"Umma " panggil bhie dengan suaranya yang memelan melihat sosok ibundanya terbaring lemah di tempat tidur dengan banyak alat yang menempel di tubuhnya yang tersambung langsung ke monitor.
Langkahnya terasa berat menuju ke arah tempat tidur yang menopang tubuh ibunya.
"Kenapa mata umma terus tertutup? " suara bhie lirih.
Dia duduk di kursi yang berada tepat di samping tempat tidur ibunya.
Dia memegang tangan ibunya yang terpasang selang infus dan menciuminya.
Penyesalannya muncul kali ini ketika dia ingat semua tindakannya yang selalu membuat ibunya kecewa.
"Kalian datang juga "
Bhie terkejut ketika dia sedang serius mengakui kesalahannya tiba-tiba muncul sosok rektor yang adalah ayah dari pak alan dosennya di kampus di temani sang istri dan dua orang berpakaian rapi yang sama sekali tidak bhie kenal.
"Mereka bawa siapa? " tanya bhie dalam hatinya.
Kedua matanya terus memandang ke arah dua lelaki yang memakai jas dan kopiah di kepalanya, masing-masing orang memegang map aneh yang membuat bhie curiga.
Bhie menoleh ke arah pak alan yang berdiri tepat di sampingnya.
"Bapak bilang sama pak rektor kalo umma masuk rumah sakit? " bhie berbisik ke arah pak alan.
"Tidak " jawab pak alan yang juga berbisik.
"Saya pikir kamu yang bilang " sambung pak alan.
Bhie menggelengkan kepalanya sebagai jawaban dari perkataan pak alan.
"Saya merasa tidak enak hati sekarang " bisik bhie lagi.
"Sama "
Mereka berdua berdiri mematung memandangi orang tua pak alan yang sibuk menata meja dan kursi khusus penunggu pasien.
Bhie mengerutkan dahinya, dia melihat itu seperti sebuah tempat yang disiapkan untuk akad pernikahan di sinetron-sinetron yang sering dilihatnya.
"Ibu kamu punya keinginan bisa melihat putrinya menikah dengan lelaki baik-baik " ucap pak rektor pada bhie.
"Sebagai calon besan yang baik, bapak mengabulkan keinginannya hari ini " sambungnya.
Mulut bhie menganga karena terkejut, matanya kesulitan sekali untuk berkedip hanya terus memandangi wajah rektor yang ada di hadapannya sekarang.
"Kapan ibu syabhie bilang seperti itu? " tanya pak alan dengan nada tenang dan tentu saja wajahnya yang tanpa ekspresi sedikitpun.
"Bukannya ibu syabhie masih belum sadarkan diri? " tanyanya lagi.
"Tadi sebelum kalian datang " jawab pak rektor, "dia bicara dengan matanya yang tertutup dan air mata yang keluar "
"Kamu tahu melihat itu seperti melihat ibumu " dia berakting dengan wajah sedih yang kemudian menundukkan kepalanya.
"Apa kalian tega membiarkan keinginan keluarga kalian yang sudah tua ini... " ucapnya lagi.
"Alan... " ibunya memanggil pak alan dengan wajahnya yang memelas.
"Jangan sampai dokter spesialis jantung yang merawat ayahmu memarahimu lagi "
Kedua alis pak alan terangkat, "ma, ini pernikahan bukan sedang bermain drama "
"Kenapa seperti kesannya seperti mendadak, padahal kita sudah punya rencana "
"Wanita baik-baik seperti syabhie harus menikah di ruangan seperti ini dengan tiba-tiba "
"Apa kita tidak malu membuat pernikahan seperti ini? "
"Syabhie punya teman, dan dia juga pasti punya pernikahan impiannya tidak seperti ini "
Bhie kembali tertegun mendengar perkataan pak alan tentangnya kali ini.
Dalam pikirannya ada dua opsi tentang pak alan. Yang pertama dia sedang mencoba menunda pernikahan dan yang kedua dia memikirkan keinginan bhie tentang pernikahan.
"Syabhie " panggil pak rektor.
"Ya " suara bhie melemah.
"Kamu mementingkan keinginan ibumu atau kepentingan dirimu sendiri dalam situasi ini? "
Bhie terdiam, dia tidak lantas memberikan jawaban karena kebingungan.
"Jawab saja yang jujur " ucapnya lagi pada bhie.
Bhie melihat sosok ibunya yang masih terbaring dengan kedua matanya yang masih terpejam memakai oksigen.
"Selama ini saya selalu membuat umma kesal dengan menjadi anak yang keras kepala " jawab bhie.
"Jadi sekarang saya akan mendahulukan keinginan umma "
Terlihat jelas sekali oleh bhie reaksi wajah kedua orang tua pak alan sangat berbeda berubah menjadi berseri-seri.
"Saya boleh bicara dengan pak alan lima menit... " bhie meminta ijin.
"Boleh " jawab calon ayah mertuanya.
"Kamu juga tinggal katakan pada alan gedung mana yang mau kamu pakai untuk resepsi pernikahan nanti, negara yang mau kamu kunjungi untuk bulan madu "
"Dan kalau kamu butuh kendaraan sendiri untuk kuliah nanti kamu tinggal tulis saja dan berikan pada ayah "
Bhie mulai tergiur dengan materi-materi kemewahan yang sudah di tawarkan oleh calon ayah mertuanya.
"Lima menit... " bhie meminta ijin dengan menoleh ke arah pak alan untuk mengikutinya keluar dari ruangan ibunya.
Bhie keluar lebih dahulu diikuti oleh pak alan di belakangnya.
"Pak rektor itu benar-benar memakai ilmu ekonomi dengan baik " ucap bhie pelan.
Pak alan mengerutkan dahinya, "maksudnya? "
"Semuanya pakai tehnik tukang tahu bulat yang di goreng dadakan! " bhie berkata seperti itu dengan wajahnya yang kebingungan.
Pak alan melihat bhie yang mondar-mandir seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Pernikahan saja dadakan! " cetus bhie pelan, "biar apa? "
"Dia pikir supaya gurih-gurih nyoy kalau dadakan! "
"Kalau kamu tidak mau tinggal bilang saja " ucap pak alan yang kemudian membuat langkah mondar-mandir bhie yang seperti setrika pakaian terhenti.
"Bapak curang " tanggap bhie.
Kerutan terlihat di wajah pak alan, "kenapa saya di bilang curang? "
"Karena bapak tidak mau menolak pernikahan, kalau saya yang menolak pasti saya saja yang dibenci pak rektor! "
"Ya sudah kita menikah saja " pak alan seperti enggan memperpanjang masalah kali ini.
"Bapak, ini pernikahan... " ucap bhie dramatis.
"Yang mau keturunan itu kan bapak, untuk memenuhi keinginan kekasih bapak yang saya tidak kenal itu "
"Pelankan suaramu " pak alan dengan cepat menutup mulut bhie dengan telapak tangannya agar bhie berhenti bicara.
"Kita buat buat saja perjanjian " ucap pak alan pelan.
"Satu milyar untuk setiap satu tahun yang kamu lalui " dia memberikan penawaran menggiurkan untuk bhie.
"Kamu juga akan dapat bagian dari warisan keluarga karena melahirkan anak "
"Kamu bebas melakukan apapun di rumahku tapi tidak jika itu membawa laki-laki lain "
Bhie membulatkan kedua matanya mendengar nilai fantastis yang dikatakan oleh pak alan.
Tangannya menunjuk ke arah tangan pak alan yang menutupi mulutnya. Memintanya agar membiarkan bhie bicara.
"Tidak sebelum kamu setuju " jawab pak dengan nada memaksa.
"Kamu harus mengangguk untuk jawaban setuju "
"Ini namanya pemaksaan! " cetus bhie dalam hatinya.
Pak alan terkejut ketika merasakan ada sesuatu yang membasahi tangannya.
"Kamu ngiler! "
Dengan cepat dia menjauhkan tangannya dari mulut bhie, dengan wajahnya yang melihat jijik ke arah tangannya sendiri yang dibasahi oleh air liur bhie.
"Sama air liur saja takut! " bhie dengan cepat menarik ujung kaos yang dipakainya untuk mengelap air liurnya yang membasahi tangan pak alan.
"Katanya pengen punya anak kecil " bhie bicara sambil mengelap air liurnya.
"Anak kecil itu selalu membuang air liur seperti ini "
"Tapi mereka bayi polos " jawab pak alan ketus, "lha kamu ini mahasiswi, sudah dewasa! "
"Pemakan segala " sambungnya.
Bhie memperlihatkan tawa singkatnya dengan wajah kesalnya.
"Apa saya boleh mengajukan persyaratan juga? " lalu bhie bertanya pada pak alan.
"Selain uang, apa saya boleh meminta yang lain? " tanyanya.
Senyumannya terlihat, "selain uang dan perasaan cinta "
Pak alan terdiam memandangi bhie yang secara tidak langsung menerima penawarannya...