webnovel

-10-

Perkelahian Saka dengan Reksa ditutup rapat-rapat oleh keduanya. Bima yang juga kebetulan berada di tempat saat mereka berdua berkelahi pun tidak membicarakan hal itu kepada orang lain, bahkan Prada, meskipun dirinya tahu jika Saka berbohong kepada kakaknya. Ia tak mau ikut campur dengan urusan Saka, sebab Bima adalah orang yang cuek dan tak mau ambil pusing dengan masalah orang lain. Ia tak mau jika dirinya terlibat, dirinya akan ikut terseret ke dalam masalah Saka yang sepertinya rumit itu. Apalagi ditambah dengan Prada yang ia kenal adalah orang yang mudah tersulut emosi.

Bima berpikir tentang perempuan yang menjadi penyebab perkelahian Saka dengan Reksa. Jika memang ada orang yang sampai meneror orang lain, itu antara orang tersebut yang tidak punya pekerjaan atau dia sangat terobsesi dengan Sinta. Memangnya apa yang menjadi spesial dari Sinta, sampai ada orang yang rela memakai cara kotor seperti itu. Sebab yang Bima lihat, Sinta hanya perempuan biasa.

Prada yang tak kembali bertanya mengenai luka di pelipis adiknya itu membuat masalah cepat terselesaikan. Mamanya yang belum pulang dari luar kota pun tak menambah masalah menjadi lebih besar. Namun, masalah tak berhenti sampai di situ saja.

Keesokan pagi setelah perkelahian antara Saka dan Reksa terjadi, Saka bersekolah seperti biasa. Motornya yang ada di bengkel telah kembali kemarin malam saat dirinya diantar oleh Prada untuk mengambilnya di bengkel. Pagi ini ia kembali mengendarai motornya menuju ke sekolah. Luka di pelipisnya telah dikompres dengan es batu hingga memarnya tak semakin parah. Walaupun saat ini luka di pelipis belum hilang sepenuhnya, ada lebam dan warna kulit yang berbeda di sana. Namun hal itu masih lebih baik daripada kemarin.

Saka berjalan menuju kelasnya dari parkiran motor. Banyak mata yang menolehkan pandang ke arah Saka saat melihat bekas luka di pelipisnya itu. Ia juga berpapasan dengan si pemberi luka saat di parkiran. Saka bersikap biasa saja terhadap Reksa saat bertemu, mereka tak lagi membahas mengenai perkelahian mereka kemarin sehingga kabar tentang penyebab perkelahian Saka tidak terdengar hingga telinga Sinta. Hanya saja, Reksa yang terlihat tak ingin melihat Saka dan buru-buru pergi. Mungkin dirinya tak enak telah salah menuduh Saka atas teror yang ia dan adiknya dapatkan.

Kegaduhan terjadi saat Saka sampai ke dalam kelas.

"Kenapa mukamu?" Tanya seorang lelaki yang menjadi salah satu teman sekelasnya dan Saka hanya memberi cengiran.

Saat temannya itu bertanya, semua pasang mata di dalam kelas memandangi Saka. Kedua sahabatnya yang melihat luka di pelipis Saka itu langsung berteriak, "Kamu kenapa, Sa?"

"Habis berantem sama siapa?"

Kedua pertanyaan itu menggambarkan perbedaan kepribadian antara Ruri dan Sinta. Ruri yang lemah lembut itu bertanya kepada Saka mengenai keadaannya, sedangkan Sinta yang bar-bar langsung menuduh Saka yang tidak-tidak, walaupun memang benar.

"Kok kamu tanya begitu? Saka tidak mungkin berkelahi." Kata Ruri kepada Sinta.

"Jika bukan berkelahi, lalu apa? Luka itu bukan luka seperti kepentok sesuatu."

"Bisa jadi karena terpukul."

"Iya, terpukul orang lain yang berkelahi dengannya." Teman sekelas yang menyimak percakapan dua sahabat ini tertawa.

"Bisa saja terpukul benda." Kata Ruri.

Saka duduk dan menjelaskan kepada kedua sahabatnya, "Sudah, sudah. Aku tidak berkelahi. Kemarin tidak sengaja terkena pukulan teman Mas Prada saat ia dan Mas Prada berkelahi di rumah kami. Aku mencoba untuk memisahkan mereka."

"Ya ampun, memangnya kamu tidak bisa menghindar?"

"Lalu, apakah kamu membalas?"

Ruri dan Sinta kembali melontarkan pertanyaan yang berbeda.

"Tidak dan tidak. Aku tidak sempat menghindar sebab pukulan itu datang secara tiba-tiba. Lalu aku tidak membalas sebab aku tahu jika pukulan itu adalah pukulan yang tidak sengaja."

"Kali ini kenapa lagi?" Ruri bertanya tentang alasan kakak Saka berkelahi, sebab yang dirinya dan Sinta tahu, kakak Saka adalah orang yang berkali-kali terlibat ke dalam masalah perkelahian.

"Masalah yang sama." Sinta tertawa dan Ruri menghela napas panjang.

"Sampaikan kepada kakakmu, perempuan yang membuat lelaki menyakiti orang lain tak pantas untuk di dapatkan. Dan lelaki yang rela menyakiti orang lain adalah yang terburuk." Kata Sinta.

Saka tersenyum menatap Sinta, "Ya, akan kusampaikan."

Kala itu jam pertama hingga jam ketiga pelajaran berjalan dengan lancar. Tak ada lagi pertanyaan mengenai luka di pelipis kiri Saka, sebab alasan yang Saka sampaikan terdengar masuk akal di telinga kedua sahabatnya itu. Tak perlu risau dengan luka di wajah Reksa, dia kebetulan adalah anak yang juga sering berkelahi sama seperti kakak Saka. Di jam istirahat, mereka juga mengobrol banyak hal di dalam kelas sambil memakan bekal mereka.

"Tadi kamu tidak sopan, Ta." Kata Ruri.

"Tidak sopan bagaimana?" Tanya Sinta.

"Kamu tadi pagi menuduh Saka berkelahi. Sahabat kita yang satu ini melihat semut yang tenggelam di air saja, ia akan berhenti untuk menolongnya seperti waktu itu. Kamu malah menuduhnya yang tidak-tidak."

"Iya, maaf. Aku terlalu banyak melihat fakta di mana saat ada luka di wajah lelaki, maka tak salah lagi jika dirinya berkelahi."

"Tak masalah. Lagipula memiliki kakak yang berkali-kali terlibat perkelahian akan menimbulkan kesan aneh jika adiknya justru terluka karena hal lain." Kata Saka dengan tertawa.

"Kakakmu memang harus diperingatkan, Sa. Dia terlalu sering terlibat perkelahian." Kata Ruri.

"Ruri benar. Coba contoh Banu. Dia tak pernah terlibat ke dalam perkelahian, tapi dia yang menjadi penyebab perkelahian." Kini giliran Sinta yang tertawa.

"Menjadi penyebab perkelahian?" Tanya Saka.

"Ya. Banu pernah mengadu domba senior di sekolahnya sebab dirinya terlalu kesal dengan mereka sampai mereka berdua berkelahi. Tapi Banu tak tertangkap." Sinta tertawa mengingat cerita itu.

"Tapi Banu pernah berkelahi satu kali, kamu lupa?" Kata Ruri kepada Sinta.

"Pernah?" Tanya Sinta, ia mencoba mengingat masa di mana Banu berkelahi.

"Oh, tentu saja yang itu. Kamu tahu, Saka? Banu pernah berkelahi untuk membela kami saat kami hampir saja ditodong seseorang."

"Oh ya? Bagaimana ceritanya?"

"Waktu itu kami bertiga sedang berjalan menuju halte di sore hari saat masih di bangku SMP. Kami dihadang oleh dua orang yang memaksa kami menyerahkan barang berharga yang kami punya. Untung saja waktu itu ada Banu yang sedang lewat. Kemampuan bela dirinya sangat berguna waktu itu. Dan karena itulah Ruri mengenal Banu. Sungguh kisah yang sangat manis." Kata Sinta sambil menyenggol lengan Ruri.

"Lagipula, kemampuan bertarung yang Banu punya bukan untuk berkelahi, jadi dia tak pernah melanggar peraturan itu." Kata Ruri.

"Iya benar, bisa gawat jika Banu dengan kemampuan bertarung seperti itu suka berkelahi."

Saka berkata, "Wah, sepertinya aku harus berguru kepada Banu untuk itu."

"Kenapa?" Tanya Sinta.

"Karena aku ingin menjadi tangguh untuk mendapatkan hatimu. Juga menjagamu nantinya. Lalu, dia juga sudah memiliki kekasih. Mungkin aku bisa meminta sarannya tentang mendapatkan hati seorang perempuan."

Ruri tertawa keras, "Kurasa tidak perlu, Sa. Sebab Sinta berbeda denganku. Mungkin aku butuh Banu yang tangguh untuk melindungiku, tapi Sinta tidak membutuhkan sosok seperti Banu yang tangguh. Dia sudah cukup tangguh untuk dirinya sendiri."

"Ya, Ruri benar. Aku lebih membutuhkan sosok lelaki sepertimu." Ruri kembali tertawa.

"Yang akan menolong semut saat mereka tenggelam?" Tanya Saka.

"Ya, yang seperti itu." Mereka bertiga tertawa.

Hingga waktu sekolah berakhir, tak ada masalah yang terjadi. Mereka mengobrol dan tertawa seperti biasa. Sinta dan Ruri pulang menaiki kendaraan umum dan sampai di rumah masing-masing dengan selamat. Setelah pulang dari sekolah, biasanya Sinta akan mandi dan setelahnya menonton televisi. Namun, waktu itu Sinta menghentikan kegiatan menontonnya sebab ia mendengar suara ponsel miliknya berbunyi, menandakan ada panggilan telepon yang masuk.

"Eh, Sa. Maaf baru tahu kalau kamu menelepon. Aku sedang menonton televisi di ruang tengah, sedangkan ponselku ada di kamar."

"Iya, tidak apa-apa."

"Ada apa?"

"Aku hanya ingin memberitahumu, tadi ketika aku berada di perjalanan pulang menuju rumahku, aku melihat ada bazar buku. Tempatnya masih sepi tadi, baru dibuka pukul tiga sore ini. Aku hendak mengajakmu ke sana. Kamu mau?"

"Bazar buku? Kenapa kamu bertanya? Tentu saja aku mau!" Kata Sinta bersemangat.

Saka tertawa, "Baik, bersiap-siaplah. Sebentar lagi akan aku jemput."

"Oke."

Sebenarnya sewaktu Saka mengajak ke bazar buku, Sinta ingin bertanya apakah Ruri juga diajak. Jika dulu, pasti Sinta akan bertanya demikian, namun saat ini keadaan telah berbeda. Sinta lebih berhati-hati di dalam memilih kata, dirinya tak mau jika dirinya berkata hal yang tak seharusnya di depan Saka. Lagipula Saka juga lebih mengerti dari sebelum-sebelumnya, saat ada sesuatu, dia pasti langsung bicara terus terang. Jadi, jika memang dia juga mengajak Ruri ke bazar buku, dia pasti akan bilang dan langsung mengajak Ruri serta Banu.

Memikirkan bazar buku yang hendak ia datangi waktu itu membuat Sinta tak sabar. Sinta adalah pecinta buku. Ia rela menghabiskan banyak uangnya untuk membeli buku, sudah banyak koleksi buku yang ia punya. Bahkan ia memiliki satu ruangan khusus di rumahnya hanya untuk buku, di ruangan itu terdiri dari beberapa lemari besar yang penuh dengan buku-buku.

Beberapa menit setelahnya, Saka telah sampai di depan rumah Sinta. Ia disambut oleh Bunda yang membukakan pintu untuk dirinya.

"Masuk dulu, Saka."

"Iya, Tante. Terima kasih."

"Sinta ada di kamarnya. Kalian mau pergi atau bagaimana?"

"Saya mau ajak Sinta pergi ke bazar buku, Tante. Kebetulan bazar bukunya ada di dekat rumah saya."

"Oh, begitu. Sinta tahu jika kamu mau ajak dia pergi, kan?"

"Tahu, Tante. Sebelum mengajaknya, saya sudah bicara dengan Sinta. Apa Sinta belum bicara dengan Tante jika dirinya hendak pergi bersama dengan saya?"

"Belum. Tapi jika kamu sudah memberitahu dia, pasti saat ini dia sudah bersiap-siap."

"Maaf, Tante. Tadi saya mendadak mengajak Sinta pergi, sebab saya juga baru tahu soal bazar yang ada di dekat rumah saya."

"Oh, bukan menjadi masalah. Tante panggilkan Sinta dulu, ya."

Bunda segera pergi menuju ke kamar Sinta di lantai atas.

"Ta, ada Saka menunggu di luar." Kata Bunda sambil membuka pintu kamar Sinta.

Bunda terkejut melihat Sinta yang saat ini sudah memakai baju rapi dan sedang menyisir rambutnya, "Lho, kok kamu sudah siap?"

Sinta menoleh ke arah Bunda, "Memangnya kenapa?"

"Seharusnya anak perempuan akan bingung memilih baju untuk kencan."

Sinta hanya menatap datar bundanya, "Saka mengajak ke bazar buku, bukan kencan."

"Tapi dia tidak datang bersama dengan Ruri."

"Memangnya Saka kemari pakai apa?"

"Pakai motor."

"Bunda, kalau Saka datang bersama dengan Ruri, Sinta mau naik apa?" Kata Sinta sambil menghela napas, "Kalau bonceng tiga, yang ada kita akan ditilang oleh polisi."

"Maksud Bunda, Saka datang sendiri, tak ada Ruri atau Banu bersamanya."

"Aku dan Saka juga sudah sering pergi berdua, bukan berarti kita kencan." Kata Sinta sambil berdiri menghampiri Saka.

Sinta dan Bunda pun segera turun ke lantai bawah untuk menemui Saka.

"Saka, ini bukan kencan?" Tanya Bunda kepada Saka.

"Sebab Sinta tidak mengalami kesulitan saat memilih baju untuk kalian pergi hari ini. Saat Tante menemuinya di kamarnya, dia sudah siap." Tambah Bunda.

Saka tertawa mendengar ucapan Bunda.

"Itu justru bagus, Bunda. Saka tak perlu menunggu lama dan kami akan lebih cepat pergi ke bazar." Kata Sinta sambil mencium tangan Bunda.

"Kami pergi dulu, Bunda!" Kata Sinta dengan berjalan keluar.

"Kami berangkat dulu, Tante."

"Ya, hati-hati di jalan. Nanti kalau Sinta beli buku banyak-banyak, marahin. Kalau dia berontak, kamu tinggalkan saja dia di sana. Biar dijemput sama ayahnya sepulang kerja nanti." Saka dan Sinta tertawa.

Mereka naik ke motor Saka dan bersiap untuk berangkat. Sinta melambaikan tangan kepada Bunda sebelum mereka berangkat dan Saka membunyikan klakson untuk pamit.

Sore yang cerah, sinar mentari menyentuh kulit dengan sengatan cahayanya yang hangat. Sinta merasakan lembut sapaan angin yang melewatinya di sela-sela rambutnya kala itu. Saka membawa motornya dengan kecepatan sedang yang membuat angin tak bergerak-gerak asal dan usil. Mereka berkendara dengan senang. Saka yang senang karena ada Sinta yang menemani sore hari miliknya, Sinta senang, sebab sore ini ia bisa bertemu dengan Saka dan mereka akan menghabiskan waktu bersama di tempat yang penuh dengan buku.

Sinta merasa selalu senang jika dikelilingi sahabatnya, ia merasa nyaman dan aman saat bersama dengan mereka. Kehadiran Saka kali itu yang berbeda dari sebelumnya membuat Sinta senang. Dirinya menyadari kehadiran Saka yang selalu menyenangkan hati serta harinya itu, sebab saat hubungannya bersama dengan Saka memasuki babak yang baru, ia merasa diperlakukan lebih spesial oleh Saka. Perlakuan Saka yang manis membuat dirinya senang, ia tak menolak, sebab ia memenuhi ucapannya jika ia akan membantu Saka untuk itu.

Beberapa menit perjalanan menuju lokasi bazar sangat menyenangkan. Saka melajukan motornya dengan baik dan tak terlalu cepat, sehingga mereka memiliki waktu mengobrol yang mengasyikkan.

"Sudah lama aku tidak pergi ke bazar buku." Kata Sinta saat sampai di lokasi bazar.

Saat ini mereka sedang memarkirkan motor dan hendak berjalan menuju tempat bazar buku.

"Rasanya tidak sabar!" Seru Sinta dengan meremas tangan Saka.

"Kalau begitu kita harus cepat!" Kata Saka sambil mempercepat langkah kakinya menuju tempat bazar buku.

Terlihat banyak stan yang menjual buku yang ada di pinggir-pinggir. Tiap stan berjejer di sisi kanan dan kiri sehingga ada jalan lurus di antaranya. Tak terhitung berapa banyak buku yang dijual di bazar ini, yang pasti jumlahnya sangat menyegarkan mata pecinta buku seperti Sinta. Dirinya dan Saka melewati satu per satu stan buku. Mereka melihat-lihat buku-buku di sana.

"Astaga, aku ingin sekali buku ini sejak lama."

"Aku akan beli yang ini."

"Mbak, buku ini berapa harganya? Saya mau beli."

"Aku mau ini."

"Ini juga."

"Aku beli ini."

"Ini juga."

Banyak sekali kata beli dan juga yang dipakai oleh Sinta sore hari ini, entah berapa jumlahnya. Saat ini di tangannya sudah ada satu kantong plastik yang penuh dengan buku. Ia puas berkeliling mencari buku dan saat ini Sinta duduk di kursi yang telah disediakan bagi pengunjung bazar. Saka sedang membeli minum untuk mereka berdua.

"Capek?" Tanya Saka kepada Sinta sekembali dirinya dari membeli minuman.

"Iya, tapi bukan menjadi masalah." Kata Sinta dengan cengiran khasnya.

Saka mengulurkan air mineral ke arah Sinta yang diterimanya dengan senang hati.

"Kamu beli buku sebanyak ini, apa tidak akan kena marah oleh orang tuamu?"

"Tidak. Aku hanya membeli delapan buku. Lagipula Bunda dan Ayah pasti memahami, sebab sudah hampir satu tahun aku belum pernah ke bazar buku." Kata Sinta dengan tawa renyahnya.

"Seharusnya aku yang membayar, sebab aku yang mengajakmu ke tempat ini." Kata Saka.

Sinta menggeleng dengan tegas, "Kamu memang orang yang mengajakku kemari, tapi buku ini adalah milikku. Sudah seharusnya aku yang membeli mereka. Tak perlu risau, aku mempersiapkan tabunganku untuk hal-hal seperti ini."

Sebenarnya Saka hendak membayar semua buku yang hari ini Sinta beli, tapi Sinta menolak dengan keras. Saka tahu jika kecintaan Sinta terhadap buku juga berlaku dalam kegiatannya membeli buku. Karena bagi Sinta, membeli buku dengan uang miliknya sendiri merupakan satu kepuasan yang begitu memanjakan hati serta dirinya.

"Oh iya, ngomong-ngomong soal ucapan Bunda tadi, memangnya benar ya jika perempuan hendak kencan, mereka sering menemui kesulitan memilih baju?"

"Ya, aku sering sekali dibuat bingung oleh Ruri saat dirinya dan Banu ingin pergi kencan."

"Aku pernah membacanya di media sosial. Jadi itu yang membuat mereka lama dalam mempersiapkan diri?"

"Ya, tapi bisa jadi mereka terlalu lama bersolek."

"Beruntungnya aku."

Sinta menatap Saka penuh selidik, "Karena?"

"Karena nantinya aku tidak perlu menunggu lama dirimu untuk bersiap-siap sebelum kita pergi kencan."

Sinta tertawa, "Kamu benar, aku tak perlu membuang-buang waktu untuk bersolek, sebab aku sudah sangat elok." Kata Sinta penuh percaya diri.

"Ya, aku setuju. Tapi sayangnya kamu masih punya kekurangan."

"Apa?"

"Aku. Kamu belum memilikiku sebagai kekasihmu." Sekarang giliran Saka yang berkata dengan penuh percaya diri.