webnovel

Cuek

Dibukanya kunci layar gawaai dengan bergegas saat melihat ada nama Tala di sana.

 

 Tala:

Hai Mid. Gue enggak tahu lo udah tidur atau belum. But gue cuma mau jelasin yang tadi. Iya, alasan kenapa ngasih lo sepatu bukan jam tangan atau yang semisalnya. Konon sepatu yang kita kasih ke sahabat, akan membuat orang itu kembali ke manapun kaki melangkah. One more, gue akan selalu jadi orang pertama yang dukung keputusan lo. Yang penting lo bahagia. Good Night Hamid!

 

"Tapi, lo sendiri tahu kan, bahagia gue itu di mana?" gumamnya pelan hingga tidak sadar sedang senyam-senyum sendiri menerima pesan singkat itu dari Tala.

 

Tala adalah satu-satunya orang yang dapat membuat suasana hatinnya berubah dengan seketika. Dan karena Tala juga matanya tidak bisa kembali larut dalam lelap.

 

Hamid:

Lo belum tidur? Sama siapa di sana?

 

Tala:

Sendiri. Temen-temen baru banget pada balik.

 

Hamid terkejut membaca pesan Tala kali ini. Dia segera mengenakan piyama dan jaket kulit berwarna cokelat tua miliknya lalu bergegas pergi mengenakan motor ninja hijau miliknya dan mengudara di lalu lintas. Tidak  dia pedulikan outift yang dia kenakan saat ini, termasuk pukul berapa kini.

Ya, dia tahu bahwa Tala adalah gadis yang mandiri. Dia juga terbiasa melakukan segala sesuatu seorang diri, tapi tidak dengan saat seperti ini.

Saat baru saja dia berjalan menuju parkiran, seseorang menyuarakan klakson mobil yang berisik. Dia menoleh ke asal suara.

"Pram?" gumam Hamid.

Laki-laki bermata agak sipit itu keluar dari mobil. Berjalan menghampiri Hamid dengan senyum tipis.

"Lo ... mau ke mana?" tanya Pram memperhatikan piyama yang dikenakan Hamid dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"E-enggak." Meski Hamid sering menunjukan betapa dia perhatian dan sangat peduli terhadap Tala, tapi dia pun terkadang menunjukan sisi gengsinya.

"Oh, gue kira mau ke Rumah Sakit."

"Ah, enggak, kok. Lagian kan Tala anaknya mandiri banget."

Pram tersenyum kecil. Tidak lama kemudian, gawainya memberikan sinyal bahwa ada satu pesan masuk.

"Dari Myesha?"

"Hmm. Biasalah."

Pram lalu membiarkan gawainya di atas jok motor Hamid. Sebenarnya Hamid bukan tipe orang yang begitu peduli dengan orang lain. Mau menggunakan walpaper apapun, itu juga bukan urusannya. Namun kali ini berbeda.  Hamid langsung mengambil gawai Pram dan melihat walpapernya.

"Ini ... tadi?"

"Hmm. Tadi ada Myesha, Bora sama Indira juga."

Hamid masih terus memperhatikan foto itu. Awalnya Hamid mengira mereka hanya sebentar saja di sana, itu sebabnya Hamid terus gelisah menanti kabar dari Tala. Dia sungguh tidak mengerti mengapa gadis itu tidak ingin dia temani. Padahal, waktu yang tersisa selama mereka di sini tidak akan lama. Sebentar lagi dia harus segera menemani ibunya di luar negeri. Entah operasi atau menetap dalam waktu yang lama untuk turun tangan membantu mengurus perusahaan.

"Kalau suka, tinggal bilang aja kalik, Mid. Ribet banget hidup lo."

"Enggak bisa, Pram. Gue enggak mau pisah sama Tala."

"Lah, itulah kenapa gue minta kalian jadian. Kenapa sih? Lo takut ditolak? Kalau soal itu tenang aja, gue yakin kalian punya perasaan yang sama."

Hamid menggeleng pelan. "Enggak. Menurut gue, bahkan lebih baik dia tolak cinta gue. Gue enggak apa-apa kalau dia jadian lagi sama cowok—entah siapa. Selama gue masih bisa terus di sisinya, itu sudah lebih dari cukup buat gue."

"Gue enggak ngerti sama jalan pikiran lo, Mid. Lo sendiri tahu kan sakitnya itu tuh kayak gimana?"

"Gue enggak mau pisah, sementara lo sendiri kan tahu ..." Hamid memberi jeda. Membuang napas pasrah di udara. "Lo kan tahu kalau sebentar lagi, gue bakalan ikut nyokap."

"Sorry, itu alasan gue ke sini malam ini. Sebenarnya ... Tala udah tahu kalau lo mau pergi. Tadi, waktu gue ngobrol sama lo, dia udah denger semuanya.  Terus—"

"Kenapa lo enggak bilang?!" pangkas  Hamid.

"Gue enggak bisa. Tala yang minta dirahasiain dari lo. Anak-anak lain pada tanya Tala mau atau enggak buat nahan lo. Dan lo tahu jawaban Tala? 'gue enggak berhak.' Padahal diantara kita semua, orang yang paling berhak adalah dia."

"Setelah itu, dia nangis?"

"Nope! Dia bersikap biasa aja, malah ngajakin anak-anak buat ngerujak. Heran gue, itu anak terbuat dari apa hatinya! Lo enggak—" Pram menghentikan argumennya saat sadar Hamid sudah tidak di sampingnya.

Laki-laki itu berlalu pergi begitu saja tanpa sepatah kata pun. Hamid tersenyum menyeringai, "dasar gengsian. Ngakunya cuek, padahal care setengah mati juga kan lo."

Dia menghubungi salah satu nama dari kontak gawainya, "misi sukses, Beb."

Pram dan semua sahabat-sahabat Tala tahu bagaimana rasa peduli Hamid terhadap gadis bertubuh mungil itu.

***

Hamid tiba di ruangan Tala dengan wajah yang memerah karena kedinginan. Tidak seperti biasanya, cuaca malam ini terasa sangat menusuk, belum lagi dia yang sebelumnya memang baru saja selesai mandi.

Tala sedang berdiri menatap jendela luar. Kosong dan tidak ada siapapun. Kecuali beberapa petugas Rumah Sakit yang sedang bertugas berlalu-lalang bergantian.

"Kenapa lo belum tidur?" tanya Hamid dengan intonasi yang agak tinggi.

"Astaga!" Tala menyeka dadanya terkejut. "Lo masuk enggak bilang-bilang. Ngagetin aja sih, Mid."

Mendengar jawaban Tala itu dia semakin kesal dibuatnya. Seolah gadis itu benar-benar baik-baik saja. Ya, Hamid tentu saja senang jika Tala baik-baik saja, tapi tidak sedatar sekarang. Kini dia malah merasa diabaikan.

"K-kenapa sih?" tanya Tala melihat ekspresi Hamid yang tidak biasa.

Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya Tala ditatap dengan tatapan sinis mematikan begitu. Tala berpikir keras, apa sebenarnya kesalahan yang dia buat  hingga Hamid yang ramah menjadi seperti ini padanya.

"Mid, lo kok kayak marah sih? Gue ada salah, ya? tapi kayaknya gue enggak ada salah deh. Soalnya kan, kalau gue buat salah sama lo, itu pasti gara-gara lo ngeselin, kan?"

Hamid memalingkan pandangan. Gadis di hadapannya itu mash saja tidka berubah sama sekali. Walau di saat yang seperti ini. "Dih, ditanya juga," keluh Tala.

"Minggir, gue mau rebahan. Ngantuk." Hamid merebahkan diri di atas ranjang pasien bernuansa putih-biru. Dia lalu memejamkan mata perlahan.

Sementara Tala? Dia hanya terperangah. Dasar Hamid! Yang pasien siapa, yang tamu siapa!

"Mid, gue tidur di mana?"

"Kan masih ada sofa," balas Hamid dengan mata tertutup.

Jika tidak ingat, betapa baiknya laki-laki itu selama ini. Rasanya ingin sekali Tala melemparkan bom atom di atas ranjang itu—gerutu Tala dalam hati.

"Untung saja. Lo itu sahabat tersayang gue."

"Tapi, nyatanya lo cuekin gue."

"Kapan gue kayak gitu?! Enggak pernah ya gue cuekin lo."

"Hari ini."