Selamat Membaca
Di tempat lain Aroma menyengat dari bawang putih di kalung aksesoris MOS membuat kepalaku terasa berputar. Di tambah teriknya matahari di tengah lapangan sekolah. Aku bingung, kenapa harus membiarkan murid baru seperti kami berpanas-panasan pukul setengah 12 siang di tengah lapangan oleh para orang-orang yang menyebut diri mereka OSIS itu.
"Ingat, kalian baru boleh meninggalkan lapangan setelah jam istirahat berbunyi. Ini karena kesalahan teman-teman kalian di depan yang membawa rokok ke area sekolah. Kalian semua juga harus menerima akibatnya!" tegas seorang anggota OSIS bernama Kak Rangga yang tengah menghukum kami. Oh, jadi itu penyebabnya.
Bulir keringat dingin mulai membasahi wajah dan tubuhku. Pandanganku juga mulai kabur. Hingga akhirnya tubuhku terasa begitu ringan dan akhirnya terjatuh juga.
Mataku masih bisa samar melihat dan mendengar kepanikan beberapa orang yang melihatku jatuh. Aku berupaya untuk bangun kembali, tapi tak ada sedikitpun tenaga yang keluar.
Aku merasakan tangan yang tiba-tiba mengangkat badanku. Terasa hangat saat berada di gendongannya. Bahkan aku bisa mendengar jelas detak jantungnya yang berdetak sangat cepat.
"Tolong tetap sadar." Ia terus mengucap itu sembari berlari dan menggendongku.
"Maaf aku berat," ucapku lirih. Rupanya ia mendengar itu.
"Gak sama sekali kok. Sekarang kamu harus tetap sadar ya," ucapnya terdengar khawatir.
Akhirnya kami sampai di sebuah ruangan kecil berbau obat. Ia meletakkanku di atas dipan dengan kasur tipis. Aku menoleh padanya yang datang kembali bersama seorang perempuan berbaju putih.
"Putra, makasih ya. Kamu bisa kembali ke anggota kamu. Sebaiknya kamu hentikan hukuman itu atau bakal ada yang pingsan lagi. Kamu gak mau kan ada kejadian seperti tahun lalu," kata wanita itu lirih, setengah berbisik pada cowok yang menggendongku tadi. Raut wajahnya berubah sedih.
"Makasih," ucapku lirih. Aku melihat name tag OSIS di kalung yang ia kenakan. Tersemat nama Putra Wijaya di sana.
"Gak apa-apa. Tolong, cepat sehat ya. Jangan sampai pingsan lagi." Putra berkata sambil menggenggam tanganku erat. Matanya tampak berkaca-kaca. Seolah ada rasa bersalah di sana.
Tanpa sadar jantungku berdetak sangat cepat. Perasaan aneh memenuhi dadaku sekarang dapat melihat wajah sedihnya itu. Ia kemudian tersenyum dan berpamitan keluar.
Saat jam pulang sekolah tiba, aku tak menyangka Putra datang kembali ke UKS tempatku dirawat usai hampir tak sadarkan diri tadi. Ia membawa tasku yang ada di kelas, tak menyangka dia mau repot-repot begitu. Bahkan ia mengantar sampai di rumah dengan motornya.
******
"Jadi itu, yang buat Lo jatuh cinta sama cowok itu? Cuma gara-gara dia bawa lo ke UKS sama anterin pulang? Bentar-bentar. Jangan bilang Lo jatuh cinta sama gue setelah gue anterin pulang," ucap Dhika dengan tingkat kepedean di atas rata-rata.
"Gue, jatuh cinta sama, lo? Sorry bukan tipe gue. Jauh banget dari Putra. Udah kaya bumi sama matahari," lontarku langsung.
"Udah, mendingan lo bikin kopi sono. Haus gue," pintanya.
"Lagian lo ngapain malah pulang ke sini sih?" tanyaku.
"Anterin lo yang kayak babi juga butuh bensin, karena gue tau lo gak punya duit, jadi bikinin gue kopi ya sayang," ujarnya membuatku merinding di akhir kalimat.
"Sayang, sayang dengkulmu!" umpatku sambil beralih ke dapur di belakang. Kemudian membuatkannya secangkir kopi hitam kesukaan Dhika.
Aku kadang merasa aneh. Saat orang lain mengataiku seperti Dhika mengataiku tadi, aku akan merasa marah. Namun, saat Dika yang berkata justru aku selalu merasa nyaman dan tertawa. Apa perbedaanya?
Aku kembali ke ruang tamu. Duduk di dipan bambu di hadapan Dhika yang tengah menghisap rokoknya. Ia melepas seragam sekolahnya dan hanya memakai kaos berwarna hitam. Dia menghembuskan asap rokok sambil menatap kosong pada langit-langit rumah yang dipenuhi sarang laba-laba.
"Bisa gak lo berhenti ngerokok. Masih bocah juga," saranku untuk kesekian kalinya.
"Mungkin nanti kalau udah punya pacar," jawabnya santai.
"Heh, pacar? Lo mau kemanain itu cewek-cewek di kontak hape lo, yang tiap hari dikirim pesan 'hai sayang udah makan belum' heran saya," sindirku.
"Mereka beda. Hanya kesenangan gue aja." Dhika menjawabnya dengan wajah datar tanpa ekspresi.
"Lo, gila," lontarku malas berdebat lagi dengannya.
"Ibu lo dimana?" tanya Dhika.
"Di belakang lagi bikin gula merah," jawabku.
Dhika tak menjawab lagi dan kembali menatap kosong ke arah langit-langit.
"Lagi ngapain sih?" tanyaku ikut menatap langit-langit, berharap menemukan jawaban dengan apa yang tengah Dhika lakukan. Namun ia hanya terkekeh setelah melihat tingkahku.
"Sampai kapanpun, lo, jangan pernah berubah ya, Ros. Tetap kaya gini." Dhika tiba-tiba saja serius dan membuatku bingung. Ia kemudian meminum kopi yang masih panas itu dan berpamitan pulang. Seperti biasa, ia juga akan berpamitan dengan Ibu di belakang.
"Hati-hati sama Putra," pesan Dhika sebelum ia berlalu pergi dengan motornya bersama angin.
Aku tak mengerti maksudnya. Apa yang perlu ditakuti dari Putra?
***
Aku terus terpikirkan perkataan Dhika kemarin sambil memandang dari kejauhan Putra yang tengah bercengkrama dengan teman-teman sekelasnya. Mereka duduk di depan kelas 3 jurusan teknik komputer jaringan. Sementara aku mengamati dari depan kelasku yang tepat di seberangnya.
Putra tampak seperti biasa di mataku, tampan, baik, ramah ke semua orang, pintar, dan semakin membuatku jatuh hati. Aku bingung, kenapa cinta ini disebut cinta monyet? Padahal rasa sukaku padanya benar-benar besar.
Namun, sejak saat masa orientasi dulu setelah ia mengantarku pulang, ia tak pernah lagi menyapaku. Apa ia malu dengan penampilanku di banding dengan gadis-gadis stylish lainnya. Padahal aku ingin sekali saja berbicara padanya.
"Rosa, ngapain sendirian di sini?" kata Anne ysng tanpa aku sadari sudah duduk di sampingku.
"Eh, kamu ngapain duduk di sini? Nanti kalau ada yang lihat dan jauhin kamu gimana, An?" Aku merasa tak nyaman jika harus duduk bersama gadis seperti Anne. Bahkan saat ini semua mata tertuju pada kami. Seolah ini adalah pemandangan langka. Seorang gadis secantik Anne mau duduk bersama murid sepertiku.
"Kenapa emang? Gak ada yang salah kok. Lagian, kita udah satu kelas terus sejak TK. Aku lebih tahu kamu daripada anak-anak lain, Ros. Coba deh, kamu lebih terbuka dan jangan terlalu takut bergaul dengan anak-anak lain. Mereka ga seburuk yang ada dalam pikiran kamu kok."
Anne tak akan mengerti tentang perasaanku yang selalu terpinggirkan sejak SD dulu. Anne yang selalu sempurna di mataku itu, mana mungkin bisa mengerti tentang pandangan-pandangan itu.
"Gak, Ah. Aku gak apa-apa kok. Jauh lebih nyaman seperti ini." Aku berbohong padanya.
"Kamu suka sama Putra kan?" lontar Anne membuatku terkejut. Darimana ia tahu tentang hal ini. Padahal hanya Melisa yang tahu hal itu. Namun, Melisa bukan orang yang mudah membeberkan rahasia orang lain begitu saja.
"Eh … um, maksud kamu apa?" Aku berpura-pura tak mengerti.
"Aku bisa lihat dengan jelas di mata kamu, Ros. Tatapan kamu sama Putra terasa hangat dan tulus. Gak seperti tatapan gadis-gadis yang mengaku fans Putra. Mereka hanya Cinta
Bersambung