webnovel

Kekasih Baru

"Ah, kalau begitu kami permisi. Oh ya, kalau soal kata-kata gue yang menurut lo menghina, boleh loh kalau mau dibawa ke pengadilan. Permisi ... Nona berbadan dua," sindir Hamid sembari mengedipkan mata kanannya.

Selepas kepergian mereka para tetangga saling berbisik satu sama lain. Senjata makan tuan. Niat Siska ingin mempermalukan mantan kekasih dari suaminya, malah dia yang malu sendiri. Karena ulahnya para tetangga menjadi tahu penyeyab mereka segera menikah. Dia menggerutu kesal, tapi percuma saja berurusan dengan Hamid hanya akan membuatnya terus menderita.

Setelah lelah berjalan kaki, Hamid membawa Tala menuju kursi panjang di tepi sungai. Tempat mereka bersama kala sedang sedih, atau sekadar ingin menjernihkan pikiran. Sementara Tala menunggu di sana, Hamid sedang berlalu pergi sembari membeli minuman dingin tidak jauh dari mereka.

"Nih—" ujarnya memberi air mineral ukuran mini.

"Terima kasih," jawab Tala datar. Dia kembali diam sembari menatap ujung sungai seberang sana menikmati angin sepoi-sepoi yang menyejukan.

"Lo enggak apa-apa?"

"Hmm. I'm okay," balas Tala sembari mengulas senyum. Dia masih merasa sesak, tapi bersyukur karena Hamid datang untuk menolong.

"What do you think? Apa yang lo lihat di seberang sana?"

"Masa depan. Meski bunda enggak setuju, gue just think about it. As always."

Hamid tahu betul, salah satu impian Tala adalah menjadi seorang penyiar radio. Lalu kuliah di luar negeri untuk sekadar cari pengalaman. Namun, tantangan terbesar baginya justru ibunya sendiri. Dia merasa saat jauh dari anaknya tidak bisa dipantau. Meski dia sendiri tahu bahwa kini anaknua sudah bukan anak kecil lagi.

"Ah, so ... impian lo apa, Mid?"

Hamid tersenyum simpul. "Sederhana. Gue cuma enggak mau jadi seperti papa dan mama yang menikah karena perjodohan. Lalu pada akhirnya bercerai. Dan ..."

Hamid tidak melanjutkan kata-katanya lagi. Tidak mungkin dia menceritakan mimpinya yang lain—berada di samping Tala.

"Dan? Kenapa enggak diterusin?"

"Hanya impian sederhana. Kalau suatu hari tercapai, pasti bakal gue kasih tahu kok."

Tidak lama kemudian, datanglah seorang pria dengan celana jeans dan baju kaus cokekat tua. Dia tersenyum simpul melihat Tala dari belakang yang tetap mampu tersenyum dalam keadaan seperti ini.

"Hai!" sapanya.

Sontak Tala dan Hamid menoleh ke arah asal suara. "Ka-k Gio?"

Dia tersenyum saat Tala menyebut namanya. Rupanya gadis ini masih mengingat siapa dirinya. Sudah lama mereka tidak saling bisara satu sama lain.

"Gue boleh duduk?" tanyanya. Tala mengangguk pelan, sementara Hamid hanya diam mengikuti Tala. Dia paham, jika dilihat dari ekspresi Tala pasti mereka cukup dekat.

"Ada yang mau aku bicarain sama kamu, La," ucapnya dengan logat Bali.

Hamid beranjak dari duduknya barangkali mereka berdua butuh ruang untuk bicara. Namun, dengan sigap Gio menahan tangannya agar kembali duduk. "Juga dengan kamu, Hamid."

Tentu saja dia heran karena merasa tidak saling kenal dengan pria ini sebelumnya. Jadi, dari mana dia tahu? Gio menyodorkan tangan. "Aku Gio, abangnya Hariz."

Gio adalah satu satu saudara satu ibu dengan Hariz, beda ayah. Memutuskan untuk menetap di Bali bersama ayah kandungnya. Sembari membantu perusahaan kopi yang baru dia bangun dari kecil. Selama ini, Gio belum pernah bertemu dengan Hamid. Karena biasanya dia hanya mampir sebentar untuk bertemu Hariz. Sementara dengan Tala, dia sudah bertemu sebanyak tiga kali.

"Kalau Anda kemari hanya untuk merendahkan Tala, sebaiknya—"

"Mid ..." pangkas Tala.

"Tapi, La. Lo enggak lihat tadi gimana Siska perlakukan lo. Atau lo—"

Gio tersenyum kecil dengan canggung, dia mengerti bahwa Hamid pasti kecewa dan merasa sakit hati. "Saya kemari bukan untuk itu, kok."

"Lantas, untuk apa jauh-jauh kemari?" tanya Hamid lagi masih dengan tatapan yang dingin.

Gio menghela napas perlahan, menutup mata lalu membukanya kembali dengan perlahan. "Maaf. Jujur saja, saya sendiri masih enggak percaya bahwa Hariz ..." dia terhenti untuk sesaat, mengingat apa yang adiknya lakukan di belakang Tala. "Dengan teganya melakukan itu sama kamu, La."

Tala dan Hamid hanya membisu tidak tahu mau menjawab apa. Namun, masih terasa tidak menyangka bahwa kakaknya akan respek padanya seperti ini. Ya, Hariz memang mantan kekasihnya, tapi hal itu tidak berarti dia mengakhiri hubungannya dengan kerabat Hariz, bukan?

Hamid menyeka punggung Gio yang bidang. "Sudah terjadi. Mau bagaimana lagi?" ujarnya dengan suara yang lebih normal dari sebelumnya. Suara dering gawai Gio memecah keheningan dalam haru diantara mereka.

"A-ah, astaga maaf, La. Aku harus ke bandara, buru-buru nih."

"Enggak apa-apa, Kak."

Seebelum Gio berlalu pergi, dia menyatukan tangan Hamid dan Tala. Mereka mematung tidak mengerti maksud Gio melakukan hal ini. "Berbahagialah, Tala. Jangan menunggu lebih lama lagi. Kalian cocok."

"Kami bersahabat, Kak."

Gio tersenyum simpul sebelum akhirnya benar-benar pergi. Hamid senang dengan pernyataan dari Gio. Andai saja mereka dapat bersatu dengan mudah seperti yang dia katakan tadi. Sayangnya, tidak. Bagi Tala, Hamid adalah seorang sahabat yang selalu ada untuknya. Dia berharap akan selamanya begitu.

TING!

Myesha:

Sayang, kamu sudah di kafe?

Tala:

Gue lagi joging, salah kirim?

Myesha:

Sorry, La.

Tala tahu betul Myesha, tidak mungkin dia mengirim pesan apalagi menyebutnya dengan kata sayang. Tala mulai curiga, jangan-jangan Myesha telah memiliki kekasih baru. Selang waktu kurang dari satu menit kemudian, pesan yang dikirim Myesha, dia tarik kembali. Tala tergelak, dia semakin yakin bahwa dugaannya benar.

"Kenapa lo senyam-senyum sendiri?" tanya Hamid yang heran melihat Tala. Dia lalu menunjukan pesan yang dikirim oleh Myesha.

***

"Hai, lo temen deketnya Myesha, kan?" tanya seorang pria tampan dengan sopan.

"I-iya, kenapa ya, Kak?"

Dia menyodorkan gawai di aplikasi telepon. "Minta kontaknya dia dong—"

"Maaf, Kak. Aku harus izin sama dia dulu," tolak Tala sopan.

Tidak lama kemudian, tibalah seorang cowok menghampiri mereka lalu merampas gawai pria itu. "Ngapain sih lo?! Cewek orang itu."

Tala kembali membaca novelnya, tanpa ikut dengan perbincangan mereka. Walau sebenarnya dia adalah orang yang paling tahu bagaimana hubungan Myesha dan beberapa cowok yang selalu dia tolak.

"Dia beneran sudah jadian sama Pram?" sahut yang satunya lagi.

Tala terbelalak, lalu menutup novelnya dengan spontan. Apa Pram yang mereka maksud adalah Pram yang dia kenal? Sungguhkah? Dua orang kakak kelas tadi berlalu pergi meninggalkan Tala dengan perasaan yang penuh dengan tanda tanya. Jika benar, Tala akan sangat kecewa dengan Myesha. Tidak lama kemudian, datanglah Indira dan Bora.

"Hai, La ..."

"Hai."

Dari jauh, tampak Myesha iikut menyusul mereka. Tala menatapnya sendu, lalu ...

"Gue duluan ya."

"La! Ke mana?!"