webnovel

-37-

Puisi dari seseorang yang entah siapa itu membuat Sinta senang bukan main. Dirinya bahkan sampai senyum-senyum sendiri di bus, di halte, di jalan, bahkan sampai di depan kampus. Ia melihat kedua temannya telah menunggu dirinya seperti biasa di gazebo.

"Kok kalian menungguku di sini?" Tanya Sinta dengan memasang wajah sedih yang dibuat-buat. Ia memang senyum-senyum sendiri, hanya saja ketika melihat kedua temannya ini, dirinya langsung memasang tampang sedih.

"Memangnya kenapa?"

"Kami selalu menunggumu di sini, kalau kamu lupa." Fanya serta Ara berkata demikian kepada Sinta.

"Setelah ada kejadian siang kemarin, seharusnya kalian tidak menemuiku di sini, melainkan di rumahku." Ara dan Fanya yang mendengar perkataan Sinta langsung mengibaskan tangan mereka dengan bersamaan dan mencibir Sinta secara bersamaan pula.

Sinta yang melihat sikap yang ditunjukkan kedua temannya ini merasa curiga, ia bertanya, "Kenapa kalian melakukan itu?"

"Seharusnya kami yang bertanya hal tersebut kepadamu." Kata Ara yang membuat Sinta semakin kebingungan.

"Maksudnya?"

"Untuk apa kamu melakukan itu? Berakting sedih di hadapan kami ketika kamu sedang bahagia, hah?" Tambah Fanya.

Sinta yang sebelumnya merasa kebingungan atas sikap kedua temannya ini pun paham, ia terkekeh, "Darimana kalian tahu hal itu?"

"Tentu saja kami tahu." Kata Ara sambil mengibaskan rambut panjangnya. Sinta tertawa melihat hal tersebut.

"Sekarang, ceritakan semuanya pada kami." Fanya berkata demikian dengan mengamit lengan Sinta untuk segera masuk ke dalam ruang perkuliahan.

"Ceritanya panjang, nanti saja sepulang kuliah." Seperti biasa, Sinta mencoba untuk kabur.

"Tidak, tidak. Kami tak akan membiarkanmu beralasan." Ara mengikuti tindakan Fanya dengan mengamit lengan Sinta yang satu lagi.

Mereka berjalan beriringan menuju kelas mereka pagi ini. Saat hendak menuju tangga, mereka melihat empat orang lelaki yang berjalan di koridor. Langkah mereka tampak bak pisau yang membelah kue dengan ketajamannya, hanya saja keempat lelaki ini tidak semenakutkan pisau, justru mereka adalah kue manis yang diidam-idamkan banyak orang. Mereka menjadi pusat perhatian, hingga rasanya setiap orang yang berpapasan dengan mereka akan minggir ke samping, takut menghalangi.

Sinta yang berjalan diapit kedua temannya di sisi kanan dan kiri tak bisa dengan leluasa melihat ke arah samping. Namun, ia merasakan sesuatu. Tubuhnya merasakan kehadiran seseorang, mungkin banyak orang juga merasakan hal yang sama. Karena kehadiran seseorang ini membawa suasana yang begitu kental. Rasanya seperti semua berhenti dari kegiatannya ketika ia hadir. Begitu juga Sinta dan kedua temannya, mereka berhenti berjalan dan menoleh ke arah kanan, ke arah keempat lelaki yang sedang asyik mengobrol itu.

Sinta melihat keberadaan lelaki yang membuat dirinya pening akan sikapnya itu pun berteriak memanggil namanya, "Mas Bima!" Keempat lelaki itu menoleh ke sumber suara.

"Woi, Sinta!"

"Hai, Ta!"

"Halo cantik, kiw!" Prada, Nuca, dan Ino berteriak membalas sapaan Sinta kepada Bima. Bima? Dirinya justru berusaha berbalik arah. Ketiga teman-temannya itu pun mencegah Bima yang berusaha kabur dengan memegangi kedua tangannya supaya tidak kabur. Mereka pun berjalan ke arah Sinta dan teman-temannya berdiri.

Ketika tinggal beberapa langkah lagi mereka berada di jarak yang dekat, Ino berlari lebih dulu. Dirinya berlari dan berdiri ke samping, samping kanan Sinta dan teman-temannya berdiri.

"Ya nabi, salam alaika. Ya rasul, salam alaika. Ya habib, salam alaika. Sholawatullah alaika." Ino berdiri sambil bersholawat nabi, sholawat yang biasa digaungkan ketika mempertemukan sepasang pengantin.

Semua orang diam di tempat mereka masing-masing, termasuk Bima dan teman-temannya, Sinta dan teman-temannya. Mereka memandangi Ino dengan tatapan bingung, bingung dengan apa yang sedang ia lakukan. Namun ketika Sinta melihat kedua temannya yang masih mengamit kedua lengannya dengan erat dan beralih memandangi Bima yang juga diperlakukan sama oleh Prada dan Nuca, Sinta pun tertawa lepas. Mereka seketika paham dengan apa yang sedang dilakukan oleh Ino dan mengikuti tawa Sinta yang keras. Prada dan Nuca melayangkan segala jenis sumpah serapah kepada Ino karena terpikir hal tersebut. Sedangkan Bima, dirinya hanya memutar bola matanya jengah dan melepaskan dirinya dari Prada dan Nuca.

Mereka segera mengakhiri kegiatan mereka sebelum semakin banyak keributan, karena di pagi yang ramai ini, banyak orang yang menyaksikan kejadian itu dan sama-sama tertawa melihat kelakuan Ino.

Ketika berjalan di tangga, Sinta mencoba menyejajarkan langkahnya di samping Bima untuk mencoba berbicara dengannya. Namun, Ino membuat langkah Sinta terhenti.

"Ta, sebentar." Kata Ino.

"Ada apa, Kak?"

"Aku mau minta maaf soal Zizi yang menyiram bajumu kemarin. Ia marah padamu karena tahu jika Bima datang ke acara ulang tahunmu. Waktu itu, aku merekam video saat Bima bernyanyi dan aku mengunggahnya di media sosialku. Hanya saja, unggahan itu ternyata bukan pada akun media sosialku yang kedua. Aku baru menyadarinya ketika sampai di tempat kos Bima. Dan saat aku mencoba menghapusnya, hal tersebut terlambat aku lakukan karena Zizi telah melihat rekaman video itu. Maafkan aku, karena Zizi melihat hal itu, dia jadi bertindak hal yang buruk kepadamu." Ino menjelaskan hal tersebut panjang lebar, dan respon Sinta, ia hanya merespon dengan senyuman serta kata-kata yang di luar dugaan, "Dimaafkan. Lagipula tak masalah, Kak. Tak perlu memikirkan hal itu lagi. Aku tak lagi memikirkan hal itu dengan serius, karena seseorang telah berkata kepadaku jika aku tak perlu membuang-buang waktuku pada hal yang tidak berguna. Ya, kan? Mas Bima?"

Ino lega dengan jawaban Sinta yang sangat santai itu, sebenarnya ia tahu jika dirinya tak perlu risau akan respon Sinta, karena sudah pasti Sinta akan memaafkan dirinya. Hanya saja, respon Bima yang menatapnya dengan tatapan tajam dan rasanya hendak memakan dirinya hidup-hidup itulah yang membuat Ino tak bisa tenang.

Setelah percakapan dengan Ino selesai, Sinta segera berlari untuk berjalan di samping Bima.

"Mas, kapan-kapan aku mau, dong. Aku mau ikut kalau Mas Bima latihan band." Kata Sinta.

"Mau ngapain?"

"Aku mau lihat Mas Bima kalau sedang berlatih."

"Memangnya belum puas melihatku di sini?" Tanya Bima dengan sama sekali tidak melihat ke arah Sinta. Ia fokus melihat ke depan. Sinta yang mendengar perkataan Bima itu pun tertawa, "Kan kau tahu jika aku suka lelaki yang bisa main alat musik. Dan kau tahu? Aku sangat ingin melihatmu lagi ketika memainkan alat musik."

"Baiklah." Kata Bima dingin.

"Apa?" Sinta terkejut dengan ucapan Bima. Mendengar lontaran pertanyaan Sinta, Bima menoleh, "Kau mau aku menolaknya?"

Sinta tersadar dari keterkejutannya, "Oh tidak, aku hanya, belum terbiasa denganmu yang tak menolakku."

"Aku juga belum terbiasa dengan diriku yang menerimamu. Tak masalah, kita hanya perlu sedikit terbiasa." Bima berkata demikian ketika mereka berdua telah sampai di lantai dua. Hari ini Bima akan berada di kelas yang ada di lantai dua, sebelah kiri, sedangkan kelas Sinta berada di lantai tiga.

Sinta diam di tempatnya dan melihat punggung Bima yang menjauh. Ia tersenyum begitu lebar sambil berbalik ke arah belakang, tempat di mana teman-temannya serta teman-teman Bima berada. Mereka sama seperti Sinta sebelumnya, memandangi punggung Bima, hanya saja mereka memandangi punggung Bima dengan tatapan tidak percaya.

"Sepertinya kita harus segera ke tempat masing-masing. Kalian minta penjelasan ke Sinta, kami akan meminta penjelasan Bima." Kata Nuca kepada Ara dan Fanya, mereka berdua pun mengangguk dan segera menarik Sinta supaya lebih cepat sampai di kelas. Prada, Nuca, dan Ino berlari menyusul Bima yang sudah lebih dulu berjalan menuju kelas.

Sinta dan kedua temannya telah sampai di kelas dan keduanya langsung membombardir Sinta dengan banyak sekali pertanyaan. Terutama pertanyaan yang berhubungan dengan kejadian-kejadian setelah mereka mengantar Sinta pulang ke rumahnya.

"Jelaskan pada kami." Desak Ara.

Melihat tidak adanya celah untuk dirinya kabur dari percakapan, Sinta pun menghela napas dan berkata, "Baiklah." Sinta pun memulai penjelasannya.

Beberapa menit Sinta habiskan dengan bercerita. Ia melewati menit-menit itu dengan senyum dan teriakan tertahan miliknya karena ia sangat senang dengan apa yang terjadi di malam sebelumnya. Ara dan Fanya yang mendengar cerita tersebut pun berlaku hal yang sama, mereka menahan segala rasa gemas yang mereka rasakan dari cerita Sinta.

Setelah Sinta menuntaskan ceritanya dan mereka sudah menuntaskan rasa gemas itu, Fanya bertanya, "Lalu bagaimana dengan Kak Zizi? Maaf, bukannya aku bermaksud merusak suasana, tapi, jika dirinya tahu akan hal ini, ia akan mencari masalah denganmu."

Sinta yang melihat rasa bersalah di wajah Fanya karena telah mengungkit nama seorang perempuan yang begitu ia tak suka, Sinta berkata, "Tak masalah. Aku punya Mas Bima sekarang." Perkataan Sinta membuat ketiga gadis ini menahan teriakan mereka. Semua orang yang tahu bagaimana Bima selama ini pasti juga akan bertingkah laku hal yang sama, menahan teriakan gemas mereka karena pangeran angkuh itu telah membungkukkan badannya pada seorang putri jelita yang sangat tak terduga.

Setelah berkutat dengan kegemasan, mereka kini tengah serius dalam menjalani perkuliahan. Materi demi materi diberikan, satu mata kuliah selesai, disusul yang lainnya. Hari ini Sinta lewati dengan bahagia, meskipun di kelas kedua, dirinya serta teman sekelasnya harus mengikuti kuis mendadak. Namun karena suasana hati Sinta yang sedang baik, ia tak menggerutu seperti teman-teman sekelasnya yang lain.

Selepas semua kelas dihadiri, Sinta juga masih dalam keadaan baik. Ia langsung pulang ke rumah, ia sengaja melakukan hal itu karena dirinya tak mau jika sampai dirinya bertemu dengan Zizi dan merusak kondisi hatinya yang sedang bahagia.

"Kamu mau kemana? Langsung pulang?" Tanya Fanya ketika melihat Sinta berjalan menuju pintu depan, bukan ke kantin seperti biasa.

"Iya." Ara dan Fanya yang mendengar jawaban Sinta, Ara berkata, "Tumben, biasanya kamu ke kantin."

"Aku jarang sebahagia ini, bahkan kuis mendadak pun tak bisa membuatku kesal. Oleh karena aku yang tak mau jika kebahagiaan ini sirna dalam sekejap, lebih baik jika aku pulang saja. Menghindari perempuan itu." Kata Sinta dengan tersenyum manis. Memang benar, Sinta tak terlihat kesal sedikit pun meski ada kuis mendadak.

"Mau aku antar?" Tawar Ara.

"Tidak perlu. Aku naik bus saja. Aku duluan, ya." Kata Sinta sambil melambaikan tangannya ke arah Ara dan Fanya.

Beberapa menit Sinta lalui dengan baik, dirinya tak menemukan kesusahan yang membuat dirinya kesal. Hingga saat dirinya sampai di rumah, Sinta langsung memutuskan untuk tidur siang, supaya dirinya bisa tidur dengan perasaan bahagia. Mungkin saja nanti ia akan mendapatkan mimpi yang indah juga.

Sinta bangun pada pukul empat sore, dirinya langsung beranjak menuju kamar mandi untuk mandi sore sebelum selanjutnya akan melaksanakan ibadah. Ketika semua kegiatan itu telah Sinta lakukan, ponselnya berbunyi. Nama Bima ada di sana, begitu pun dengan senyum Sinta yang hadir di pantulan layar ponselnya.

"Kenapa tadi langsung pulang?" Kata Bima tanpa mengucap salam.

"Hai, halo? Selamat sore, ada yang bisa dibantu?" Terdengar suara helaan napas Bima ketika Sinta mengatakan hal tersebut.

"Halo."

"Nah begitu, sebelum bicara tujuanmu menelepon, minimal sapa dulu orang yang kau hubungi."

"Ya." Sinta terkekeh mendengar jawaban dingin milik Bima. Ia berkata, "Aku langsung pulang karena tak mau membuat diriku kesal. Aku jarang bisa sangat bahagia seperti hari ini, jadi aku tak mau merusaknya." Bima paham dengan yang Sinta maksud, ia tak datang ke kantin seperti biasanya karena dirinya tak mau bertemu dengan Zizi yang nantinya hanya akan merusak suasana hatinya yang sedang baik.

"Jadi kau merasa jika kebahagiaanmu selesai sampai di sini?" Tanya Bima. Sinta yang merasakan maksud tersembunyi pada pertanyaan Bima pun mencoba menerka-nerka. Ia tak tahu dengan maksud Bima, pada akhirnya Sinta bertanya, "Ada apa lagi?"

"Aku ada latihan selepas Maghrib. Katanya kau mau melihatku berlatih?"

"Sungguh?" Sinta merasa jika dirinya akan meledak akibat kegirangan.

"Ya, sekitar pukul enam akan aku jemput kau di rumahmu."

"Oke."

*

Pada pukul enam lebih beberapa menit, Bima telah sampai di rumah Sinta. Dirinya bertemu dengan Bunda serta Ayah dan mengobrol sebentar sebelum mengajak Sinta pergi.

Mereka berdua berjalan menuju motor Bima yang terparkir di halaman rumah Sinta. Saat ini Bima mengenakan kaus berwarna putih dengan celana jeans warna biru, tak lupa jaket trucker warna hijau gelap. Sinta memakai sabrina dress warna merah muda pastel. Ia berjalan ke arah motor Bima sambil menenteng jaket jeans warna krem milik Bima yang kemarin ia pakai untuk menutupi bajunya yang basah.

Butuh beberapa menit sebelum mereka sampai di tempat latihan band Bima. Sesampainya di sana, Sinta dan Bima segera masuk ke dalam ruang studio yang di dalamnya sudah ada teman-teman band Bima yang lainnya.

"Astaga!"

"Bim?"

"Aku tidak salah lihat?"

Banyak sekali ucapan-ucapan tak percaya teman-teman Bima melihat lelaki angkuh nan dingin itu berjalan dengan perempuan, cantik pula.

"Diamlah. Kita mulai saja berlatih." Bima berkata dengan nada dingin khasnya itu dan berjalan menuju bass yang bersandar di dinding itu.

Sinta yang tahu jika teman-teman Bima tak percaya dengan kehadirannya itu pun tersenyum geli.

"Kenalin dulu, dong."

"Mentang-mentang cantik, tak mau kau kenalkan dia kepada kami." Kata teman-teman Bima.

"Dia kemari hanya ingin menontonku latihan, bukan berkenalan dengan kalian." Sahut Bima. Mendengar perkataan Bima, Sinta tertawa kencang. Dirinya tak percaya jika Bima akan mengatakan hal tersebut.

"Halo, Kak. Namaku Sinta. Calon kekasih Mas Bima. Betul, Mas Bim?" Kata Sinta kepada teman-teman Bima. Sepertinya dirinya menemukan model perkenalan diri yang baru, dan saat Sinta menyadari hal itu, ia merasa jika memang benar, memang benar jika dirinya telah banyak tertarik oleh Bima. Sehingga Bima pun bisa menggeser nama tokoh Bimasena yang telah lama Sinta idam-idamkan itu. Atau mungkin memang Bima, Bimasena yang selama ini Sinta cari.