webnovel

-41-

Setelah mengiyakan ajakan Bima untuk datang ke acara pernikahan sepupunya, mereka segera pulang. Bima mengantar Sinta ke rumahnya sekitar pukul sembilan lebih. Bertemu kedua orang tua Sinta, mengobrol sebentar, lalu yang Bima lakukan selanjutnya adalah pamit pulang menuju tempat kosnya.

Kebahagiaan malam itu masih terasa hingga di kemudian hari. Sinta bangun dari tidurnya setelah dirinya tidur begitu nyenyak. Malam kemarin, ketika dirinya sampai di rumah, Sinta seperti biasa melakukan laporan rutinnya kepada kedua sahabatnya.

"Kalian tahu? Hari ini aku sangat bahagia. Aku merasa akhir-akhir ini kebahagiaanku begitu banyak. Hingga terasa aneh, sebab biasanya hidupku biasa-biasa saja." Ruri terdiam mendengar perkataan yang Sinta lontarkan, sedangkan Saka terdengar begitu bersemangat, "Langsung saja ceritakan, Ta. Aku tidak sabar mendengar sikap menakjubkan dari Mas Bima yang lainnya." Saka berkata dengan tawa khas miliknya.

"Baiklah, aku akan mulai bercerita." Beberapa menit Sinta habiskan untuk bercerita, dan di sepanjang Sinta bercerita, tak sedikit pun Ruri berkomentar. Dirinya hanya berdehem dan sesekali tertawa kecil.

"Jadi, hari Minggu besok aku akan datang ke acara pernikahan sepupu Mas Bima. Menurut kalian, apakah kedua orang tuanya akan hadir?"

"Tentu saja, kan acara tersebut adalah acara keluarga." Sahut Saka.

"Iya juga. Ah, aku jadi gugup. Bagaimana jika orang tuanya tak suka denganku?"

"Santai saja, yang menikah adalah sepupu Kak Bima, bukan kalian berdua." Kali ini Ruri yang berbicara dan membuat kedua sahabatnya itu tertawa.

"Baiklah kalau begitu, saat ini sudah malam. Kalian beristirahatlah. Maaf jika akhir-akhir ini persahabatan kita hanya diisi oleh cerita-cerita milikku saja."

"Ah, hal tersebut bukanlah suatu masalah. Kita justru senang mendengar ceritamu. Apalagi semua cerita itu adalah cerita bahagiamu dengan Mas Bima." Kata Saka. Kemudian panggilan telepon pun berakhir.

Setelah Sinta setelah dengan panggilan telepon bersama dengan kedua sahabatnya, Bima menelepon dirinya.

"Halo?"

"Ya, Mas?"

"Selesai menelepon siapa?" Mendengar nada bicara yang tak biasa dari Bima, Sinta tersenyum. Ia berkata, "Tenang saja, aku hanya menelepon kedua sahabatku."

Bima terdiam beberapa saat ketika mendengar perkataan Sinta, dirinya pun kembali bertanya, "Apa yang kalian bicarakan?"

"Bukan apa-apa. Aku hanya bercerita tentang kebahagiaan yang aku rasakan hari ini. Dan pengalaman pertamaku berkeliling menggunakan motor di malam hari."

Lagi dan lagi, Bima terdiam. Sinta yang merasa ada sesuatu pun bertanya, "Kenapa, Mas?"

"Tidak."

"Serius? Kok sepertinya aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada dirimu saat ini?"

Bima tahu jika Sinta pasti merasakan sesuatu yang aneh, lalu dirinya pun mencoba untuk mengalihkan perhatian Sinta, "Kau sering bercerita dengan mereka?"

"Tentu saja, mereka adalah sahabatku. Dan karena kita selalu berbagi segala hal bersama, jadilah saat ini aku terbiasa akan hal itu. Jarak dan kesibukan yang memisahkan kami, membuat kami tak seperti dulu lagi. Oleh karenanya, sesi bercerita adalah sesi yang sungguh membantu kami supaya tetap terikat seperti sebelumnya dan tak ada yang berubah meski keadaan saat ini berbeda."

"Baiklah, cepatlah beristirahat." Kata Bima.

"Tunggu, Mas." Kata Sinta tiba-tiba.

"Ada apa?"

"Terima kasih." Kata Sinta yang membuat Bima tersenyum di tempatnya, ia bisa merasakan jika malam ini adalah malam yang begitu berbeda. Dirinya bisa merasakan kebahagiaan mengalir di dalam tubuhnya. Kemudian, ia pun berkata, "Tidak, seharusnya aku yang berterima kasih. Terima kasih telah membuatku bahagia hari ini."

*

Sinta, Ara, dan Fanya berjalan menuju ruang kelas mereka. Hari ini mereka memiliki satu kelas lagi yang harus di hadiri. Dosen datang tepat waktu, seperti biasanya, dan langsung menjelaskan beberapa materi pembuka. Sinta dan teman-teman sekelasnya yang lain menyimak dengan serius.

Ketika berada di pertengahan kelas, Sinta merasa dirinya ingin pergi ke toilet.

"Aku ingin pergi ke toilet." Bisik Sinta kepada Ara.

"Aku antar?"

"Tidak perlu, aku sendiri saja."

"Jangan pergi sendiri, nanti kalau ada apa-apa bagaimana?" Sahut Fanya.

"Tidak, tak perlu khawatir. Lagipula perempuan itu tak lagi mengganggu kita, kan?" Sinta pun berdiri dari duduknya dan meminta izin kepada dosennya untuk pergi menuju ke toilet, meninggalkan Ara dan Fanya yang merasa cemas.

Sebenarnya dirinya juga tak mau harus pergi ke toilet sendirian karena dirinya takut, tapi ketika melihat Ara serta Fanya yang sedang serius mencatat materi, dirinya pun memutuskan untuk pergi ke kamar mandi seorang diri. Ketakutan yang Sinta rasakan terjadi karena saat ini dirinya berada di lantai tiga. Di lantai ini, toilet berada di sudut lantai tiga di mana tempat itu tidak dilewati oleh orang lain karena lokasinya yang berada di sudut. Ditambah dengan banyaknya rumor horor yang tersebar di toilet lantai tiga ini. Semoga saja Sinta tak menemukan hantu atau semacamnya.

Ketika dirinya berjalan ke toilet, di dalam toilet ada tiga orang perempuan yang sedang mengobrol di depan wastafel toilet. Sinta pun segera masuk ke dalam salah satu bilik toilet dan menyelesaikan urusannya sebelum ketiga perempuan itu pergi.

Urusan Sinta telah selesai saat terdengar suara pintu toilet terbuka. Tak lama setelah itu, ada suara seorang perempuan yang berteriak, "Keluar kalian!" Diikuti suara langkah kaki yang meninggalkan toilet.

Sinta mengenali suara seseorang yang berteriak itu, dan ketika dirinya membuka pintu bilik toilet, benar dugaannya. Perempuan yang baru saja berteriak adalah Zizi, Zizi dan kedua temannya.

"Lihat siapa yang berdiri sendirian di sini?" Kata Zizi dengan nada yang menyebalkan. Sinta menatap Zizi dengan tatapan tajam, dirinya tahu jika keberadaan ketiga perempuan ini pasti ada sesuatu. Sinta pun menyadari jika sikap menghindar ketiga perempuan ini beberapa hari belakangan adalah untuk menunggu saat-saat di mana dirinya sendirian. Sinta berharap dirinya tak bertemu hantu atau semacamnya, walaupun bukan hantu yang saat ini ia temukan, melainkan semacamnya. Dan itu lebih menakutkan.

Sinta mengabaikan Zizi dan mencoba untuk keluar toilet. Kedua teman Zizi menghalangi langkahnya.

"Sudah kubilang untuk menjauhi Bimaku. Kau justru merebutnya dariku!"

Sinta tersenyum sinis, "Dia bukan milikmu dan tak akan pernah menjadi milikmu." Kata Sinta dingin.

"Apa saja yang telah kau lakukan dengannya, hah!"

"Banyak hal. Jalan berdua, makan malam berdua, berkeliling kota berdua menggunakan motornya, mengobrol dengannya dan orang tuaku, dan masih banyak lagi. Kau mau aku menceritakan semuanya?"

Zizi menggeram, "Aku sudah memperingatkanmu untuk tak bertindak terlalu jauh, tapi kau sungguh keterlaluan!" Bentak Zizi sebelum menatap kedua temannya dan memberikan semacam kode kepada mereka.

Setelah itu, Sinta merasakan sebuah kain menutup hidungnya dengan adanya aroma yang begitu menyengat terasa di hidungnya. Dirinya mencoba memberontak untuk melepaskan bekapan kain dari salah satu teman Zizi, namun hal tersebut menjadi sia-sia ketika dua perempuan lainnya memegangi tubuhnya untuk tetap diam. Sinta yang tahu jika dirinya terlibat di dalam masalah pun berteriak sekencang mungkin, tapi perlahan keseimbangannya menghilang. Sinta merasa pandangan matanya kabur dan tubuhnya lemas. Ternyata aroma menyengat itu adalah obat bius.

Zizi yang tahu jika tubuh Sinta telah lemas pun melepaskan pegangan tangannya. Dirinya berdiri di depan tubuh Sinta yang melemas itu.

"Kau harus tahu satu hal, Bocah. Bima, dia juga tak akan pernah menjadi milikmu." Zizi berkata dengan senyum sinis yang tercetak di wajahnya. Sinta yang mendengar perkataan Zizi itu pun menggeram di tempatnya. Dengan amarah yang begitu memuncak, Sinta mengeluarkan semua tenaganya yang tersisa dan menonjok tepat di pipi kiri Zizi sebelum dirinya pingsan.

Zizi yang terkejut dengan tindakan Sinta yang tiba-tiba itu pun begitu marah. Ia hendak membalas perlakuan Sinta sebelum kedua temannya menghentikannya.

"Tahan. Kau tentu tak mau semuanya rusak, bukan? Kita harus tetap berada di rencana, cepat sembunyikan dia sebelum ada orang lain yang datang." Zizi yang ditahan oleh kedua temannya pun menghela napasnya. Mereka pun melanjutkan rencana mereka yakni menyembunyikan Sinta di salah satu bilik toilet dengan tak lupa mengikat tangan dan kakinya serta menutup mulutnya menggunakan lakban.

Di lain sisi, Ara dan Fanya yang merasa khawatir dengan dengan kepergian Sinta yang bisa di bilang lama itu pun segera pergi ke toilet di lantai tiga ketika telah selesai dengan kelas mereka. Mereka berjalan ke toilet dengan membawa totebag Sinta. Ketika mereka membuka pintu toilet yang tertutup, mereka bertatap muka dengan salah satu teman Zizi.

Ara dan Fanya menatapnya yang berdiri di salah satu pintu bilik toilet yang tertutup. Karena tak nyaman dengan keadaan tersebut, Ara dan Fanya memutuskan untuk mengedarkan pandangan ke arah dalam toilet. Mereka melihat dari arah pintu toilet lain yang terbuka kecuali bilik toilet yang ada di depan teman Zizi ini. Ara serta Fanya tak masuk ke dalamnya. Hal itu mereka lakukan karena adanya keberadaan salah satu teman Zizi, yang mana jika ada salah satu di antara mereka, pasti ada juga Zizi. Seseorang yang mereka hindari.

Karena tak bisa menemukan Sinta, mereka pun berbalik arah. Mereka meninggalkan toilet yang sebenarnya ada Sinta di dalamnya dan sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

*

"Kenapa Sinta pergi ke toilet lama sekali?"

"Aku juga tidak tahu." Terdengar suara percakapan seseorang yang berjalan mendekat.

"Ada orang yang datang!" Salah satu teman Zizi memperingatkan. Dirinya pun langsung mundur ke belakang dan menutup pintu bilik kamar yang di dalamnya ada kedua temannya serta Sinta.

Ia bersandar di tembok ketika pintu toilet terbuka. Zizi dan salah satu teman yang lainnya yang tahu jika ada seseorang yang membuka pintu toilet pun menghentikan semua gerakan mereka dan sebisa mungkin tidak menimbulkan suara. Hingga, beberapa menit setelahnya, terdengar suara pintu toilet tertutup, dan pintu bilik toilet terbuka.

"Aman."

"Kemana dia?" Tanya Fanya dengan heran.

"Aku juga tak tahu. Ponselnya juga ada di dalam tasnya."

"Coba kita cari ke toilet lantai dua." Mereka pun segera berjalan sedikit panik ke toilet lantai dua.

Ketika sampai di toilet lantai dua, bukan Sinta yang berhasil mereka temukan, namun justru kepanikan. Mereka semakin panik ketika tak bisa menemukan Sinta di toilet lantai satu.

"Tunggu dulu. Jangan panik. Bisa saja saat ini Sinta sedang bersama dengan Kak Bima." Kata Ara mencoba menenangkan kepanikan Fanya. Dan juga dirinya.

"Coba aku tanyakan ke Kak Bima dulu." Fanya pun segera membuka media sosialnya dan mengirim pesan kepada Bima untuk menanyakan keberadaan Sinta.

Tiba-tiba, "Heh, kalian!" Terdengar suara Zizi memecah keheningan koridor lantai satu. Melihat Zizi dan kedua temannya yang mempercepat langkah mereka, Ara dan Fanya pun merasakan ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi. Mereka pun saling berpandangan sebelum berlari menghindari kejaran Zizi. Mereka berencana untuk berlari menuju kantin karena sudah pasti di sana ramai orang, sehingga mereka bisa bersembunyi di antara banyaknya orang itu. Teriakan Zizi masih terdengar di belakang sana, semakin dekat, yang menjadikan tanda jika memang Zizi mengejar mereka. Ara dan Fanya tak mau menengok ke belakang, yang harus mereka lakukan saat ini adalah bersembunyi sebelum kemudian menemukan Sinta.

Ara yang melihat adanya tempat untuk mereka bersembunyi pun segera menarik tangan Fanya.

"Tolong sembunyikan kami." Kata Ara kepada sekelompok orang yang kebetulan adalah teman satu kelas mereka.

Teman sekelas mereka tampak bingung, sebelum terdengar suara teriakan Zizi yang menggelegar.

"Pengecut! Keluar kalian!" Seketika, teman sekelas mereka pun paham dengan apa yang terjadi dan langsung menyembunyikan Ara serta Fanya sebaik mungkin.

Zizi masih terus berteriak, mencari-cari Ara dan Fanya. Beruntungnya mereka, semua orang di kantin diam saja tak mau memberitahu Zizi di mana tempat mereka bersembunyi hingga Zizi dan kedua temannya pun pergi meninggalkan kantin.

"Astaga, sebenarnya apa yang terjadi? Di mana Sinta? Dia belum kembali dari toilet?" Tanya salah satu teman satu sekelas mereka.

"Kami juga tak tahu, kami sedang berusaha mencarinya." Kata Fanya yang mengundang tatapan mata kasihan milik banyak orang.

"Sudah ada balasan dari Kak Bima?" Tanya Ara.

"Sepertinya belum, tapi kurasa kita harus pergi dulu dari tempat ini." Ara dan Fanya segera pergi ke tempat lain untuk bersembunyi.

Saat ini mereka sedang berada di dalam toilet lantai satu dan masuk ke dalam salah satu bilik toilet.

"Kak Bima belum juga membalas. Coba aku tanya Kak Prada dulu." Fanya menghubungi Prada melalui media sosial miliknya dan sungguh dirinya sangat bersyukur ketika Prada cepat membalas.

"Kata Kak Prada, Kak Bima tidak mengikuti kelas keduanya hari ini. Sejak pagi dia sudah pulang."

"Astaga."

"Sebentar, Kak Prada bertanya." Kata Fanya sambil mengetuk sesuatu di ponselnya dan beberapa saat jari-jarinya bergerak di atas layar ponsel. "Aku sudah memberitahukannya keadaan kita. Dia bilang akan menghubungi Kak Bima dan segera kemari. Kak Prada juga menyuruh kita untuk tetap bersembunyi." Saat ini Ara benar-benar panik. Dirinya yang sebelumnya masih bisa menenangkan Fanya, kini sudah tak bisa lagi berkata-kata. Kejadian hari ini sungguh tak pernah dirinya alami.

Beberapa menit kemudian ponsel di dalam totebag Sinta yang Ara bawa berdering.

"Kak Bima menelepon." Kata Ara yang langsung mengangkat panggilan telepon Bima. "Halo, Kak, " kata Ara.

"Kalian di mana?"

"Di toilet lantai satu."

"Tunggu di sana." Kata Bima tegas. Dari suaranya, Bima seperti seseorang yang sedang berlari. Sepertinya saat ini Bima sedang terburu-buru untuk pergi ke kampus.