webnovel

-36-

"Malam di Swedia berbeda. Mentari yang begitu populer, meski di malam hari, kini ia cepat berlalu. Entah karena tak tahan dengan dinginnya malam atau dinginnya dirimu yang tak peduli. Tapi kurasa aku salah. Ia tak menginginkan semua itu. Ia hanya ingin pulang, pergi, meninggalkan gemerlap kota yang menyilaukan setiap mata. Mengaburkan tiap pandangan. Lalu kembalilah ia, pada hangat pelukan kesendirian."

*

Sinta menatap Bima lekat-lekat. Matanya tak mau meninggalkan mata Bima, sama seperti raganya yang tak mau kehilangan raga Bima di sisinya. Mereka berdua diam. Di antara dingin serta kelamnya malam itu, cahaya mata keduanya terlihat berkilat. Berkilauan, menggantikan rembulan serta bintang-bintang. Mereka sembunyi di balik awan kelabu di atas sana, sama-sama malu melihat kedua manusia yang dulu terkenal sinis satu sama lain, kini dua-duanya manis.

"Kau yakin tak mau menanyaiku sebuah pertanyaan?" Tanya Sinta dengan suara pelan.

Mendengar hal itu, Bima mengerutkan dahinya. Ia sebenarnya tahu apa yang dimaksud oleh Sinta, namun dirinya mencoba untuk berpura-pura tidak tahu.

"Kau ingin aku mengajukan pertanyaan kepadamu?" Bima balik bertanya.

Sinta menatap Bima dengan datar sebelum berkata, "Sudahlah, lupakan." Kata Sinta dengan mengibaskan salah satu tangannya. Bima terkekeh dengan sikap yang ditunjukkan oleh Sinta, ia berkata, "Aku tak mau menanyakan pertanyaan itu sekarang, sebab aku tahu jika di pikiranmu itu ada rencana untuk menolaknya." Bima berkata demikian dengan mengetuk pelan dahi Sinta dengan jari telunjuknya.

Sinta terkekeh mendengar perkataan Bima, ia memang memiliki rencana untuk menolak Bima jika dirinya menyatakan cinta kepadanya. Tapi, Bima terlalu peka dan paham dengan banyaknya keisengan yang pernah Sinta lakukan kepadanya. Bima melanjutkan, "Lagipula aku tak mau terlalu terburu-buru. Kita butuh waktu atas sebuah perubahan, bukan?"

"Ya, kau benar." Kata Sinta yang membuat Bima mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Segeralah beristirahat, cuci dulu mukamu sebelum kau tidur. Aku akan pamit dulu dengan kedua orang tuamu sebelum aku pulang." Setelah Bima berkata demikian, terdengar suara meja yang bergeser dari tempatnya serta gerutuan-gerutuan yang muncul dari dalam rumah Sinta. Mendengar hal itu, Sinta memegang pelipis kanannya dan mengusap-usapnya dengan jari-jari tangan kanannya, ia tahu jika kedua orang tuanya yang menyebabkan semua suara keributan itu. Bima, dirinya terkekeh kecil.

"Sebentar, aku akan panggil dulu Bunda dan Ayah." Kata Sinta sambil berjalan ke dalam rumahnya.

Beberapa langkah Sinta tempuh sebelum pada akhirnya sampai di ruang tengah keluarganya. Terlihat Bunda dan Ayah yang tertawa garing karena aksi menguping mereka telah ketahuan. Sinta tak perlu berkata-kata, dirinya hanya melipat kedua tangannya ke depan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Bunda dan Ayah telah berjalan ke arah depan. Mereka menghampiri Bima yang hendak pamit pulang di depan rumah.

"Kok sudah mau pulang, Nak? Tidak mau mampir ke dalam dulu? Kita makan malam bersama." Kata Bunda.

"Iya, benar. Kita belum sempat mengobrol." Sahut Ayah.

Bima tersenyum mendengar perkataan kedua orang tua Sinta, "Mungkin lain kali, Tante, Om. Sinta sepertinya membutuhkan istirahat. Lagipula tidak baik anak lelaki main malam-malam begini di rumah seorang gadis."

"Ah, sopan sekali." Bunda memuji Bima yang membuat Sinta memutar kedua bola matanya, sedangkan Bima tertawa.

"Saya pamit pulang dulu, Om, Tante." Kata Bima.

"Ya, hati-hati di jalan, Bim."

"Hati-hati bawa motornya." Kata Ayah dan Bunda merespon perkataan Bima.

Tepat setelah motor Bima hilang dari pandangan, Sinta diam-diam mundur dari tempatnya berdiri. Ia berniat untuk menyelinap masuk ke dalam kamarnya, dan saat kedua orang tuanya tak menyadari hal itu, Sinta berlari dengan langkah kaki yang ia buat setenang dan sepelan mungkin supaya tak ada suara yang terdengar. Baru saat dirinya sampai di anak tangga pertama menuju kamarnya, terdengar teriakan Bunda dan Ayah yang memanggil namanya dengan keras, "SINTAAAA!"

Sinta yang mendengar teriakan itu pun langsung tancap gas menuju kamarnya supaya terhindar dari introgasi Bunda dan Ayah. Melihat anaknya yang berhasil lolos dengan kerasnya suara tawa yang tak mau kalah dengan kerasnya suara teriakan, mereka pun pasrah dengan hal itu. Mungkin memang Sinta hanya butuh waktu, sebab nanti jika memang sudah waktunya, ia sendiri yang akan bicara panjang lebar. Bahkan tanpa diminta.

Setelah sampai di kamarnya, Sinta langsung menyambar ponselnya untuk memberi kabar kedua sahabatnya. Ia senang dengan apa yang ia alami malam ini, tentang kedatangan Bima ke rumahnya. Sinta segera menyalakan daya ponselnya dan menelepon kedua sahabatnya. Butuh beberapa kali nada sambung sebelum suara Ruri terdengar, kemudian beberapa saat setelahnya suara Saka juga terdengar.

"AAAA! AKU SENANG!" Teriak Sinta dengan sangat keras.

"Apa maksudmu?" Tanya Ruri kepada Sinta setelah beberapa saat menenangkan dirinya dari keterkejutannya atas suara teriakan Sinta.

"Jelaskan pada kami apa yang terjadi." Saka menyahuti.

Ada sebuah alasan kedua sahabat Sinta berkata demikian. Mereka tahu tentang insiden Zizi yang menyiram minuman ke baju Sinta siang ini. Mereka tahu, sebab Prada memberi mereka kabar. Mereka juga sudah menanyakan kebenaran kabar itu kepada Ara serta Fanya, dan mereka telah membenarkan hal tersebut.

"Jadi gini," Sinta pun menjelaskan tentang kehadiran Bima ke rumahnya hari ini. Belum banyak kata yang Sinta lontarkan, Ruri memotong perkataan Sinta, "Tunggu, ceritakan semuanya dari awal." Sinta diam beberapa saat ketika mendengar perkataan Ruri, dirinya pun tersadar jika sebelum ada kisah Bima yang datang ke rumahnya, lebih dulu ada kisah Zizi yang menyiramnya dengan air di kantin fakultas siang ini. Sinta pun kembali memulai ceritanya dari awal, dari kejadian di mana Zizi menghampiri dirinya di kantin siang ini.

"Begitulah." Kata Sinta mengakhiri ceritanya setelah beberapa menit.

"Astaga. Aku benar-benar tak menyangka Mas Bima akan melakukan itu." Kata Saka. Sinta pun menyahuti, "Ya, kan? Aku juga tak menyangka." Sinta berkata dengan kegirangan yang bukan main.

"Lalu apa yang terjadi selanjutnya?" Tanya Ruri.

"Entah, mungkin sikap angkuh serta dingin milik Mas Bima perlahan mengubah haluannya." Kata Sinta dengan tak pasti.

"Lalu apa yang kamu lakukan selanjutnya?" Kini giliran Saka yang bertanya.

"Mungkin aku juga hampir sama, sikap menggangguku itu akan berubah. Sedikit berubah." Sinta berkata dengan tawa yang diikuti pula dengan tawa dari Ruri dan juga Saka.

"Kami tahu jika kamu dan kata 'mengganggu', tak akan bisa semudah itu dipisahkan." Kata Saka dengan tawa yang tak henti-hentinya ia keluarkan.

Setelah Sinta menghabiskan banyak waktu dengan bercerita bersama kedua sahabatnya, ia pun memutuskan untuk tidur, sebab saat ini matanya sudah memaksa dirinya untuk segera terlelap. Sepertinya efek dari banyaknya air mata yang ia keluarkan tadi siang. Sinta pun mematikan teleponnya dengan kedua sahabatnya dan berniat untuk meletakkan ponselnya di nakas sebelum tidur.

Belum sempat teleponnya mendarat mulus di nakas, ada panggilan telepon yang masuk di ponselnya. Sebuah nomor tidak dikenal. Sinta bukan tipe orang yang tidak mau mengangkat telepon dari nomor tidak dikenal, ia bahkan tak perlu berpikir terlalu lama dan segera mengangkat panggilan telepon itu, "Halo?"

"Sudah kubilang untuk segera beristirahat." Kata seseorang di telepon. Sinta yang mengenali suara sang penelepon itu pun tersenyum senang, "Darimana kau tahu nomor teleponku?" Tanya Sinta dengan senyuman yang begitu lebar.

"Dari Prada." Kata Bima. Ya, yang menelepon Sinta adalah Bima.

"Aku hendak beristirahat sebelum ada panggilan telepon yang masuk di ponselku. Kenapa kau menelepon?" Kata Sinta.

"Aku menelepon, sebab melihatmu tak kunjung mematikan ponselmu."

Lagi dan lagi Sinta tertawa, "Kau terus melihatku online? Kau terus mengawasinya?"

"Tentu saja, aku ingin tahu apakah kau benar segera beristirahat atau tidak. Matikan segera teleponmu itu." Kata Bima dengan dingin.

"Oh, ayolah. Setidaknya jangan gunakan nada dinginmu itu lagi ketika berbicara dengan diriku. Aku sudah sangat terpikat dengan nada bicaramu ketika kau datang ke rumahku hari ini." Kata Sinta sambil menggoda Bima. Bima yang tahu jika Sinta mencoba untuk menggodanya pun mencibirnya. Ia segera menjauhkan ponselnya dari telinganya dan tak lupa memencet tombol warna merah untuk mengakhiri panggilan teleponnya dengan Sinta.

Setelah menyadari jika Bima mematikan teleponnya, Sinta pun tertawa dengan keras. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, "Kurasa nantinya dia akan menjadi kekasih yang menggemaskan." Ponsel pun ia letakkan di nakas dan beranjaklah dirinya menuju kamar mandi, mencuci muka sebelum pergi tidur.

Keesokan harinya, setelah mendung di hari sebelumnya mengundang tangis yang sulit mereda di diri Sinta, kini mentari dengan seluruh cahayanya bersinar terang di wajah Sinta. Dirinya banyak mengeluarkan air mata karena kesal, namun hal itu terbayar dengan tak kalah banyak senyuman yang hadir menjelang dirinya tidur. Pagi ini ia bangun dengan perasaan yang tak biasa. Ia senang bukan main ketika ia membuka ponselnya, ada nama Bimasena di notifikasi ponselnya.

Semalam setelah Bima menelepon, Sinta langsung menyimpan nomor Bima dengan menamainya Bimasena. Sebuah nama yang sama sekali tak ia pikirkan akan ia pakai untuk menamai nomor seseorang yang selama ini ia benci. Sepertinya memang benar, benci itu adalah saudara kandung dari cinta. Meski berbeda satu sama lain, sebagai seorang saudara, pasti keduanya sangat mencintai satu sama lain. Sehingga jika kita terlalu membenci seseorang, bisa jadi kita justru mencintai orang tersebut. Sebab sebagai manusia yang lemah, kita tentu takut jika kuasa Tuhan yang Maha Dahsyat itu dengan mudah membalikkan perasaan yang kita miliki dalam sekejap.

Sinta telah siap untuk berangkat ke kampus setelah dirinya membalas pesan dari Bima. Bima bertanya tentang pukul berapa dirinya akan berangkat ke kampus. Sinta membalas jika hari ini ia akan berangkat sebentar lagi. Lalu setelah pesan tersebut terkirim dan terbaca, ada telepon masuk. Sinta tersenyum ketika nama itu terpampang di layar ponselnya, segera, dirinya mengangkat panggilan tersebut.

"Hai!" Sapa Sinta kepada Bima.

"Kau ada kelas pukul sembilan?"

"Ya. Kenapa? Kau mau menjemputku?"

"Jangan kepedean. Aku hanya bertanya." Kata Bima dengan dingin. Sinta pun tertawa mendengar hal itu, "Lalu kenapa kau meneleponku saat ini?" Tanya Sinta penuh selidik.

"Memangnya tidak boleh?" Pertanyaan Bima membuat Sinta menahan tawanya, ia berkata, "Rasanya sangat asing. Aku belum terbiasa dengan namamu di panggilan teleponku"

"Tak perlu menyimpan nomorku, sehingga kau tak akan membaca namaku di sana."

"Tidak, aku menyukai namamu yang muncul di layar ponselku. Hal itu memberiku semacam suntikan kebahagiaan."

"Halah." Bima mencibir Sinta dengan nada dingin khas miliknya itu. Sinta tak bisa lagi menahan tawanya, sehingga ia pun tertawa dengan kencang. Mendengar tawa Sinta, Bima memotongnya dengan kata-katanya, "Segeralah berangkat."

Sinta mengakhiri tawanya dan membalas perkataan Bima, "Oke, aku akan berangkat. Sampai jumpa di kampus!"

"Ya."

Setelah itu Sinta turun ke bawah untuk berpamitan kepada Bunda. Dirinya telah melakukan sarapan tadi pagi sekali, seperti biasanya. Mereka melakukan sarapan di pagi hari bersama-sama sebelum Ayah akan berangkat kerja. Segala bentuk introgasi telah dilewati pagi ini, banyak yang Sinta ceritakan, namun lebih banyak dirinya menceritakan Bima. Dengan banyak sekali senyuman serta tawa.

Sinta hendak berjalan menuju halte dekat rumahnya ketika ada sepeda motor tukang pos yang berhenti di depan rumahnya. Sinta bertanya, "Mau tanya alamat, Mas?"

"Bukan Mbak, ini ada surat." Kata tukang pos sambil menyerahkan sebuah surat ke arah Sinta. Ia pun membaca tulisan yang ada di amplop, di sana tertulis, Untuk Sinta. Sinta tak tahu siapa yang mengirim surat ini, saat ia bertanya kepada si pengantar surat, ia juga berkata tidak tahu.

"Mungkin di dalam suratnya ada nama, Mbak. Saya pergi dulu." Kata pengantar surat.

"Iya, terima kasih." Sahut Sinta.

Sinta tak tahu siapa yang mengirim surat ini dan apa isinya, namun karena penasaran, ia berjalan menuju halte dengan membuka perlahan surat tersebut. Sinta berencana akan membacanya ketika sampai di halte. Ketika sampai di halte, bus yang mengantarnya menuju kampus sudah datang, ia pun mengurungkan niatnya untuk membaca surat tersebut di halte. Sinta naik ke dalam bus dan duduk di kursi dekat jendela. Suasana bus tak terlalu ramai pagi ini, sehingga ia bisa leluasa membuka surat yang belum ia ketahui asalnya ini.

Ketika Sinta membuka surat tersebut, ia mengerutkan dahi. Sebait puisi narasi dituliskan dengan begitu indah. Tanpa nama, tanpa petunjuk. Sinta pun membolak-balikkan kertas dan mengecek seluruh amplop, namun tak ada hasil. Tak ada nama yang menunjukkan siapa pengirim dari surat ini.

Tak ada sedikit pun petunjuk, Sinta kembali membaca puisi yang ada di kertas itu. Sebuah puisi yang indah. Ia tak henti-hentinya membaca susunan diksi yang indah itu. Serangkai kata itu bagai karangan bunga yang indah di pagi hari, ditambah Sinta yang saat ini juga merasa senang.

Sinta ingat sesuatu. Ia berpikir tentang kemungkinan paling tidak masuk akal, yakni Bima adalah orang yang mengirimkannya surat ini. Sebab perlakuan Bima sejak malam kemarin begitu manis kepadanya, bahkan sampai keesokan paginya, Bima tak mengubah sikap manisnya itu. Sinta yang tadinya hendak menghubungi Bima pun mengurungkan niatnya, mungkin semua pikirannya itu muncul karena memang dirinya ingin mendapat sebuah puisi dari Bima. Sinta terkekeh dengan segala dialog yang ada di pikirannya kali ini. Ia berpikir tentang segala ketidakmungkinan Bima yang merangkaikannya puisi seindah ini.