ke rumahmu." Setelah Ruri berkata demikian, tak ada suara yang terdengar lagi. Tiba-tiba suara Saka memecah keheningan, "Seharusnya aku ada di sana. Bukannya berada jauh di sini."

Sinta tertegun mendengar perkataan Saka. Selama dirinya mengenal Saka, dia begitu baik dan selalu ada untuk sahabat-sahabatnya. Dia rela melakukan apapun demi sahabatnya, dan tentu untuk permasalahan yang hadir di hidup Sinta ini, dia tak akan tinggal diam.

"Sa, dengarkan aku." Sinta mencoba untuk berbicara serius dengan Saka dan membuat Saka tak nekat untuk datang ke kota mereka dari Jawa Tengah malam ini juga.

"Aku tahu kamu adalah sahabat yang baik, sangat baik. Tapi saat ini kita memiliki prioritas lain, sebuah cita-cita yang harus digapai. Aku, kamu, Ruri, kita semua tak mau untuk berpisah. Tapi, kita harus melakukan hal itu. Keinginanmu sejak lama ingin berkuliah di sana, saat ini telah tercapai. Kau tak boleh membuat hal yang telah kau dapatkan itu menjadi sesuatu yang kau sesali. Keberadaanmu di sana yang jauh dariku dan Ruri tak membuatmu menjadi sahabat yang buruk. Kau tetap sahabat kami yang terbaik. Dan kejadian yang aku alami hari ini adalah bukan salahmu. Jangan salahkan dirimu karena tak bisa selalu ada di samping sahabatmu, kita hanyalah makhluk yang tidak sempurna, dan itu tidak apa-apa." Perkataan Sinta membuat Saka terdiam. Ruri juga tak mengeluarkan satu kata pun dari mulutnya.

"Ada sesuatu yang harus kalian tahu juga. Aku memberitahukan ini kepada kalian supaya kalian tak perlu khawatir. Karena bukan hanya hal buruk yang datang kepadaku ketika kita beranjak kuliah, namun ada juga hal yang baik." Sinta pun menceritakan tentang puisi yang selama ini seseorang kirimkan kepadanya. Ia bercerita dengan sangat senang, ia mengungkapkan segara kebahagiaan yang ia dapatkan ketika mendapat puisi tersebut. Sinta yang dengan semangat bercerita itu merasa bersyukur saat kedua sahabatnya juga ikut senang mendengar cerita miliknya.

*

Keesokan harinya, Sinta terbangun dengan senyuman di bibirnya. Ruri yang datang ke rumahnya di malam sebelumnya begitu membantu. Dirinya begitu banyak membuat dirinya merasakan hangatnya persahabatan mereka yang telah lama terjalin. Kehadiran Ruri membuat Sinta lupa akan semua kesusahan yang dirinya rasakan di hari sebelumnya.

Saat ini hari Jumat. Sinta tak ada kelas di hari Jumat, namun Bima ada. Dirinya datang ke kampus lebih pagi dari biasanya. Ketika pukul tujuh pagi kuliah telah dimulai, dirinya sampai di tempat parkir kampus dua puluh menit lebih awal. Prada, Nuca, dan Ino yang tahu jika temannya yang satu ini akan berangkat lebih pagi pun menjemput Bima di tempat kosnya. Mereka berangkat bersama menuju kampus dari tempat kos Bima.

Keempat lelaki ini berjalan dengan diikuti semua tatapan mata mahasiswa. Untung saja di jam kuliah sepagi ini, tak banyak orang yang berada di kampus, hanya beberapa. Namun, semuanya memandang ke arah keempat lelaki yang berjalan di koridor.

Bima berjalan dengan kecepatan normal menuju ke kelasnya pagi ini. Dirinya berjalan dengan tatapan mata penuh dengan kilatan api. Jika seseorang menatap mata Bima, pasti mereka bisa melihat adanya api kemarahan yang berkobar di sana. Dirinya bermaksud untuk mengeluarkan semua api di matanya kepada seseorang yang telah menyakiti Sinta di hari sebelumnya.

Bima dan teman-temannya telah sampai di kelas mereka. Bima menghentikan langkah kakinya dan mengedarkan pandangan matanya ke seluruh orang di kelas. Pandangan matanya berhenti ke satu orang yang dirinya cari dan berjalan ke tempatnya duduk.

"Bagus, kau datang." Kata Bima kepada Zizi.

Bima yang tahu jika Zizi pasti akan menghindari dirinya pun langsung menghubunginya melalui media sosial. Bima membuka blokir akun media sosial Zizi dan mengirim pesan kepadanya. Bima menyuruh Zizi untuk datang ke kelas di keesokan harinya. Dirinya mengancam Zizi jika sampai dirinya tak melakukan itu, ia akan melaporkan kejadian yang Zizi perbuat terhadap Sinta. Untuk tindakan sekeji itu, tentu Zizi tak akan bisa lolos dari masalah itu, serta kemungkinan besar, ia akan dikeluarkan. Dan bagi mahasiswa yang sebentar lagi menuju semester akhir seperti dirinya, dengan kasus yang baru saja dia lakukan, tentu tak akan mudah mencari perguruan tinggi pengganti. Bima mengancam Zizi dengan persoalan pendidikannya dikarenakan ia tahu jika kedua orang tua Zizi adalah orang tua yang begitu mementingkan pendidikan anaknya. Ternyata ada keuntungan dari Zizi yang selama ini mendekati dirinya. Sebab dari hal itulah, Bima tahu tentang kedua orang tua Zizi karena Zizi sendiri yang bercerita kepadanya.

Ketika Bima telah sampai di hadapan Zizi, ia sedikit heran dengan adanya luka lebam di tulang pipi sebelah kanan Zizi yang ia coba tutupi dengan riasan make up. Sepertinya itu adalah luka pemberian Sinta. "Jadi benar, kau yang melakukan itu?" Tanya Bima kepada Zizi.

Saat ini Zizi menunduk dalam di tempat duduknya. Kedua temannya juga melakukan hal yang sama. Prada, Nuca, dan Ino yang tahu jika Bima begitu marah itu berjaga-jaga di belakang Bima. Mereka berdiri beberapa langkah tepat di belakang Bima dan bisa langsung mencegah Bima jika dirinya hendak melakukan hal-hal yang buruk.

Bima membungkukkan badannya. Tangannya ia letakkan di atas kursi putih kampus yang Zizi duduki.

"Aku bertanya padamu."

"Maafkan aku." Kata Zizi sambil menangis. Bima yang mendengar isakan tangis Zizi pun menggeram, "Tak perlu menangis. Kau bisa melakukan hal sekeji itu kemarin, tentu kau tahu jika akan ada akibat dari kelakuanmu dan teman-temanmu itu. Air matamu tak akan membuatku berhenti."

Zizi mengangkat kepalanya ketika Bima berkata demikian, "Seharusnya kamu tahu jika aku mencintaimu sejak lama. Tapi kenapa kamu justru memilih bocah tak tahu diri itu!"

Brak! Bima memukulkan tangannya yang sebelumnya berada di atas kursi putih yang diduduki oleh Zizi. Suara keras yang ditimbulkan mengundang keterkejutan semua orang yang berada di dalam kelas.

"Kau tak mencintaiku! Menurutmu cinta seperti apa yang membuatmu berani menyakiti orang lain? Kau melakukan hal yang begitu gila dan masih berani menyebut itu cinta? Dan jangan berani-berani kau menyebutnya dengan sebutan itu! Katakan padaku apakah ada seseorang yang menyuruhmu melakukan hal itu?"

Tampak wajah Zizi yang terkejut dengan pertanyaan terakhir yang Bima lontarkan. Bima yang menyadari hal itu pun berkata, "Katakan padanya, jika memang dia tak suka aku dekat dengan Sinta, katakan hal itu langsung kepadaku. Tak perlu menjadi pengecut dan bersembunyi di balik tindakan gila yang kau lakukan." Bima menegakkan tubuhnya dan berjalan menuju kursi paling belakang.

Prada, Nuca, dan Ino saling berpandangan dan mengerutkan dahi mereka ketika mendengar ucapan Bima. Mereka tak tahu apa yang dimaksud oleh teman mereka yang satu itu. Namun karena melihat Bima yang telah berjalan duduk menuju kursi belakang, mereka pun mengikuti langkah Bima dan berencana bertanya kepada Bima tentang maksud dari perkataannya kepada Zizi.

Zizi yang mendapati Bima bertindak begitu menakutkan dan berkata hal yang begitu menyakitkan itu pun bangkit dari duduknya dan berlari keluar kelas sambil mengusap air matanya yang tumpah. Kedua temannya mengikuti langkah kaki Zizi yang pergi meninggalkan kelas.

Ketiga perempuan ini berlari menuju toilet perempuan yang ada di lantai dua. Zizi masuk ke sana dan menangis di depan wastafel. Kedua temannya mencoba menenangkan Zizi yang menangis sambil mengusap-usap bahunya.

"Bagaimana Bima tahu akan hal itu?" Tanya salah satu teman Zizi ke temannya yang lain.

"Aku juga tak tahu."

Zizi yang mendengar percakapan kedua temannya ini pun mengeluarkan ponselnya dari dalam totebag miliknya. Dia menelepon seseorang.

"Halo?" Sapa seseorang di sana.

"Sepertinya Bima sudah tahu tentang kau. Dia ingin aku menyampaikan ini kepadamu." Zizi pun menyampaikan perkataan yang Bima lontarkan pada dirinya dan membuat seseorang itu terdiam.