webnovel

-19-

Setelah serangkaian peristiwa di masa lalu, semua itulah yang membentuk kita di masa sekarang. Tanpa kita sadari, segala kesulitan dari yang sepele sampai yang besar, kita banyak belajar dari itu. Dan tanpa Sinta sadari, dirinya menjadi sosok yang tidak ia duga. Masa SMA yang kebanyakan diisi dengan candaan serta kegiatan menyalin PR Ruri, membawa dirinya masuk ke jenjang perkuliahan. Ia masuk di jurusan yang sudah lama ia inginkan. Dulu, Sinta berpikir jika pasti akan menyenangkan, ketika sekolah hanya berisi tentang pelajaran bahasa Indonesia saja. Tak ada hitungan matematika serta fisika yang biasa ia temukan di masa SMA.

Impian tersebut menjadi kenyataan. Sinta tak sabar untuk mempelajari itu semua, mendalami bahasa atau sastra Indonesia lebih dalam lagi. Sebab selama ia bersekolah di jenjang menengah atas, dirinya tak bisa menemukan mata pelajaran yang sesuai dengan minatnya terhadap sastra. Dirinya hampir sampai di tahap itu, kini ia tengah menjalani serangkaian Ospek di universitas yang beruntungnya ia, dirinya menjalani semua itu bersama dengan sahabatnya.

Tak seperti masa orientasi, Ospek sangat menyenangkan. Tidak ada drama yang dilakukan, hanya proses kenalan, permainan, serta candaan yang mengiringi hari-hari Ospek. Ruri bisa bernapas lega saat tahu Sinta tak mengomel, ia justru tersenyum bahagia saat menceritakan hari-hari Ospeknya.

"Aku tak menyangka kita akan sampai di hari-hari terakhir Ospek universitas dan fakultas. Selanjutnya kita akan menghadapi Ospek jurusan kita." Kata Sinta dengan bahagia.

"Ya, aku tak sabar untuk itu. Kamu tahu, aku sangat senang saat mengetahui kamu tidak bertindak macam-macam. Kalau kamu, Sa? Bagaimana hari-harimu?" Saat ini mereka berdua sedang berkumpul di rumah Sinta sambil menelepon Saka seperti biasa.

"Lelah rasanya. Hari ini aku banyak menghabiskan waktu dengan berjalan." Kata Saka.

"Kenapa kamu berjalan?" Tanya Ruri.

"Ya, acara Ospek diadakan di berbagai tempat di universitas. Dan semua tempat itu tidak berada di jarak yang dekat."

"Kamu kan bawa motor, kenapa tidak naik motor saja?" Sinta bertanya.

"Tidak, parkiran motor letaknya juga jauh. Dan jika aku naik motorku, aku akan bingung akan diparkir di mana nanti. Tapi sebentar lagi akan berakhir, jadi ya, tidak masalah."

"Tapi apakah kamu senang di sana?"

Pertanyaan Sinta membuat Saka terdiam sejenak dan berkata, "Ya, aku senang bisa berada di perguruan tinggi yang selama ini menjadi impianku. Tapi aku tak bisa berbohong jika terkadang aku merasa kesepian di sini. Aku terbiasa dengan kehadiran kalian di kelas."

"Kamu pasti akan menemukan sahabat yang bisa menemanimu seperti kami di sana, pasti nanti akan kamu temukan." Kata Ruri.

"Tidak Ruri, lebih tepatnya adalah sahabat yang mengganggu dan merepotkan seperti kita." Kata Sinta yang membuat Ruri dan Saka tertawa.

Setelah itu mereka menutup telepon mereka dengan Saka setelah mereka menyuruhnya untuk beristirahat. Saat ini jam menunjukkan waktu pukul tujuh lebih sebelas malam dan mereka belum berniat untuk mengakhiri percakapan.

"Saat Ospek jurusanmu nanti, jangan lupa untuk bercerita mengenai hari-harimu kepadaku." Kata Ruri.

"Memangnya kenapa?"

"Tidak, aku hanya ingin mengetahui ceritamu saja." Kata Ruri. Sebenarnya ia tahu sebuah informasi yang ia dapatkan dari Saka dan Sinta tidak mengetahui akan hal itu.

"Mencurigakan."

Ruri tertawa dan berkata, "Tidak, tidak. Aku hanya ingin tahu bagaimana cerita Ospek jurusanmu. Aku hanya khawatir kamu akan melakukan hal-hal yang bisa memancing masalah."

"Tenang saja, semua akan baik-baik saja." Kata Sinta.

Ruri tersenyum sebelum berkata, "Ya, semoga."

"Oh ya, aku ingin bertanya sesuatu kepadamu. Sebenarnya kamu telah menjawab pertanyaanku yang satu ini, tapi aku tidak puas dengan jawabanmu. Karena sepertinya ada sesuatu yang tidak mau kamu bagi kepadaku."

Ruri menyipitkan mata, "Apa?"

"Sebenarnya, dulu sewaktu kita di masa-masa canggung dengan Saka, kenapa kamu melarangku untuk satu perguruan tinggi dengan Saka?"

"Melarangmu?"

"Ya, aku masih ingat tentang ucapanmu yang memintaku untuk memikirkan matang-matang lagi tentang pilihan perguruan tinggiku. Percakapan kita itu terjadi sebelum aku putus dengan Saka."

Ruri terdiam sejenak, ia terlihat menimbang perkataan mana yang sekiranya akan cocok untuk menjawab pertanyaan Sinta, "Aku memintamu untuk memikirkan hal itu lagi karena orang tuamu tidak setuju dengan pilihanmu yang ingin masuk di perguruan tinggi yang sama dengan Saka. Memangnya kenapa?"

"Aku hanya merasa jika kamu tahu sesuatu yang tak aku ketahui."

"Tidak, hanya itu. Sudahlah tidak usah terlalu dipikirkan, pikirkan saja tentang Ospek jurusanmu esok hari. Kamu sudah mempersiapkan itu semua?" Kata Ruri setenang mungkin.

"Oh, iya. Hampir saja lupa."

Sinta pun segera mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk Ospek jurusannya esok hari. Ruri bernapas lega, ia tenang sebab dirinya bisa mengubah fokus Sinta. Ia tahu jika Sinta pasti merasa ada sesuatu yang janggal, sehingga ia harus membuat situasi terlihat senormal mungkin.

*

Ruri berjalan ke dalam kafe untuk menemui seseorang. Ia yang waktu itu berhasil menghubungi Tama pun segera membuat janji untuk bertemu. Namun sayang, Tama yang saat ini sedang sibuk dengan akademi kepolisian yang ia ikuti itu pun membuat dirinya sulit untuk ditemui. Sehingga pada akhrinya, Ruri pun berhasil untuk membuat janji dengan Tama untuk bertemu.

Terlihat seseorang yang dia kenal duduk di salah satu kursi kafe. Tama yang menyadari keberadaan Ruri pun mengangguk ke arahnya. Setelah Ruri duduk, ia berkata kepada Tama, "Aku tak mau basa-basi. Aku ingin bertanya kepadamu tentang foto Sinta yang bernoda merah."

Tama yang tahu jika Ruri pasti menanyakan hal itu pun hanya diam. Ruri melanjutkan, "Apa benar kau adalah pelakunya?"

Tama menatap tajam ke arah Ruri, "Kau tahu dari siapa?" Ruri yang mendengar pertanyaan Tama pun berkata, "Jawab saja pertanyaanku."

Tama tertawa sinis, "Kau pasti tahu dari Saka." Ruri hanya diam menatap Tama dengan tatapan tajamnya, "Jika memang aku adalah pelakunya, memangnya kenapa?" Tama menambahkan.

"Kau licik. Memang benar apa kata orang, kau adalah orang yang sangat ambisius. Tapi aku tak akan membiarkanmu merusak kehidupan sahabatku."

"Aku tak melakukan apapun."

"Kau gila?" Ruri mencoba menahan diri supaya dia tak berteriak di kafe ini. Ia mencoba untuk tidak memancing perhatian orang lain. "Kau meneror sahabatku dan semua orang yang mendekati Sinta. Jika kau memang menyukai Sinta, lakukan dengan cara yang benar. Bukan justru memakai cara yang licik seperti itu."

Lagi-lagi Tama tertawa sinis, "Aku hanya memberi saran, jauhkan saja Sinta dari Saka." Ruri melotot ke arah Tama ketika dirinya mengatakan itu. Ia yang tak lagi tahan berhadapan dengan Tama pun memutuskan untuk pergi. Sebelum ia melangkahkan kaki meninggalkan Tama, Ruri berkata, "Jangan berani-berani kau mencampuri urusan sahabatku lagi. Jika kau mendekati Sinta lagi, kau akan berurusan denganku!" Ruri pun pergi meninggalkan Tama yang saat ini tersenyum ke arahnya.

Keesokan harinya, Sinta telah duduk di ruang aula untuk mengikuti kegiatan Ospek jurusan.

"Sinta!" Sapa seseorang di belakangnya.

"Hai!" Ternyata seseorang itu adalah Ara.

"Kamu kelompok berapa?" Ara bertanya kepada Sinta tentang pembagian kelompok Ospek miliknya.

"Aku kelompok sepuluh. Kamu?"

"Yaaahh, jauh. Aku kelompok dua."

"Tak masalah, masih Ospek juga. Nanti kita akan satu kelas." Sebenarnya Sinta tak tahu akan hal itu, namun ia berharap saja jika dirinya bisa satu kelas dengan Ara, sebab dirinya adalah teman yang baik.

Mereka pun berjalan menuju kelompok masing-masing. Saat ini mereka masih menunggu dimulainya acara.

"Hai, namaku Fanya." Seseorang di dekat Sinta menyapanya.

"Aku Sinta."

"Oh, kamu kekasih Bimasena?" Goda Fanya kepada dirinya dan mereka berdua tertawa.

"Ya, tapi saat ini masih belum. Aku belum menemukan sang Bimasena yang menjadi kekasihku."

"Tak masalah, sebentar lagi kamu akan menemukannya." Mereka berdua kembali tertawa.

Setelah itu acara pun dimulai, Ospek jurusan hari pertama dimulai dengan sambutan ketua acara dan dilanjutkan dengan perkenalan seluruh panitia. Seluruh panitia masuk ke dalam ruang aula dan satu demi satu memperkenalkan diri mereka. Sinta memperhatikan setiap orang yang memperkenalkan diri mereka, sampai dirinya terkejut saat melihat satu orang yang berdiri di depan sana. Sinta yang tadinya menengadahkan kepalanya pun segera menundukkan kepala.

Beberapa saat kemudian terdengar suara seseorang sedang memperkenalkan dirinya, "Namaku Bima Jatmika. Di acara ini, aku menjadi ketua panitia divisi kedisiplinan." Mendengar hal itu, Sinta terpaku.

"Wah, lihat Sinta! Kakak tampan itu memiliki nama yang hampir sama dengan Bimasena." Kata Fanya kepada Sinta.

Saat itu juga, Sinta menyadari jika Ospek jurusan akan menjadi Ospek yang sangat tidak menyenangkan. Lalu saat acara Ospek jurusan selesai, di malam harinya Sinta dengan panik mendatangi rumah Ruri.

"Ri, Ri. Gawat!"

"Kenapa? Ada apa?"

"Aku tidak suka dengan Ospek jurusanku!" Kata Sinta dengan memasang wajah sedihnya.

"Memangnya kenapa? Kamu bikin ulah lagi?"

"Tidak, aku bahkan belum melakukan apapun. Hari ini hanya dilakukan perkenalan dan permainan."

"Lalu apa masalahnya?"

Sinta memelas, "Kakak yang memerankan peran Bimasena saat di teater dulu menjadi ketua divisi kedisiplinan."

Ruri terdiam beberapa saat sebelum tertawa kencang.

"Kok kamu malah tertawa?" Tanya Sinta, masih dengan ekspresi sedihnya.

"Aku sudah mengetahui hal itu."

Sinta mengerutkan keningnya, "Sudah tahu? Oh, jadi ini alasan kamu menggodaku kemarin?"

"Ya, aku sudah tahu akan hal itu. Saka yang memberitahuku." Kata Ruri dengan tertawa.

"Kenapa kalian tidak memberitahuku?"

"Tidak seru jika kamu sudah tahu!"

"Seharusnya kalian memberitahuku. Aku sangat terkejut saat tahu dia menjadi panitia." Kata Sinta lesu.

"Memangnya kenapa kalau dia jadi panitia?"

"Aku malu, Ri!"

"Tak perlu malu, dia bisa jadi sudah lupa."

Sinta mengingat sesuatu, "Oh iya! Kamu tahu yang lebih mengejutkan lagi?"

"Apa?"

"Kakak itu bernama Bima!" Seru Sinta dengan histeris.

Sinta yang sangat bersemangat memberi tahu fakta itu kepada Ruri pun menatap Ruri aneh. Ia berkata, "Jangan-jangan kamu juga sudah tahu!"

"Memang."

Sinta menatap tajam ke arah Ruri sebelum berteriak, "Aaaarrghhh! Kenapa kamu tidak memberitahuku hal itu juga!" Kata Sinta dengan mengacak-acak rambutnya.

"Aku dan Banu juga sangat terkejut saat mengetahui hal itu dari kakak Saka."

Sinta yang sedang mengacak-acak rambutnya itu pun berhenti, "Tunggu. Banu? Kenapa dia juga bisa tahu?"

Ruri menghela napas sebelum menjelaskan cerita malam itu, "Kamu ingat saat kita menonton konser?"

"Ingat."

"Kamu juga ingat jika malam itu kakak Saka juga menonton?"

"Ingat."

"Sebenarnya malam itu kakak Saka tak hanya datang berdua dengan perempuan yang merupakan calon pacarnya. Namun, ia juga datang bersama dengan teman-temannya yang lain. Kamu tentu tahu jika Saka sering bercerita mengenai teman-teman kakaknya itu. Dia adalah salah satunya. Malam itu ketika kamu pergi membeli sosis bakar, kakak Saka datang dengan teman-temannya menghampiri Saka yang saat itu sedang mengantri es cokelat. Lalu tak lama kemudian aku dan Banu datang. Aku terkejut saat melihat seseorang di belakang kakak Saka. Lalu lebih terkejut lagi saat kakak Saka memanggil orang tersebut dengan nama Bima. Aku dan Banu saling menatap, sebab kami berdua sama-sama terkejut. Awalnya aku mengira jika namanya bukan itu, tapi ternyata memang betul."

Saat melihat Sinta hendak mengeluarkan protesnya, Ruri melanjutkan, "Tunggu dulu, jangan protes dulu. Kami tak memberitahumu waktu itu karena kami tak mau merusak momen kita menonton konser."

"Lalu setelah konser, hari-hari setelah konser kan ada banyak, Ri!"

"Nah, itu masalahnya."

"Apa?" Tanya Sinta dengan bingung.

"Aku lupa." Jawab Ruri dengan cengiran khasnya.

Sinta menelungkupkan badannya di kasur kamar Ruri, "Lalu aku bagaimana?"

"Bagaimana apanya?"

"Ospek jurusan masih lama dan dia menjadi salah satu panitia." Keluh Sinta.

Di perguruan tinggi Sinta dan Ruri, mereka akan menghadapi serangkaian acara Ospek. Ospek dibagi menjadi tiga bagian, yang pertama adalah Ospek universitas, lalu Ospek fakultas, dan yang terakhir adalah Ospek jurusan. Diantara ketiga Ospek tersebut, Ospek universitas dan fakultas hanya berlangsung selama beberapa hari saja. Namun, berbeda dengan Ospek jurusan. Ospek ini akan berlangsung selama beberapa bulan. Di jurusan Sinta, bulan-bulan ospek akan dipenuhi dengan tugas-tugas yang bersifat kelompok. Lalu di akhir kegiatan Ospek, akan dilakukan pentas satu angkatan. Kegiatan Ospek tidak dilakukan setiap hari, hanya satu atau dua kali pertemuan di dalam satu minggu.

"Lagi pula tidak akan setiap hari kalian bertemu." Kata Ruri menenangkan.

"Meskipun tidak setiap hari, tetap saja ada banyak kemungkinan yang terjadi untuk kita bertemu satu sama lain. Apalagi dia adalah ketua dari divisi kedisiplinan. Divisi itu pasti akan melakukan pengawasan secara langsung ke mahasiswa baru. Bagaimana jika nantinya aku akan bertemu dengannya?"

"Kukira saat kamu mendaftarkan diri di perguruan tinggi ini dan di jurusan ini, kamu sudah tahu jika akan ada kemungkinan kamu bertemu dengan Kak Bima."

"Aku lupa jika dia juga berkuliah di jurusan ini."

Ruri mengerutkan keningnya, "Kalau kamu bisa lupa dengan hal sepenting itu, seharusnya kamu bisa lupa dengan hal sepele yang berkaitan dengan teater malam itu."

Sinta mengangkat kepalanya dari kasur dan membalas tatapan Ruri, "Peristiwa di teater malam itu bukanlah hal yang sepele!"

Ruri tertawa, "Baik, baik. Lagipula semuanya telah lama terjadi. Bisa saja kak Bima sudah lupa."

"Bagaimana jika dia melihatku dan dia ingat tentang kejadian malam itu?"

"Lho, memangnya dia belum melihatmu? Katamu kamu sudah melihatnya tadi, kan?"

"Aku memang sudah melihatnya, tapi aku tak tahu apakah dia sudah melihatku juga atau belum. Sebab aku menundukkan kepalaku supaya dia tidak melihat."

Ruri tertawa dan berkata, "Tenang saja, setahuku kak Bima adalah orang yang cuek. Jadi biasa saja."

"Aku tak bisa tenang dengan hal itu."

"Oh, ayolah. Sinta yang aku kenal adalah orang yang tidak tahu malu. Tentu urusan yang terkait dengan Kak Bima itu bukan hal yang besar."

"Itu hal yang besar!" Kata Sinta yang kemudian dia diam beberapa saat. Sinta pun bangkit untuk mengambil ponselnya yang ada di meja di samping kasur Ruri. Ia berkata. "Aku akan menelepon Saka dulu."

"Mau apa?"

"Mau protes!"

Sinta pun menggerak-gerakkan jarinya di atas ponsel dan segera menelepon Saka. Nada sambung beberapa kali berbunyi sebelum tergantikan oleh suara Saka di sebrang.

"Halo, Ta?"

"Sakaaaa!" Teriak Sinta dengan keras sehingga membuat Saka harus menjauhkan ponselnya dari telinga.

Ruri menggeleng-gelengkan kepala dan terdengar suara Saka di telepon, "Ada apa? Kamu buat masalah di acara Ospek?"

"Jangankan membuat masalah, untuk menengadahkan kepalanya saja ia tidak mampu."

"Lho, memangnya kenapa?"

"Kamu kenapa tidak memberitahuku apapun tentang kakak itu!"

"Kakak itu?" Saka memikirkan seseorang yang dimaksud oleh Sinta, "Oh, Mas Bima?"

"Iyaaa!"

Saka tertawa, "Kamu sudah bertemu dengannya hari ini?"

"Sinta sudah bertemu dengannya hari ini dan dia tak berani menatapnya." Sahut Ruri dengan tertawa.

"Kamu masih malu dengan malam itu?"

"Tentu saja! Aku tidak pernah semalu itu sebelumnya!"

"Ya sudah, kalau begitu bersikaplah seperti biasanya." Kata Ruri.

"Ya, Ruri benar. Kamu harus melupakan hal itu, anggap saja itu tidak penting. Mas Bima mungkin sudah lupa akan hal itu. Lagipula kejadian itu sudah terjadi dua tahun yang lalu." Saka menambahkan.

"Aku sudah mencoba melupakan hal itu. Tapi ketika aku melihatnya berdiri di depan ruangan sebagai ketua divisi kedisiplinan, aku kembali ingat tentang kejadian malam itu. Oh iya, kamu tidak bicara tentang apapun kepada orang lain tentang aku yang masuk di perguruan tinggi ini, kan?" Tanya Sinta kepada Saka.

"Aku berbicara kepada Mama dan Mas Prada karena mereka bertanya kepadaku." Jawab Saka.

"Dia tidak tahu kan?"

Saka terdiam. Ruri menatap Sinta yang dibalas dengan tatapan horor milik Sinta. Ia mengulangi lagi pertanyaannya kepada Saka, "Dia tidak tahu soal itu, kan?"

"Sebenarnya waktu Mas Prada menanyakan hal itu kepadaku, ada Mas Bima di sana. Dia mendengarnya." Perkataan Saka membuat Sinta menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangannya.