webnovel

-35-

"Ada urusan apa kau kemari?" Sinta bertanya dengan nada dingin.

Malam itu Bima datang ke rumah Sinta, ia ingin berbicara dengan Sinta mengenai kesalahan yang ia lakukan siang tadi. Ia tahu jika tindakannya siang ini membuat Sinta merasakan hal yang seharusnya tak ia rasakan. Bima ingin sekali menebus kesalahannya malam ini, sebab sejak kejadian siang ini terjadi, dirinya tak bisa beraktivitas dengan tenang. Ia tak bisa melupakan Sinta yang begitu marah dengannya, dan itu sangat membuatnya tak bisa tenang. Alhasil, Bima pun memutuskan untuk mendatangi Sinta di rumahnya saat ini.

Bima yang tadinya duduk pun bangkit dari duduknya ketika dilihatnya Sinta berjalan menghampirinya dari arah ruang makan. Sinta berdiri dengan mata sembab, baju yang asing, yang sepertinya merupakan baju kepunyaan temannya, serta celana kulot yang tadi ia gunakan ketika pergi ke kampus. Sepertinya memang ia tidak mengganti pakaiannya dan memilih mengurung diri di kamar sejak siang hingga malam hari.

"Aku ingin berbicara denganmu." Kata Bima kepada Sinta. Sinta diam sejenak sebelum menghela napasnya, "Di luar saja." Kata Sinta sambil berjalan ke luar.

Bunda dan Ayah yang berada di ruang makan itu harap-harap cemas ketika terdengar suara Sinta yang mengajak Bima berbicara di depan. Mereka pun berjalan menuju ruang tamu dengan mengendap-endap ketika Bima sudah menyusul Sinta menuju depan rumah.

Sinta dan Bima duduk di kursi yang ada di depan rumah Sinta. Mereka duduk dengan arah pandangan yang sama, yakni menunduk, melihat telapak kaki masing-masing. Sinta melakukan hal itu karena ia tak mau Bima melihat air matanya yang mati-matian ia cegah supaya tidak tumpah. Sedangkan Bima, ia merasa tidak enak, gugup hendak mengajak Sinta berbicara. Namun ia pun pada akhirnya harus melakukan sesuatu.

Bima menghela napas setelah beberapa menit mereka habiskan dengan berdiam diri, tanpa ada satu pun kata yang terucap dari mulut mereka.

"Maafkan aku tentang apa yang aku lakukan siang ini. Aku tak bermaksud membuatmu berpikir jika aku menghalangimu membalas perbuatan Zizi." Kata Bima sambil memandang ke arah Sinta. Sinta diam saja, ia terus menunduk dan tak sedikit pun mengeluarkan suara. Melihat Sinta yang sepertinya tidak memiliki niatan untuk membalas perkataannya, Bima pun melanjutkan, "Jujur saja, aku tak mau jika pertengkaran antara kau dan Zizi bertambah buruk. Selama aku mengenalmu, kau tentu bukan perempuan yang mau dikalahkan."

Lagi-lagi Bima menghela napas, "Maksudku, aku melakukannya bukan karena aku tak suka jika semakin banyak orang yang melihat pertengkaranmu dengan Zizi, tapi aku tahu jika Zizi tak akan berhenti saat kau membalas. Ia bisa menyakitimu lebih parah lagi, dan aku tak mau jika hal itu terjadi." Bima tahu jika ucapannya kali ini sangatlah aneh, namun memang ia harus melakukan itu. Egonya selama ini terlalu tinggi dengan menolak Sinta sejak awal. Keberadaan Sinta yang terus mencoba mengganggunya itu ia terus coba untuk tepis, padahal yang terjadi adalah dirinya sama sekali tak mau menolaknya sejak awal. Bima sebenarnya mau menerima Sinta, hanya saja egonya terlalu tinggi. Kesan cuek, dingin, serta angkuh terhadap perempuan terlalu melekat pada diri Bima sehingga untuk menerima kehadiran Sinta yang membawa banyak sekali perubahan di dalam dirinya itu pun ia tak mampu. Bima terus menolak hingga pada akhirnya ia hampir saja melakukan kesalahan yang fatal.

"Maafkan aku jika kehadiranku malam ini membuatmu merasa aneh, namun aku tak mau jika masalah ini semakin besar dan tak ada satu pun dari kita yang mau memperbaikinya."

Sinta yang sedari tadi menundukkan kepalanya dalam-dalam dan mencoba mati-matian menahan tangisnya, kini mulai terisak perlahan. Bima yang mendengar hal itu pun merasa panik. Ia pernah melihat perempuan menangis di hadapannya, namun ia tak pernah merasakan panik sedikit pun, berbeda dengan Sinta yang menangis di hadapannya kali ini.

"Ta," Bima terdengar ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya tercekat di tenggorokkan. Ia merasa jika sangat banyak kata yang mau ia sampaikan kepada Sinta, dan semua kata itu sama seperti dirinya. Mereka gengsi untuk berhadapan langsung dengan Sinta dan berakhir berdesakan di tenggorokkan Bima tanpa mau keluar. Bima pun menelan ludahnya dengan berat untuk melegakan tenggorokkannya.

Bima pun melanjutkan, "Maafkan aku." Sinta tampak mengangkat kepalanya sambil mengusap air mata yang menetes di pipinya. Ia menatap lurus ke arah depan dan berkata, "Kau kemari hanya untuk meminta maaf?" Tanya Sinta dengan suara sesenggukkan.

Bima membasahi bibirnya yang kering sebelum berkata, "Tidak. Aku ingin menjelaskan sesuatu." Sinta menoleh ke arah Bima, Bima pun melanjutkan, "Begini, aku tak membela Zizi dan tak akan pernah membelanya, karena aku tahu jika selama ini dia telah melakukan hal yang salah dengan banyaknya perempuan yang menjadi korban atas tindakannya. Aku hanya, aku hanya tak ingin dirinya melakukan hal yang buruk terhadapmu. Maafkan aku jika aku melakukan hal yang salah."

"Aku sangat sedih ketika kau melakukan itu dan mencegahku membalas perbuatan Zizi. Kukira selama ini kau sudah mengerti, kehadiranku di hidupmu selama ini telah membuatmu paham jika aku berbeda dengan perempuan lain."

"Kau memang berbeda."

"Lalu kenapa kau tak membiarkanku membalas perbuatannya? Kau tahu? Dia menatapku dengan tatapan kemenangan ketika berjalan keluar kantin! Dia merasa menang atasku! Dia meremehkanku! Aku merasa sangat buruk karena tak bisa membalas perbuatannya. Perempuan itu tak akan berhenti dengan perbuatan buruknya dan selalu merasa menang ketika telah berhasil melakukan hal buruk kepada orang lain, jika tak ada yang membalas perbuatannya itu, ia tak akan berhenti! Ditambah lagi kau yang membelanya!" Sinta berkata demikian sambil berdiri meninggalkan Bima.

Sebelum Sinta sepenuhnya meninggalkan Bima di sana, tangan Sinta ditahan. Bima menahan tangan Sinta untuk mencegahnya pergi. Sinta yang tahu jika Bima mencegahnya untuk pergi pun menoleh ke belakang dan menatap Bima. Ia terkejut ketika berhadapan dengan tatapan mata Bima yang tajam dan dalam, Bima tampak sangat serius kali ini, ia bahkan menutup bibirnya rapat-rapat.

"Kau memang berbeda, itulah kenapa aku harus melakukan ini. Jika aku menilaimu sama dengan perempuan lain, aku akan diam saja ketika Zizi menyiram bajumu. Aku akan diam saja, sebab aku tak peduli denganmu seperti perempuan lain. Dan aku tak membelanya." Kata Bima dengan serius.

Sinta tertawa sinis mendengar penjelasan Bima, "Aku mungkin berbeda dari orang lain, karena aku tahu hal-hal yang mereka tak tahu tentangmu. Hanya itu yang membuatku berbeda dari perempuan yang lainnya. Selain itu, aku sama seperti perempuan-perempuan lain yang mengganggumu. Tapi tenang saja, setelah ini aku tak akan mengganggumu lagi. Seharusnya memang begitu, seharusnya aku tak mengganggumu sejak dulu."

"Ya. Kau harus berhenti." Sahut Bima yang membuat Sinta sangat terkejut. Belum sempat keterkejutannya reda, Bima kembali berkata, "Aku mau kau berhenti menganggap jika dirimu menggangguku. Berhenti untuk berkeliaran di pikiranku ketika kau tak ada di kantin, di kelasku, di tempat latihan bandku, di tempat kosku, atau di mana saja. Aku ingin kau berhenti, jangan lagi berkeliaran di pikiranku, lakukan itu di dunia nyata. Maafkan aku yang selama ini memiliki ego yang terlalu tinggi. Aku lebih mementingkan egoku sehingga mencoba untuk bersikap terganggu dengan kehadiranmu, padahal yang terjadi, jika kau tak ada di dekatku, aku akan selalu mencarimu dan berakhir dengan pikiranku yang kacau."

"Apa maksudmu?" Tanya Sinta dengan suara yang bergetar.

"Aku tahu selama ini kau mencari sosok Bimasena untuk menjadi kekasih, tapi katamu aku lebih cocok menjadi Duryudana, dan aku juga menyutujui hal itu." Kata Bima dengan terkekeh. Ia pun melanjutkan, "Tapi, meskipun aku bukan Bimasena, aku tak akan menjadi Rama yang kau benci, karena aku tak mau jika kau membenciku. Jadi, izinkan aku menjadi Bima, Bima yang mencoba memantaskan diri menjadi Bimasenamu."

Sinta terkejut dengan perkataan Bima terhadapnya, sangat terkejut. Ia tak menyangka jika Bima akan mengatakan hal ini. Tangis Sinta yang tadinya mereda, kini kembali pecah. Ia terisak sangat keras sehingga tangan Bima yang sejak tadi tak lepas dari tangan Sinta pun menariknya perlahan. Bima mendekatkan tubuhnya ke arah Sinta dan mendekapnya dengan erat. Ia meletakkan kepala Sinta di dadanya sambil terus mengusap punggung Sinta. Ia merasakan sakit yang luar biasa ketika mendengar tangis Sinta yang semakin keras.

Sinta yang merasakan dekap hangat milik Bima pun membalas pelukannya dan menenggelamkan kepalanya di dada Bima. Ia menangis sangat keras di sana, menumpahkan air matanya dengan puas. Ia merasa sangat sedih mendengar perkataan Bima terhadapnya sehingga tangisnya kembali pecah, dengan sangat keras air mata itu mendobrak pertahanannya.

"Aku tak tahu kenapa aku sangat sedih." Kata Sinta dengan sesenggukkan. Bima yang tahu jika Sinta berkata demikian pun berbicara, "Tak apa, menangislah sampai kau lega."

Butuh beberapa menit sebelum Sinta tenang. Saat ini ia masih berada di pelukan Bima dan masih membalas pelukan itu. Mereka berpelukan dengan erat, sama eratnya ketika pertama kali merasakan hangat pelukan itu. Sinta yang merasa malu telah membuat pakaian Bima basah akan air matanya itu pun perlahan melepas pelukannya, Bima juga melakukan hal yang sama. Kini mereka berdiri berhadapan, Bima menatap lekat ke arah Sinta, Sinta menunduk dalam sambil mengusap-usap wajahnya.

"Aku tak mengerti kenapa aku begitu sedih mendengar perkataan yang kau lontarkan, tapi kurasa aku mengerti alasannya. Kau pernah berkata kepadaku, jika aku adalah perempuan dengan ego yang tinggi. Kau benar. Aku sangat sadar jika egoku begitu tinggi sehingga tak terima jika ada orang lain yang menganggapku remeh. Aku terlalu lama bersembunyi di balik kata-kata mengganggumu. Semua tindakan mengganggu dirimu itu membuatku tak sadar tentang apa saja yang telah berubah. Aku membohongi diriku sendiri dengan tak menganggapnya ada. Maksudku, aku tak mau mengakui jika ada sesuatu yang berubah. Aku selalu berkata jika aku sangat menikmati jika berhasil mengganggumu, padahal yang terjadi adalah aku sangat senang ketika bertemu denganmu. Kurasa tak pantas jika hanya kau yang meminta maaf, padahal aku juga melakukan kesalahan. Maafkan aku."

Bima menaikkan salah satu alisnya mendengar perkataan Sinta, "Aku harus memaafkanmu karena telah menyukaiku?"

Sinta yang sedari tadi menundukkan kepalanya dalam-dalam pun mengangkat kepalanya dan memandang ke arah Bima, "Aku tak-" Belum sempat Sinta menyelesaikan perkataannya, Bima memotongnya dengan tawa.

"Kau baru saja selesai berkata jika kau meminta maaf karena memiliki ego yang tinggi, lalu saat ini kau membantahnya lagi." Kata Bima dengan tawanya. Mendengar ucapan Bima, Sinta mengerucutkan bibirnya.

"Sudahlah, sekarang sudah malam. Kau lebih baik pulang." Kata Sinta dengan dingin.

"Pulang? Kau tak bisa menyuruhku pulang sebelum menjawab pertanyaanku."

"Pertanyaan apa?" Sinta berpura-pura tak tahu.

"Oh, ayolah. Jika aku mengatakannya lagi, kau akan kembali menyangkalnya." Sinta pun tertawa dengan rasa malu yang teramat sangat.

"Aku minta maaf karena memiliki ego yang terlalu tinggi. Sebaiknya memang aku harus berdamai dengan diriku, lebih tepatnya aku tak seharusnya membohongi diriku sendiri." Kata Sinta.

"Ya, kita sama-sama memiliki masalah yang menyulitkan. Ego bukan sesuatu yang mudah untuk kita kalahkan, karena memang seharusnya kita tak mengalahkan ego. Jika kita mencoba mengalahkannya, kita akan membuatnya bertindak semakin buruk dan semakin parah meninggikan badannya. Oleh karenanya, yang seharusnya kita lakukan bukanlah mengalahkan ego, melainkan berdamai dengannya."

Sinta mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, "Ya, kau benar."

"Jadi, saat ini kau paham tentang alasanku mencegahmu membalas perbuatan Zizi?" Sinta terlihat mengerutkan dahinya, Bima pun melanjutkan, "Begini, anggap saja Zizi adalah ego. Jika ia coba kau kalahkan, ia akan bertindak semakin buruk dan justru kau yang nantinya akan kesulitan. Semua hal yang Zizi lakukan adalah tindakan yang tidak berguna, jika kau membalasnya dengan cara yang sama, hal-hal yang tak berguna itu akan semakin besar. Kau sungguh tak mau jika waktumu terbuang sia-sia hanya untuk menghadapinya, bukan?"

Sinta mulai paham dengan penjelasan Bima, "Lalu, apa yang harus aku lakukan? Jika ia tak dibalas dengan cara yang sama, dia tak akan berhenti."

"Itu bukan sesuatu yang harus kau selesaikan sendiri. Itulah alasan kenapa diriku ada di sini, aku akan membantumu dan tak akan kubiarkan dirinya melakukan hal yang lebih buruk terhadapmu." Wajah Sinta memerah dan dirinya menahan senyum yang keluar akibat adanya perkataan yang dilontarkan oleh Bima. Bima kembali tertawa melihat ekspresi wajah Sinta. Ia berkata, "Sepertinya kita sudah belajar banyak hal hari ini."

"Apa?"

"Kita telah mengerti jika sebuah rasa tak seharusnya dipendam, meskipun tak semua pengungkapan akan berakhir manis, setidaknya semua beban yang selama ini sengaja ditahan tak jadi bom waktu yang nantinya akan meledakkan kita menjadi berkeping-keping. Dan beruntungnya aku, kau juga membalas pengungkapan rasaku dengan sangat manis."

"Kenapa kau begitu yakin?" Tanya Sinta. Bima yang mendengar hal itu memiringkan kepalanya sebelum berjalan mendekat ke arah Sinta. Ia membungkukkan badannya sehingga kepalanya sejajar dengan kepala Sinta, ia pun perlahan mendekati wajah Sinta.

"Karena aku tak lagi tenggelam pada samudera matamu. Aku bisa membaca semuanya dari sana." Kata Bima sambil berbisik di telinga Sinta. Setelah ia berbisik, Bima mundur beberapa langkah ke belakang. Ia menatap Sinta dengan lekat, seakan tak mau keluar dari samudera mata milik Sinta meski saat ini malam telah berkuasa.

"Dan, kurasa kita tak perlu lagi menyembunyikannya." Tambah Bima.

"Menyembunyikan apa?" Tanya Sinta menggoda Bima. Bima yang tahu jika Sinta mencoba untuk menggoda dirinya pun tersenyum sebelum berkata, "Menyembunyikan fakta jika aku tertarik denganmu dan segala sikapmu yang menyebalkan." Sinta pun tertawa setelah mendengar perkataan Bima.

"Kalau begitu, aku akan pulang dulu." Kata Bima sambil berjalan mundur.

"Apa? Kau tak bisa pulang setelah mengatakan hal itu." Bima menghentikan langkahnya ketika mendengar ucapan Sinta. Ia bertanya, "Kau benar, aku harus pamit terlebih dulu kepada kedua orang tuamu."

Sinta menatap datar ke arah Bima yang bercanda, ia berkata, "Bukan itu."

"Lalu apa?"

"Kau tak bisa langsung pergi setelah mengatakan jika dirimu tertarik denganku."

"Jadi, aku harus apa?" Tanya Bima yang mencoba untuk membalas menggoda Sinta.