webnovel

Chapter 41 - Kau di sini? (2)

"Apa keunggulan kalian?" tanya Valias.

"Kami pandai menggunakan senjata. Kaum kami diberkati dengan pemuda-pemuda bertubuh besar dan menggunakan beberapa macam alat bertarung. Kami juga pandai menggunakan sihir. Dan kami, menyimpan sesuatu yang bagus dalam mengobati sakit."

Valias mengangguk dalam mendengar tuturan Rama. Meski sempat menangkap keraguan dari kalimat yang terakhir.

Pengguna senjata dan sihir. Juga tabib dan obat-obatan serta ramuan penyembuh. Hal-hal itulah yang dibutuhkan dalam perang. "Aku hanya meminta kalian untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk sembilan bulan ke depan. Berlatih dalam menggunakan senjata dan sihir. Sihir yang aku inginkan adalah sihir pelindung dan juga sihir penyerang. Tapi,"

Valias menjeda ucapannya. Membuat semua orang menanti apa yang selanjutnya akan dikatakannya.

Valias memasang senyum kecil. "Fokuslah untuk memperkuat sihir pelindung. Kalian harus melindungi diri kalian sendiri dan juga orang-orang di sekeliling kalian di pertarungan nanti. Itu, adalah yang aku minta pada kalian."

Semua orang yang ada di dalam ruangan terdiam dalam mendengar ucapan Valias. Tidak menyangka pemuda itu akan meminta sesuatu yang begitu sederhana.

"Tuan Valias tidak perlu khawatir. Kami akan memberikan yang terbaik untuk Anda." ucap Rama. "Di bulan Pendahan nanti, kaum elf kami akan berdiri di barisan paling depan melindungi Hayden sesuai keinginan Anda ."

Bulan Pendahan. Itu adalah bulan dimana para pengguna tombak akan menegakkan tombak mereka di tiga hari pertama bulan pendahan berlangsung. Merayakan hari yang sesuai namanya. Pendahan. Yang juga berarti tombak.

Tapi Bulan Pendahan di Hayden tahun ini, tidak akan berupa perayaan dimana para ksatria menegakkan tombak dan memakan makanan juga minuman jamuan yang dipersembahkan pada mereka.

Melainkan hari dimana semua kehancuran Hayden dan kematian semua penduduk Hayden akan dimulai

Tapi Valias akan mencegah itu. Dengan semua pengetahuan yang dia punya. Dia akan menyelamatkan semua orang yang seharusnya mati.

Termasuk keluarga Valias Bardev. Dan juga Kei. "Aku berterima kasih untuk peminjaman kekuatan kaummu, Tuan."

Rama menggeleng. "Tolong panggil saya Rama, Tuan Valias."

Jika apa yang Valias katakan benar, bahkan jika dia tidak menuruti ucapan pemuda itu pun, kaumnya akan jatuh ke tangan kerajaan lain. Dan dia berfirasat takdir kaumnya tidak akan lebih baik dari menjadi senjata perang kerajaan pemuda berambut merah itu.

Untuk sekarang Rama hanya ingin menuruti ucapan remaja itu. Berharap laki-laki itu mengatakan hal yang sebenarnya, dan bisa menjauhkan kaumnya dari takdir buruk.

Valias merasa dia sudah cukup menyampaikan apa yang ingin dia sampaikan. Dia hanya ingin para elf itu melihat sosok Frey. Mengakui pemuda itu sebagai pemimpin dan pemberi perintah untuk mereka. Valias juga hanya ingin para elf itu mempersiapkan diri mereka sebaik mungkin.

Sisanya, Valias akan mengumpulkan lebih banyak kekuatan lagi.

Karena yang akan menjadi senjata utama Hayden adalah remaja itu.

Valias mengangguk pada dirinya sendiri. Merasa cukup pada apa yang sudah dia sampaikan. "Sekarang sudah malam. Saatnya kalian untuk beristirahat. Anda juga, Yang Mulia Frey."

Valias juga sudah melihat penampilan calon raja Hayden itu. Berantakan dan kelelahan. Dia berhak mendapatkan waktu istirahatnya.

"A- Ah."

Frey tidak menyangka Valias hanya akan meminta hal seperti itu. Frey pikir Valias akan mengucapkan lebih banyak hal. Bukankah mereka akan membutuhkan lebih banyak kekuatan untuk perang nanti? Apakah hanya dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin saja sudah cukup?

Tapi di posisi lain Frey juga sudah lelah. Hari ini cukup berat untuknya. Mengurus dokumen, juga menemui beberapa penasihat. Mendengarkan rentetan kata-kata mereka. Juga mempersiapkan dirinya untuk melaksanakan penjabatan dirinya menjadi raja Hayden.

Dia merasa pertemuan malam ini sudah cukup, dan ini waktunya untuk semua orang beristirahat.

Termasuk Valias. Frey bisa melihat bahwa laki-laki itu sudah sempat tertidur sebelum datang menemuinya. Dia bisa melihat gurat lelah dari wajah remaja itu. Valias harus istirahat.

Ruangan besar itu sedang hening. Ketika Valias menggerakkan tangannya ke arah hidungnya. Menarik perhatian Frey dan juga keempat elf yang ada di depannya.

"Tuan Valias?"

Valias menutup hidungnya dengan satu tangan. Menampung aliran darah yang keluar dari sana.

"Tuan Valias!" Rama berdiri dari duduknya. Kedua elf tinggi itu juga terlihat syok dan tidak lagi memiliki postur tegap mereka.

"Tuan Valias!" Tangan Pralta yang sebelumnya tersembunyi di balik jubah akhirnya keluar. Menunjukkan sebuah tas selempang yang ada di genggamannya. Tas selempang yang berisi sebuah bunga berwarna lila.

Pralta mengambil bunga itu dan meletakkannya di kedua telapak tangannya. Memejamkan mata, mulutnya mengkomat-kamitkan sesuatu. Hingga akhirnya bunga itu menjadi bercahaya. Bersinar mengeluarkan pendar yang sewarna dengan kelopaknya.

Dia kemudian menghampiri Valias dengan langkah cepat dan menyodorkan bunga bercahaya itu pada sang pemuda yang tengah menerima perhatian dari seorang pelayan tua dan juga pemuda berambut perak yang menempelkan sapu tangannya pada bawah hidung Valias. Memaksa laki-laki itu untuk menyingkirkan tangannya yang sudah basah oleh darah.

Perhatian Alister tersangkut pada bunga berwarna violet yang ada di tangan elf perempuan itu. Itu adalah bunga yang sebelumnya menjadi kecurigaan Valias dan dirinya. Bunga yang tidak seharusnya ada di wilayah Bardev tapi justru tiba-tiba tersebar di kota yang sebelumnya dikunjungi oleh Valias dan kedua adiknya. Kenapa bunga itu ada di tangan elf perempuan itu?

"Tuan Valias. Hirup aroma bunga ini."

Elf itu berkata. Membuat Valias yang tadinya menunduk dengan pandangan mata lelah mendorong dirinya untuk mendongak demi bisa melihat wajah perempuan itu.

Sepertinya Pralta bisa tau apa yang sedang dirasakan Valias. Pemuda itu pusing. Dan konsentrasinya terganggu. Pralta lah yang harus mendekatkan bunga itu pada hidung Valias.

Frey merasa bingung tapi dia memilih untuk mengikuti ucapan elf itu. Dia sedikit menyingkirkan sapu tangan yang menutupi hidung Valias dan membiarkan sang elf perempuan mendekatkan sebuah bunga aneh kepada Valias.

Valias tidak tahu lagi apa yang terjadi padanya. Dia hanya mimisan tiba-tiba dan mulai merasa pusing karena sudah kehilangan terlalu banyak darah. Dia hanya bisa menenangkan dirinya. Dan bernafas semampunya. Juga menghirup aroma bunga itu di saat yang bersamaan.

Aroma harumnya sedikit menenangkan Valias. Dia mampu mengendalikan kekalutan di dalam kepalanya dengan lebih mudah. Membiarkan aroma bunga itu menuntunnya dalam menemukan ketenangan diri.

Perlahan tapi pasti. Mimisan pada hidung Valias berhenti. Dan laki-laki itu tidak lagi merasa begitu pusing.

Dia merasa membaik dan mulai memandang Pralta yang menatapnya. "Nona? Bunga apa ini?"

Pralta terlihat gugup. "I- Ini,"

Dia merasa bingung bagaimana dia harus menjelaskan. Nyatanya bunga itu adalah hal yang tidak seharusnya dia pertunjukkan pada siapapun.

Itu adalah bunga yang tumbuh di tempat tinggal kaumnya. Bangsa elf. Bunga yang akan bersinar dan memiliki kemampuan menyembuhkan kelelahan juga rasa pusing jika sudah dibacakan mantra.

Pralta memiliki kekhawatiran sejak pertemuan terakhirnya dengan Valias.

Dia ingat bagaimana seorang remaja berambut perak berkata bahwa sosok penerima berkah dewa itu memiliki penyakit dan memiliki kemungkinan mati.

Pralta sangat takut hal itu akan terjadi.

Baginya, sosok Valias adalah sosok yang harus dilindungi, dan tidak boleh terluka sama sekali.

Pralta selalu ingin memberikan bunga itu pada Valias. Tapi, kemudian dia akhirnya hanya mengunjungi kota di wilayah Bardev dan menanam beberapa bunga kaumnya selama dua hari terakhir.

Berharap bunga itu bisa berguna untuk penduduk di bawah kepemimpinan Valias meski tidak dibacakan mantra. Menggunakan sihir tabir tembus pandang, menanam bunga di beberapa pot tanaman tanpa diketahui oleh siapapun.

Sekarang dia ada di sini. Berhadapan langsung dengan Valias. Sudah berencana untuk memberikan sebuah bunga yang sudah dibacakan mantra untuk pemuda itu tanpa sepengetahuan Rama.

Siapa yang menyangka Valias akan mengundang kepanikan semua orang di pertemuan itu lebih dulu.

"Itu, adalah bunga yang hanya tumbuh di tempat tinggal kami, Tuan Valias." Rama menggantikan putrinya menjawab. "Keberadaan bunga itu tidak seharusnya dibeberkan, tapi," Rama tersenyum pahit. "Saya rasa kami tidak punya pilihan lain."

Pralta menunduk sedih. Masih dengan bunga bercahaya di tangannya. "Maaf, ayah."

Valias menangkap larangan dari ucapan itu. Jadi Valias tidak akan menyebut tentang fakta bahwa ada kemungkinan seorang elf melakukan hal yang tidak seharusnya dia lakukan dengan menanam bunga-bunga itu di kota wilayah Bardev. "Boleh aku tau kegunaan bunga ini?"

"Bunga itu adalah bunga biasa, tuan muda. Tidak memiliki harum, dan tidak berasa. Tapi ketika sudah diberi mantra," Rama menjeda. "Bunga itu bisa menjadi obat penenang. Aromanya membuat yang menghirupnya mendapatkan ketenangan dan merasa lebih baik dalam penyakit yang sedang dia miliki."

"Mimisan tuan Valias seperti tadi bisa dihentikan hanya dengan menghirup aroma bunga Xil ini." Elf pria itu melanjutkan.

Valias cukup terperangah panda penjelasan itu.

Aku baru saja menghirup tumbuhan obat penenang?

Dia merasa itulah yang baru saja terjadi padanya.

Valias perlahan memperoleh senyumnya. "Terimakasih Nona Pralta. Berkatmu aku merasa lebih baik."

Pralta tidak menyangka itu jadi dia sedikit terperanjat.

"Ya. Tidak masalah." Keberaniannya untuk menjawab akhirnya terkumpul.

Dia bukanlah orang yang perhatian pada orang lain. Dia tidak pandai menunjukkan kepedulian pada seseorang.

"Bunga Xil yang sudah kumantrai ini, aku harap Tuan Valias menerimanya."

Pralta sekali lagi menyodorkan bunga itu pada Valias. Valias tidak menyangka Pralta akan mengatakan itu padanya. Sebelumnya elf perempuan itu menunjukkan sikap tidak suka padanya.

Hanya dalam dua hari, sikapnya langsung berubah. Valias merasa bertanya-tanya.

Valias tersenyum tipis. "Aku akan menerimanya. Terimakasih nona."

Pralta merapatkan bibirnya malu. Mengangguk kemudian. Menyerahkan bunga di tangannya pada Alister yang langsung menerimanya dengan penuh antusias.

Pelayan tua itu untuk pertama kalinya melihat sebuah bunga yang bercahaya.

Benar-benar hal baru.

Alister bertanya-tanya hal baru apa lagi yang akan dia lihat di masa depan.

"Kami khawatir mengganggu tuan Valias. Jadi saya pikir ini waktunya kami pergi," ucap Rama.

Valias mengangguk. "Ya. Terimakasih sudah datang."

Keempat elf itu berdiri di atas pola lantai ruangan Frey dan menghilang dari hadapan ketiga orang yang menyaksikan.

"Anda harus beristirahat, Yang Mulia."

Frey yang sedang melamun tersentak mendengar suara Valias.

Kemudian menggerutu. "Kau lah yang seharusnya melakukan itu. Lihatlah dirimu. Lihat pakaianmu. Sebenarnya apa yang salah denganmu?"

Valias menghela nafas.

Bukan keinginanku juga.

"Kalau begitu maka ini waktunya saya pamit."

Frey memandangi Valias sebentar. Menyangkutkan matanya pada wajah pemuda itu. Menyadari riasan yang sebelumnya tidak dia sadari dikenakan oleh si remaja.

Dia pasti terlihat lebih buruk dari ini.

Riasan memperbaiki penampilannya. Tapi di balik riasan itu, pasti ada kulit pucat yang siap menyapa.

Frey mengutuk tanpa suara. "Tinggallah di sini untuk malam ini. Aku tidak bisa memanggil mage untuk mengirimmu."

Valias mengangguk. Sudah bisa menebak itulah yang akan terjadi dari awal.

04/06/2022

Measly033