"Kak Putri itu pengen bales dendam ke kakeknya Bang Aldi. Jadi, gitu sih Bang dugaan Tyas," tutur Tyas menutup ceritanya.
Paijo terperangah. Dia bahkan terpaku dalam waktu lama. Cerita Tyas tentang masa lalu Putri dan kemungkinan alasan gadis itu sampai berkhianat membuatnya seperti disambar petir di siang bolong. Ada rasa ngeri ketika membayangkan hal buruk yang telah dialami Putri. Paijo bahkan tak kuasa membayangkan jika harus menyaksikan orang tua sendiri terpanggang hidup-hidup di usia belia.
"10 tahun, Bang. Di berita itu, dituliskan umur Kak Putri baru 10 tahun dan harus ...."
Tyas tak kuasa melanjutkan ucapan dan terisak. Setelah membaca artikel itu, dia memang lebih melankolis dan tak berani lagi mendebat Putri. Sebenarnya, nasib Tyas juga tak kalah mengenaskan, dibuang di selokan dalam kantong plastik saat masih bayi merah. Namun, justru karena itulah dia tak memiliki keterikatan dengan orang tua kandung dan sudah menganggap Asih sebagai satu-satunya ibu. Tentu berbeda dengan Putri yang pernah dibesarkan dalam limpahan kasih sayang dan harus menyaksikan kematian tragis orang tuanya.
Tangisan Tyas membuat Paijo tersadar. Dia cepat mengusap punggung sang kekasih. "Sabar, Dek, sabar. Abang enggak nyangka Putri pernah mengalami hal seburuk itu. Pantas Aldi keliatan ikhlas-ikhlas aja dikhianati. Sepertinya, korsleting listrik itu memang bukan kecelakaan seperti dugaanmu dan Aldi tahu kebenaran itu."
"Tapi, Bang, gimana kalo Kak Putri kenapa-kenapa?"
"Sssttt ... jangan berpikiran negatif dulu. Kita juga tidak bisa membantu, lebih baik berdoa untuk Putri."
Tyas ingin protes dengan kepasrahan Paijo. Namun, tiba-tiba terdengar dering ponsel. Paijo mengeluarkan ponselnya. Nama Aldi yang tertera di layar. Dia pun segera menerima panggilan. Tyas berhenti menangis dan menunggu dengan sorot mata penuh harap. Entah kenapa dia merasa Aldi akan bisa menyelamatkan Putri dari cengkeraman orang-orang jahat itu.
"Iya, halo, Al. Ada apa?" sapa Paijo begitu panggilan tersambung.
"Soal Putri, ada yang mau gue omongin sama Tyas juga Bu Asih, nanti lo tanyain kapan mereka ada waktu untuk minggu depan." Suara Aldi terdengar seperti berada di keramaian.
"Mesti nunggu minggu depan, Al? Ini gue lagi sama Tyas."
"Gue ada proyek minggu ini di Bali. Ini juga sudah di bandara."
Paijo mengangguk-angguk seolah Aldi bisa melihatnya. "Oh, oke, oke. Nanti gue sama Tyas ngomong dulu ke Bu Asih, habis itu langsung gue kasih kabar ke elo."
"Iya, makasih, Jo."
"Sama-sama, Bro."
Panggilan berakhir. Tyas langsung memberondong Paijo dengan berbagai pertanyaan. Paijo menjawab pun menjelaskan pesan Aldi tadi. Tyas tiba-tiba menjadi bersemangat. Dia mengepalkan tangan dan meninju udara.
"Ayo kita pulang, Bang! Kita kasih tau Ibu!" serunya berapi-api.
"Makan dulu, Tyas. Kata Emak, pamali kalo makanan udah tersedia di hadapan, tapi malah ditinggal," tegur Paijo.
Sebenarnya, makanan yang mereka pesan di rumah makan itu memang sudah tersaji menggoda selera. Namun, Tyas terlalu asyik bercerita tentang Putri. Akibatnya, makanan tersebut belum tersentuh sama sekali.
"Tapi, Bang, kita harus kasih tau Ibu secepatnya."
"Aldi juga baru bisa minggu depan, Dek. Jadi, kalo kita baru kasih tau Bu Asih 1-2 jam lagi juga gak papa," bujuk Paijo dan mulai menyendok nasi goreng ke mulut.
Tyas masih hendak protes. Namun, perutnya tiba-tiba berbunyi. Akhirnya, dia menurut pada Paijo dan ikut menyantap sajian di meja.
***
Aldi memasuki aula resort dengan langkah elegan. Dia menyalami beberapa rekan bisnis dan para investor, lalu mengajak mereka duduk di kursi-kursi yang telah diatur sedemikian rupa. Aneka hidangan ringan tersaji di meja. Tak lama kemudian, pembawa acara mulai membuka acara dengan meriah.
"Mari kita saksikan keindahan ragam budaya Indonesia, Tari Pendet yang akan dibawakan Sanggar Tari Sekar Urip!"
Iringan gamelan gong kebyar berlaras pelog dan gamelan gong semar pegulingan berlaras slendro terdengar merdu. Tak lama kemudian lima penari dengan pakaian adat Bali memasuki ruangan sembari membawa bokor berisi bunga dan buah-buahan. Aldi seketika mengalihkan pandangan. Tari tradisional selalu berhasil menyedot perhatiannya. Matanya berbinar mengagumi kemegahan kostum penari, daro tapih hijau dengan motif crapcap, kemben merah bermotif emas, angkin kuning dengan motif tumpeng, dan selendang merah yang melingkar indah di pinggang para penari.
Berdasarkan pelajaran yang sudah diterima Aldi waktu masih aktif di sanggar tari dulu, Tari Pendet telah mengalami beberapa perkembangan. Tari ini pada awalnya bersifat sakral (wali) dan menjadi bagian dari upacara (bebali) piodalan di pura atau tempat suci keluarga. Upacara tersebut adalah ungkapan rasa syukur, penghormatan, penyambutan kepada dewata yang turun ke bumi dan pemujaan kepada dewa yang berdiam di pura selama upacara berlangsung. Namun, seiring berjalannya waktu, para seniman mengembangkan tarian yang semula hanya berfungsi sebagai tari upacara atau wali menjadi 'balih-balihan', berfungsi sebagi tari hiburan dan penyambutan atau tarian selamat datang.
Tatapan Aldi masih terpaku ke arah panggung. Para penari tampak luwes membawakan tarian. Gerak-gerik gemulai memukau mata. Gerakan kaki (gegajalan), tangan (pipeletan), jari (nyakupbawa dan ulap-ulap), badan (leluwesan), mimik (entiah tjerengu), leher (dedengek) dan mata (nyeledet) ditampikan dengan apik dan dinamis. Tamu-tamu lain juga tak melepaskan pandangan dan terus menggumamkan decak kagum sampai tarian usai. Di akhir pertunjukkan, para penari melakukan salam penghormatan dan meninggalkan panggung diiringi tepuk tangan.
Selanjutnya, acara diisi dengan berbagai sambutan dan agenda biasanya yang formal dan membosankan. Usai acara, para tamu diantarkan ke kamar masing-masing. Sementara Aldi berkeliling resort memeriksa fasilitas dan pelayanan yang tersedia. Para pegawai menyambut antusias. Mereka tentu menghormati bos besar yang sangat mengutamakan kesejahteraan karyawan, bukan hanya mengeruk keuntungan semata.
Selama peninjauan, tak ada masalah berarti, hanya sedikit kekurangan yang bisa cepat diperbaiki. Aldi tersenyum puas dan berterima kasih kepada para pegawai. Setelah berkeliling resort, dia memutuskan pergi ke pusat oleh-oleh. Supir dengan sigap langsung menyiapkan mobil, tetapi Aldi malah minta diantarkan dengan motor. Meskipun bingung, supir tetap mencarikan motor.
Perjalanan menuju pusat oleh-oleh dengan motor membawa kesan tersendiri bagi Aldi. Angin semilir yang menerpa wajah terasa menyegarkan. Dia memang cukup beruntung karena cuaca tidak terik. Sempat melintas di benaknya ingin berlibur bersama Putri dan mengendarai motor dengan romantis.
"Sudah sampai, Pak," ucap supir membuyarkan lamunan Aldi.
"Ah, ya, terima kasih, Pak."
Aldi turun dari motor. Sementara, supir menuju tempat parkir, dia masuk ke pusat oleh-oleh. Aldi segera membeli barang-barang untuk anggota keluarga, Putri, Paijo dan ibunya, juga anak-anak panti. Setelah mendapatkan semua yang diinginkan, dia beristirahat sejenak di salah satu kursi.
"Eh, Bang Aldi?"
Suara tak asing itu membuat Aldi merasakan firasat buruk. Benar saja, begitu menoleh, dia menemukan wajah sok polos Rani. Aldi sudah tidak percaya lagi meski sepolos apa pun raut wajah gadis itu.
"Kebetulan banget, ya, ketemu di sini? Tumben ke Bali, Bang?" celetuk Rani sembari ikut duduk di kursi.
"Seperti biasa saya ada proyek. Sepertinya, saya harus segera kembali ke resort. Saya permisi." Aldi bangkit dari kursi bermaksud pergi, tetapi Rani memegangi lengannya. "Saya baru tahu kalau kamu tidak tahu tata krama," sindir Aldi pedas.
"Bang, plis, duduk dulu. Banyak yang Rani mau omongin."
"Tapi, saya juga punya hak untuk menolak bicara dengan kamu."
"Bang, kenapa, sih, Abang dingin banget sama Rani?"
"Oh kamu lupa sama fitnah kamu ke adik saya, juga statemen kamu di televisi yang memojokkan saya?"
"Itu semua karena aku tuh frustrasi habis diputusin Abang. Itu karena aku tulus banget cinta sama Abang. Kenapa malah Abang malah milih cewek gembel yang udah khianatin Abang sih?" cerocos Rani.
"Tulus mencintai saya?" Aldi tertawa sinis. "Kamu hanya terobsesi karena merasa saya mirip dengan artis Korea kesukaanmu."
"Bukan gitu, Bang. Aku–"
"Sudahlah, menyingkirlah dari hidup saya. Kamu memuakkan," tutur Aldi dingin.
Dia bergegas meninggalkan pusat oleh-oleh. Seruan Rani tak diacuhkan. Akhirnya, Rani berhenti memanggil karena sudah menjadi pusat perhatian pengunjung lain. Gadis itu segera menjauhi keramaian, lalu menghubungi Gilang.
"Bang Gilang! Gagal lagi, Bang!" jerit Rani begitu panggilan tersambung.
"Kalo ngomong, pelan-pelan, Rani. Mau bikin kuping gue budek lo ah," gerutu Gilang.
"Abisnya Rani kesal banget, Bang! Kata Abang, rencana kita udah brilian banget, taunya gue dimarahin, Bang," keluh Rani sambil sesekali mendengkus.
"Yah namanya rencana mana ada yang 100 % berhasil, Ran. Udahlah mending lo balik. Kita susun rencana baru."
Amarah Rani mulai surut. Wajah masamnya perlahan berubah cerah.
"Rencana baru apa, Bang?"
"Ribet kalo lewat telepon, mending langsung ketemu."
"Iya, Bang, iya. Gue langsung pesan tiket pesawat nih. Udah dulu, ya, Bang."
"Ya."
Rani mengakhiri panggilan, lalu membuka aplikasi pemesanan tiket pesawat. Sialnya, kelas bisnis sudah penuh. Dia tentu tak mau bepergian dengan kelas ekonomi. Akhirnya, Rani menunda keberangkatannya hingga besok.
"Elah, bakal gabut deh. Tau gini, gue angkut dah si Tiana," keluh Rani sambil berjalan menuju mobil yang disewanya selama di Bali.
Supir sudah membukakan pintu. Tepat sebelum masuk ke mobil, seorang gadis lokal berlesung pipi memberinya brosur. Rani menerima dengan setengah hati. Dia hampir membuang brosur, tetapi hatinya mendadak terasa berdenyut, perih.
Brosur yang diterimanya berisi informasi pertunjukkan teater musikal dengan pertunjukkan sendratari. Dulu sekali, Rani juga memiliki impian menjadi pemain teater terbaik sedunia. Paramitha pun mendukung penuh. Rani kecil bahkan pernah memenangkan beberapa lomba bersama kelompok teater sekolah.
Namun, semua berubah sejak aktingnya dilirik seorang sutradara. Rani mulai ditawari peran-peran anak kecil di film. Paramitha mengalami euforia berlebihan dan menjadi terobsesi. Jadwal Rani dibuat sangat padat dan tak pernah lagi bisa menyentuh panggung teater. Rani sempat protes, tetapi malah dimarahi dan diracuni untuk menganggap teater dengan pertunjukkan tari tradisional kampungan. Oleh karena itulah, dia sering berkata tari tradisional kampungan meskipun terkadang hati kecilnya merindukan panggung gemerlap dan segala peran yang memukau penonton.
"Ck! Sial*n!" umpat Rani. Dia membuang brosur dan segera masuk mobil. "Balik ke hotel aja, Pak!" perintahnya.
***