webnovel

BAB 5 : Dermaga Yang Berkarat

- entahlah.

mungkin ini hanya mimpi.

jatuh ke dalam tumpukan mawar kering.

berbaring di atas ngiup tanah yang basah.

senja datang

membawa semua pasukannya

menghujat dan menjajah

dengan peluru bernama kegelisahan

aku setia disini

memakan hati dan perasaanku sendiri

aku setia jengah di dermaga ini

menunggumu kembali -

Ombak masih mengguyur tepi pantai dengan damai. Cahaya langit biru juga tetap terang menyinari laut yang berpantul biru. Ah, tentang puisi itu?, ya, mereka sering membacanya setiap sore. Lalu saat semua pujaan hati dan malaikat kecil mereka terlelap dalam malam, mereka pergi berbondong-bondong ke tepian pantai sambil membawa nyala api kecil yang terjebak di sumbu obor mereka.

Mereka adalah sekumpulan pria tegap berkulit hitam dengan jala-jala usangnya. Bermata tajam dengan otot yang melukis tubuh. Tatapannya lurus ke depan, malah jauh melayang menembus gemuruh air yang setiap saat menggumuli mereka. Mereka juga gemar bertaruh nyawa. Menggantungkan hidup di seutas layar dan dayung di tangan, dilempar peluh dan darah, bergulat dengan penyambung hidup diri sendiri, juga penyambung hidup keluarganya. Yakni ikan laut.

Mereka tidak pernah tidur. Hampir. Saat subuh mereka masih bergulat di samudera ganas. Pulang dan mengumpulkan hasil pada pagi yang masih awal. Mencari dan menjual pada tengkulak di fajar sampai siang terik. Sisanya? tadi sudah kuberitahu saat sore mereka membaca puisi itu, lalu kembali menebar jala dan bergumul dengan alam sampai pagi hinggap kembali. Kehidupan mereka bisa dinilai biasa. Istri-istri mereka kadang yang membuat mereka masih menyisakan senyum di sisa-sisa hari yang lusuh, pula dengan jumlah biaya kehidupan anak mereka yang dari hari ke hari makin besar yang membuat senyum itu kembali luntur. Ikan-ikan juga pergi meninggalkan pantai mereka. Kebahagiaan mereka berbanding kecil sekali bukan? Sungguh. Kalau aku orang jahat mungkin aku sudah tertawa terbahak-bahak.

'akhir-akhir ini ikan sudah jarang mampir di jala' ucap salah satu mereka sambil mengusap peluh di keningnya.

'aku juga sudah tidak tahu harus bagaimana, biaya hidup keluargaku semakin besar, aku tidak mampu menampungnya, namun aku ingin melihat anakku bersekolah dan sukses di kemudian hari' ucap salah satu mereka yang lain.

'suruh saja anakmu jadi nelayan, teman. Harapan seperti itu kecil untuk orang seperti kita'

'sudah, sudah. Sore sudah tiba, mari kita ke dermaga dan membaca puisi seperti biasa' setelah pembicaraan usai.

Mereka beramai-ramai pergi ke dermaga tua sambil bernyanyi. Berlagak seperti pemain opera tunggal berias tebal yang menyembunyikan semua yang terjadi di balik topengnya. Namun banyak yang tidak mendukung opera bohongan itu, buktinya, ada yang meneteskan air dari matanya, ada juga yang terisak, bahkan ada yang menantang langit sambil mengucapkan sumpah serapah dengan genangan air yang turut tumpah di pipi mereka. Kau lihat? Bahkan mereka sudah tidak sanggup menyembunyikan.

Dermaga tua itu sudah sering menjadi saksi kesedihan mereka. Bahkan mungkin air laut di bawahnya sudah berubah menjadi kumpulan air mata yang juga meresap di butir-butir kecil pasir. Laut tidak bisa ikut menangis. Tidak ada rasa yang ia kecap kecuali asin. Begitu juga burung yang sering berterbangan di dekat dermaga, apa yang akan mereka rasakan kecuali rasa khawatir bila tak mendapat ikan untuk sekedar mengganjal perut mereka yang kecil?. Apalagi kau bukan? Aku tidak menyalahkanmu. Buktinya, burung dan laut saja tidak menangis, apalagi kau yang tidak pernah melihatnya secara langsung? Sekali lagi, aku tidak menyalahkanmu kawan, kenyataannya, aku juga tidak merasa apa-apa.

Saat tengkulak-tengkulak itu datang di pagi buta, mereka seolah melihat utusan tuhan yang berasal dari surga. Kalau bukan dari dompet tengkulak-tengkulak itu, dari siapa lagi mereka meraup sedikit uang hanya untuk menutup hutang-hutang mereka dan melunasi galian lubang hutang yang baru nantinya? Mereka sangat rentan, rapuh pada penipuan. Sistem dimana mereka hanya bergantung pada tengkulak-tengkulak itu membuat mereka percaya sepenuh hati dan mau menuruti apa saja yang dikatakan beberapa tengkulak nakal yang mengelabui mereka. Harga yang tidak menentu dan ditaksir hanya berdasar minat para tengkulak cukup membuat istri-istri mereka menitikkan air mata karena suami mereka tidak berdaya menanggapinya. Mereka hanya bisa pasrah mengadu ke dermaga sambil membaca puisi yang sering mereka lafal sambil menangis tersedu-sedu, melihat ke arah langit sambil mengembangkan tangan di tengah udara, berharap tuhan mendengarkan doa mereka. Berharap kehidupan mereka yang sial itu berubah.

Mereka memiliki agama yang mereka anut dengan kepercayaan masing-masing. Mereka tahu apa itu kebenaran dan kekeliruan. Tapi sulitnya keadaan membuat mereka lupa dan kadang menghujat tuhan sambil berceloteh dengan kerasnya di atas pasir. Mereka bukan makhluk yang tidak mengenal tata krama, kuyakinkan padamu mereka adalah makhluk yang beradab, namun air mata mereka yang menggenang sudah meluap dan menenggelamkan mereka dalam kesedihan yang tak berujung. Membuat mereka menjadi liar, bahkan buas untuk diri mereka sendiri.

'ayah, aku akan ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Suatu saat nanti, aku pasti kembali'

Banyak kalimat seperti itu keluar dari naluri anak-anak mereka yang terlalu paham dengan keadaan lingkungannya. Anak-anak itu berandaian akan memiliki kehidupan yang berbeda di luar sana. Bertahun-tahun anak-anak yang sudah tumbuh itu pergi, bertahun-tahun pula mereka menunggu kedatangan anak-anak itu kembali. Entah anak-anak yang membawa harapan dari ujung pantai itu berhasil dan bahagia, entah anak-anak itu mati ditimpa keganasan dunia nyata.

Kau penasaran dengan puisi itu? Ah, mana mungkin kau mau tahu, toh, itu hanya sebuah harapan dermaga dari seseorang yang hilang ditelan samudra. Tertulis kecil di batas karat dermaga yang hampir berciuman dengan curamnya laut yang beku. Kata yang tergores kecil di sudut dermaga itu ditulis dari orang yang sudah mati. Salah satu keluarga terdahulu dari mereka.

Terdapat keanehan padanya. Di antara sorak sorai teman-temannya yang tengah kebanjiran tangkapan ikan, dia hanya lenyap dalam sunyi sambil membawa dua ikat tali yang dilekatkan pada empat ekor ikan laut segar yang masih meronta-ronta mencari air. Saat sore dia suka ke dermaga, dimana banyak kapal bersinggahan kesana kemari untuk mengangkut barang-barang dalam kotak besi besar setiap hari. Yang ia lakukan di dermaga hanya memancing sambil bernyanyi sambil melihat sebuah cerobong besar memuntahkan asap hitam tebal ke langit luas dari sebuah pabrik besar di bawahnya. Sesekali ia menggores dengan batu karang tua di lantai ujung dermaga, menumpahkan kata-kata perandaian akan masa depan yang ia terka. Dia hanya memperhatikan itu dengan miris, sudah ratusan kali ia mencoba membujuk teman-teman dan keluarganya tentang melakukan sesuatu pada pabrik itu. Apa dayanya, kucuran uang atas perjanjian pembangunan pabrik sudah membutakan penduduk ujung pantai yang mulai menghitam itu. Mereka berpikir, apa ruginya mengizinkan membangun pabrik, sekaligus mendapat hasil dari tangkapan ikan setiap hari? Penghasilanku akan bertambah berkali lipat kan?

'ikan kini sudah pergi, mereka tidak pernah datang lagi'

'kau benar, bagaimana kita lanjutkan hidup?'

'kita tidak boleh menyerah, lebarkan jala kalian! Mari kita menangkap bersama-sama' lantang salah seorang dari mereka. Menyembuyikan kegelisahan yang sudah di depan mata.

Pabrik itu kini sudah mati. Meninggalkan dermaga yang berkarat dan laut yang kotor. Ikan sudah tidak lagi bertamasya di pantai mereka, memilih pergi daripada mengambang keracunan tak berguna. Yang tersisa hanya raut mereka. Raut keputusasaan. Sambil terus membaca puisi kecil itu, jala masih mereka lebarkan di antara limbah hitam pekat kental yang tergenang. Menunggu dengan kegelisahan. Setia dilema jengah kekhawatiran yang berbatas di cakrawala. Di tempat ini. Di antara laut yang sudah mati.