webnovel

BAB 2 : Rasa Perih Dan Duka Kehidupan

Aku datang pada malam dingin yang terhanyut dalam sunyi. Kurebahkan diri di atas tumpukan kapas kotor penuh debu yang melontarkanku pada kebengisan hidup. Diriku terbuai, terbesit kala sinar-sinar muncul perlahan. Kudapati diriku di balik senyuman seorang wanita penuh dengan gelora dan keanggunan. Aku terderai dalam tumpukan buku-buku. Kucari satu demi satu buku bengis yang hancurkan hidupku. Buku yang buatku harus lupakan apa yang dulu milikku. Hah, ketemu. Benar pula apa yang dikata orang. Ini benar adanya. Buku cemooh pelintir kehidupan. Hah, kau harus hancur. Jadilah debu dan pergilah jauh-jauh.

Kuremas kertas-kertas. Kusobek satu-satu. Kutemukan lampiran akhir cerita. Bengis, bengis, bengis, cemooh, cemooh, cemooh, hina, hina, hina. Buku ini, buku polesan hitam kelam. Buang! Kutatap lentera remang wanita penuh dengan gelora dan keanggunan, kulemaskan badan rapuh ini. Kutatap lagi lentera si wanita itu. Membahana suara lembut kerdil di telingaku, suara halus si wanita itu. "Jangan kau kira hidup ini bagai air yang mengalir. Coba engkau saksikan sendiri apa yang terjadi dulu. Engkau harus tentukan sendiri jalanmu." Suaranya, ya aku kenal. Suara wanita paruh baya yang sempat sadarkanku—sesaat sebelum ku terlempar ke dalam dunia gelap.

Aku terdiam di samping perapian rumah kayu reyot tempo dulu. Ku terbangun baru saja, sesaat setelah kudapati diriku membeku di atas dinginnya keruan rasa hati yang remuk. Aku remajakan diriku. Padahal bila terpikir, aku tak lagi semuda dulu. Aku dulu begitu bahagia, murni dan penuh kegemasan. Tak kiranya kini aku hancur setelah melanggar apa yang telah tertancap di adat-adat kuno larangan.

Terbesit memori ingatan masa kelam dulu kala. Saat kutemui lembar-lembar buku bengis yang hancurkan diriku. Aku meredup. Baru sebentar pijaran sinarku merekah. Membentang ke segala penjuru arah mata angin. Tanpa bayangan keelokan si gadis riang, aku sadar betul akan hal itu. Si gadis tolol yang impikan tentang sesuatu yang fatal akibatnya.

"Kau sudah lama terdiam. Bisakah kau bergerak sedikit. Temuilah anakmu yang kini menyendiri. Jangan kau kira ia tak sepertimu." Wanita paruh baya itu membangunkan si gadis tolol penuh kebusukan ke dalam surga yang tak pantas untuknya.

"Seandainya ia sepertiku. Bisakah ia merasa apa yang kurasa kini. Ia hanya anak kecil yang nasib hampir sama sepertiku. Jangan dikata ia kini tengah mengigau tentangku." Kiranya jawaban itu yang berseliweran di benak gadis tolol.

"Kau ingat tentang juangmu deminya. Kau siakan juangmu demi sebongkah rasa dendam tak karuan. Apa kau tak lihat, betapapun ia kini rindu sosokmu." Wanita paruh baya itu membuyarkan kenanganku di kelam-kelam ingatanku tentangnya.

"Tanpa dibuat. Ia kini telah bahagia. Tanpa perlu ibunya yang telah membusuk ini." Aku hanya melontarkan kata-kata elakan sebagainya elakan atas apa yang harus dikata, meski kutahu, tak mungkin kulupa apa yang terjadi dulu.

"Sudahlah, kau tak usah ragu. Jangan banyak cakap. Datanglah. Kini ia butuh engkau di sampingnya." Wanita paruh baya itu membenamkanku betul-betul ke kata-kata manis bualannya.

"Baiklah. Tapi jangan anggap ini sebagai rasa patuh dariku." Melemaslah badanku di kala lembayung pagi menusuk pagiku ini.

Aku tak pernah paham. Kenapa wanita paruh baya itu selalu menyertaiku. Aku tak sadar betul tentang sosoknya di mataku. Yang kutahu, ia hanya pengasuh si gadis tolol dari bayi yang suci tanpa dosa.

Di bukit fajar berdiri deretan peristiwa kelam kehidupan, tirani kasih si petuah. Aku sandarkan tubuh yang kian rapuh ini di gemerisik bisingan suara yang hinggap dan tak terbantahkan semua. Kurenungkan segala. Selebihnya aku terhenyak menyokong perih di sanubari gadis tolol. Aku tak rasa, tak tega melihat, dengar rintih seorang kecil pudar di ingatan.

Aku telusuri hijau-hijau duri di bukit nan jauh di sana. Kuyakinkan diri melihat kecil pudar di ingatan. Aku paham benar tempat ini. Terakhir hadir, saat kubuang semua manis pahit himpitan kenangan bersamanya demi kejar keindahan kesurgawian.

Kutemukan lagi ia. Ia terlihat menangis bersendu di bongkahan batu-batu curam. Tak tega, seungkap kata yang pantas seharusnya kurasa. Ku melihatnya lebih mendekat saat merah mata beningnya menyeruakku, menyerangku ke ingatan masa kelam dulu.

Aku tak kuasa. Kuingin lari lagi dari kenyataan. Namun, saat ini ku hanya terpaku mematung bagai pohon yang tak bisa lari dari api yang menerjang. Bungkam.

"Ka umanis, bukan," ucapnya kepada sebuah boneka yang telah usang dimakan zaman.

"Kau tak tahu, hari ini aku senang. Ada seorang yang mencariku. Tanyakan keadaanku. Betapanya ia baik hati, bagai bola meriam yang hancurkanku," ucapnya terlukis semburat mendung dibalik hiasan bola matanya yang bening, indah.

Tak tega …

"Kau ingin apa?" kata lembut hadir tiba-tiba di antara sendu tangisnya. Yang ku bisa hanya melemah menyakitkan hati kecilnya.

"Kau siapa?" tanyanya pada kebingungan seruak hati kecilnya yang tak sanggup lagi tanggung si periam.

"Kau …"

"Kau …"

Tak ada jawaban dari si periam. Ku tetap terdiam melihat.

"Kau …"

Masih saja menunggu jawaban atasnya yang mengucap behel bingkisan bibir yang tak dapat isinya.

"Engkau … adalah hadiah terindah. Jangan berkata seperti itu lagi." Si periam berusaha ingatkan si kecil pudar di ingatan tentang apa yang sesungguhnya.

"Kau siapa?" Saja, itu yang kudengar dari sorot matanya. Kutetap terdiam. Tak ada yang sadari.

"Kau siapa?"

"Kau siapa?"

"Aku tak tahu engkau. Aku ingin ibuku. Aku ingin ibuku. Aku ingin ibuku …," jerit si kecil pudar di ingatan.

Semenjak saat itu, bila ada luang dan kepercayaan celah, aku sempatkan untuk melihat si kecil pudar dalam ingatan. Berupaya kembali membawanya ke waktu yang seharusnya. Membuatnya tersadar dan bisa tumbuh dengan bijak. Aku tahu ini bukan jalan yang utama, tetapi sedapat mungkin kita membawanya ke arah lurus. Dimana jalan itu akan tersinari sinar cerah.

Namun, tidak semestinya ini yang diharapkan. Aku menyadari sejak awal bahwa apa yang kuperbuat tempo dulu akan ada akibat yang harus ditanggung. Dan kenyataan ini lebih buruk dibanding dengan mempertahankan sebuah kebahagiaan. Dia, si kecil pudar dalam ingatan menjadi korban. Korban dari rasa perih dan duka kehidupan ibunya. Bila ada kesempatan, semoga hidupnya lebih baik. Dan kelak akan menjadi suatu hal yang berharga.