webnovel

-38-

Bima melakukan latihan band hingga pukul delapan malam. Sebenarnya jika melihat lama waktu mereka latihan, biasanya lebih lama dari itu. Hal ini menjadi suatu ketidakbiasaan karena Sinta berada di studio untuk menonton Bima latihan. Tak hanya Sinta yang merasa senang ketika berada di sini, namun juga teman-teman band Bima. Mereka banyak menghabiskan waktu dengan mengobrol, bercerita banyak hal dengan Sinta. Karena latihan band yang tidak maksimal pada hari itu, Bima pun memutuskan untuk mengantar Sinta pulang.

"Sudah malam, aku akan mengantarmu pulang." Kata Bima kepada Sinta yang masih asyik mengobrol dengan teman-teman band Bima.

"Memangnya latihannya sudah selesai?"

"Kami menghabiskan lebih banyak waktu mengobrol denganmu daripada latihan." Perkataan Bima membuat Sinta menunjukkan wajah sedih.

"Oh, ayolah. Jangan terlalu kasar, Bim."

"Ucapanmu menyakitkan."

"Tak usah didengarkan, Ta. Jangan sedih hanya karena ucapan Bima." Teman-teman Bima membela Sinta dengan memojokkan Bima atas perkataannya. Sinta yang tahu jika Bima kesal pun tertawa. Ia berkata, "Jadi kau mau kita pulang sekarang? Baiklah, baiklah. Lelaki ini sangat posesif terhadapku, Kak. Dia merasa cemburu hanya karena kita lebih banyak mengobrol daripada kalian latihan." Perkataan Sinta mengundang tawa dari teman-teman Bima.

"Kami tak pernah melihatnya bersikap seperti ini, apalagi ini soal perempuan. Jadi, aku percaya dengan ucapanmu." Kata salah satu teman Bima saat Sinta berdiri dari duduknya.

"Ya, kalau begitu aku pamit pulang lebih dulu." Kata Sinta dengan terkekeh.

"Hati-hati!"

"Jaga Sinta baik-baik, Bim!"

"Jangan ngebut!" Sorakan demi sorakan digaungkan oleh teman-teman band Bima.

Ketika Sinta dan Bima berjalan menuju motor, Bima berkata, "Bundamu tak memesan sesuatu?" Sinta tertawa mendengar pertanyaan yang dikatakan oleh Bima, ia pun berkata, "Tidak. Hanya saja, aku menginginkan makanan cepat saji." Bima pun hanya menganggukkan kepala ketika mendengar perkataan Sinta. Mereka pun melaju menuju tempat tujuan, restoran cepat saji.

Hanya butuh beberapa menit perjalanan untuk sampai ke restoran itu, sebab studio tempat Bima latihan lumayan dekat dengan restoran yang Bima dan Sinta tuju. Setelah sampai, mereka langsung masuk dan memesan.

"Aku punya sebuah pengakuan." Kata Sinta ketika mereka telah mencuci tangan dan duduk di kursi dekat jendela. Mendengar hal itu, Bima mengerutkan dahinya, "Apa?"

"Kau tentu ingat saat kau mengantarku pulang untuk pertama kali."

"Memangnya aku mengantarmu pulang berapa kali?" Mendengar perkataan Bima yang terdengar sangat menyebalkan di telinga Sinta, ia mengerucutkan bibirnya. Bima yang melihat hal itu pun menghela napas dan berkata, "Iya, ingat." Dan Sinta tersenyum.

"Sebenarnya waktu itu Bunda tak memesan martabak."

"Jadi itu juga termasuk ke dalam rencanamu?" Sinta menjawab pertanyaan Bima dengan cengiran di wajahnya, "Aku hanya ingin membuatmu kesal lebih lama. Tak seru jika kau hanya mengantarku pulang begitu saja. Maafkan aku." Kata Sinta.

"Hal itu sudah berlalu, jadi tak perlu dibahas lagi."

"Ya, aku lebih suka kita fokus pada diri kita yang sekarang." Sinta berkata demikian dengan menaik-turunkan kedua alisnya dan membuat Bima memutar bola matanya.

"Kau tahu? Hari ini kau keren sekali."

"Aku selalu keren."

"Kau tahu apa yang kumaksud."

"Ya, terima kasih."

Sinta menatap Bima yang kini menatap matanya lekat. Mereka saling berpandangan beberapa menit sebelum perkataan Bima memecah keheningan, "Kau terlalu ramah dengan orang yang baru kau kenal." Sinta merespon dengan senyuman geli sebelum ia berkata, "Apa kau tak suka?"

"Sebagai orang yang baru pertama kali bertemu, kau tak seharusnya bisa dengan mudah menceritakan banyak hal tentangmu kepada orang lain. Kau belum tahu bagaimana karakter mereka."

Sinta mengangguk, "Aku hanya merasa jika mereka orang yang baik."

"Kau tak bisa hanya menilai seseorang berdasarkan perasaan, apalagi dengan mempercayakan cerita tentang dirimu kepada mereka."

Sinta diam sejenak mendengar perkataan Bima, "Aku tahu kau adalah orang yang sangat berhati-hati di dalam menilai seseorang, apalagi untuk berteman dengan mereka. Tapi aku tak tahu masalah apa yang membuatmu sulit untuk percaya dengan orang lain dan menjadi sangat hati-hati seperti ini. Aku hanya ingin memberitahumu, tak perlu kau langsung percaya, hanya saja tolong pikirkan hal ini. Tak semua orang jahat selalu bertindak jahat, begitu pun juga orang baik. Kita tak bisa menilai bahwa semua orang itu sama, hanya karena kita telah lelah dengan masalah yang membuat nilai kepercayaan kita terhadap orang lain berkurang secara drastis. Untuk mempercayai seseorang memang harus hati-hati, namun jika kau sampai merasa jika dirimu sangat sulit untuk percaya, mungkin ada sesuatu di dalam dirimu yang harus diperhatikan secara lebih. Aku tak bermaksud menggurui di sini, hanya saja mereka adalah temanmu, dan setiap orang yang menjadi temanmu adalah orang-orang yang tentu sudah kau nilai baik bagi dirimu. Aku ingin membuatmu bertambah yakin jika memang kau bisa mempercayai mereka, karena aku juga percaya dengan mereka. Tak apa untuk mempercayai orang lain, jika kita mendapat kekecewaan, selalu ada waktu untuk bangkit kembali. Aku percaya jika keputusanmu berteman dengan mereka adalah keputusan yang baik."

Bima terdiam cukup lama mendengar perkataan Sinta. Ia tahu jika memang dirinya memiliki sebuah masalah di dalam mempercayai orang lain. Hal itu terbukti pada sedikitnya teman yang ia miliki saat di kampus. Jauh dari rumah membuat dirinya tak banyak mengenal orang di tempat dirinya menuntut ilmu saat ini, ditambah budaya yang banyak berbeda dari tempat asalnya, dirinya lebih sulit untuk berbaur.

Beberapa menit mereka lewati dengan diam, sampai pelayan restoran mengantar makanan pesanan Sinta dan juga Bima. Mereka pun memakan makanan mereka dengan diam, tak sedikit pun ada ucapan yang keluar dari mulut mereka. Bahkan, ketika piring putih itu telah bersih dari nasi serta lauk-pauknya.

Ketika semua makanan telah tandas, minuman habis, mereka memutuskan untuk segera pulang. Perkataan Sinta menghasilkan sebuah diam yang sangat awet di antara mereka. Perjalanan yang lumayan ketika dari restoran menuju rumah Sinta pun hanya dihiasi dengan suara klakson kendaraan bermotor. Mereka sama-sama diam hingga sampai di halaman rumah Sinta.

"Kau bisa membawa jaketmu yang kupakai ini, kan?" Tanya Sinta yang pada akhirnya memecah keheningan.

"Untuk apa?" Bima bertanya. Pertanyaan yang menurut Sinta sangat aneh hingga dirinya harus mengerutkan dahi. Ia menjawab pertanyaan Bima dengan sebuah pertanyaan, "Memangnya kau tak mau jaket ini kukembalikan?"

"Simpan saja dulu, mungkin lain waktu akan berguna. Aku tahu kau tak biasa mengendarai motor, dan ketika hal itu hendak kau lakukan, kau tak memakai jaket." Ucapan Bima mengundang senyuman milik Sinta. Ia membalas perkataan Bima, "Jadi, akan ada kemungkinan kita akan berkendara bersama di lain waktu?"

"Mungkin saja. Kita tak tahu." Ketika Bima berkata demikian, orang tua Sinta tampak berjalan dari dalam rumah. Bima yang tadinya duduk di atas motornya pun turun untuk memberi salam.

"Bagaimana latihannya, Nak? Apakah Sinta mengganggu?" Tanya Bunda.

Bima tertawa mendengar perkataan Bunda, ia menjawab, "Tidak, Tante. Justru teman-teman saya sangat senang Sinta datang, mereka jarang mendapat tamu ketika berlatih."

"Wah, kalau begitu jangan ajak Sinta lagi." Sahut Ayah. Sinta yang tak terima itu pun berkata, "Kok begitu?"

"Ayah yakin jika kehadiranmu membuat mereka lebih banyak mengobrol daripada latihan." Sinta cemberut mendengar perkataan Ayah, berbanding terbalik dengan Bima serta Bunda yang tertawa.

Setelah mereka mengobrol cukup lama, Bima segera pamit pulang karena sudah larut malam. Ia pun segera melajukan motornya menuju tempat kos.

Seperti biasa, Sinta akan berusaha kabur untuk menghindari pertanyaan Bunda dan Ayah. Namun yang berbeda kali ini adalah, mereka membiarkan Sinta kabur dengan mudah, karena mereka paham jika Sinta pasti tak mau menjawab segala bentuk pertanyaan yang mereka lontarkan. Jadilah saat ini Sinta telah berada di dalam kamarnya.

Ponsel yang sedari tadi berada di dalam tas selempang milik Sinta, kini telah ia keluarkan untuk menghubungi kedua sahabatnya. Sinta menelepon mereka.

"Ya?" Saka yang pertama kali mengangkat.

"Kita tunggu Ruri sebentar." Membutuhkan waktu beberapa detik sebelum Ruri mengangkat telepon Sinta. Ketiga sahabat yang telah berada di dalam satu panggilan telepon yang sama ini pun segera memulai perbincangan mereka. Sinta memulai ceritanya bersama dengan Bima. Ia bercerita sejak awal hingga akhir. Banyak sekali respon dari Ruri serta Saka, kebanyakan respon mereka adalah tertawa tak percaya. Karena mereka berdua belum terbiasa dengan Bima yang tak menolak kehadiran Sinta.

"Aku sungguh sulit untuk percaya Mas Bima bisa melakukan itu." Kata Saka dengan tawa yang tak henti-hentinya ia keluarkan.

"Sudahilah tawamu, kami tak mau kamu sampai meneteskan air mata dan perutmu kram karena tertawa terlalu lama." Kata Sinta kepada Saka.

Menanggapi perkataan Sinta, Ruri menyanggah, "Sudah terlambat, Saka pasti telah melakukannya."

"Ruri benar. Air mataku telah menetes dan perutku terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. Aku sangat tidak percaya dengan apa yang kudengar, tapi itu adalah nyata. Astaga, sepertinya aku memang harus berhenti menertawai Mas Bima. Aku tak bisa berhenti tertawa karena selalu terbayang bagaimana kesalnya wajah Mas Bima ketika ada perempuan yang mengganggu dirinya, ditambah lagi dengan segala keusilanmu, Ta."

"Ya, kamu harus berhenti." Sahut Sinta.

"Tapi, Ta." Ruri berkata secara tiba-tiba.

"Apa?"

"Bagaimana dengan Zizi? Lambat laun dia pasti tahu soal kalian."

"Ya, Ruri benar." Sahut Saka.

Sinta menghela napasnya sebelum berkata, "Dia pasti akan tahu, tapi itu bukan menjadi masalah. Dia bukan seseorang yang sulit untuk disingkirkan. Ditambah lagi saat ini aku punya Mas Bima." Perkataan Sinta membuat kedua sahabatnya terdiam. Mereka tahu jika memang Zizi bukan menjadi masalah yang besar, mereka percaya jika Sinta pasti bisa mengatasinya. Namun, mereka khawatir jika Zizi akan melakukan hal yang nekat dan mereka tak bisa ada di sana untuk membantu Sinta.

"Maafkan aku belum bisa datang ke rumahmu ketika kejadian itu terjadi." Kata Ruri yang merujuk pada kejadian di mana Zizi menyiram baju Sinta dengan minuman.

"Tak masalah, tak perlu khawatir. Aku telah baik-baik saja saat ini."

"Syukurlah." Meskipun Ruri terlihat senang dengan kondisi Sinta saat ini, sebenarnya dirinya merasakan hal lain. Setelah dirinya tahu tentang kabar di mana Zizi menyiram baju Sinta, dirinya segera menghubungi seseorang, yakni Bima.

*

"Untuk apa kau lakukan itu?" Tanya Ruri ketika sampai di tempat bertemunya dirinya dan juga Bima.

Bima yang tahu ke arah mana percakapan ini berujung pun berkata dengan dingin, "Aku tak mau membahas hal itu. Kau sudah tahu apa maksudku, aku sudah memberitahumu soal itu. Jika kau tak mampu melakukannya, aku yang akan melakukan hal itu sendiri." Kata Bima dengan melipat tangannya di depan tubuhnya serta menyandarkan punggungnya di kursi.

Ruri menatap Bima dengan tatapan tajam, "Jangan kau lakukan itu."

"Kenapa? Kau tak suka? Jika memang kau tak suka, seharusnya kau telah melakukannya dan tak membiarkanku bertindak sejauh ini."

"Kau tahu jika Sinta sangat marah kepadamu? Kau tak akan bisa membuat dirinya kembali padamu seperti dulu setelah ini."

Bima mengeluarkan seringaian khas miliknya dan berkata, "Jangan remehkan aku."

"Aku tak meremehkanmu, aku hanya bersikap realistis. Aku tahu bagaimana kau ketika berhadapan dengan perempuan, apalagi perempuan ini adalah Sinta. Lebih baik tak perlu kau bertindak lebih jauh lagi." Perkataan Ruri membuat Bima melepaskan lipatan tangannya dan berdiri tegak di duduknya. Ia menatap Ruri dengan tatapan tajam, sangat tajam, "Kita akan lihat. Akan kubuat kau percaya padaku." Bima berkata dengan bangkitnya dirinya dari duduk. Ia berjalan meninggalkan Ruri yang terdiam di kursinya.

Perlu beberapa detik sebelum Ruri sadar dari keterdiamannya. Ia pun menyusul langkah kaki Bima.

"Kau belum menjawab pertanyaanku!" Teriak Ruri kepada Bima. Bima yang tadinya berjalan pun menghentikan langkahnya dan berbalik ke belakang, menatap ke arah Ruri. Dirinya tampak berpikir, memikirkan perkataan Ruri, sebelum dirinya menyadari maksud perkataannya, "Aku melakukan ini karena aku harus melakukannya. Orang seperti dirimu tak akan pernah mengerti."

"Kau yang tak mengerti! Selama ini aku selalu melakukan yang terbaik, karena kau tentu tahu sendiri posisiku."

Bima diam sejenak sebelum berkata hal yang membuat Ruri tertampar dengan telak, "Tidak, kau hanya tak mau berusaha." Bima berbalik lalu meninggalkan Ruri yang lagi dan lagi terdiam di tempatnya.

*

Setelah Sinta mengikuti Bima yang berlatih, dirinya bangun dari tidur dengan keadaan yang sangat-sangat bahagia. Dirinya pun melanjutkan hari seperti biasa, sarapan, mandi, dan bersiap untuk mengikuti kelas hari ini. Beruntungnya Sinta, saat berangkat pun saat kuliah, dirinya tak bertemu hal atau seseorang yang membuat dirinya kesal. Hal itu pun semakin membuat Sinta bahagia dan dengan senang hati bercerita kepada kedua temannya. Namun, masalah ia temui ketika dirinya selesai mengikuti semua kelas.

Sinta, Ara, serta Fanya berjalan menuju tangga dan bertemu dengan Bima serta teman-temannya yang juga baru saja selesai mengikuti kelas. Sayang sekali, kehadiran mereka juga diikuti perempuan itu, yakni Zizi.

"Lihatlah siapa yang kulihat sekarang? Bajumu sudah kering?" Tanya Zizi yang membuat langkah Sinta dan kedua temannya berhenti, begitu pun Bima dan yang lainnya.

Sinta menjawab dengan singkat, "Sudah."

"Syukurlah, tapi apakah ingatanmu sudah kering? Kurasa kau masih bisa merasakannya secara nyata momen itu, tentu saja kau masih ingat." Perkataan Zizi memancing kegusaran teman-teman Sinta serta teman-teman Bima, takut jika Sinta membalas perkataan Zizi dengan perlakuan yang buruk. Namun, yang terjadi hanyalah Sinta membalas perkataan Zizi dengan senyum manis.

Melihat respon Sinta yang tak biasa, Bima pun berjalan mendekat dan menggenggam tangan Sinta. Bima mengajak Sinta untuk segera pergi dari sana. Tindakan Bima yang tiba-tiba itu sungguh memantik perhatian banyak orang. Terlebih Zizi yang begitu terkejut dengan Bima yang menggenggam tangan Sinta itu. Suasana kampus yang ramai pun semakin ramai dengan banyaknya pekikan perempuan-perempuan yang juga terkejut dengan tindakan Bima. Teman-teman Sinta dan Bima pun sama terkejutnya.

Kepergian Bima serta Sinta diikuti banyak pasang mata. Sinta yang tahu jika Bima tak akan tinggal diam ketika ada Zizi yang mencoba mengganggunya pun sudah menebak hal ini pasti akan terjadi. Jadilah saat ini dirinya senyum-senyum sendiri melihat tangan Bima yang dengan erat menggenggam tangannya.

Bima yang terus berjalan itu berniat mengantar Sinta pulang menuju rumahnya. Mereka terdiam, hanya ada Sinta yang senyum-senyum, orang-orang yang menatap terkejut ke arah Bima serta Sinta, dan Bima yang seperti biasa. Dirinya tak peduli dan hanya berjalan seperti biasa menuju tempat parkir.

Sesampainya di tempat parkir, Bima memecah keheningan dengan berucap, "Mungkin kau benar, aku memiliki masalah dalam mempercayai orang lain." Perkataan Bima membuat Sinta menoleh ke arahnya dan tampak berpikir sejenak. Beberapa detik Sinta habiskan untuk berpikir apa maksud Bima, dirinya pun menyadari maksud Bima yang merujuk pada obrolan mereka kemarin malam ketika mereka makan di restoran cepat saji dan membicarakan diri Bima yang sulit mempercayai orang lain.

Sinta pun merespon perkataan Bima, "Tak masalah, aku akan membantumu untuk bisa lebih mempercayai orang lain. Tapi pertama-tama, kau harus mempercayai diriku terlebih dulu." Kata Sinta dengan senyuman.