webnovel

-28-

"Jadi, kapan bandmu akan tampil di kafe lagi?" Tanya Sinta kepada Bima sebelum dirinya pamit pulang.

"Masih lama." Sahut Bima.

"Baiklah, beri aku kabar selanjutnya." Sinta, Ara, dan Fanya beranjak untuk pulang.

Melihat Sinta yang berjalan pergi, Bima menyeringai. Ia mendapat ide untuk membuat perempuan itu berhenti mengganggunya. Setelah kepergian Sinta dan teman-temannya, Bima dan yang lainnya juga beranjak pergi. Sebenarnya saat ini belum sepenuhnya malam, namun di keesokan harinya, mereka memiliki kelas pagi yang harus dihadiri, jadilah mereka juga pulang.

Keesokan harinya, Sinta menghadiri kelas pukul sembilan. Saat dirinya, Ara, serta Fanya menaiki tangga, mereka bertemu dengan Bima dan Zizi yang berjalan menuruni tangga.

Sinta tersenyum senang ketika melihat kehadiran Bima dan mengurungkan niatnya untuk menaiki tangga, "Selamat pagi, Mas Bima. Mau ke kantin? Atau mau pulang? Pulang aja kali, ya."

"Apa maksud perkataanmu?" Bukan Bima yang menanggapi perkataan Sinta, namun justru Zizi yang bertanya kepadanya dengan nada kesal.

"Mas Bima sudah tidak ada kelas lagi hari ini?" Tanya Sinta kepada Bima dan menghiraukan pertanyaan yang Zizi lontarkan.

"Aku berbicara padamu, Bocah!"

"Berhentilah berdebat di hadapanku. Pergilah ke kelasmu segera." Kata Bima dingin.

"Ah, Mas Bima sangat pengertian sekali. Baiklah, aku akan pergi ke kelasku. Mas Bima juga cepatlah pulang, ya. Aku tak mau melihatmu semakin tersiksa dengan perempuan yang selalu mengganggumu kemana pun itu." Sinta berkata demikian dengan berlari menaiki tangga.

Terdengar suara Zizi yang meneriaki dirinya, "Heh! Bocah kurang ajar!"

Perkuliahan berjalan dengan baik hari ini. Sinta yang telah selesai dengan semua kelasnya itu berjalan pulang. Namun perjalanan pulang kali ini berbeda dengan biasanya. Ara dan Fanya yang terbiasa hanya mengantar Sinta di halte, saat ini mereka mengantar Sinta sampai rumah. Mereka bertiga hendak mengerjakan tugas bersama-sama di rumah Sinta.

"Bunda, ini ada Ara dan Fanya. Kami mau mengerjakan tugas di kamarku." Kata Sinta kepada Bunda ketika ia sampai di ruang tengah. Ara dan Fanya pun mengucap salam kepada Bunda dan memperkenalkan diri mereka masing-masing.

"Langsung saja ke kamar Sinta, nanti Tante antarkan minuman serta makanan ke sana."

"Tidak perlu repot-repot, Tante."

"Tidak, tidak masalah."

Setelah itu, Sinta, Ara, dan Fanya pun berjalan menaiki tangga menuju kamar Sinta. Sesampainya di kamar Sinta, mereka bergantian membersihkan kaki di kamar mandi. Sinta yang menunggu gilirannya masuk ke kamar mandi pun terlebih dulu membuka ponselnya. Di sana ada pesan dari Ruri, Sinta membalas pesan Ruri yang tak lama kemudian ponselnya berdering.

"Ya, Ri?"

"Kamu di mana, Ta?"

"Di rumah."

"Aku ke rumahmu, ya?"

"Ya, datang saja. Di sini juga ada Ara dan Fanya. Kamu datang bersama Banu?"

"Tidak, aku datang sendiri."

"Oke."

Selepas itu, Sinta masuk ke kamar mandi. Setelah Sinta selesai dengan urusannya di kamar mandi, mereka bertiga pun mengeluarkan buku serta pena untuk mengerjakan tugas. Beberapa saat setelah itu, Ruri datang memasuki kamar Ruri.

"Hai, Ruri." Sapa Ara dan Fanya tersenyum ke arah Ruri.

"Halo. Lho, kalian sedang mengerjakan tugas bersama? Kenapa kamu tidak bicara kepadaku, Ta? Kan aku bisa datang ke rumahmu setelah kalian selesai dengan tugas kalian."

"Tidak masalah. Kami sebenarnya juga hanya ingin main ke rumah Sinta." Kata Fanya sambil terkekeh.

Bunda datang untuk membawakan mereka minuman dan makanan. Minuman dan makanan itulah yang akhirnya menghambat mereka dalam mengerjakan tugas. Ditambah dengan sebuah fakta jika sekelompok perempuan yang telah berkumpul itu tak akan bisa jika tak saling berbagi cerita.

"Aku tak menyangka jika Mas Bima bisa memainkan alat musik. Bukan hanya itu, dia bahkan memiliki sebuah band." Kata Sinta kepada Ruri.

"Apa? Serius?"

"Seharusnya kemarin malam kamu ikut menonton bersama dengan kami. Sayang sekali kamu sedang mengerjakan tugas."

"Jadi, kemarin malam kamu mau mengajakku menonton penampilan band Kak Bima?" Tanya Ruri yang dibalas anggukkan oleh Sinta.

"Dia sangat keren, kamu tahu?"

Ruri memasang wajah sedih, "Seharusnya kamu memberitahuku jika kalian hendak menonton band Kak Bima."

"Aku tak mau mengganggu ritual belajarmu, Ri." Kata Sinta sambil terkekeh.

Melihat wajah masam Ruri, Sinta pun menceritakan kembali bagaimana penampilan band Bima kemarin malam. Ia begitu senang di dalam bercerita, hingga membuat Ruri tak henti-hentinya tersenyum. Ia sesekali tertawa lepas melihat ekspresi senang milik Sinta, sebab tak pernah Sinta terlihat sebahagia ini.

"Aku jadi penasaran bagaimana penampilan band Kak Bima." Kata Ruri ketika Sinta selesai bercerita.

"Kalau begitu, kamu harus menonton. Ia bilang jika bandnya akan kembali tampil, namun itu masih lama. Aku sudah memintanya untuk memberikan kabar jika bandnya akan tampil lagi, semoga saja dia mau memberitahuku." Kata Sinta dengan terkekeh.

Ponsel Sinta berdering, tanda ada pesan masuk. Ia melihat di notifikasi ponselnya, ada nama Prada yang menandakan dirinya mengirimi Sinta pesan. Sebelumnya, Sinta telah bertukar nomor ponsel kepada Prada, Nuca, serta Ino supaya lebih mudah untuk saling menghubungi perihal Bima. Sinta pun membuka pesan tersebut dan ia tersenyum ketika membaca isi pesan tersebut.

"Malam ini band Kak Bima akan tampil lagi di kafe yang sama seperti kemarin." Kata Sinta dengan ceria.

Sinta dan yang lainnya pun bergegas untuk menyelesaikan tugas mereka sebelum nanti sore akan pergi ke kafe untuk menonton penampilan band Bima.

"Sampai kapan kamu akan mengganggu Kak Bima?" Tanya Ruri.

Sinta tertawa mendengar ucapan Ruri, "Entahlah, aku sangat menikmati saat-saat di mana dia merasa terganggu."

"Hati-hati, aku hanya ingin mengingatkan. Bisa saja kamu terlalu menikmatinya dan tak sadar jika sesuatu telah berubah." Ruri berjalan keluar kamar Sinta sambil tertawa geli. Ia tertawa melihat wajah sahabatnya yang memerah itu. Ruri pamit untuk pulang kepada Bunda, diikuti oleh Ara serta Fanya.

Hari ini Sinta memiliki rencana untuk mengganggu Bima, ia sudah mempersiapkan semuanya. Pada pukul setengah tujuh, Prada datang ke rumah Sinta yang disusul oleh kedatangan Ara serta Fanya. Mereka bersiap untuk menjemput Sinta menuju kafe. Sebelum pergi, Prada berpamitan terlebih dulu dengan kedua orang tua Sinta yang disambut dengan baik. Bunda dan Ayah sudah lama mendengar nama Prada dari cerita anaknya, dan baru kali ini mereka bertemu muka.

Mereka berempat pergi menuju kafe. Sesampainya di sana, mereka telah melihat keberadaan Nuca serta Ino yang telah duduk di salah satu kafe. Mereka pun saling menyapa satu sama lain.

"Bima sudah datang?" Tanya Prada kepada kedua temannya.

"Sudah. Saat ini ia sedang berada di ruangan itu, tadi aku dan Ino sempat mengobrol dengannya juga." Prada pun mengangguk setelah mendengar penuturan Nuca.

Beberapa saat kemudian, band Bima menaiki panggung yang ada di kafe ini. Malam ini Bima memakai kaos garis-garis kecil hijau dan putih lengan pendek yang dimasukkan sebagian di celana drawstring warna abu. Bima mengenakan sepatu hitam putih dan terlihat kaus kaki pendek yang menyembul di kakinya. Tak banyak anak rambut yang keluar bermain, rambut Bima tampak lebih tertata malam ini.

Tak seperti kemarin malam, ketika Bima berjalan keluar dari ruangan yang ia dan teman-teman bandnya tempati sebelum tampil, ia telah mengedarkan pandangannya ke arah pengunjung kafe. Di sana ia bisa melihat Sinta duduk di antara teman-temannya. Ia telah menduga hal ini akan terjadi dan dirinya tersenyum tipis. Sangat tipis sehingga penerangan lampu tak bisa menyinari dan menampakkan senyum tipis milik Bima itu. Saatnya mengerjai Sinta.

Penampilan band pun dimulai dengan suara sang vokalis yang membuka penampilan mereka. Sinta yang menyadari ada sebuah keanehan pun berkata, "Apa yang dia lakukan?"

Ara, Fanya, Prada, Nuca, maupun Ino tak bisa menjawab pertanyaan Sinta, sebab mereka juga tak tahu apa yang Bima lakukan di atas panggung. Mereka tahu jika di dalam band, Bima berlaku sebagai bassist. Namun malam ini Bima tak memegang bass. Orang lainlah yang justru bersiap-siap dengan bass yang biasa Bima mainkan.

Penampilan band Bima dimulai dengan lagu Slow Dancing In A Burning Room milik John Mayer. Sepanjang lagu yang dinyanyikan, Sinta hanya terdiam. Ia tak tersenyum seperti malam sebelumnya ketika pertama kali melihat band Bima tampil. Sinta tahu jika saat ini Bima sedang mengerjai dirinya.

Band Bima telah menuntaskan penampilan mereka, kelima lagu telah dibawakan dengan baik. Setelah penampilan mereka selesai, tampak Bima yang berbicara dengan anggota bandnya yang lain. Mereka tampak bercakap beberapa saat sebelum Bima berjalan menuju meja teman-temannya.

Ketika Bima telah duduk di salah satu kursi, Sinta berkata, "Kau sengaja menjadi drummer untuk malam ini?"

Ya. Malam ini Bima menjadi seorang drummer. Ia sengaja melakukan itu untuk mengerjai Sinta, ia mau Sinta untuk berhenti mengganggu dirinya.

"Tidak, mulai saat ini aku resmi menjadi drummer di bandku."

"Oh, begitu? Jadi kau menjadi drummer supaya aku tak menjadikanmu sebagai kekasih?"

Bima menyeringai, "Kenapa? Kau tak mau memiliki kekasih seorang drummer? Katanya kau suka dengan seseorang yang bisa memainkan alat musik? Drum adalah alat musik, bukan?"

Sinta tersenyum manis, "Ya, memang. Rupanya kau mengingat perkataanku kepadamu, ya. Itu sungguh manis. Dan, selama ini kau mengenalku, seharusnya kau tahu jika aku bukanlah perempuan yang bisa dengan mudah percaya mitos. Aku tak peduli dengan mitos yang mengatakan jangan pernah menjadikan seorang drummer sebagai kekasih. Apalagi jika kau yang menjadi drummer. Aku tak peduli apa peranmu di dalam bandmu, melainkan mengenai siapa dirimu. Karena aku hanya mempedulikanmu." Kata Sinta menggoda Bima. Bima yang tahu jika Sinta menggodanya hanya menatapnya datar. Seharusnya ia tahu jika perempuan di hadapannya ini penuh dengan taktik.

"Eh, sepertinya aku harus pergi." Kata Prada secara tiba-tiba.

"Ada apa, Mas?" Tanya Sinta kepada Prada.

"Aku lupa jika seharusnya malam ini aku pergi dengan calon kekasihku."

"Jadi harus pulang sekarang?" Tanya Sinta.

Prada menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, "Iya. Maaf, Ta."

"Ya sudah." Sinta memasukkan ponselnya ke dalam tas untuk bersiap-siap pulang.

"Lho, mau kemana, Ta?" Tanya Nuca.

"Pulang, Kak. Hari ini aku datang bersama Mas Prada. Motor Ara sedang dibawa ke bengkel."

"Lho, jadi kamu tadi dijemput Prada?"

"Iya."

"Masa jam segini kamu mau pulang?" Pertanyaan Ino membuat Bima merasakan sesuatu yang tidak enak.

"Begini saja, biarkan Prada pulang dulu. Bima kan membawa motor dan tak sedang membonceng siapapun, jadi kamu bisa diantar olehnya." Lanjut Ino.

Bima sudah menduga akan hal ini, ia pun berkata, "Enak saja! Sebagai lelaki, Prada harus bertanggung jawab."

"Oh, ayolah. Aku sedang buru-buru, jangan dipersulit. Kau antar Sinta dengan selamat sampai ke rumahnya, Bim!" Seru Prada sambil berlari menuju parkiran motor.

Bima hanya menatap kepergian temannya itu dengan tatapan datar, ia telah menduga hal ini akan menimpa dirinya karena tak mungkin Sinta diantar pulang oleh Nuca atau Ino, karena mereka hanya membawa satu motor. Sedangkan jika menyuruh Sinta menaiki kendaraan umum di malam hari adalah tindakan yang tak mungkin seorang lelaki lakukan. Mereka pun melanjutkan kegiatan mengobrol sampai pukul sembilan kurang.

"Kita pamit pulang duluan, Sin, Kak." Kata Ara.

"Lho, kenapa?" Tanya Ino.

"Gerbang kosku ditutup pukul sembilan, Kak."

"Yah, jadi sepi. Ya sudah kalau begitu, kita pulang juga. Kau antarkan anak perempuan itu sampai ke rumahnya dengan selamat, ya. Ingat pesan Prada." Kata Nuca kepada Bima.

Mereka pun segera beranjak untuk pulang. Dengan langkah terpaksa, Bima berjalan menuju motornya untuk mengantar Sinta pulang.

"Langsung pulang, jangan kau bawa Sinta ke tempat lain dulu."

"Ya, Bim. Hati-hati bawa motornya, pelan-pelan saja. Takutnya motormu terkejut dengan adanya perempuan yang naik di jok motor itu." Nuca dan Ino menggoda Bima yang membuat Sinta, Ara, serta Fanya tertawa.

Sinta telah memakai helmnya, namun saat hendak naik ke motor Bima, teleponnya berdering.

"Eh, sebentar, Mas. Ada telepon." Kata Sinta kepada Bima. Teman-teman mereka yang telah bersiap pergi itu pun menghentikan niat mereka.

"Ya, Bunda?" Kata Sinta kepada seseorang yang menelepon.

"Iya, ini Sinta mau pulang." Terlihat Sinta sedang mendengarkan perkataan seseorang di telepon sebelum pada akhirnya menjawab, "Sebentar Bunda, aku tanya dulu."

Sinta pun berkata kepada Bima, "Mas, Bunda minta tolong untuk dibelikan martabak, nih. Gimana?"

Ino yang mendengar perkataan Sinta pun menyahuti, "Gas! Antar dulu Sinta beli martabak untuk bundanya, Bim! Sebagai lelaki yang baik, kau tentu tak mau menolak permintaan seorang ibu, bukan?" Nuca tertawa mendengar ucapan Ino, sedangkan Bima menghela napas panjang.

"Ya." Kata Bima pada akhirnya. Sinta yang mendengar jawaban dari Bima itu pun tersenyum lebar dan segera berbicara lagi ke telepon, "Ya, Bunda. Sinta akan belikan." Setelah itu Sinta memasukkan ponselnya dan segera naik ke motor Bima.

"Kita duluan, ya."

"Dadah Bima!" Nuca dan Ino melajukan motornya meninggalkan Bima yang berdecak kesal.

Bima pun melajukan motornya pergi meninggalkan kafe.

"Beli martabak di mana?" Tanya Bima ketika ia melajukan motornya.

"Di dekat rumahku saja, Mas."

"Kau pikir aku tahu di mana rumahmu?" Sinta tertawa lepas mendengar perkataan Bima. Ia lupa jika Bima belum mengetahui di mana letak rumahnya. Sinta pun segera memberitahu Bima sembari motornya melaju.

Tak lama kemudian mereka sampai di tempat penjual martabak. Suasana di tempat ini lumayan ramai, hal tersebut membuat Sinta harus meminta Bima untuk turun dari motornya dan duduk di salah satu kursi yang ada di lapak martabak.

"Mas Bima juga mau pesan martabak?"

"Tidak."

"Oke. Aku pesan dulu." Sinta pun berjalan ke arah penjual martabak untuk memesan.

"Sepertinya akan membutuhkan waktu yang lama. Yang beli martabak lumayan banyak." Kata Sinta kepada Bima sekembalinya ia dari memesan. Bima hanya mengangguk dengan menatap ke arah ponselnya.

"Tidak sopan jika ada seseorang yang mengajakmu berbicara, kau justru menatap ponselmu, bukan wajah seseorang yang mengajakmu berbicara." Keluh Sinta kepada Bima.

Bima yang tadinya menatap ponsel pun meletakkan ponselnya itu dan menatap lurus ke mata Sinta sambil menopang dagunya dengan sebelah tangannya di atas meja. Sinta yang mendapat tatapan lurus milik Bima pun menahan napasnya. Ia terlihat gusar dengan tindakan Bima sehingga wajahnya memerah.

Bima menyipitkan matanya dan berkata, "Kau yang memintaku menatapmu, kenapa justru saat ini kau memalingkan muka?" Kata Bima ketika Sinta mengalihkan pandangan matanya.

"Iya, tapi jangan menatapku dengan tatapan itu."

Bima menegakkan badannya dan bersandar di kursi, "Lalu kau mau aku menatapmu seperti apa?"

"Biasa saja." Kata Sinta yang telah mengembalikan tatapan matanya ke arah Bima, Sinta melipat tangannya di atas meja.

"Itu tatapanku yang biasa."

"Tidak, itu bukan tatapan yang biasa."

Bima menghela napas panjang, "Sepertinya rencanamu tak berjalan dengan lancar."

Sinta mengerutkan dahinya mendengar perkataan Bima, Bima pun melanjutkan, "Kau sendiri yang mengatur rencana supaya aku mengantarmu pulang, lalu kenapa sekarang kau terlihat tersiksa dengan hanya ada aku di depanmu?" Bima memajukan badannya dan menatap mata Sinta lekat-lekat. Sinta yang terpaku dengan tatapan Bima pun tak bisa bergerak. Ia tak bisa bergerak ketika mendapati wajah Bima yang berjarak hanya dua jengkal di depan wajahnya.