webnovel

Merasa Bersalah

Setelah kejadian tadi pagi, Rivaldo lebih lembut dalam memperlakukan Ashila, wanita cantik itu sudah sering menangis dihadapannya. Namun entah mengapa tangisannya tadi pagi jauh memilukan, sampai rasanya hati Rivaldo ikut tersayat ketika mendengarnya.

Belum lagi ketika istri kecilnya itu mengatakan bahwa ia takut dengan perlakuan Rivaldo, dengan tangisan yang terisak Ashila mengutarakan ketakutannya. Secara perlahan, emosi yang sudah memenuhi rongga dada Rivaldo pun semakin meredam.

Namun tetap saja, Aahila masihlah mendiamkannya. Sampai ketika makan siang pun Ashila bersikeras mengatakan bahwa ia akan makan siang bersama kedua sahabatnya.

Kali ini Rivaldo harus lebih sabar memang, jika ia gegabah sedikit saja, bisa jadi istri cantiknya itu akan pergi meninggalkan dirinya dari hidupnya, dan mengacaukan semua rencana yang nyaris akan berhasil itu.

Di sebuah meja cafetaria lebih tepatnya kantor Januar Corp. Ashila, Vita dan Jessie sedang menikmati makan siang mereka, ketiganya berbincang banyak hal. Namun Kania meminta kepada keduanya untuk tidak membahas tentang pernikahannya dengan Rivaldo, bos besar dimana mereka bekerja. Ashila benar-benar muak dengannya itu, sampai-sampai dirinya tidak mau membicarakannya.

"Ashila, kemarin apartemen kita kedatangan tetangga baru, dilihat dari penampilannya ... sepertinya dia pendatang? Sangat tampan sekali, dan sepertinya, Vita menyukainya." Jessie menggoda sahabatnya itu, dan wanita yang dipanggil Vita hanya diam sambil menunduk tersipu malu.

"Benarkah? Aku senang sekali kalau kau sudah bisa melupakan mantan pacarmu yang kemarin itu, Vit." sahut Ashila.

Waktu itu di malam hari, saat Ashila pergi ke Bandung karena musibah kebakaran yang menimpa toko sayuran kedua orangtuanya di Desa, di malam itu pula Vita putus dengan kekasih yang sebelumnya. Namun ternyata kesedihan sahabatnya itu tidak berlangsung lama, karena kini sepertinya Vita sudah mulai menemukan tambatan hatinya yang baru.

"Bukan seperti itu, aku belum menyukainya. Tapi, ya ... dia memang tampan." semburat merah terlihat jelas dipipinya, Kania dan Jessie dapat melihat bahwa sahabatnya itu sedang berusaha mengelak.

"Eyy, ayolah, Vita ... kau ini tidak bisa menyembunyikan perasaanmu. Apa-apaan itu? Wajahmu sudah seperti kepiting rebus hanya karena mengingatnya." Jessie masih tak henti untuk menggoda Vita.

"Hemm ... sepulang kerja nanti, dia mengajakku untuk makan malam." lirih Vita dengan malu-malu. Wajahnya sudah memerah padam saat ini.

Keduanya membulatkan matanya lebar, dan saling berpandangan antara, Ashila dan juga Jessie.

"Oh, astaga ... sepertinya laki-laki apartemen baru itu tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, ya? Semoga kali ini kau bertemu dengan pria yang tepat, Vita." Jessie tersenyum, dan disetujui oleh Ashila yang juga ikut tersenyum dengan cerah, tak nampak sama sekali bekas kesedihan di wajah cantiknya. Bersama dengan kedua sahabatnya ini memang selalu membuat hari-hari Kania menjadi lebih bahagia dan berwarna, ketiganya memang memiliki sifat yang berbeda. Namun justru itulah yang membuat ketiganya yang menjadi semakin klop karena saling melengkapi satu sama lain.

Sementara itu, Ashila terlihat sangat bahagia ketika menyaksikan kedua sahabatnya ini sudah bertemu dengan pria yang mereka cintai. Ashila merasa iri karena dirinya tidak bernasib seberuntung Vita dan Jessie.

Dan dari kejauhan sana, Rivaldo terus memperhatikan Ashila. Wanita cantik itu terlihat sangat bahagia ketika sedang bersama teman-temannya, sangat berbanding terbalik ketika sedang bersama Rivaldo. Ashila berkali-kali tertawa lepas, dengan binar matanya yang menunjukkan kebahagiaan. Ashila sangat iri saat ini, ia ingin sekali Ashilanya itu menunjukkan hal yang sama ketika sedang bersamanya.

***

Meeting siang ini baru selesai beberapa menit yang lalu, Rivaldo dan Ashila masih sama-sama berada di ruangan meeting, dan bahkan beberapa staf yang lain pun masih duduk di tempatnya semula. Ashila masih sangat fokus dengan poin-poin meeting yang akan ia masukkan kedalam laporannya. Sementara Rivaldo, mata tajamnya terus menerus melirik kearah sang sekretaris yang hari ini selalu saja menghindari tatapannya.

Dan kemudian satu per satu dari para staf itu pun keluar dari ruangan meeting, hingga menyisakan Rivaldo dan Ashila.

"Ashila ..." ucap Rivaldo memanggil wanita cantiknya itu.

"Ya, Pak Rivaldo? Ada apa?" Ashila menolehkan kepalanya kearah Rivaldo dengan tatapan datarnya dan tanpa ekspresi.

"Kau suka ice cream, 'kan? Bagaimana kalau kita membeli ice cream saat kita pulang nanti?" Rivaldo mencoba membujuk Ashila. Karena rupanya sangat sulit bagi Rivaldo menghadapi perempuan cantiknya ini ketika sedang marah.

"Baik." jawab Ashila dengan suara pelan, ia masih malas untuk berbincang dengan Rivaldo.

"Nanti aku tunggu di mobilku, ya?" Rivaldo masih terus tersenyum sambil menatap istrinya, walaupun wanita cantiknya itu tidak menggubrisnya.

"Jangan terus mendiamkanku, Ashila ... aku rindu kau yang berisik." Rivaldo terus merengek seperti anak kecil membujuk Ashila.

"Ashila ..." Rivaldo terus memanggil istrinya dengan suara yang lirih.

"Diamlah, Rivaldo! Kau mengganggu pekerjaanku! Bukankah ketika di kantor aku hanyalah sekretaris mu? Seharusnya kau jangan membawa urusan rumah tangga kita di kantor." Ashila mulai kesal dengan bos sekaligus suaminya itu. Ashila mengemasi barang-barang, bermaksud untuk melanjutkan pekerjaan di ruangannya.

"Baiklah, aku akan diam. Tapi nanti kau pulang denganku." ucap Ashila, dan Kania hanya membalasnya dengan anggukan kecil.

***

Saat ini Rivaldo sedang memeriksa berkas laporan meeting yang sudah dikerjakan oleh sekretaris sekaligus istrinya itu. Dan seperti biasa, kinerja dari wanita cantiknya itu selalu memuaskan, rapih dan sangat memuaskan. Ashila sangat sesuai dengan Rivaldo yang perfeksionis.

Waktu pulang kantor sekitar 30 menit lagi, rasanya Rivaldo sudah tidak sabar ingin segera pulang dan menikmati ice cream bersama istri kecilnya itu.

Sebenarnya Rivaldo tidak menyukai makanan manis. Tapi demi mendapatkan maaf dari Ashila, ia akan menemani wanita cantiknya itu untuk memakan makanan kesukaannya.

Dering ponsel di atas meja kerjanya memecahkan konsentrasi Rivaldo, dan tanpa menunggu lama lagi, lelaki Januar itu langsung mengangkat telfonnya, ternyata dari nomor telfon Mansionya.

"Ya, ada apa?" tanya Rivaldo ketika sudah mengangkat telfonnya.

"Tuan Rivaldo, Noona Luna demam tinggi, Tuan." ucap seorang maid dari sebrang sana dengan suara yang panik.

"Luna demam tinggi lagi? Baiklah, Bik, aku akan segera pulang sekarang." Rivaldo langsung menutup telfonnya, dan segera memakai jas yang tadi ia lepas dan digantung di sandaran kursi kebesarannya.

Pria Januar itu sedang panik sekarang, tadi pagi ketika Rivaldo berangkat ke kantor istrinya itu baik-baik saja. Namun memang penyakit Leukimia yang dideritanya membuat daya tahan tubuh istrinya itu menjadi sangat lemah.

Dengan langkah tergesanya, Rivaldo langsung keluar dari ruangannya.

"Ashila, maafkan aku, kau pulang sendiri ya. Aku harus pulang sekarang, Luna demam tinggi." ucap Rivaldo dan langsung bergegas meninggalkan Ashila yang masih terdiam mematung di tempatnya.

Mata Ashila kembali memanas, baru beberapa jam yang lalu Rivaldo mengajaknya untuk pulang bersama dan menikmati ice cream berdua. Tapi lagi dan lagi, Rivaldo meninggalkan dirinya demi istri pertamanya.

Dada Ashila bergemuruh, ia gigit bibir bawahnya dengan kencang untuk meredam segala emosinya yang semakin mulai meluap. Ashila tidak boleh menangis ataupun marah di sini, bukan tempat yang tepat untuk ia meluapkan segala kekesalan yang diakibatkan oleh si pria menyebalkan.

Mood kerja Ashila mendadak langsung hilang seketika, rasanya sudah tidak berselera lagi menatap layar komputer dan kertas-kertas yang menumpuk di hadapannya.

Ashila beranjak dari kursinya, dan memilih untuk naik sebentar ke rooftop. Suasana menjelang sore biasanya sangat menyejukkan.

Wanita cantik itu memilih duduk di sebuah bangku panjang dekat pembatas balkon, wajahnya ia tutup dengan kedua tangannya. Ashila mulai menangis sejadinya untuk melepaskan segala sesak yang ada di dalam dadanya.

Baru dua hari menjadi istri dari CEO ternama, Rivaldo Januar. Namun ternyata sudah berapa kali pria Januar itu menyakiti perasaannya?

"Kau menyebalkan ...!! Sangat menyebalkan ...!!" Ashila berteriak untuk melepaskan segala amarah yang terpendam saat ini.

"Aku bahkan sudah memberimu kesempatan! Tapi kenapa?! Kenapa kau selalu mengacaukannya?!!" luapan amarah itu terus menggebu-gebu direlung hati terdalamnya.

"Aku membencimu, Rivaldo ... hiks ... hiks." ucap Ashila dengan lirih, yang hanya bisa didengar oleh angin sore. Dirinya terus menangis hingga terduduk diatas lantai yang dingin itu, tangannya mengepal lalu ia bawa untuk memukul-mukul dadanya yang semakin terasa sesak.

Apa salah jika ia ingin meminta perhatian dari suaminya?

Kania menangisi nasibnya yang hanya menjadi istri kedua bahkan istri rahasia. Sehingga ia seperti tak punya hak untuk mendapatkan perhatian dari Rivaldo.

"Ashila?" suara seorang pria membuat tangisan Ashila langsung berhenti, segera ia menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya. Ashila sangat mengenali suara itu, suara berat milik pria yang selama ini selalu mengungkapkan isi hatinya. Namun tak pernah Ashila balas perasaannya.

"Ashila?" Johnny menepuk pundak Kania pelan, pria berdarah Amerika itu memperhatikan Ashila sedari tadi. Johnny melihat saat Ashila menangis dengan kencang, Johnny juga menyaksikan saat wanita cantik itu berteriak dengan kencang sambil menangis.

Dan sebuah pertanyaan muncul dalam benak Johnny. Mengapa wanita cantik pujaan hatinya itu menangis meraung pilu seperti tadi? Siapa yang sudah menyakitinya? Dan kalimat-kalimat yang dilontarkan oleh Ashila, dimaksud untuk siapa? Selama ini yang Johnny tau, Ashila adalah wanita single dan tak memiliki pacar.

"Ashila, kau kenapa?" suara Johnny terdengar sangat lembut, tangannya masih mengusap pundak sempit Ashila.

"Aku tidak apa-apa, John." jawab Ashila dengan suara seraknya.

"Kenapa kau menangis? Apa ada yang menyakitimu?" tanya Johnny sekali lagi.

"Tidak ada, John. Hanya masalah keluarga, aku tidak apa-apa." jawabnya, dan Ashila mulai berdiri dari duduknya. Hidungnya yang memerah serta matanya yang juga sembab itu semakin terlihat cantik dimata Johnny. Kemudian pria tampan itu langsung membawa Ashila kedalam pelukannya.

"Kau boleh bercerita padaku kalau kau ingin, Ashila." Johnny mengusap punggung Ashila dengan lembut, walaupun Ashila terlihat semakin cantik ketika menangis. Namun Johnny jauh lebih menyukai wanita cantik itu tersenyum ceria seperti biasanya.

"Ini hanya masalah keluarga. Hanya saja aku sangat cengeng, jadi mudah sekali menangis." Ashila tidak menolak berada didalam pelukan hangat Johnny, ia ingin sekali melupakan Rivaldo sejenak, yang Ashila butuhkan saat ini adalah sebuah pelukan.

"Ngomong-ngomong ... ada apa kau naik ke rooftop?" ucap Ashila sambil mendongakkan kepalanya menatap Johnny.

"Aku sudah terbiasa naik ke rooftop ketika jam kantor sudah selesai, Ashila. Karena biasanya di sini sangat sepi, aku sangat suka menikmati waktu sore hari ketika berada di sini. Biasanya aku baru akan pulang ke apartemenku kalau hari sudah menjelang petang. Tapi tadi aku melihatmu ketika menangis di sini, aku tidak tega mengganggumu. Tapi semakin lama tangisanmu semakin membuatku ingin memelukmu, kau terlihat sangat patah hati." Johnny menatap Ashila dengan lekat, tubuh keduanya masih saling memeluk.

"Sekarang aku sudah lebih baik. Terimakasih, Johnny." Ashila melepaskan pelukan mereka, bibir tipisnya menyunggingkan senyuman manisnya.

"Ayo, aku akan mengantarmu pulang." ajak Johnny.

"Ayo ...! Antarkan aku ke apartemenku." Ashila berencana akan pulang ke apartemen lamanya, ia sedang tidak ingin pulang ke apartemennya yang baru. Suasana hatinya masih tidak bagus untuk saat ini, dan sepertinya kedua sahabatnya, Vita dan juga Jessie dapat menghiburnya.