webnovel

Chapter 37 - Berjalan Di Udara (2)

"Kakak! Lihat itu!" Dina berseru seraya menunjuk sebuah air mancur dari batu berwarna putih.

"Hm." Valias membiarkan Dina menarik tangannya ke arah tempat yang anak itu tunjuk. Dina melepaskan tangannya dari tangan Valias dan memandangi dasar air kolam yang dipenuhi koin. Mulai dari koin tembaga hingga emas. "Kenapa ada koin di dalam sana?" Dina menoleh ke arah Valias yang berdiri di belakangnya.

"Koin?" Valias melekatkan matanya pada dasar kolam dan akhirnya mengerti maksud anak itu. "Mungkin orang-orang membuat permohonan."

"Orang-orang meletakkan koin ke dasar air mancur untuk membuat permohonan?"

"Mereka melemparnya." Danial menimpali. "Orang-orang percaya jika mereka melempar koin tidak peduli berapa pun nilainya, dewa akan mengabulkan harapan mereka."

"Sungguh?" Mata Dina melebar lantas berbinar. "Aku mau! Aku mau membuat harapan!"

Lika merogoh kantung uang dan memberikan satu koin perak pada Dina.

"Bagaimana aku melakukannya?" Dina mendongak pada kedua kakaknya.

"Kau hanya perlu melemparnya." jawab Danial menjawab. Merasa hal yang hendak dilakukan Dina sangatlah tidak berguna.

"Begini?" Dina mengulurkan tangannya ke arah kolam. Menunggu kepastian dari Danial.

"Iya." Danial sedikit mengerutkan keningnya risih. Dina mengayunkan tangannya dan koin pun terlempar. Dia kemudian mengatupkan kedua tangannya. Mendoakan sesuatu di dalam hati.

Valias menontoni Dina sebentar sebelum mengalihkan perhatiannya ke arah sebuah menara. Tiba-tiba merasakan sesuatu menutupi kepalanya.

"Apakah ada sesuatu yang salah, tuan muda?"

Alister muncul dengan senyum di wajahnya. Dari samping memegang payung di tangannya. Menutupi tubuh Valias dari cahaya matahari.

"Hm." Valias merespon pendek.

"Kota di wilayah kita adalah kota yang terkenal dengan minuman halia. Ada satu tempat minum yang paling terkenal di kerajaan Hayden kita. Apakah tuan muda tertarik untuk berkunjung?"

Alis Valias bergerak naik sedikit.

Halia?

"Benar." Danial ikut bersuara pelan. "Kakak belum pernah mencobanya."

"Kita akan pergi ke suatu tempat? Kemana?" tanya Dina antusias.

Valias terdiam melihat antusiasme di wajah Dina dan Danial. Meski Danial terlihat berwajah datar Valias bisa merasakan keinginan anak itu untuk Valias pergi ke tempat yang disebut Alister.

Valias tersenyum tipis. "Haruskah kita ke sana?"

"Hanya jika kakak mau." "Ayo! Ayo kita pergi! Aku belum pernah kemanapun! Ayo kita ke sana!" keduanya menjawab bersamaan.

Valias mengangguk. "Baiklah. Ayo ke sana."

Dina tersenyum lebar dan membiarkan Lika membersihkan tangannya sebelum menggenggam tangan Valias.

"Kemana kita harus pergi?"

"Ke belakang menara itu, tuan muda." Alister menjawab dengan senyum ramah tamahnya. Menuntun Valias ke arah tempat minum dengan Danial dan Lika mengikuti dari belakang.

Tempat minum yang disebut Alister adalah sebuah bangunan tingkat dua dengan aroma familiar yang bisa Valias cium 5 meter dari pintu masuk. Sebuah aroma jahe. Bagian luarnya tidak begitu ramai namun ketika masuk dia bisa melihat puluhan orang memenuhi meja dan kursi di dalam ruangan. Semua saling bercengkerama dengan satu sama lain namun kemudian satu persatu menyadari kehadiran keluarga bangsawan di tempat mereka tengah berada. Terutama Valias.

"Tuan muda Valias." Semua orang satu persatu menundukkan tubuh mereka ke arah pintu di mana Valias berdiri bersama Alister dan ketiga orang lainnya. Membuat Valias terkejut dan mengerutkan keningnya bingung.

"Tuan muda. Mereka semua tau tentang apa yang terjadi di istana. Mereka berterimakasih pada Anda sebagai penyelamat dari yang mulia Frey." Alister memasang senyum yang membuat kedua matanya menyipit.

"Semua orang sudah memperhatikan kakak sejak kita keluar dari kereta." bicara Danial pelan. "Rambut kakak terlihat sangat mencolok."

"Sungguh? Aku tidak sadar." Mata Dina melebar takjub. Mendongak ke arah Valias yang tengah berkerut kening.

"Tuan muda tidak perlu melakukan apapun. Kita bisa pergi ke atas. Lantai atas adalah lantai untuk bangsawan seperti tuan muda dan tuan muda Danial juga nona muda Dina." Alister menyeringai.

Danial menyadari ketidaknyamanan Valias dan membawa tubuhnya berdiri di depan.

"Ayo kak." ucapnya.

Dina mulai menarik tangan Valias. "Kakak ayo!" Dirinya sudah tidak sabar mencoba minuman bernama Halia yang belum pernah dia dengar namun mengingatkannya pada instruktur dansanya itu.

"Oh." Valias dengan kikuk menuruti tarikan tangan Dina dan membawa langkahnya melewati barisan puluhan orang yang membungkukkan tubuh mereka ke arahnya.

Kelompok keluarga bangsawan itu akhirnya tiba di lantai dua yang kosong dan terlihat lebih mewah daripada lantai satu. Pintu balkon yang terbuka memberikan pemandangan air mancur tempat mereka tadi berada. Dari atas permukaan airnya terlihat berkilau oleh cahaya di langit.

"Tuan muda. Silahkan duduk." Alister bersuara. Hal itu membuat perhatian Valias teralihkan. Lagi-lagi Dina menarik tangan Valias hingga pemuda itu duduk di kursi yang sudah disiapkan Alister. Dina duduk di kursi yang ditarik oleh Lika sedangkan Danial menarik kursinya sendiri.

"Apakah ada menu khusus yang tuan muda inginkan?"

Alis Valias terangkat mendengar pertanyaan Alister. Dia menggeleng. "Tidak."

"Saya akan kembali sebentar lagi." Alister membungkuk dan pergi ke lantai bawah.

Danial menyadari kakaknya yang diam melamun. "Kakak. Kakak tidak apa-apa?"

"Apa? Apakah ada sesuatu? Kakak lelah?" tanya Dina khawatir.

Valias terdiam.

Dia hanya masih terkejut dengan yang terjadi barusan. Semua orang membungkukkan tubuh mereka ke arahnya. Dia tidak merasa itu adalah hal yang benar.

Kenapa mereka melakukan itu?

Alister berkata bahwa itu karena dirinya yang sudah menyelamatkan Frey. Tapi bagi Valias, itu bukanlah hal yang seharusnya terjadi. Dia merasa hal tadi adalah sebuah kesalahan. Tidak seharusnya orang-orang itu membungkuk kepadanya.

"Kakak?"

Suara Dina menyadarkan Valias. Dia bisa melihat ekspresi khawatir anak itu. Dia menoleh ke samping dan melihat Danial memiliki ekspresi serupa.

"Ah," Valias tersenyum kecil. "Tidak apa-apa. Maaf membuat kalian khawatir."

"Kalau kakak merasa tidak nyaman dengan orang-orang tadi kita bisa meminta ayah untuk membuat pengumuman pada orang-orang untuk tidak lagi melakukan hal seperti itu." Danial berujar datar. Membuat Valias terperangah.

"Apa? Tidak. Kita tidak perlu melakukan itu." Itu adalah hal yang tidak perlu. Valias tidak merasa itu dibutuhkan sama sekali. Dia hanya terkejut. Merasa itu bukanlah hal yang seharusnya terjadi.

"Tidak apa-apa. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku, Danial." Valias memberi senyum lembut.

Hal itu membuat Danial merasa wajahnya memanas. Dia diam-diam buru-buru menunduk. "Hm."

"Kakak. Apakah ada tempat yang akan kita kunjungi lagi?" tanya Dina.

"Apakah ada tempat lain yang ingin kau kunjungi?"

"Kita sudah mendatangi semua tempat yang aku mau." Dina memainkan kedua jemari tangannya. Sejak mereka keluar dari kereta semua tempat yang mereka kunjungi adalah tempat yang dipilih Dina. Kebanyakan adalah kios pernak-pernik yang mampu menarik perhatian anak-anak sepertinya. Air mancur tadi adalah hal terakhir yang menarik perhatiannya.

Valias mengangguk mengiyakan.

Dia berniat memastikan beberapa hal. Dia sudah melakukan itu di sepanjang perjalanannya bersama Dina dan Danial.

Masih ada satu hal yang harus dia pastikan. Tapi hal itu tidak bisa dia lakukan ketika bersama kedua anak itu.

Yang ini harus aku kunjungi sendirian.

Alis Valias terangkat naik ketika dirinya mencium aroma jahe yang semakin menguat. Alister muncul dari tangga dengan dua orang pelayan membawa nampan. Di atas kedua nampan itu adalah sebuah cerek besar, beberapa cangkir, dan sebuah mangkuk rajutan kayu yang di dalamnya diletakkan kain putih.

Benda-benda di atas nampan disajikan di atas meja. Yang ada di dalam mangkuk kayu adalah tumpukan kue kering yang sangat menggugah selera siapapun yang melihatnya. Kue kering jahe dengan potongan dadu cokelat yang meleleh.

"Wah!" Dina berseru penuh antusias. "Apakah aku boleh memakannya??"

Mendapat pertanyaan itu Valias mengangkat alisnya lantas tertawa kecil. "Tentu saja, Dina. Makanlah."

Dina tersenyum lebar dan mengambil kue kering sebelum memakannya dengan kedua tangan. Memakannya sedikit demi sedikit bagai tupai menggerogoti makanannya. Danial terlihat tidak peduli tapi diam-diam memiliki rasa ingin tau tinggi yang sama terhadap kue dengan coklat itu. Tangannya meraih biskuit yang ukurannya sebesar telapak tangan Dina dan membawanya ke dalam mulutnya. Diam-diam merasa senang dengan rasa biskuit jahe dan sensasi manis cokelat yang meleleh di mulutnya. Danial makan dengan lebih cepat dan hendak mengambil biskuit yang baru sebelum menyadari sesuatu.

"Kakak tidak mengambil?"

Menyadari pertanyaan itu Valias menggeleng pelan. Memberi senyum kecil. "Kalian saja. Aku hanya akan meminum teh jahe ini."

"Jahe?" Dina menaikkan kedua alisnya.

Valias terkekeh. "Maksudku Halia."

Danial memandangi Valias bingung. "....Apakah ada yang salah?"

"Apa? Tidak."

Valias hanya tidak begitu suka makanan manis.

"Kalian suka?" tanyanya.

Dina dan Danial dengan gerakan pelan mengangguk. Valias tersenyum. "Makanlah lebih banyak."

Dina mengintip Valias ragu-ragu. "....Kakak sungguh tidak akan makan?"

Valias mengangguk. Hal itu membuat Dina dan Danial merasakan ketidaknyamanan di hati mereka. Tapi di saat yang bersamaan diam-diam mereka memang menginginkan jumlah kue kering yang lebih banyak. Hanya ada empat kue kering. Jika Valias tidak memakannya makan mereka berdua bisa mendapatkan porsi lebih.

Kedua anak itu makan dalam diam. Keduanya sama-sama menikmati makanan milik mereka sendiri. Valias menontoni mereka dan terhibur. Begitu mereka selesai memakan makanan dan meminum minuman mereka, mereka keluar dari tempat minum. Kembali melewati keramaian orang di lantai satu namun kali ini mereka hanya diam di tempat mereka dengan kepala tertunduk. Valias merasa lebih lega.

Dina dan Danial naik ke dalam kereta. Dibuat bingung dengan pintu yang bergerak ditutup oleh Alister meskipun kakak mereka belum ikut naik.

"Kakak?" Danial memajukan tubuh untuk bisa melihat Valias yang berdiri di luar melalui jendela. Merasa dirinya menegang ketika menyadari kakaknya yang tidak akan pulang bersamanya.

"Maaf, Danial. Aku masih punya urusan."

Valias memberi senyum kecil.

Dirinya sudah berkata pada Alister. Bahwa ada tempat yang ingin dirinya kunjungi. Alister sudah menyiapkan kereta kuda lain yang sejak awal mengikuti di belakang kereta kuda yang Valias naiki bersama kedua adiknya.

Kali ini Valias akan naik ke kereta yang berbeda. "Kakak tidak ikut bersama kami?" Dina bertanya dengan mata yang melebar. Mulutnya terbuka kaku ketika melihat Valias tersenyum dan menggeleng. "Kenapa?"

"Ada yang mau aku kunjungi." Valias menjawab.

"Kenapa kita tidak pergi bersama?" Dina bertanya lagi. Lebih waswas kali ini.

Valias tersenyum. "Jalan-jalannya cukup sampai di sini dulu. Aku harus pergi ke tempat lain. Aku akan pulang nanti sore."

Dina dan Danial masih memiliki raut wajah yang serupa namun Valias sudah lebih dulu membalikkan tubuhnya. Sebuah kereta kuda menghampiri Valias dan kakak mereka masuk ke dalamnya begitu pintu dibukakan oleh Alister. Valias memberikan lambaian dari kaca jendela. Perlahan menghilang dari penglihatan Dina karena kereta yang ditumpanginya melaju lebih dulu.

Valias duduk di bangkunya. Menengok ke arah langit melalui jendela.

"Tuan muda bertingkah mencurigakan sejak kita pertama sampai di kota."

Alister yang duduk di depan Valias bersuara. Memasang senyum ramah bercampur seringai.

Hal itu membuat Valias terperangah.

Mencurigakan? Mencurigakan bagaimana?

Dia tidak tahu bahwa Alister sudah mengamatinya sejak awal. Melihat tuan mudanya menetapkan pandangannya pada berbagai hal yang Alister perlahan bisa sadari merupakan benda yang sama.

Sebuah bunga.

Bunga yang kemudian Alister sadari bukanlah bunga yang biasanya ada di wilayah Bardev.

Hal itu patut dicurigai.

Apa yang dia tau..

Alister memperhatikan tuannya dengan mata menilai. Namun Valias tidak menyadari itu. "Kita bisa pergi sekarang."

"Kemana?"

"Bawa aku ke tempat penyerangan bandit terjadi."

Alister menaikkan sebelah alisnya. Tidak menyangka hal ini sama sekali. "Anda tahu soal itu?"

Valias mengarahkan pandangannya pada jendela dan mengangguk pelan.

Mungkin aku lebih tau dari yang aku kira.

Hal itu akan berkaitan dengan alasan kenapa nama Bardev tidak disebut di cerita yang Valias baca.

Valias berencana untuk mencari tahu soal itu.

04/06/2022

Measly033