webnovel

Berandal SMA inlove

Blurb : Di kehidupan nyata, Brenda dan Gina memiliki nasib kontras. Brenda Barbara terkenal dengan sikap angkuh dan sombong sebagai Ratu sadis sesekolah, sedangkan Gina Stefani hanya siswi berkacamata yang kumuh, jerawatan, penyuka novel romantis. Karena sebuah tabrakan maut, mereka terpaksa merenggang nyawa bersama. Membuat Brenda dan Gina mendadak bertransmigrasi ke dunia novel. Dengan memerankan dua tokoh berbeda. "Selama ini aku gak pernah bahagia, Ka. Prestasiku gak pernah diapresiasi, aku juga gak ada temen. Menurut kamu apa yang bisa aku banggain dari hidup aku yang kayak gini?" Reynand Dirgantara, laki-laki yang menyimpan banyak luka di dalam dirinya. Selalu mendapat peringkat 1 besar, ternyata tidak membuat orang tua Reynand puas. Serta tidak ada satupun siswa-siswi SMA Tunas Bangsa yang mau berteman dengannya. Alasannya, karena Ayah Reynand merupakan seorang koruptor. Gina Stefani Alexander, gadis cantik yang berpenampilan kumuh dan berkacamata yang mau berteman dengan Reynand. Tanpa sengaja, keduanya saling jatuh cinta. Dengan semua masalah yang ada, apakah semesta merestui mereka untuk bersatu? Dan Alter orang yang sangat ingin balas dendam pada Brenda or Choco itu, mempunyai kesempatan dan membuat Choco jadi Babunya Brenda yang dikenal sebagai Ratu sadis, menjadi Choco Valentine. Si tokoh figuran yang lemah dan miskin. Sedangkan Gina dengan bantuan Reynand yang semasa hidupnya sering di-bully, menjadi Cherry Camellia. Si tokoh utama yang sombong dan membully siswa lain dalam novel favoritnya

RinaMardiana_22 · Adolescente
Classificações insuficientes
56 Chs

Apa Kamu Percaya ?

Selamat Membaca

Aku duduk di jok belakang motor Dhika. Terasa angin menembus meniup rambutku. Dhika masih fokus membawa motor melewati tanjakan yang tiada habisnya. Sementara aku tersadar akan aroma tubuh Dhika yang terasa wangi tak seperti biasanya.

"Pakai parfum ya?" tanyaku setengah berteriak. Takut suara ku terbawa angin dan Dhika tak bisa mendengarnya.

"Iya. Wangi gak?" tanya Dhika.

"Iya." 

"Di kasih cewek di sekolah tadi," ungkapnya.

"Ngapain kasih tahu gue," ucapku.

"Takutnya lo cemburu, gue dikira selingkuh."

"Eh, ngapain juga gue cemburu sama lo!" sangkalku.

"Yah karena lo suka sama gue." Aku mengernyitkan dahi saat mendengarnya.

"Eh, cinta gue cuma buat Putra!" jawabku.

"Kenapa gak gua aja sih?"

"Hah? Lo lagi ngelindur apa gimana?"

"Kalau gue nglindur, berarti sekarang gue lagi tidur."

Aku tak menjawabnya lagi. Selain bingung harus berdebat apalagi dengan Dhika, juga karena aku masih bingung arah obrolan kami. Rasanya akhir-akhir ini Dhika terasa aneh. 

"Kok diem?" tanya Dhika.

"Capek ngomong terus," jawabku. Kami kembali terdiam dan menikmati hembusan angin.

"Dhik." Aku kembali membuka percakapan setelah beberapa saat.

"Apa?"

"Gue boleh tahu tentang Via, gak?" tanyaku sedikit takut jika Dhika akan marah karena aku menanyakan tentang Via. Apalagi ia terdiam sesaat setelah mendengar pertanyaanku.

"Ya." Ia menjawabnya singkat. Semoga tak menyinggungnya.

Setelah itu kami hanya diam. Hingga kami berhenti di bukit senja tempat kami biasa berhenti sepulang sekolah, menatap indahnya matahari terbenam dan pemandangan kota di bawah sana.

"Lo mau tau soal Via?" tanya Dhika tanpa turun dari motornya. Sementara aku duduk di rerumputan hijau samping trotoar. Menikmati angin yang membuat ilalang menari di hadapanku. Ini.jalan desa. Tak terlalu banyak motor yang lalu lalang di tempat ini.

"Ya, itu juga kalau lo gak keberatan. Rasanya, cerita lo kemarin masih mengganjal." Aku harap Dhika akan menceritakannya lebih banyak lagi.

Dhika mengambil rokok di saku almamaternya dan menyalakannya. Ia hisap asapnya dan menghembuskannya kembali. Mungkin kisah ini akan terasa panjang.

Namun, aku menunggu beberapa menit, bahkan hingga rokok di tangannya habis tak tersisa, ia tak juga membuka mulutnya untuk mulai bercerita.

"Lo, niat cerita gak sih?" tanyaku yang mulai kesal.

"Gak." Ia menjawabnya dengan ekspresi yang sangat datar. 

"Terus dari tadi ngapain kita di sini!" Seruku.

"Yah, lagian kemarin gue sudah cerita semuanya. Ngapain lo tanya lagi," jawabnya. Namun, ada benarnya juga.

"Tapi kan, aku masih penasaran. Gak mungkin lah Putra hamilin anak orang. Dia terlalu sempurna untuk ngelakuin hal gila kayak gitu," bela ku.

"Sesempurna apapun manusia, pasti ada kebusukkan di hatinya. Itu pasti. Kesempurnaan cuma milik Tuhan." 

Aku terdiam mendengar jawabannya. Aku selalu kalah telak jika harus berdebat dengan manusia satu ini.

"Lagian, ngapain sih lo nanyain mulu. Kayak gak ada kerjaan aja," lontarnya.

"Suka-suka gue." Aku memalingkan muka karena kesal.

Dhika kemudian ikut duduk di sampingku. Namun, tiba-tiba ia membaringkan badannya di pangkuanku. Aku mencoba mendorongnya agar bangun lagi, tapi tangannya terlalu kuat menahan tanganku.

Aku merasa risih. Lagipula ini di pinggir jalan dan kami masih menggunakan seragam sekolah. Terlalu memalukan. Namun, mataku justru melihat hal yang sama sepanjang bukit itu.

Aku baru sadar jika tempat itu penuh dengan pasangan kekasih yang menikmati senja. Bahkan beberapa adalah anak SMP.

"Udah ah! Bangun! Kita masih pake seragam, malu-maluin tahu!" Aku berusaha keras agar Dhika mendengar ucapanku dan segera bangun. Akan tetapi ia justru melepas almamater dan seragamnya. Menyisakan kaos berwarna biru di tubuhnya. 

"Selesai," ucapnya dan kembali memejamkan mata.

"Lo selesai! Gue gimana!" omelku. 

Dhika akhirnya terbangun. Ia menatapku lekat dan tersenyum. "Bodo."

Lempar orang ini ke bawah bukit dosa gak sih?

"Kenapa? Lo mau lempar gue?" kata Dhika mengejutkanku. Apakah orang-orang di sekitarku memiliki kemampuan membaca pikiran orang lain?

"Lo kok tahu sih?" balasku.

"Jalan pikiran lo terlalu mudah dibaca," ucapnya.

Dhika kemudian mendekat ke arahku secara tiba-tiba dan membentangkan almamaternya. Menempatkannya di badanku. 

"Pakai. Dingin. Gue gak mau kena omel Ibu lo nanti kalo lo pulang sakit lagi. Repot." Dhika langsung tiduran lagi berbantal pangkuanku. 

Namun saat ini aku masih mematung. Terpana dengan sikapnya yang barusan. Bahkan dengan jelas aku bisa merasakan jika pipiku sudah sangat merah sekarang. Bukan karena sinar matahari yang mengarah langsung padaku. Akan tetapi karena perasaan aneh yang selama ini aku tak pernah rasakan.

"Sebenarnya apa sih yang buat lo suka sama Putra. Perasaan gantengan gue daripada dia. Lo juga baru tiga bulan kenal Putra, eh … baru kemarin, karena sebelumnya kalian gak pernah ngobrol kan?" tanya Dhika.

"Gak tahu. Emang perlu ya buat tahu dimana letak hal yang membuat kita suka sama orang. Cukup hati gue aja yang ngerti," jawabku.

"Tapi, gue rasa hati lo juga gak ngerti," ucap Dhika. 

"Maksudnya?" Aku tak mengerti maksud perkataanmu tadi.

"Gue ganteng gak?" tanya Dhika kemudian.

"Biasa aja."

"Gue keren gak?" 

"Biasa aja." Aku menjawabnya karena bagiku dia biasa saja.

"Putra ganteng gak?"

"Iya dong." Aku langsung tersenyum-senyum membayangkan wajah tampan Putra.

"Dia keren gak?"

"Pasti, dong."

"Lo mau gak jadi pacar gue?"

"Iya …."

Aku terdiam. Apa yang Dhika tanyakan tadi? Apa aku salah dengar. 

"Gue suka sama lo," ungkap Dhika. 

Aku menatap Dhika di pangkuanku. Ia menatapku dengan senyuman hangat di bibirnya. Namun, aku sendiri terpaku tak tahu harus menjawab apa. 

*****

Pikiranku kacau lagi semalaman karena ulah Dhika kemarin. Berencana menggali informasi tentang rahasia Putra dan Dhika malah aku menerima ungkapan Cinta. Ini pertama kalinya untukku. Lagipula Dhika gila apa? Ia bisa suka sama cewek penampilan kaya gini. Jelek gendut pula. Mungkin lagi mabok dia.

Selepas pulang kemarin, aku tak berbicara apapun lagi dengan Dhika saking syoknya. Sementara ia malah tertawa puas melihat ekspresiku. Itulah yang membuatku bingung. Ragu dengan ucapannya kemarin. Serius atau hanya bercandaan dia saja.

Lagipula selama ini ia tak pernah bisa serius. Ia juga selalu mengatakan hal serupa pada gadis-gadis lain. Aku tak boleh terlalu memikirkannya dan terjatuh dalam tipuannya itu.

"Kamu kenapa, Ros?" tanya Putra. 

Lihatlah. Aku sampai lupa jika ada Putra di sampingku juga. Kacau sudah!

"Gak apa-apa, Mas," jawabku.

"Panggil Putra aja sih. Aku lebih nyaman kalau kamu panggil Putra," pintanya.

"Tapi …."

"Udah. Panggil Putra aja. Akan terasa jauh lebih akrab."

"Oke." Aku setuju dengan permintaannya. Meskipun mungkin akan terasa aneh nantinya.

"Oh ya, ada apa kamu pengen ngomong apa tadi nyariin aku?" tanya Putra kemudian.

"Bisakah Putra ceritain masalah sebenarnya sama Dhika, dan soal gadis bernama Via?" tanyaku takut. Sudahlah aku pasrah jika Putra akan membenciku nanti.

"Jadi, Dhika udah cerita ya. Kalau begitu jawabanku mungkin sama dengan dia," jawab Putra tak bersemangat.

Benar kan. Aku jadi merasa tak nyaman dengan keadaan ini sekarang. Seharusnya Aku tak menanyakannya. Namun ada mata yang terus menyuruhku agar bertanya padanya. Tia.

Aku menoleh ke arah taman lapangan voli dimana Tia duduk. Sementara aku ada di pinggir lapangan persis, tempat Putra beristirahat.

"Tapi, Putra. Bohong kan kalau kamu yang …." Aku berhenti di kalimat terakhir. Tak sanggup melanjutkannya dan takut ada yang mendengarnya.

"Rupanya Dhika bercerita sejauh itu ya." putra menjawabnya lemas. Kenapa jadi kacau begini.

"Apa kamu percaya semua yang Dhika ceritakan atau yang akan aku ceritakan nanti?" tanya Putra. 

"Seseorang mengatakan padaku agar tak mudah percaya dengan orang lain," ucapku disertai lirikkan  ke arah Tia yang masih duduk jauh melihat ke arah kami. Dia sengaja tak ikut bertanya padaku, karena menurutnya aku harus mengetahui semuanya lebih dulu. Entah apa yang dimaksudkan sebenarnya.

"Baguslah jika kamu berpikir seperti itu. Mungkin aku juga adalah penyebab Via bunuh diri." Wajah Putra semakin terlihat kusut. Kesedihan mendalam tampak jelas di sana. 

"Jika saja aku dulu lebih berani. Jika saja aku bisa melindunginya." Putra mengepalkan tangannya, sementara wajahnya berubah marah.

"Ternyata itu kamu!" Teriak seorang cewek penuh amarah yang tiba-tiba datang dan menampar wajah Putra dengan sangat keras. 

"Anne!" ucapku.

Aku melihat wajah Anne saat itu. Ia terlihat sangat marah dan kecewa di saat bersamaan. Matanya juga tak hentinya mengeluarkan air mata.

"Eh … Anne, kenapa …."

Aku berhenti ketika Putra mengangkat tangannya, memberi kode padaku agar berhenti. Aku yang bingung menoleh pada Tia, ia tampak langsung berlari bergegas menuju kami.

"Apa yang kamu lakukan sama kakakku! Ba******an!" Anne terus melampiaskan emosinya dengan menampar Putra berkali-kali. Bahkan kini semua perhatian siswa yang masih istirahat tertuju pada kami. Anne tadi bilang kakak? Jadi Via adalah kakak dari Anne. Namun, bukankah Anne anak tunggal. Hal itu yang aku ketahui sejak kecil mengenalnya.

"Maafkan aku," ucap Putra lirih. 

Ia langsung berlutut di hadapan Anne tanpa peduli lagi tatapan orang-orang. Tia yang sudah sampai juga hanya berdiri mematung melihat Putra. 

"Apa yang sudah kamu lakukan! Hah! Jawab aku!" Anne terlihat begitu murka hingga ia memukulkan jus yang ia bawa di tangganya pada wajah Putra.

"Cukup, An!" cegah ku menarik Anne menjauh dari Putra. Merasa cukup dengan apa yang terjadi. 

"Sudah cukup. Semua orang melihat ke arah kita," Cegat ku mencoba menenangkan Anne.

"Kenapa aku bisa suka sama cowok kaya kamu! Kalau aku tahu kamu menjijikan seperti itu, aku gak akan menerima perasaan kamu!" seru Anne kemudian. Membuat jantungku seakan berhenti berdetak sesaat. Ada rasa sakit ketika mendengarnya. Sejak kapan mereka jadian?

"Maafkan aku, An." Lagi-lagi kata itu yang keluar dari mulut Putra.

Anne meraung sejadi-jadinya. Menangis hingga ia terpuruk di tanah. Aku menatap lekat pada Putra. Ia juga menatapku penuh penyesalan. Sebenarnya apa yang tengah terjadi? Seolah aku terjebak dalam masalah percintaan dan kehidupan yang rumit.Di sebabkan apa yang terjadi tadi membuat sedikit keributan di sekolah. Putra, Anne, aku dan Tia akhirnya dipanggil ke ruangan BK. Di sana juga ada Pak Mujahid–kepala sekolah dan Bu Rima–guru BK.

Aku dan Tia hanya sebagai saksi di sana. Sementara masalah utamanya adalah Anne dan Putra. Di sana Putra tak berbicara sama sekali, sementara Anne terus menangis. Aku tak bisa menjelaskan apapun kecuali apa yang tiba-tiba terjadi. Akhirnya Tia yang menjelaskan kejadian itu, dia  mengatakan bahwa itu hanyalah permasalahan sepasang kekasih saja. Bu Rima hanya memberikan peringatan, mengingat Putra adalah Ketua OSIS dan sebentar lagi mengikuti ujian juga olimpiade. 

Saat aku keluar ruang BK banyak siswa menunggu karena penasaran apa yang terjadi. Mereka tak hentinya bertanya padaku dan Tia, tapi Kak Burhan menarik kami dan membawa kami ke ruangan OSIS. Sementara Putra dan Anne masih berada di ruangan.

"Bagaimana keadaan Putra tadi?" tanya Kak Burhan.

"Dia kaya orang mati," jawab Tia.

"Aku kan sudah bilang sama kamu, Tia. Jangan pernah lagi mengungkit semua yang terjadi dengan Via. Kenapa kamu begitu penasaran. Aku tahu, kalau kamu memanfaatkan Rosa untuk memenuhi ambisi kamu!" bentak Kak Burhan. Sementara Tia hanya membuang muka.

"Memanfaatkan aku?" tanyaku yang masih bingung dengan apa yang tengah terjadi.

"Aku sudah bilang kan. Kamu gak boleh terlalu percaya pada orang lain," ucap Tia.

"Tapi bisa gak kalian jelaskan apa yang sedang terjadi!" seruku mulai merasa kesal.

"Via adalah Kakak Anne. Orang tua mereka bercerai. Anne ikut dengan Ayahnya yang menikah lagi dengan orang dari desa kamu. Sementata Via ikut bersama Ibunya," ungkap Tia.

"Aku baru tahu hal itu," ucapku yang baru mengetahui fakta tentang Anne.

"Aku tahu kalau Putra menyukai Anne. Aku juga tahu, kalau Putra tahu Anne adalah adik Via.  Aku tak ingin ini terjadi. Berkali-kali aku menghentikan Putra tapi gak pernah berhasil. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk pindah kemari. Saat itu aku juga tahu kalau kamu suka sama Putra juga."

"Eh, Tia …." Aku merasa malu karena Kak Burhan mendengarnya.

"Tenang aja aku tahu kok," ucap Kak Burhan tiba-tiba. Membuatku tambah malu.

"Aku tidak mengenal sama sekali siapa Via yang membuat hidup Putra menjadi kacau. Aku ingin mengembalikan Putra yang dulu."

"Kacau bagaimana, Ti?" tanyaku pada Tia.

"Putra berkali-kali mencoba bunuh diri karena rasa bersalahnya pada Via," sambung Kak Burhan. Aku benar-benar tak menyangka jika Putra bisa serapuh itu.

Aku merasa pusing sendiri, karena masalah di sekitarku terasa semakin rumit. Bahkan hingga aku melupakan tujuanku untuk bisa populer. Aku yang ingin merasakan cinta masa remaja malah justru terjebak di lingkaran masalah kisah cinta rumit orang yang aku suka.

"Lalu sebenarnya masalah kasus Via itu bagaimana sampai membuat kacau seorang Putra Wijaya?" tanyaku.

"Ada seseorang yang membuat semua orang membenci Via. Kami tak pernah tahu siapa. Maka dari itu Tia mencari tahu segala hal tentang Via. Berharap tabu jawaban semua ini. Hingga mereka membully habis-habisan Via. Hingga akhirnya ia bunuh diri. Selama ini sekolah menutupi kasus itu agar tak terdengar orang lain. Bahkan Anne sendiri sebagai adik dari Via, ia tidak mengetahui sama sekali penyebab sebenarnya kakaknya bunuh diri," jelas Kak Burhan.

"Lalu mengenai Via hamil, apa itu benar?" tanyaku.

"Iya." jawab Kak Burhan dan Tia bersamaan.

"Pelakunya …." Aku tak ingin menyebut nama Putra. Aku masih berharap bahwa ia tidak melakukannya.

"Bukan Putra. Pelakunya belum ditemukan. Akan tetapi, Putra melihat kejadiannya dan tak melakukan apa-apa untuk menolong Via."

Aku menutup kedua mulutku dengan tangan saking terkejutnya. Aku menoleh pada Tia yang hanya tertunduk diam di depan komputer. Jadi, apa yang Dhika katakan semuanya benar.

"Maafkan aku memanfaat keinginanmu. Aku hanya gak ingin terjadi seperti ini. Aku takut sepupu bodohku satu itu melakukan hal bodoh lagi. Di luar dugaan bahwa Anne akan mengetahui hal ini jauh lebih cepat. Bahkan tepat sehari setelah mereka jadian," ungkap Tia.

Jadi benar. Kencan mereka saat itu adalah untuk mengungkapkan perasaan Putra pada Anne. Di satu sisi aku cemburu atas hubungan mereka. Disisi lain aku menyesal membuat Anne sakit hati begitu. Anne adalah gadis yang sangat baik. Apakah seharusnya dulu aku tak membantu Putra meraih cintanya pada Anne. Sehingga semua ini tak akan pernah terjadi. 

Ah, darimana semua ini bermula. Oh, Benar. Mungkin semua ini bermula dariku yang memancing semua masalah ini. Seharusnya aku diam saja seperti dulu tak di kenal semua orang. Aku tetap menjadi anak yang terpinggirkan. 

Maka dari itu aku tak perlu di jauhi melisa. Aku juga tak perlu masuk dalam masalah ini. Seharusnya aku hanya mencintai Putra diam-diam saja seperti dulu. Toh, ini hanya cinta monyet. Cinta palsu di masa remaja yang akan hilang dengan berjalannya waktu. 

Jika boleh. Aku ingin kembali ke masa lalu untuk mengubah jalan cerita ini. 

Bersambung