Selamat Membaca
"Sakit banget, Ya Allah!" Reynand merintih kesakitan. Rasa sakit di kembali menggerogoti tubuhnya.
"Kasep, apanya yang sakit? Mau bibi panggilin dokter?" tanya Bi Sarti yang sedang berjaga di rumah sakit.
"Sakit semuanya, Bi. Perut, tenggorokan, dada, dan hati Rey semuanya sakit. Rey capek, Bi," ujar laki-laki itu.
Air mata Bi Sarti tak tertahankan lagi. "Sabar, ya, Den Rey. Bibi yakin Den pasti bisa sembuh secepatnya."
"Iya. Makasih, Bi."
Ceklek!
Dia adalah Nagita Giyana, Ibu dari Reynand. "Rey, kamu baik-baik saja, Nak?"
"Rey gak pernah baik-baik saja, Mama," tutur Reynand dengan mata sendu, "sshh, sakit, Ma."
Nagita sontak menekan tombol Nurse Call Bel untuk memanggil perawat atau dokter yang sedang berjaga. Tidak butuh waktu lama, tiga orang tenaga medis masuk ke dalam kamar rawat Reynand.
"Tolong anak saya, Dok. Dia kesakitan dari tadi," ucap Naqia dengan raut wajah cemas.
Dokter Fara mengangguk. "Suster, tolong kasih obat pereda nyeri yang kuat, ya."
"Baik, Dok."
"Dokter, apa anak saya tidak bisa disembuhkan? Operasi atau apa gitu?"
"Sebenarnya bisa, Ibu. Walaupun memang kanker hati ini tidak bisa sembuh total, paling tidak bisa ditangani dengan melakukan transplantasi hati. Namun, untuk saat ini pihak rumah sakit belum ada stok untuk melakukan donor hati kepada Reynand. Jika pihak keluarga berkenan, kalian bisa membantu kami untuk mencari donor hati di luar. Semakin cepat maka akan semakin baik, Ibu Nagita. Karena kalau dibiarkan lama-lama, stadium 3B ini akan terus naik sampai ke stadium akhir."
Rasanya sangat sakit saat mendengar penjelasan dari Dokter Fara. Baik Naqia atau pun Bi Sarti, mereka sudah menangis tersedu-sedu.
"Kanker hati ini disebabkan oleh apa, Dok?"
"Kanker hati ini rata-rata disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, merokok, penumpukan lemak, dan bisa juga karena Hemokromatosis. Kelebihan zat besi yang disebabkan oleh kondisi turunan. Kelebihan zat besi dapat meracuni organ, yang dapat menyebabkan kondisi seperti kanker, denyut jantung tidak teratur, dan sirosis hati."
"Anak saya gak pernah minum alkohol, merokok, bagaimana mungkin dia bisa terkena kanker hati?" tanya Naqia lagi.
"Kalau yang saya tahu dari Reynand, Kakek dari pihak ayahnya mengidap Hemokromatosis. Hal inilah yang menyebabkan Reynand mengidap kanker hati, karena memiliki zat besi berlebihan dalam tubuh, faktor keturunan dari kakeknya itu."
Nagita mengangguk-angguk. "Iya, Dok. Saya baru ingat tentang itu."
"Baiklah, segitu dulu, ya. Saya harap kerjasamanya untuk pihak keluarga membantu kami mencari donor untuk kami lakukan transplantasi hati kepada Reynand," ujar Dokter Fara, "Reynand, tetap semangat, ya! Jangan menyerah, peluang kamu sembuh besar, kok. Soalnya masih muda."
Reynand tersenyum simpul. "Terima kasih banyak, Dokter."
Dokter Fara dan dua orang perawat berlalu pergi dari ruang rawat tersebut. Naqia duduk di kursi yang tersedia di sebelah tempat tidur Reynand.
Wanita paruh baya itu mengelus lembut rambut anaknya. "Sabar, ya, Nak. Mama dan Papa akan cariin donor hati untuk kamu secepatnya."
"Iya, Ma." Reynand tersenyum simpul. "Ma, boleh Rey datangi seseorang ke sini? Hmm, dia selalu datang pas Mama dan Papa gak ada di rumah sakit. Soalnya takut kalian gak suka sama dia."
"Siapa itu, Nand?"
"Pacar Reynand."
Bi Sarti yang duduk di sofa tersenyum geli. Lagi dan lagi, ia dan Mang Ijat yang tahu lebih dulu tentang Gina dibanding orang tua Reynand sendiri.
Nagita terkejut setengah mati. "Kamu serius? Kamu punya pacar, Nak?"
"Iya, Ma. Dia yang selalu ada buat Rey, dia yang selalu jadi penyemangat untuk Rey, dia si cantik yang selalu memotivasi Rey untuk bertahan."
Nagita mengacak rambut Reynand sembari terkekeh pelan. "Boleh banget, Sayang. Telfon dia, suruh ke sini. Mama mau kenalan sama si cantik itu."
Reynand tersenyum kecut. "Kita gak bisa telponan sama dia, Ma."
"Rey chat aja, dia fast respon, kok."
"Iya, deh, terserah kamu aja."
Reynand "Cantik, kamu boleh ke sini sekarang. Walaupun ada Mama, tapi gak papa."
"Dia excited banget mau ketemu sama kamu."
Read
Gina "Karena Tante Naqia belum tau aku ini apa, Nand"
Hati Reynand seperti tertampar dengan kuat setelah membaca pesan dari kekasihnya itu. Sakit sekali rasanya. Dia Gina Stefanie, gadis biasa yang selalu menunjukkan sikap tegarnya dihadapan semua orang. Namun nyatanya, gadis itu sangat-sangat rapuh.
Reynand "Ya udah, kalau gitu kamu gak usah datang sekarang."
"Nanti aku kabarin kalau Mama sudah pulang. Dia gak pernah nginap kok. Selalu Bi Sarti yang menginap di sini."
Read
Gina "Semangat ya, Sayang! "
"Si cantik ini akan selalu mendoakan kesembuhanmu."
Reynand tidak mampu menyembunyikan senyumnya. Bila dia tidak bisa mendengar kata 'Sayang' dari bibir Gina, dari sebuah pesan saja sudah cukup.
Reynand " Makasih "
"Hmm, Abila tau gak ya aku sakit?"
Read
Gina "Dia nanyain tentang kamu sih semalam, kenapa gak masuk sekolah empat hari."
"Aku bilang kamu sakit, tapi aku gak bilang kalau kamu harus dirawat di RS."
Reynand "Kenapa gitu, Sayang?"
Read
Gina "Karena kamu sering bilang aku cantik, jadi aku rasa aku pantas untuk cemburu, hehehe."
Reynand terkekeh pelan. Sungguh, dia sangat menyukai Alaska yang seperti ini. Menurutnya, percaya diri boleh, tetapi harus di dalam batas wajar. Kalau Gina, gadis itu terlalu tidak percaya diri dan merasa minder dengan dirinya sendiri. Padahal dia lebih dari cukup untuk merasa dirinya cantik dan pantas dicintai. Ternyata usaha Reynand selama ini tidak sia-sia. Lihat, Gina sudah lumayan percaya diri.
Reynand "Good job, Cantik!"
"Gini dong, gak insecure mulu."
Read
Gina "Hahaha, iya dong. Aku kan Cantiknya Reynand."
Reynand "Love you."
Read
Alaska "Love you too."
"Rey, pacar kamu itu jadi datang, 'kan?"
Reynand meletakkan ponselnya di sisi tempat tidur lalu memfokuskan perhatiannya pada Naqia. "Maaf, Ma. Gina gak bisa datang, dia lagi ada acara keluarga."
"Maaf kalau Rey harus bohong sama Mama. Rey gak mau Mama hina dan menentang hubungan Rey sama Gina karena dia tunawicara," batin Reynand.
Nagita mengangguk paham. "Ya, udah, deh. Lain kali aja kalau gitu."
"Iya, Ma."
***
Reynand sedikit terusik dari tidurnya saat merasakan sebuah tangan mengelus rambutnya. Perlahan, ia membuka mata.
"Gina."
"Iya," jawab Gina dengan senyuman lembut di bibirnya.
"Kamu sudah datang, ya. Maaf, tadi habis kasih tahu kamu kalau Mama udah pulang, aku malah ketiduran."
"Gak papa, kok. Kalau kamu mau tidur lagi juga gak papa, pasti ngantuk banget."
"It's okay, aku langsung segar lagi habis liat si cantik."
Gina tertawa kecil. "Kamu bisa aja. Oh, iya, ini aku bawain buah-buahan buat kamu. Ini titipan dari Tante Paula, dia bilang cepat sembuh."
"Makasih banyak, ya."
"Sama-sama. Nanti aku sampein ke Tante Paula juga."Reynand mengangguk mantap.
"Den Rey, Non Gina. Bibi izin ke kantin bawah dulu, ya. Mau isi perut, laper banget soalnya," sahut Bi Sarti yang sedari tadi menyaksikan kebucinan dua makhluk tersebut.
"Iya, Bi. Makan yang banyak, ya. Rey udah transfer uang ke rekening Bibi."
Bi Lastri tersenyum sumringah. "Makasih banyak, Kasep."
"Sama-sama."
"Bibi tinggal dulu, ya." Bi Lastri langsung keluar dari kamar rawat untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan.
"Gina."
"Iya."
"Aku pasti jelek banget, ya? Kulit aku agak kuning, muka aku pucat terus. Pokoknya jelek banget, deh."
"Enggak, kamu tetap ganteng, kok."
"Hmm ... masa, sih? Kamu bilang gini supaya aku seneng doang, 'kan?"
"Nggak, ini beneran. Kamu tetap ganteng banget. Kuningnya juga gak seberapa."
"Alhamdulillah, deh, kalau gitu. Untung perut aku gak membesar. Kalau membesar, pasti bakal jelek banget, Gina."
"Pembengkakan perut itu biasanya terjadi di stadium akhir. Kamu, kan, masih stadium 3."
Reynand mengelus punggung tangan Gina. "Kamu pinter, Sayang. Aku selalu berdoa, supaya cita-cita kamu yang mau jadi dokter bisa tercapai."
"Aku gak yakin, Nand. Pasien mana, sih, yang mau berobat ke dokter hmm kayak aku. Itu semua mustahil. Bahkan aku kuliah aja belum pasti diterima apa enggak. Satu lagi, belum tentu Tante Paula mau biayain kuliah aku. Kalau misalnya aku dapat beasiswa aku bersyukur banget, tapi kalau enggak, aku cuma bisa pasrah sama Tuhan. Aku mau-mau aja, sih, kerja untuk bayar kuliah aku sendiri, tapi balik lagi. Siapa yang mau nerima karyawan sepertiku? Cuma menambah beban di tempat kerjanya."
"Pasti ada cara untuk kamu mengenyam pendidikan yang tinggi, Gina. Aku janji, kalau Tuhan kasih aku kesempatan untuk bertahan, aku bakal bantu kamu supaya bisa kuliah. Gimana pun caranya, semahal apapun biayanya, akan aku tanggung."
Gina berhambur memeluk laki-laki yang sangat ia cintai itu. Reynand pun membalas pelukan Alaska. Mereka terdiam di posisi itu beberapa menit. Memberi sinyal satu sama lain, bahwa mereka memiliki rasa yang serius. Rasa yang seharusnya diperjuangkan sampai akhir, tanpa hambatan dan ancaman apa pun.Dari lokasi mereka berpelukan saja sudah menunjukkan, bahwa semesta selalu punya cara untuk menghalangi jalan mereka. Entah itu cara yang akan berakhir bahagia, atau tetap penuh luka sampai akhir kisah.
Bersambung