webnovel

-3-

Masa orientasi saat SMA terjadi hampir mirip pada saat SMP. Sinta di masa SMA dikenal sebagai si pemberontak, hingga banyak yang memuji aksinya, namun juga banyak yang mencibir. Ia dikenal sebagai anak yang bebas. Bebas berteman dengan siapapun, bebas mengekspresikan diri, bebas bertindak sesuka hati pula. Kebanyakan temannya adalah lelaki, sebab banyak perempuan yang tak suka atas sikapnya yang seenaknya. Namun tak bisa dipungkiri jika kebanyakan perempuan cemburu akibat Sinta yang terlalu dekat dengan lelaki.

Sinta yang dikenal sebagai pemberontak itu memiliki pesona yang mendobrak selera pria. Tak banyak ditemui perempuan seperti Sinta yang bisa blak-blakan bicara tentang hal yang tak ia sukai, sampai-sampai orang lain menghindari mencari masalah dengannya. Sebab jika seseorang terlibat masalah dengan Sinta, bisa jadi masalah tersebut menjadi sangat besar dan ribet. Ia yang memiliki kepribadian unik juga memiliki paras yang cantik. Rambut sebahu, kulit kuning langsat, badan tinggi yang berisi namun tidak terlalu gemuk dengan kaki jenjang, mata yang tajam dan memikat dengan pagar bulu mata yang lentik. Senyum dari bibir ranumnya begitu mempesona sebab bisa menyentuh mata sesiapa yang memandang. Hidung mancung, yang mungkin akan sulit mendakinya jika ia menjelma gunung tinggi.

Sungguh, sangat banyak lelaki yang mendadak suka mendaki, juga memetik buah ranum sebelum terjun ke danau mata yang begitu dalam itu. Banyak lelaki yang terpikat paras juga kepribadiannya, termasuk lelaki yang dahulu duduk di sebelahnya saat masa orientasi SMA.

Sebentar lagi akan diumumkan pembagian kelas setelah dilakukannya tes penjurusan beberapa hari yang lalu. Banyak siswa yang sudah menunggu hasil penjurusan di dekat majalah dinding sekolah. Mereka berkerumun di sekitarnya, namun berbeda dengan ketiga siswa yang justru berkerumun di kantin. Mereka dengan santai mengobrol sambil memakan makanan yang mereka pesan. Walau tak semuanya santai, salah satu dari mereka mulai resah saat dilihatnya banyak siswa yang seangkatan dengan dirinya berbondong-bondong untuk melihat pengumuman penjurusan.

"Sebentar lagi akan diumumkan hasil tes penjurusan. Apa kalian mau pergi untuk melihatnya sekarang?" Tanya Ruri.

"Nanti saja. Lagipula kita tak akan bisa melihat jika sebanyak 300 lebih siswa juga mengantri untuk melihat hasil. Tunggu saja di sini. Makananku juga belum habis." Jawab Sinta.

"Iya juga, tapi kalau nanti kita pergi ke sana terlambat, kita juga akan terlambat mengetahui hasil tesnya. Mungkin juga sudah banyak siswa yang datang ke kelas mereka. Kita bisa ketinggalan."

"Memangnya kamu mau duduk di depan?" Tanya Sinta.

"Tidak, aku mau duduk di belakang saja."

"Ya sudah kalau begitu nanti saja." Kata Sinta.

"Justru kalau nanti, kalian tidak bisa mendapat bangku di belakang. Karena banyak siswa yang juga mengincar bangku belakang." Kata Saka.

Sinta berpikir sejenak, "Betul juga."

"Begini saja, aku akan melihat hasil tes penjurusan, lalu aku akan memberi kabar kepada kalian dan kalian bisa melanjutkan kegiatan makan kalian. Bagaimana?" Ruri memberi ide dan dibalas anggukan dari kedua orang yang sedang makan itu.

Beberapa saat setelah Ruri beranjak untuk melihat hasil tes sekaligus pembagian kelas, ponsel Sinta berdering. Ada pesan dari Ruri yang mengatakan jika mereka bertiga berada di kelas yang sama dan dirinya sudah berada di kelas untuk mencarikan mereka bertiga tempat duduk.

"Sampaikan padanya, aku mau duduk di sampingmu." Kata Saka kepada Sinta.

Mereka bertiga rupanya memiliki keberuntungan yang saling berkelindan. Sulur keberuntungan saling mengikat dan menghasilkan bentuk yang nantinya menggambarkan kisah mereka. Mereka bertiga tak pernah tahu sebelumnya tentang apapun yang nantinya menimpa mereka. Kesedihan atau kebahagiaan belum tampak di awal, hanya tanda-tanda kecil yang terlihat namun belum bisa mereka terka.

Seperti halnya Sinta. Ia adalah anak yang tak mau ambil pusing dengan sesuatu hal. Apapun yang menimpa dirinya, ia tak pernah memikirkannya secara mendalam. Menjadi karakter cuek seperti itu merupakan anugerah baginya karena jika ia peduli, ia akan kerepotan dengan hal-hal yang tidak penting. Beruntungnya ia yang punya sahabat seperti Ruri dan Saka yang bisa melengkapi kekurangannya. Sebab jika tak ada mereka, mungkin Sinta tak akan bisa mengenal kata bahagia. Setidaknya itu yang saat ini ia rasakan.

Ponsel milik Sinta sedari tadi berbunyi, namun tak juga ia terbangun dari tidurnya.

"Sinta, ponselmu sejak tadi berbunyi. Ruri menelpon berkali-kali, Nak." Kata Bunda yang hanya dibalas diam oleh Sinta.

"Sinta! Bangun! Hari ini aku tidak masuk sekolah, aku sakit! Kamu jangan sampai telat masuk sekolahnya, ayo bangun!" Teriak Ruri yang terdengar melalui speaker telepon.

"Berisik!" Sahut Sinta yang akhirnya bangun juga.

"Udah siang, Ta! Ayo bangun! Nanti malah ketinggalan bus loh!"

"Iya, iya. Ini bangun."

"Bohong, Ri. Masih tidur dia." Kata Bunda.

"Ya sudah, Bunda. Biarkan saja. Biar nanti Sinta dihukum Bu Tini."

Sinta baru ingat jika jam pertama hari ini adalah mata pelajaran fisika, yang mana mata pelajaran itu diajar oleh guru yang terkenal dengan guru yang suka membalingkan buku. Ia mendadak bangun karena dirinya juga belum mengerjakan tugas fisika yang rencananya pagi ini akan ia salin dari pekerjaan rumah Ruri.

"Kamu yakin sedang tidak enak badan, Ri? Bisa teriak-teriak begitu tapi tidak bisa masuk sekolah." Kata Sinta.

"Tidak sopan! Mau aku coret dari daftar temanku?"

"Ih, ancamannya tidak berbobot. Lagipula kenapa harus hari ini juga kamu tidak masuk sekolah. Kan aku belum mengerjakan tugas fisika milikku."

"Rasakan itu, siapa suruh tidak mau mengerjakannya sendiri. Sudah, Ri. Coret saja dia dari daftar temanmu. Jika perlu tak perlu lagi kamu bangunkan dia setiap pagi." Sahut Bunda sambil berjalan keluar kamar Sinta.

Sinta hanya membalas ucapan bundanya dengan cibiran, "Lalu hari ini aku salin PR siapa, dong?"

"Coba tanya Saka. Dia kemarin malam minta foto PR fisika milikku."

"Cerdas sekali dia. Besok-besok aku akan meniru ide cemerlangnya itu."

"Ngomong-ngomong, Saka kan bawa sepeda motor, kamu minta saja dia untuk menjemputmu. Biar nanti kamu bisa punya waktu lebih untuk sampai di sekolah. Soalnya PR fisika yang dikumpulkan hari ini lumayan banyak." Saran Ruri.

"Memang kamu yang paling mengerti aku, Ri."

"Tapi ingat, kalau nanti di sekolah jangan melakukan hal-hal yang ekstrem. Dan soal Saka, kamu harus bersikap lebih tegas, Ta."

"Iya beres, tenang saja. Aku tak akan melakukan hal-hal yang ekstrem hari ini. Sebab jika aku mencari-cari masalah hari ini, kamu tidak masuk untuk bisa terlibat ke dalam masalahku. Besok saja kalau kamu sudah masuk." Sinta tertawa keras saat mengatakan itu.

"Kurang ajar! Cepat mandi. Aku mau tidur dulu."

"Enak sekali bisa melanjutkan tidurmu. Cepat sembuh, teman."

Setelah percakapan telepon itu selesai, Sinta bergegas mandi. Namun sebelum itu, ia menghubungi Saka terlebih dahulu untuk menjemputnya. Dan soal peringatan Ruri, memang benar saat ini Saka terlihat seperti seorang lelaki yang sedang mengejar cinta perempuan. Yang pertama kali menyadari hal tersebut tentu saja bukan Sinta, melainkan Ruri. Selain pengertian dan sabar, Ruri juga seorang sahabat yang peka. Ia memiliki intuisi yang tajam sehingga bisa mendeteksi hal-hal yang bahkan tidak disadari orang lain. Namun peringatan Ruri tidak ditanggapi serius oleh Sinta, sebab dirinya tetap saja bertindak biasa saja. Ruri memberi peringatan sebab dirinya tahu jika sahabatnya yang satu itu terlalu cuek. Jika ia tidak menyadari jika Saka menyukainya, akan berbahaya bagi keduanya. Sinta yang tidak tegas atas sikap dan perasaannya pada Saka akan membuat hubungan keduanya tak tentu arahnya.

"Syukurlah bisa selesai tepat waktu. Terima kasih kamu sudah menjadi pintar dengan menyalin PR Ruri semalam. Aku sangat mengapresiasinya." Kata Sinta sembari menepuk pundak Saka.

Saka tertawa dan berkata, "Simpan terima kasihmu untuk nanti. Aku punya sesuatu untukmu."

Saka mengambil tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Tangannya mengulurkan kertas yang ia ambil dari dalam tasnya itu.

"Ini adalah tiket pertunjukan teater, aku mendapatkannya dari Mas Prada yang saat ini sedang berlatih peran untuk pentas seninya itu. Ajak juga Ruri, minggu depan kita akan melihat Bimasena."

Sinta sangat senang. Ia berteriak dan hampir saja memeluk Saka saat Bu Tini berjalan memasuki ruang kelasnya.

"Kenapa kamu?"

"Tidak. Tidak kenapa-kenapa, Bu." Sinta menjawab dengan cengiran.

"Pelukannya nanti nyusul aja." Kata Saka berbisik kepada Sinta yang membuat dirinya tertawa kencang dan berakhir dengan mendapat pelototan dari Bu Tini.

Seminggu layaknya seabad. Sinta begitu bersemangat dan berkali-kali mengucap terima kasih kepada Saka. Sebagai sahabatnya, Saka mengerti betul jika Sinta begitu menyukai tokoh Bimasena. Oleh sebab itu, Saka berinisiatif membelikan sahabatnya tiket teater. Dan tibalah saat di mana mereka pergi untuk menonton teater.

"Kakakmu juga jadi pemerannya, Sa?" Tanya Ruri kepada Saka.

"Iya, dia yang jadi Yudistira."

"Yang jadi Bimasena siapa?" Pertanyaan itu sudah pasti Sinta yang melontarkan.

"Teman seangkatan Mas Prada, tapi aku tidak tanya namanya."

"Tidak apa-apa. Nanti, kalau dia segagah Bimasena, aku sendiri yang akan menanyakan namanya."

"Kasian sekali dia, semoga dia baik-baik saja." Yang baru saja berkata demikian adalah pacar Ruri, Banu.

"Apa maksudmu?" Tanyaku.

"Kalau sampai kamu mengajaknya berkenalan, bisa saja ia dalam masalah besar. Kita semua tahu tentang obsesi gilamu terhadap Bimasena, Ta."

"Ah, biasa saja menurutku." Kataku membalas ucapan Banu. Mendengar perkataanku, teman-temanku menatapku datar dan berjalan pergi meninggalkanku masuk ke ruang pertunjukkan.

Setelah itu berlalulah menit-menit penuh ketidaksabaran. Akhirnya, pertunjukkan teater dimulai juga. Lampu-lampu dipadamkan, lagu susul-menyusul mengisi kehampaan, dan satu persatu adegan dipertontonkan. Hingga sampailah pada kemunculan Bimasena.

"Itu dia Bimasena." Kata Saka kepada Sinta. Saat itu Sinta hanya diam saja sebab dirinya terlalu fokus pada pemeran Bimasena.

Detik mengubah dirinya menjadi menit, lalu menit tumbuh dewasa menjadi jam. Waktu berlalu tak terasa, lampu-lampu kembali menyala seiring dengan selesainya acara. Saka menoleh ke arah Sinta yang duduk di sebelahnya. Ia ingin tahu respon Sinta setelah pertunjukkan selesai dan ia tersenyum saat dilihatnya Sinta bertepuk tangan dengan senang.

"Gimana, Ta?" Tanya Banu.

"Tidak jadi, deh. Dia tak memerankan Bimasena dengan baik."

"Tapi sepertinya perempuan-perempuan di sana tidak setuju denganmu."

Mendengar perkataan Banu, Sinta pun melihat ke depan dengan seksama. Terlihat beberapa perempuan yang berkerumun di sekitar pemeran Bimasena setelah pertunjukan selesai.

"Kamu tidak jadi mengajak kenalan Bimasena?" Tanya Saka.

"Memangnya bisa?" Tanyaku pada Saka. Dan disambut cibiran Ruri serta Banu.

"Bisa. Kita bisa temui Mas Prada dan bertanya tentang orang yang memerankan Bimasena."

Mendengar ucapan Saka, Sinta tersenyum senang, namun berbeda dengan respon Banu dan Ruri yang memutar bola mata mereka. Setelah percakapan itu, mereka menunggu di luar ruangan untuk berkenalan dengan Bimasena. Mereka berdiri di halaman depan gedung pertunjukkan, menunggu Saka dan kakaknya datang. Beberapa menit berlalu dan mereka melihat kakak Saka yang berjalan ke arah mereka bersama dengan Saka. Namun, kakak Saka berkata jika dirinya harus bertemu dengan seseorang terlebih dulu.

Kakak Saka menemui perempuan yang menunggunya beberapa langkah di belakang Sinta dan yang lainnya. Sinta pun memutar tubuhnya ke belakang untuk melihat siapa yang ditemui kakak Saka.

"Siapa itu? Pacar kakakmu?" Tanya Sinta.

"Calon pacar."

"Oh pantas saja, bukannya memeluknya selepas pentas, ia justru menunggunya di luar sini."

Beberapa menit kakak Saka berbicara dengan perempuan itu dan pada akhirnya ia pun berjalan ke arah Sinta dan yang lainnya.

"Siapa yang mau berkenalan dengan Bimasena?" Tanya Prada, kakak Saka.

Sinta hanya diam saja, "Dia, Mas. Obsesinya terhadap Bimasena sangat mengerikan." Kata Banu dan kubalas pelototan.

Prada tertawa lepas, "Dia populer ya, Mas? Perasaan banyak banget yang mengantri untuk foto bersama dia di dalam." Tanya Sinta.

"Tadi katanya tidak mau berkenalan. Sekarang kok penasaran?" Ruri mencoba menggodaku.

"Aku kan hanya tanya. Lagipula siapa yang mau kenalan dengan orang yang bahkan memerankan Bimasena saja tidak mampu." Kata Sinta membalas godaan Ruri.

"Lagipula aku juga tak mau berkenalan denganmu." Tiba-tiba ada suara yang menyahuti perkataan Sinta. Sinta pun melihat teman-temannya, namun yang ia temukan hanya wajah terkejut milik teman-temannya yang melihat ke arah belakang tubuhnya.

Saat Sinta menoleh ke belakang, disana berdirilah seseorang yang baru saja ia cibir. Seseorang yang memerankan peran Bimasena.