webnovel

-18-

Setelah Saka menemui Ruri, dirinya segera menghampiri Sinta dengan mengajak Ruri untuk ikut serta. Sinta yang sedang membaca novel di ruang perpustakaan milik keluarganya pun terkejut saat mendengar deru motor yang tak asing sedang memasuki halaman rumahnya. Suara motor Saka. Sinta pun segera menutup novelnya dan keluar ruangan, beberapa saat kemudian, terdengar suara Bunda yang berbicara dengan Saka. Ia dibuat bingung sebab Saka tak hanya sendirian, melainkan juga bersama Ruri.

Sinta segera turun dan bertemu Bunda yang sedang menaiki tangga. Dirinya melihat Ruri dan Saka telah duduk di sofa ruang tengah.

"Ada apa?" Tanya Sinta kepada kedua sahabatnya.

"Kalian bicara dulu saja di ruang tengah, ya. Bunda mau ke kamar dulu, nanti biar Sinta yang membuatkan kalian minum." Kata Bunda sambil berjalan ke kamar. Bunda mengusap pundak Sinta sebelum dirinya pergi, sebab dirinya tahu jika ketiga sahabat ini memiliki masalah akhir-akhir ini. Sehingga Bunda memilih pergi dulu untuk memberi kesempatan bagi ketiga anak itu untuk saling berbicara.

Ruri dan Saka saling berpandangan sebelum akhirnya Ruri angkat bicara, "Aku dan Saka berpacaran."

Sinta menatap kedua sahabatnya itu dengan tatapan terkejut, sangat terkejut hingga mulutnya menganga karena tidak percaya. Ruri dan Saka menatap Sinta beberapa saat sebelum tertawa dengan keras, mereka sebelumnya telah sepakat untuk menggoda Sinta hingga mereka pun melakukan kebohongan ini.

"Kami bercanda!" Seru Ruri dan Saka masih saja tertawa, ia mudah sekali tertawa.

Sinta menatap mereka sinis, "Tidak lucu! Bayangkan saja Ruri yang secinta itu dengan Banu hingga seakan-akan mereka akan menikah esok hari, kini ia mengaku jika ia berpacaran dengan Saka, seseorang yang baru saja putus dengan sahabatnya."

Saka mengusap air matanya yang menetes, "Maaf, kami hanya ingin mencairkan suasana yang tegang beberapa hari, maksudku beberapa minggu ini."

Sinta terdiam sebentar sebelum berkata, "Kamu benar."

"Baiklah, mari kita duduk!" Ucap Ruri.

"Jadi, aku kemari ingin meminta maaf kepadamu, Ta. Maafkan aku yang menyakitimu. Aku telah berbuat kesalahan yang sangat fatal, namun kamu masih saja mau menerimaku sebagai sahabatmu. Aku sangat malu, hingga tak berani meminta maaf kepadamu. Namun aku sadar jika aku harus melakukannya. Pada akhirnya aku mendatangi Ruri terlebih dulu untuk meminta maaf kepadanya dan setelah itu aku datang untuk menemuimu. Aku minta maaf atas apa yang telah aku perbuat, atas apa yang terjadi di antara kita. Maafkan aku." Kata Saka tulus.

Sinta tersenyum, "Iya, Sa. Aku telah memaafkanmu. Masalah yang kita hadapi sangat berat, tapi aku sadar jika kamu bukan hanya sebatas mantan kekasihku, namun juga sahabatku. Tak elok rasanya jika seorang sahabat saling bermusuhan."

Saka tersenyum, "Kamu memang seorang sahabat yang baik, kalian berdua. Aku sangat beruntung memilikimu dan Ruri sebagai sahabatku." Sinta dan Ruri memanglah sahabat yang baik, mereka begitu tulus hadir untuk sahabat mereka dan selalu ada untuk satu sama lain. Tak peduli masalah apa yang menerpa persahabatan mereka, mereka selalu memiliki cara untuk menakhlukkannya.

Saat itu mereka bertiga kembali seperti dulu. Tawa dan percakapan kembali ke tempat semula, pada porsi yang biasanya. Tak ada lagi rasa canggung, sebab mereka telah menemukan cara untuk mengusir rasa canggung tersebut. Hari-hari berikutnya pun datang, tibalah pada hari saat mereka akan menerima hasil pengumuman pendaftaran ke perguruan tinggi mereka.

Sinta, Ruri, Saka, dan juga Banu saat ini telah berkumpul di rumah Sinta. Mereka berkumpul untuk membuka bersama hasil pengumuman pendaftaran masuk perguruan tinggi. Detik demi detik mereka lalui dengan tegang, mereka sampai tidak berbicara satu sama lain, sebab terlalu tegang menunggu. Saka tidur di sofa kamar Sinta, Ruri menyibukkan diri dengan ponselnya, dan Sinta sibuk mondar-mandir. Ia berjalan keluar dan kemudian beberapa saat masuk ke kamarnya, lalu ke kamar mandi, lalu ke balkon, lalu keluar kamar lagi. Banu, dia sedang bermain-main dengan permainan bongkar pasang yang Sinta miliki.

"Berhentilah membuat ekor mataku bekerja ekstra. Aku tahu kamu sedang tegang menunggu pengumuman, tapi lihatlah teman-temanmu yang lain!" Kata Banu. Diantara semua orang yang berkumpul di kamar Sinta, memang hanya Banu yang paling santai diantara ketiganya. Ia datang ke tempat ini bukan untuk melihat pengumuman pendaftaran atas dirinya, namun untuk Ruri. Ia tidak melanjutkan kuliah sebab dirinya hendak bekerja.

"Berhentilah membuat telingaku berkerja ekstra. Dia tak ingin mendengar segala ocehan tidak pentingmu itu!"

Saka mengerang di tempatnya, ia yang sedang tidur itu menjadi terbangun akibat suara perdebatan milik Banu dan Sinta.

"Lihat! Saka sampai terbangun."

"Dia terbangun sebab mendengar ocehanmu. Kamu yang pertama memulai."

"Aku tidak-" Ucapan Banu terputus ketika dilihatnya Ruri berdiri dari kasur Sinta. Ia berdiri sambil menatap Sinta dan Banu. Meskipun tidak mengeluarkan sepatah kata pun, Sinta dan Banu diam dibuatnya. Saka yang sudah membuka matanya itu hanya terkekeh kecil melihatnya. Ruri yang mereka kenal adalah orang yang periang dan jarang marah. Namun ketika dirinya hanya diam sambil menatap lurus seseorang, itu adalah pertanda jika dirinya sedang marah. Dan tentu, semua orang tak mau membuat dirinya marah.

Pada akhirnya Sinta duduk di kasur, Banu kembali sibuk dengan permainan bongkar pasang, dan Ruri berjalan ke meja untuk mengambil air minum. Setelah itu tidak terjadi percakapan, tidak ada perdebatan, hanya kegiatan masing-masing yang tiap-tiap orang itu sibuk lakukan. Tibalah pada waktu di mana pengumuman segera muncul di layar laptop atau ponsel masing-masing.

Sore itu Sinta datang ke suatu kafe. Ia datang ke tempat itu dengan menggunakan kaos hitam lengan panjang, rok motif kotak-kotak selutut warna hijau dan hitam, sepatu warna hitam, topi hitam, dan membawa slingbag. Rambut pendek ia gerai kala itu, namun ia juga membawa pita rambut warna hitam di dalam slingbagnya. Ada alasan Sinta menggunakan pakaian serba hitam, ia datang ke acara temu angkatan pertamanya. Setelah hari pengumuman waktu itu, Sinta mendapatkan hasil jika dirinya diterima di Jurusan Sastra Indonesia, Ruri diterima di Jurusan Farmasi, Saka diterima di Jurusan Hukum. Mereka diterima di kampus masing-masing yang mereka inginkan, meskipun dulu mengalami permasalahan.

Sebenarnya, kala itu Saka hendak mengganti perguruan tinggi yang hendak ia daftar menjadi perguruan tinggi yang sama dengan sahabatnya, namun tentu saja, sahabatnya itu mengetahuinya. Waktu itu saat mereka bertiga masih berada di mode canggung, Ruri yang waspada dan peka itu menyadari sesuatu. Ia tahu jika Saka adalah orang yang teguh di dalam pendiriannya, namun ada kalanya ia mengubah keputusannya itu, yakni saat berhubungan dengan sahabatnya. Ruri pun mengajak Sinta untuk pergi ke rumah Saka beberapa hari sebelum mereka mendaftar di kampus impian masing-masing.

Ruri bertanya kepada Saka tentang perguruan tinggi yang akan ia pilih, Saka hanya diam saja waktu itu. Sinta yang menyadari sesuatu akhirnya berbicara panjang lebar. Ia berbicara tentang impian Saka yang selama ini ia harapkan untuk terwujud. Ia bekerja keras untuk itu dan Sinta melarang Saka untuk merelakan impiannya hanya supaya dirinya bisa satu perguruan tinggi dengan dirinya dan juga Ruri.

Sewaktu itu Ruri juga melakukan hal yang sama, ia meyakinkan Saka untuk mengejar impiannya itu. Ia memiliki kesempatan untuk mewujudkannya, jangan sampai dia membuang kesempatan itu secara cuma-cuma. Saka yang sedari tadi terdiam pun menganggukkan kepalanya. Permasalahan itu selesai dan pada akhirnya mereka memiliki hasil yang memuaskan. Perjuangan mengerjakan tugas hingga begadang terbayar sudah, meskipun kebanyakan yang Sinta dan Saka lakukan adalah menyalin PR milik Ruri.

Ketiga sahabat itu memasuki tahap baru, setelah semua masalah yang mereka lalui di masa lalu, mereka berhasil melewatinya bersama. Mereka berada di lembar kehidupan baru sebagai mahasiswa.

"Aku boleh duduk di sini?" Tanya seseorang kepada Sinta.

Sinta menoleh ke arah kanannya, "Silakan, sebagai pengunjung, aku tidak punya hak untuk menghalangi seseorang duduk di kursi milik umum." Lawan bicara Sinta tertawa renyah.

"Namaku Ara. Kamu?" Ujar orang yang saat ini telah duduk di sebelahnya.

"Sinta."

Mereka berkenalan, bertanya seputar hal umum saat seseorang saling berkenalan, bertanya nama dan tempat tinggal. Saat ini mereka berada di suatu acara yang sama, itu tandanya, Ara adalah teman satu angkatannya di jurusan kuliah yang sama dengan Sinta.

"Sebenarnya aku sempat kesulitan mencari tempat ini, apa kamu tahu tempat ini sebelumnya?" Tanya Sinta kepada Ara. Alasan Sinta bertanya hal tersebut kepada Ara adalah karena Ara berasal dari luar kota.

"Kamu yang berasal dari kota ini saja kesulitan, apalagi aku. Aku kemari hanya mengandalkan kemampuan bapak ojek online." Kata Ara sambil tertawa.

"Kamu kemari naik apa?"

"Diantar oleh Ayah dan Bunda. Katanya mereka ingin menjadi orang yang pertama kali mengantarku ke kampus. Padahal aku sudah bilang jika aku bukan hendak pergi ke kampus. Tapi Ayah bilang, sama saja. Ya sudah."

Ara tertawa, "Sepertinya keluargamu adalah keluarga yang asyik."

"Ah, tidak seperti itu. Hanya saja aku yang anak tunggal ini sangat dimanja oleh orang tuanya."

"Oh, kamu anak tunggal?"

"Ya, kamu?"

"Aku anak pertama dan punya satu adik laki-laki."

Percakapan mereka berhenti saat acara dimulai. Acara pertama atau welcome party Jurusan Sastra Indonesia untuk angkatan Sinta dimulai dengan pengenalan diri oleh pembawa acara dan dilanjutkan dengan perkenalan yang dilakukan oleh orang-orang yang menghadiri acara tersebut.

Kini giliran perkenalan telah sampai di Ara, selanjutnya akan dilanjutkan oleh Sinta.

"Selamat sore! Namaku Sinta Danari. Kalian bisa memanggilku Sinta. Meskipun namaku adalah Sinta, aku tidak berharap memiliki Rama sebagai kekasihku, melainkan Bimasena."

Perkenalan diri Sinta selalu sama. Sejak SD, dia yang sudah mengenal kisah Pandawa itu memulai improvisasi model pengenalan diri. Ia mencipta suatu skenario untuk memperkenalkan dirinya. Dan sejak itulah ia selalu berkenalan dengan menyebut nama Bimasena. Sebab menurutnya, sebuah perkenalan dilakukan untuk mencipta pandangan serta penilaian pertama seseorang terhadap orang lain. Jadi, Sinta ingin seseorang mengenalnya sebagai Sinta, kekasih dari Bimasena, bukan Rama.

Lagi-lagi, orang lain yang mendengar kata-kata perkenalan milik Sinta itu tertawa.

"Kamu suka dengan Pandawa?"

"Ya, khususnya Bimasena."

"Kenapa kamu tidak memilih Rama sebagai kekasih? Kita semua tahu jika kisah cinta Rama dan Sinta adalah kisah cinta yang sangat menarik."

"Kurasa karena busur panah Rama tak cukup tajam untuk menancapkan dirinya di kerasnya hatiku. Pertahanan hatiku bukan remuk sebab panahnya, namun ia remuk sebab gada milik Bimasena."

Ara tersenyum ke arah Sinta, "Kamu orang yang sangat unik!"

Acara pun dilanjutkan, setelah semua orang yang hadir di kafe itu selesai memperkenalkan diri, selanjutnya adalah acara permainan. Mereka bermain permainan sambung kata, tebak lagu, merangkai puisi dari kata yang telah ditentukan, lalu pertunjukkan bakat yang dilakukan oleh tim. Seluruh orang yang datang dibagi menjadi beberapa kelompok kecil yang terdiri dari sekitar delapan sampai sembilan orang. Lalu kelompok kecil itu akan memainkan setiap permainan sesuai dengan instruksi pembawa acara.

"Permainan selanjutnya adalah permainan merangkai puisi. Jadi, cara mainnya adalah kita akan memberikan kata yang akan kalian semua rangkai menjadi puisi satu baris. Saat kata sudah diberikan, kami akan menunjuk satu anak untuk memulai merangkai puisi satu baris itu, lalu dilanjutkan dengan orang selanjutnya yang merangkai puisi dari kata terakhir yang disebutkan oleh orang sebelumnya. Paham?"

"Paham!" Seru semua orang yang menghadiri acara.

Panitia acara mendatangi tim-tim yang telah terbentuk, setiap tim akan mendapatkan satu tambahan panitia yang nantinya akan memandu jalannya permainan.

"Oke, kata pertama untuk tim ini adalah beras. Dimulai dari kamu." Panitia tersebut menunjuk Ara sebagai orang pertama.

"Beras. Seputih gigimu yang tampak kala kau tersenyum."

Sinta adalah giliran selanjutnya, "Tersenyumlah, meski gigimu tak seperti Gigi Hadid." Semua orang tertawa mendengar puisi satu baris milik Sinta, walau orang selanjutnya akan kesulitan menyambung puisi.

Acara pertama yang dihadiri angkatan Sinta di Jurusan Sastra Indonesia itu berjalan dengan lancar. Perkenalan dan permainan berlangsung baik tanpa kendala. Setelah acara waktu itu selesai, Sinta pulang ke rumah dan mendapat kabar jika Ruri akan datang ke rumahnya. Malam itu kedua sahabat berbincang tanpa kehadiran satu orang sahabat yang lain. Mereka bercerita tentang acara yang dihadiri oleh Sinta sore hari itu sambil menelepon Saka yang saat ini telah ada di Jawa Tengah.

"Bagaimana acaramu sore ini?" Tanya Saka.

"Menyenangkan sekali. Mereka semua teman yang asyik."

"Memangnya apa saja kegiatan yang kamu lakukan hari ini?" Kini giliran Ruri yang bertanya.

"Seperti biasa, perkenalan. Lalu dilanjutkan dengan permainan. Permainannya sangat seru, ada merangkai puisi, rangkai kata, tebak lagu. Lalu yang terakhir adalah pertunjukkan bakat. Jadi setelah kami dibagi menjadi beberapa kelompok kecil, kelompok kecil tersebut di akhir acara akan melakukan pentas bakat. Kelompokku memutuskan untuk bernyanyi bersama. Ya, walaupun akan keluar konteks, sebab bernyanyi bukanlah bakatku." Sinta berkata panjang lebar, sebab dirinya adalah tipe orang yang mudah sekali bercerita walaupun kita hanya memancingnya dengan satu pertanyaan kecil.

Terdengar tawa Saka yang keluar dari speaker ponsel dan Ruri yang juga mengikuti tawa yang dilakukan oleh Saka. Selanjutnya mereka masih mengobrol satu sama lain hingga malam semakin larut, Saka meminta Sinta untuk beristirahat, mengingat dirinya baru saja pulang dari suatu kegiatan di sore hari. Telepon pun ditutup dan Ruri bersiap untuk pulang.

"Mungkin sebentar lagi kita akan kehilangan waktu mengobrol seperti biasa, walaupun kita berada di perguruan tinggi yang sama." Kata Ruri kepada Sinta.

"Ya, kita akan sibuk dengan urusan masing-masing."

"Aku akan berusaha tetap ada untukmu, karena aku masih ingin tahu cerita-ceritamu yang lain. Tapi aku tak mau mendengar cerita tentang dirimu yang memberontak ketika Ospek sedang berlangsung."

"Oh, ayolah. Kamu sangat tahu aku. Aku berkali-kali bilang, jika aku tidak salah tapi aku disalahkan, aku akan membela diri."

"Terserah apa katamu, yang terpenting, aku sungguh tak sabar untuk menonton pertunjukkan teater pertamamu." Kata Ruri sambil berjalan keluar dari kamar Sinta, meninggalkan Sinta yang mematung.

"Aku lupa jika dia akan menjadi kakak tingkatku." Kata Sinta yang mengundang tawa Ruri.

"Aku doakan agar kamu bertemu kembali dengan Bimasena yang waktu itu, supaya impianmu menjadi kekasih Bimasena segera terwujud." Sinta menahan napas mendengar ucapan Ruri.