webnovel

Chapter 31 - Percaya (1)

Radja memberi tahu Valias bahwa dia akan menghajar orang yang bernama Baran itu dengan senyum lebar. Merasa tujuannya untuk menyampaikan permintaan pada kelompok Kei sudah selesai, Valias memberitahu mereka untuk mendatangi istana—ruangan Frey waktu itu—kapanpun mereka mau, kemudian hendak merobek perkamen yang diberikan Frey sebelum dicegah oleh Dylan.

"Mantra di kertas ini bisa membawa berapapun orang yang ikut merobeknya. Aku harus ikut merobeknya denganmu untuk bisa kembali."

Valias merutuki dirinya yang tidak tahu hal itu dan meminta maaf pada Dylan. Bagaimana Dylan akan pulang jika Valias meninggalkannya di sana? Valias khawatir kelompok Kei tidak cukup baik hati untuk mengorbankan tenaga mereka demi Dylan.

Oza juga menertawakan kebodohan Valias sedangkan teman-teman Kei hanya menyimak tontonan di depan mereka.

Dylan dan Valias memegang perkamen di kedua sisi dan merobeknya bersama. Cahaya mengelilingi mereka berdua. Detik selanjutnya mereka sudah berada di dalam ruangan Frey.

Frey duduk di kursinya seperti biasa. Valias melihat tumpukan kertas di atas meja sebelumnya sudah hanya tersisa satu tumpukan pendek. Rupa Frey sudah berantakan dengan pancaran mata lelah.

"Kalian kembali?" Dia berujar dengan suara yang seolah bergetar.

"Ya, Yang Mulia." Valias menjawab sedangkan Dylan hanya mengangguk.

Frey merapihkan rambutnya. "Di mana Wistar?"

"Dia menginap di rumah."

Frey mengangguk dua kali tanpa mengangkat wajahnya. "Kalian berdua bisa menginap di sini. Aku rasa sudah terlalu malam untuk memanggil mage. Kau bisa ke kamar waktu itu. Dylan. Aku akan mengantarmu ke kamar lain. Aku juga sudah mau tidur."

Frey bangun dari kursinya seraya memijat ruang di antara kedua matanya. Valias dan Dylan menyetujui ucapan Frey dan tidur di ruangan masing-masing.

Keesokan harinya, pelayan Frey, Kalim, mengetuk pintu kamar Valias.

"Tuan Muda, Yang Mulia Frey memanggil Anda ke ruangannya."

Valias mengiyakan dan mendatangi ruangan kerja Frey bersama pelayan itu. Valias bangun lebih siang dari biasanya. Dia menduga itu karena dirinya yang juga lebih lelah dari biasanya setelah dua perjalanan kemarin.

Dia baru saja keluar dari kamar mandi setelah membersihkan wajah dan mulutnya ketika Kalim mengetuk pintu kamarnya.

Di dalam ruangan sudah ada Frey, Dylan dan Wistar dengan cangkir di tangan mereka.

"Pagi Valias!" Wistar ceria seperti biasa. Valias menduga ada mage di kediaman Adelard, atau Wistar sudah ke sini dengan kereta kuda sejak awal pagi.

Kalim mempersilahkan Valias duduk di sebelah Dylan dan juga mempersilahkannya mengambil cangkir berisi teh dari nampan di atas meja.

"Valias! Kenapa dengan lehermu?!" Wistar berseru. Kedua orang lainnya ikut memfokuskan mata mereka pada leher pemuda itu.

"Kau luka? Kapan?" Frey tidak repot-repot melupakan teh yang tersisa sedikit di cangkirnya. Tidak terkejut dengan Valias yang terluka.

"Yah.." Valias merespon pelan seraya meraih cengkir tehnya. Frey berpikir mungkin dirinya tadi malam terlalu lelah untuk menyadari perban yang terbalut di leher pucat Valias.

"Valias. Kau masih menyimpan robekan gulungan yang kuberikan?"

Valias mengangguk. Dengan cuek dia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan kertas yang sudah hanya setengah itu pada Frey. Frey mengambilnya dari tangan Valias dan menelitinya sebelum menyeringai. Valias tidak mengerti kenapa pemuda berambut perak itu merubah ekspresinya tiba-tiba tapi tidak berkutik.

Tanpa Valias sadari Frey memberikan kedipan pada Dylan yang dibalas dengan anggukan kecil. Frey mengangguk-angguk puas seraya memasukkan robekan itu ke dalam kantung bajunya. "Jadi? Apa yang kau bicarakan dengan mereka?"

Frey memulai topik yang akan menjadi pembicaraan mereka pagi ini. Kalim sudah keluar dari ruangan setelah diminta oleh Frey sebelumnya.

"Aku meminta bantuan mereka untuk mencari bukti untuk bangsawan Baran."

Frey membulatkan matanya.

"...Kau, meminta mereka menjadi mata-mata Hayden?"

Valias mengangguk. "Kita kekurangan orang yang bisa diandalkan, Yang Mulia. Kita bisa meminta bantuan Kei dan teman temannya. Anda bisa menyiapkan bayaran untuk mereka."

Frey tahu Valias akan bicara pada saudara tirinya, tapi tidak menduga anak itu untuk meminta Kei dan teman-temannya untuk membantu dirinya menyingkirkan faksi-faksi di Hayden.

Frey tidak menduga Valias benar-benar akan membantunya dalam memerintah sebagai raja Hayden.

Frey cukup, tersentuh.

Untuk pertama kalinya, dia memiliki orang yang bisa dia andalkan selain Kalim dan Uvan.

Wistar sudah cukup pintar untuk membantunya di beberapa hal. Tapi Wistar masih terlalu muda dan terlalu mencolok untuk mengerjakan hal-hal seperti mengintai. Kalim sendiri, sebagai seorang pelayan yang sangat bisa diandalkan dan dapat dipercaya oleh Frey, pelayannya itu tidaklah lebih dari seorang pelayan dan tidak bisa membantu tuannya banyak.

Frey teringat bagaimana Valias yang berdarah dan tumbang dan semakin khawatir dengan Valias yang sekarat.

Dia tidak mau kehilangan satu-satunya orang yang bisa menjadi kawannya.

Frey kembali memfokuskan matanya pada perban di leher Valias.

"Lukamu, kau sudah tidak apa-apa?" Frey akhirnya bertanya.

Valias terheran dengan bagaimana Frey yang awalnya cuek justru kembali mengungkit luka di lehernya.

"Tidak apa-apa." Valias menjawab pendek. Kenyataannya lukanya sangat kecil dan pasti sudah menutup sekarang.

"Aku akan tetap memanggil tabib untukmu. Aku juga akan meminta Kalim untuk menyiapkan ramuan dan obat-obatan untukmu. Kau sebaiknya meminum semuanya setiap hari."

Valias mengernyit menonton bagaimana Frey mendatangi mejanya dan mengusap bola kaca kemarin.

"Ya, Yang Mulia." Kalim membuka pintu segera. Tampaknya dia berdiri di depan ruangan sejak tadi.

"Siapkan ramuan dan obat-obatan untuk daya tahan tubuh untuk Valias. Siapkan mereka dalam kualitas terbaik."

"Saya mengerti." Kalim langsung pergi menutup pintu.

Sedangkan Valias masih dibuat terheran-heran dengan perubahan Frey. Frey kembali duduk di depannya. Menatapnya tanpa ekspresi.

Valias bahkan melupakan teh di cangkir yang ada di tangannya.

"Kakak! Kakak yang terbaik! Kakak benar. Kita harus membuat Valias berumur panjang!"

Wistar berseru. Valias semakin mengerutkan dahi. Tapi baiklah, dia tidak akan berkutik. Biarkan semua orang melakukan apa yang mereka mau.

"Yang Mulia–"

"Panggil aku kakak."

"....Ya?" Valias terdiam. Wistar dan Dylan sama-sama menoleh pada Frey.

"Panggil aku kakak."

Valias benar-benar dibuat bingung dengan orang yang lebih muda dua tahun darinya itu.

"...Kakak?"

"Benar. Mulai sekarang jangan panggil aku Yang Mulia."

"...Kalau begitu Putra-"

"Putra Mahkota juga tidak boleh. Kau tidak boleh memanggilku apapun selain kakak."

...Anak ini kenapa?

Dahi Valias begitu berkerut. Dia tidak pernah seheran itu dalam hidupnya. Bahkan ketika dia mulai mendiami tubuh Valias pun dia tidak seheran ini.

"Panggil aku kakak. Atau aku akan menceritakan semua yang sudah kau lakukan pada Count Bardev."

"Ya?"

Valias tidak mau keluarga Valias yang asli mengetahui apa yang dia lakukan. Rencana awalnya adalah dia membantu Frey Nardeen diam-diam. Tapi kemudian Wistar dan Dylan ikut. Dia tidak mau Hadden tau dan dibuat mengkhawatirkan anaknya. Itu akan menghambat pergerakan Valias.

"Pfft. Kakak! Kakak mau Valias memanggilmu kakak? Kalau begitu aku dan Valias akan menjadi saudara? Itu bagus! Valias. Turuti saja apa mau Kak Frey. Dia pasti senang kalau kau memanggilnya kakak. Seperti kau memanggilku Wissy." Wistar tersenyum lebar.

Valias merasa konyol karena nyatanya dialah yang lebih tua dari Frey. Tapi, tidak masalah. Memanggil seseorang yang lebih muda darimu kakak tidak akan menyakitimu.

"...Oke. Kakak."

Frey akhirnya menyeringai. "Bagus. Sekarang, ayo kita bahas topik utama kita lagi."

Valias menertawakan kekonyolan Frey dalam hati. "Teman-teman Kei akan mendatangi ruangan ini ketika mereka mau. Mereka memiliki mage dan bisa berpindah kesini kapanpun mereka mau. Yang Mu-"

"Kakak."

Valias tersenyum. "Benar. Kakak harus bersiap untuk didatangi mereka kapanpun. Beritahu aku jika kakak membutuhkanku kapan saja. Aku akan membantumu."

Valias menghabiskan teh di cangkirnya dan meletakkan cangkir itu kembali ke atas nampan.

Frey dibuat tercengang dengan betapa perhatiannya anak seumuran adiknya itu pada dirinya. Frey berpikir apakah ada yang anak berambut merah itu harapkan darinya.

Tapi.. bahkan jika iya pun, Frey rasa dirinya tidak akan keberatan untuk mengabulkan segala permintaan Valias.

Merasa sudah tidak ada lagi yang harus mereka bicarakan, Dylan dan Valias memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Sekali lagi Wistar mengantar mereka menemui mage. Valias melihat dirinya sudah berada di gerbang kediaman Bardev.

"T-Tuan muda? Anda habis pergi?"

Kedua penjaga gerbang terkejut dengan kemunculan Valias tiba-tiba. Kemarin Valias dipindahkan oleh Mareen di lapangan latihan. Dan dua penjaga itu tidak tahu kalau Valias meninggalkan mansion.

"Ya." Valias memberi senyum ramah.

"Tuan Muda. Leher anda.." Penjaga satunya bersuara kikuk.

"Ah." Valias baru teringat dengan perban di lehernya dan langsung melepas perban itu.

"Apakah kami perlu memanggilkan tabib?"

"Tidak. Tidak perlu."

"Kalau begitu saya akan memberi tahu Count–"

"Tidak. Jangan beritahu siapapun. Ini rahasia."

Valias dengan acuh meraba lehernya dan merasakan segaris kulit kering di sana. Kedua penjaga memandang Valias dengan ekspresi aneh.

Mereka sudah mendengar bagaimana Valias yang melindungi putra mahkota Frey dan kehilangan kesadaran selama seminggu. Mereka juga melihat bagaimana tuan muda yang selama ini tidak pernah mereka lihat dengan jelas karena orang tersebut selalu berada di dalam mansion dan tidak banyak menampakkan diri akhirnya memunculkan sosoknya untuk pertama kali. Namun pemandangan yang mereka lihat adalah bagaimana tuan muda berambut merah mereka terluka namun tidak ingin mengkhawatirkan keluarganya.

Kedua penjaga gerbang itu memandang Valias dengan wajah sedih. Valias tidak menyadari itu dan melangkah memasuki bangunan mansion.

Valias hendak menekan kenop pintu masuk besar bangunan ketika suara seruan dua orang yang berbeda membuatnya berhenti.

"Apa?! Kau tidak boleh masuk!"

"Berhenti!!"

Valias merasakan sensasi dingin menyerang punggungnya.

Ada yang memaksa masuk?

Dia membalikkan tubuh dan keningnya langsung berkerut.

04/06/2022

Measly033