Aku menutup wajahku menggunakan selimut, kemudian memekik. Semalam aku bermimpi Bang Dika menyatakan cinta padaku. Oh ... Tuhan! Aku berharap ini nyata. Tak bisa kubayangkan jika dia benar-benar mengatakan perasaannya padaku. Mungkin aku akan menjerit-jerit seperti ini setiap paginya selama sebulan penuh. Aku menggila hanya karena mimpi.
Aku berguling, mengubah posisi menjadi tengkurap. Aku mendesah pelan, agak kecewa karena Bang Dika sudah tidak ada ketika aku terbangun. Dia hanya meninggalkan secarik kertas di atas bantalnya.
Hai, Tukang Tidur! Abang tinggal keluar sebentar. Nggak usah manyun-manyun gitu, Abang nggak lama. Makanan udah Abang siapin, tinggal lo angetin. Baju ganti juga udah ada. Dandan yang cantik, nanti kita jalan-jalan.
Salam sayang buat si Kembar sama Siena Bagian Bawah dari Dika Junior. Katanya nanti malem mau ngajak ketemuan lagi.
Aku duduk di bibir ranjang. Jemari kakiku melengkung. Aku beranjak dari tempat tidur dengan sedikit terhuyung—mungkin efek alkohol semalam, kemudian melangkah ke kamar mandi. Sepertinya, berendam air hangat akan membuatku lebih segar.
Kutatap tubuh telanjangku di depan cermin dan seketika memekik. Apa yang dia lakukan dengan tubuhku? ratapku dalam hati. Tubuhku dipenuhi bekas-bekas merah keunguan, termasuk leherku. Bagaimana aku bisa pergi sekolah dengan keadaan seperti ini?
Sekolah .... Sekolah .... Sekolah .... Bukankah aku harus sekolah? Ya, Tuhan! Ini tahun ajaran baru, dan aku sudah membolos selama dua hari?
Kuembuskan napas kasar. Percuma saja panik ataupun menjerit-jerit, sekarang mungkin sudah terlambat, dan tidak mungkin aku pergi ke sekolah dengan leher penuh kissmark.
Aku keluar dari kamar mandi dengan handuk melilit tubuhku. Kulihat ada sebuah paperbag besar berwarna biru di samping nakas, lalu tersenyum ketika melihat isinya. Sebuah jaket hoodie berwarna baby blue dengan garis horizontal berwarna putih di bagian dada, tanktop, dan celana jins. Juga kotak berisi sepatu sneaker berwarna putih.
Aku sedang membaca buku sambil rebahan di sofa ruang tamu ketika Bang Dika pulang. Persis seperti dugaanku, dia mengenakan jaket seperti yang kupakai. Romantis, bukan? Kami seperti pasangan kekasih, padahal sebenarnya hanya kakak-adik. Ha! Mana ada kakak-adik yang having fun semalaman seperti kami? Dasar, Siena bodoh!
Dia mengecup puncak kepalaku, beralih ke kening, pipi, kemudian bibir. Begitu lembut, dan manis. Dengan tinggiku yang tak sampai telinganya, aku harus berjinjit ketika berciuman. Dia mengakhiri sesi ciuman kami dengan menepuk bokongku dan meremas si Kembar. Dasar usil!
Bang Dika mendorongku ke sofa, kemudian menindih tubuhku. Dia memberikan kecupan-kecupan ringan di leher—mengembuskan napasnya yang panas di sana, membuatku merintih.
"Bang, katanya-mau-keluar?" kataku sambil menggigit bibir bawahku menahan desahan.
"Masih lama, kok. Katanya rada sorean," gumamnya. Mulutnya sudah pindah ke dadaku dan tengah memberikan gigitan-gigitan yang membuatku mengerang. Jaket dan tanktop yang kukenakan sudah teronggok di lantai.
Pakaianku yang malang.
Kini, tubuhku sudah polos tanpa sehelai benang pun. Satu kakiku dikaitkan ke punggung sofa, sedangkan yang lainnya berada di bahu Bang Dika. Satu tanganku menyusup di rambutnya yang lembut, sedangkan, tangan yang lain mencengkeram pinggiran sofa. Sekali lagi, ruangan ini dipenuhi oleh suara erotis kami. Aku mendesah dia melenguh, aku merintih dia mengerang.
***
Dua setengah jam kemudian, kami sudah berada di salah satu pusat perbelanjaan. Dia merangkulkan tangannya ke pundakku, memelototi cowok-cowok yang berani menatapku. Aku hanya bisa menggeleng melihat sikap posesif abangku ini.
Tujuan kami adalah sebuah restoran makanan Jepang. Bertemu teman, sekaligus membahas rencana kolaborasi konten mereka, katanya.
"Dika! Di sini!" seorang cowok melambai ke arah kami.
Aku tersenyum saat melihat sosok itu. Antares Bagaskara. Dia cowok blasteran bertubuh jangkung, rambut pirang gelap, dan biru safir. Senyumannya selalu membuat hatiku meleleh. Tampan? Sudah tentu. Dia cowok nomor dua dalam whishlist-ku setelah Bang Dika. Hehe.
"Si ... eee ... naaa ...."
"Bang ... A ... reees ...."
Tangan kami terentang sambil berlari dalam gerakan slow motion. Persis seperti pasangan yang akhirnya bertemu setelah ribuan tahun terpisah. Yang memang benar, mungkin sudah setengah tahun lebih kami tidak berjumpa. Namun, sesuatu menahan langkahku. Aku menoleh, ternyata Bang Dika menarik jaketku.
"Bang, ih! Lepasin! Naa kangen sama Bang Ares!" rengekku sambil meronta.
Bang Dika mendengus, kemudian mengusap wajahku. "Nggak usah kegatelan!" katanya padaku. Dia beralih menatap Bang Ares tajam. "Lo juga. Jauh-jauh dari adek gue! Huss ... huss ...!" Tangannya bergerak seperti sedang mengusir ayam. Kemudian, Bang Dika menarikku dalam pelukannya.
Bang Ares memutar bola matanya. "Iya, iya. Yang punya adek paling cantik sejagad raya. Nggak usah segitunya. Gue juga nggak bakal ngapa-ngapain Siena. Tapi, gue ada kesempatan, 'kan, buat jadi adik ipar lo?" Dia terkekeh.
Bang Dika langsung mendelik. "Jangan harap!" katanya ketus, kemudian tertawa.
Aku dan Bang Ares saling berpelukan, kemudian dia mengecup puncak kepalaku. Tak ada kecemburuan dari Bang Dika, karena dia tahu hubunganku dengan cowok blasteran ini. Dia sahabat Bang Dika sejak SMP. Jadi, bisa dibilang ia sudah mengenalku sejak aku masih main rumah-rumahan. Hubungan kami sudah seperti kakak-adik—yang normal tentunya.
Setelah kami duduk, Bang Ares mengeluarkan sebuah paperbag berwarna coklat. "Selamat ulang tahun, Princess," katanya sambil mencubit pipiku.
Aku membuka paperbag itu, mataku terbelalak. "Woaaa ... makasih, Bang." Dia memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru, yang setahuku harganya sangat mahal.
Aku tersenyum lebar, kemudian mendaratkan ciuman di pipi Bang Ares. Kulihat dia menyeringai sambil menyentuh pipinya, menatap Bang Dika. Mungkin artinya, 'Kau lihat? Dia menciumku!' yang dibalas dengusan oleh Bang Dika.
Sambil menunggu pesanan kami datang, dua cowok paling panas di hadapanku sibuk membahas tentang rencana kolaborasi dan konsep konten yang akan mereka buat. Sedangkan, aku memilih diam—menikmati pemandangan indah ini, di mana dua makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna tengah berkumpul. Aku harus berusaha keras agar air liurku tidak menetes saat menatap mereka. Oh, sial! Kurasa, aku akan mimisan.
Aku bertepuk tangan sambil memekik girang saat pesanan kami datang. Sushimi, sushi, shabu-shabu, udon, ramen, onigiri, dan tempura. Sepertinya mereka memesan seluruh menu makanan di sini. Aku berdecap—menatap lapar ke seluruh makanan yang terhidang memenuhi meja, bingung mana yang akan disantap lebih dulu.
Akhirnya, mereka bergantian menyuapiku. Aku merasa seolah memiliki harem. Eh! Apa, sih, sebutan untuk harem cowok? Ah, terserahlah! Aku tidak peduli. Yang jelas, aku kenyang dan bahagia. Bisa kulihat tatapan iri dari cewek-cewek pelayan di sini. Hahaha! Aku yakin kalian pasti iri juga. Iya, kan?
Selepas pertemuan itu, kami berpisah dengan Bang Ares. Aku merengek memintanya ikut jalan-jalan bersama kami, tetapi cowok itu berkata ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda dan berjanji akan sering mampir ke apartemen kami nanti.
Ya, ya. Tentu saja. Dia dan Bang Dika akan membuat konten bersama, pasti kami akam sering bertemu.
***
"Ibu, beliin sepatu itu." Aku yang masih berusia tujuh tahun merengek sambil mengentak-entakkan kaki dan menunjuk sepasang sepatu berwarna biru yang dipajang di etalase sebuah toko.
"Kan belum lama ini Siena udah beli sepatu. Belum dipake, loh, sepatunya." Ibu meletakkan kantong plastik berisi belanjaan, berjongkok di sampingku, lalu mengusap kepalaku dengan lembut. Bibirnya menyunggingkan senyuman, tatapannya yang teduh menyejukkan.
"Tapi Naa kepingin beli itu," kataku keras kepala. Mataku mungkin sudah berkaca-kaca—hampir menangis.
"Naa ...." Bang Dika yang juga ikut dengan kami berjongkok di hadapanku. Dia menangkup wajahku, lalu tersenyum. "Naa, 'kan, anak cantik. Nggak boleh nangis, nggak boleh rewel. Kasian Ibu."
"Naa kepingin sepatu itu, Bang," kataku terisak. Setitik air mata sudah jatuh di pipiku.
Ssst!!!
Dia mengusap air mataku. "Abang gendong aja, yuk? Eh, Bang Ares nanti mau main, loh. Nanti kalo Naa nangis, mukanya jadi jelek. Terus Bang Ares nanya, 'kok, Siena nggak cantik kayak biasanya?' Nanti Abang mesti jawab apa? 'Iya, soalnya Siena tadi abis nangis di mall'. Hii ... maluu," Bang Dika bergidik seperti orang kebelet buang air kecil.
Aku cepat-cepat menghapus air mataku. "Kalo gitu Naa nggak jadi nangis. Nanti kalo Naa jelek, Bang Dika sama Bang Ares jadi nggak sayang lagi sama Naa."
Bang Dika mencubit pipiku pelan. "Kalo gitu, mana senyumnya, Cantik?"
Aku tersenyum lebar, meskipun air mataku masih menetes.
~
Satu bulan kemudian ....
"Naa ... liat Abang punya apa?"
Aku yang sedang asyik bermain boneka di kamar menoleh, kemudian turun dari ranjang berlari menghampiri abangku yang masih memakai seragam biru-putihnya.
"Apaan, Bang?"
"Tebak apa?"
"Emm ..." Aku mengetuk-ngetuk daguku dengan telunjuk. "Es krim?"
Bang Dika menggeleng.
"Permen?"
"Bukan."
"Jepit rambut?"
"Salah."
"Dapet nilai enam di pelajaran matematika?"
Bang Dika mendengus.
"Apaan, dong? Tebakan Naa salah semua," kataku sambil menyilangkan tangan di depan dada, lalu mengerucutkan bibir.
Dia mengeluarkan sebuah kotak dari balik punggungnya. Ketika kubuka, kotak itu berisi sepasang sepatu yang hampir sebulan lalu kuminta.
Bang Dika membantuku memakai sepatu itu. Ukurannya sangat pas di kakiku. Aku melompat-lompat sambil tertawa, kemudian memeluknya.
"Makasih, Abang. Siena sayaaang banget sama Abang." Kemudian mencium pipinya.
Bang Dika balas memelukku. "Sama-sama. Abang juga sayang sama Naa." Lalu membalas ciumanku.
"Kalo udah besar nanti, Naa mau jadi istri Abang aja. Abang, 'kan, baik terus sama Naa. Eh, sama Bang Ares juga. Jadi suami Naa nanti ada dua," kataku dengan polosnya.
Dia tergelak mendengar yang kukatakan.
"Naa masih kecil, sekolah dulu yang pinter," katanya sambil mengusap puncak kepalaku.
"Tapi, kalo Naa udah sekolah, udah pinter, Abang mau nikahin Naa?"
"Iya, iya," Bang Dika terkekeh, kemudian mengusap pipiku. "Sana, tunjukin sama Ibu sepatu barunya."
Aku mengangguk kemudian berlari menghampiri Ibu sambil berteriak, "Ibu ... Bang Dika beliin Naa sepatu baru."