webnovel

Notifikasi

"Eh, kok lo keluar?" tanya Hamid khawatir. Dia bangkit dari duduknya lalu ingin mengantar Tala kembali menuju kamarnya.

"Enggak. Duduk dulu. Gue pengap kalik di dalam mulu."

"Halah, La. Baru juga berapa jam."

"Gue pingin ngomong serius."

Hamid kembali duduk ingin mendengar Tala. Saat-saat seperti ini, dia sama sekali tidak berani untuk bercanda. Kepalanya terasa pening. Jika isi kepalanya adalah gawai pasti sudah bertulikan. 'Maaf, kartu memori anda penuh, mohon hapuskan sebagian file.' Rasanya ingin pecah. Ucap Hamid dalam hati.

Tala menyodorkan kotak yang dia letakan di sampingnya sejak tadi. "Nih. Gue pingin ngasih ini buat lo," ujar Tala mengukir senyum manis di wajahnya yang tampak agak pucat.

Hamid menyeka dadanya. Terkejut. Pikirannya sudah kemana-mana. Dia pikir, kali ini akan ada hal serius lainnya yang gadis itu ingin katakan lagi. "Astaga, Tala!"

"Buka dong."

Hamid membuka kado itu perlahan. Isinya adalah sepatu cowok berwarna merah kombinasi hitam. Sama seperti sepatu yang saat ini dia kenakan. Bedanya, sepatu Tala kombinasi biru dan hitam.

"Gue enggak ulang tahun, loh."

"Enggak apa-apa. Gue udah lama nyiapin ini buat lo. Semoga suka ya?"

"Kenapa harus sepatu?"

"Ya buat lo pakai jalanlah, joging kek."

Hamid mencebik mendengar jawaban Tala.

"Ya, gue tahu. Thanks ya info pentingnya."

Dari kejauhan tampak ketiga sahabatnya dan Pram tengah menuju kemari. Tala memperhatikan wajah Hamid yang tampak lelah.

"Sana balik."

"Dih, ngusir. Mentang-mentang sudah ada temen."

"Muka lo pucet."

"Gue enggak apa-apa, kok. Masih kuat gue mah."

"Kata siapa gue khawatir? Maksudnya, lo balik sana. Karena beberapa hari lagi, lo harus jadi pengawal gue buat menuju ruang operasi. Kan lo udah janji mau nemenin."

Cih!

Hanya kata itu yang keluar dari bibir Hamid. Meski begitu, dia tetap menuruti permintaan Tala. Sebenarnya Tala pun masih ingin ditemani oleh Hamid. Dia memiliki maksud lain meminta Hamid untuk pergi. Ada sesuatu yang lebih serius yang ingin dia katakan. Akan tetapi, terlalu malu untuk mengatakan secara langsung.

"Hai, La. Bagaimana keadaan lo?" sapa Myesha.

"As you can see. Gue masih baik-baik saja."

Pram tampak canggung, dia bahkan tidak berani untuk menatap mata Tala secara langsung. Tala hanya tersenyum tipis.

"Gue udah tahu kalik, Pram. Gue denger semuanya yang kalian bahas tadi."

"Tapi, Hamid enggak maksud begitu kok. Beneran deh."

Bora dan Indira melongo mendengar percakapan Tala dan Pram. Sebenarnya kemana arah pembicaraan mereka saat ini? Myesha membawa Tala masuk ke dalam kamar tempatnya di rawat. Khawatir didengar oleh orang lain.

Setibanya di dalam kamar, baik Pram dan Tala hanya saling diam tidak kembali melanjutkan percakapan mereka. Siapa pun pasti merasa tidak nyaman dengan segala rasa canggung yang tengah mereka lalui kini. Terutama Indira.

"Gue laper, ngerujak─"

"Hamid mau ke luar negeri," pangkas Pram. Mungkin seharusnya dia merahasiakan hal ini, tapi bagaimana pun menurutnya mereka semua berhak tahu. Terutama kekasihnya, Myesha. Dulu dia pernah ditinggal dalam kurun waktu yang cukup lama oleh Hamid.

Mereka semua membatu. Termasuk gadis cerewet seperti Bora. Mereka semua satu pemikiran ...

"Dia bakal pergi lagi, La?" tanya Indira. Meski tidak pernah mengatakannya, tapi Indira paham betul betapa posisi Hamid sangat berarti di sisi Tala. Hanya dia yang hampir selalu ada, apa lagi di titik terendah.

Tala hanya berdehem sembari tersenyum getir. Kecewa pasti. tidak ingin berpisah juga pasti. Akan tetapi, mau bagaimana lagi? dia tidak mungkin akan selalu ada di sisinya. Dia sendiri tidak tahu apa nama perasaanya kali ini. Yang jelas bukan perasaan cinta seperti kepada Gibran, Hariz apa lagi Bang Yafiq. Yang dia tahu, hanya ingin terus bersama entah sampai kapan.

Sepatu yang dia berikan untuk Hamid bukanlah tanpa alasan. Dia berharap suatu hari nanti mereka dapat bersama menuju suatu tempat bersama mengenakan sepatu yang sama. Walau hanya lari pagi menuju taman yang bisasa mereka kunjungi.

Selain itu, entah kapan dia yakin bahwa cepat atau lambat Hamid pasti harus menemui ibunya di luar negeri. Akan tetapi, terasa seperti mimpi jika harus secepat ini. Dia ingin menahan, tapi itu sungguh tidak adil bagi Bu Sekar. Karena dia jelas jauh lebih berhak atas diri Hamid.

Ketiga sahabatnya serta Pram masih saling berselisih membicarakan kepergian Hamid yang munngkin tidak akan lama lagi. Hal yang paling dia benci, paling dia takuti dan paling dia tidak ingini adalah perpisahan. Dia masih sanggup berdiri tegap meski hubungannya telah berakhir dengan Gibran begitu pula dengan Hariz. Laki-laki yang paling lama menjadi pacarnya. Namun, tidak begitu sulit baginya melepas kepergian Hariz. Bahkan begitu pula Bang Yafiq. Meski sulit, tapi nyatanya dia selalu berhasil melalui semuanya dengan baik.

"La, kok lo cuma diam? Yang jadi masalah di sini bukan kita, tapi lo," keluh Myesha. Gadis yang pendiam mulai kembali menjadi cerewet.

Tala hanya tersenyum tipis. "Entah sekarang atau nanti, dia tetap harus pergi, Shaa. Sama saja, kan?"

"Tapi, La. Dia itu─"

"Nope. Dia pasti tahu mana pilihan yang baik untuknya dan yang tidak membuatnya menyesal. Apapun yang buat dia bahagia, it's enough."

"Terus, gimana sama lo?!" tanya Bora dengan kesal dan emosi. Bahkan wajahnya tampak memerah karena saking kesalnya. Sahabatnya yang satu ini masih saja tidak mau mengakui perasaan?! Dasar Tala.

Sementara Tala, dia hanya diam membatu dan membisu. Tidak nampak seperti ingin membalas pertanyaan Bora. Meski mereka semua tengah tampak jelas menunggu jawaban dari Tala.

"Hmm, tadi lo bawain gue ayam geprek, enggak?" tanya Tala mengalihkan pembicaraan kali ini.

Myesha menatap dengan tatapan kesal ke arahnya. "Laa..." panggilnya masih berusaha sabar.

Tala hanya tertawa kecil, "gue enggak apa-apa."

Mereka masih saja menatap Tala dengan tatapan yang sama. Tentu saja. Siapa yang akan baik-baik saja dalam keadaan seperti ini? Hanya manusia yang tidak memiliki hati nurani. Dan tentu saja ... orang itu bukanlah Tala.

***

Dari seberang sana ada Hamid yang baru saja keluar dari kamar mandi mengenakan handuk putih yang dia seka ke rambutnya yang masih basah. Kamarnya mewah dan terdapat alat pendingin ruangan juga penghangat ruangan. Kamar itu sangat cukup bagi tubuhnya untuk beristirahat. Malam sudah semakin larut, dia mandi malam bukan karena menyukainya. Akan tetapi, berharap setelah itu dapat tidur lebih nyenyak. Atau paling tidak matanya dapat diajak kerja sama walau hanya beberapa jam saja.

Dia kembali mencoba merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Barangkali kali ini berhasil. Dia mencoba melelapkan diri, namun kurang dari satu menit dia hanyut dalam mimpi terdengar notifikasi pesan entah dari siapa. Sebenarnya ... dia bukan tipe yang suka dengan mode nyaring untuk mengaktifkan gawai di malam hari. Akan tetapi, mengingat kondisi Tala yang sedang berada di rumah sakit membuatnya kian khawatir. Barangkali ada panggilan telepon atau pesan yang mengabarkan tentang Tala atau ... ibunya.