webnovel

Chapter 23 - Keharusan (2)

"Ayahmu? Siapa ayahmu sampai berani menyusup istana seperti itu?"

Anak laki-laki yang memberikan jubahnya pada Valias ikut bicara. Yang sebenarnya terdengar munafik karena dia sendiri datang bersama teman-temannya menyusup ke dalam istana. Bahkan berniatan untuk membunuh calon raja Hayden.

Tidak ada yang meresponnya. Valias masih terlalu bingung dengan kehadiran tiba-tiba sosok Hadden dengan orang sebanyak itu.

Mari temui mereka dulu.

Valias berbalik hendak menghampiri ayah Valias dan borongannya.

"Aku ikut."

Frey sudah memiliki dugaan kenapa Count Bardev mendatangi istana.

Kenapa lagi kalau bukan karena mengkhawatirkan anaknya? Kabar pasti sampai ke telinga Hadden entah bagaimana caranya bahwa istana didatangi penyusup sedangkan anaknya belum kembali ke kediaman Bardev.

Sedangkan Frey yang kurang lebih menjadi penyebab kekhawatiran seorang ayah itu merasa dirinya harus bertanggung jawab juga.

Lagipula, hari ini adalah pertama kalinya Valias masuk ke istana. Frey memikirkan kemungkinan Valias tersesat. Bahkan dia sempat tidak mengerti kenapa bangunan istana yang merupakan rumahnya itu harus begitu besar dengan banyak lika-liku lorong.

Tapi sepertinya itu wajar sebagai statusnya yang merupakan bangunan penguasa suatu kerajaan besar.

Mereka berdua keluar dan berpapasan dengan Hadden dan pasukan ksatria yang dia bawa. "Valias!!" Hadden berlari dan langsung memegang bahu Valias.

"Oh dewa. Darah ini! Kau terluka? Apakah sakit? Ya dewa apa yang harus kulakukan?!"

Hadden begitu histeris melihat noda darah di pakaian Valias. Sedangkan Valias dan Frey langsung teringat fakta kalau Valias masih memakai pakaian yang bernoda darah itu.

Valias sudah benar-benar baik-baik saja. Dan Frey sudah terlalu sibuk dengan pikirannya setelah batu besar yang Valias jatuhkan padanya untuk yang kedua kalinya. Terburu-buru untuk menemui Hadden dan bagaimana Valias juga berjalan sama cepat beriringan bersamanya membuatnya lupa tentang kejadian Valias mengeluarkan begitu banyak darah dari hidungnya.

"Kau akan baik-baik saja! Ayah pasti akan membawamu ke tabib! Oh dewa. Aku sangat menyesal! Seharusnya aku tidak membiarkanmu pergi sendirian. Kau sudah berjanji tidak akan kenapa-napa!"

Hadden begitu khawatir hingga matanya mulai berkaca-kaca sedangkan Valias dan Frey terlalu bingung harus mulai bicara apa. "Ayah. Aku baik-baik saja. Ini cuma–"

Cuma apa? Cuma darah?

Valias kembali bingung harus berkata apa. Dirinya baik-baik saja jadi kekhawatiran Hadden membuatnya merasa bersalah. Bagaimanapun ini adalah tubuh anaknya. Valias Bardev yang asli. Dan Valias sudah menggunakan tubuh itu hingga membuat sang ayah pemilik tubuh begitu khawatir. "...Aku tidak terluka. Tidak sakit sama sekali. Ini.. ini cuma darah dari hidungku."

"Kau berdarah lagi?! Waktu itu ayah dengar kau hilang kesadaran di ruang baca karena hal yang sama! Apakah kita harus memeriksanya? Oh dewa. Ayah mohon kau jangan kenapa-napa!"

Valias merasakan bahunya dipegang begitu erat seolah Hadden begitu takut dirinya akan pergi. "Ayah.. Aku baik-baik saja. Maaf membuat ayah khawatir."

Valias tidak bisa bilang kalau itu hanya darah dan dia tidak terluka sama sekali karena bagaimanapun itu bukan tubuh miliknya melainkan tubuh anak sang pria di depannya.

"T- Tapi. Darah sebanyak ini.." Valias melihat Hadden yang masih menolak mempercayai ucapannya.

Frey mendengarkan interaksi ayah yang khawatir dan anak yang memiliki noda darah di bajunya itu tanpa bisa berpikir lurus.

Kondisi seperti tadi pernah terjadi?

Mendengar ucapan Hadden membuatnya berpikir kalau Valias adalah seseorang dengan penyakit parah yang akan mati kapan saja. Makanya dia memutuskan untuk membongkar keberadaannya sebagai anak di keluarga Bardev bahkan jika dia tahu hal itu bisa memancing rumor buruk tentang keluarganya.

Lalu Valias Bardev memutuskan untuk melakukan beberapa hal yang belum pernah dia lakukan sebelumnya sebelum mati.

Frey tidak tahu ekspresi apa yang ada di wajahnya saat ini dan ekspresi apa yang harus dia miliki untuk selanjutnya.

..Anak ini.

Frey merasa seolah tengah melihat Wistar adiknya yang kehilangan banyak darah karena penyakitnya tapi masih berusaha untuk membuktikan kalau dia baik-baik saja.

Frey masih hidup dan berhasil meyakinkan saudara tirinya itu berkat orang berambut merah di dekatnya itu. "Ayah. Ada hal yang harus kulakukan. ...Aku pikir aku sudah meminta mage di rumah untuk menyampaikan pesanku padamu?"

"Ayah sangat khawatir! Ayah mendengar istana diserang. Sedangkan kau bilang kamu masih di istana–"

Hadden mengingat bagaimana dirinya yang tidak tidur karena memikirkan anak tertuanya sampai dia memutuskan untuk pergi ke istana bahkan jika waktu itu adalah di tengah waktu malam menjelang pagi. Lalu kepala komandan kstaria yang biasa tidak tidur untuk mabuk memberitahunya bahwa ada kabar istana diserang.

Hadden langsung meminta komandan kediaman Bardev itu untuk menyiapkan pasukan dan memaksa mage yang tinggal di mansion untuk membawanya ke istana.

Bahkan komandan dan mage itu ada di antara pasukan di belakang Hadden. "Lalu sekarang.."

Hadden masih tidak bisa menahan rasa menyesalnya.

"Tuan Count."

Frey akhirnya bersuara. Hadden langsung mengangkat kepalanya dan menyadari keberadaan si calon raja Hayden.

"Yang Mulia. Putraku.." Hadden mendekap bahu Valias dan membawanya ke belakang tubuhnya.

Frey memaklumi sikap Hadden. "Tuan Count. Maafkan aku. Akulah yang meminta Valias untuk mendampingiku. Identitas pelaku penyerangan di malam itu sudah ketemu. Dan merekalah yang menyusup ke istana malam ini."

Hadden membulatkan matanya.

"..Begitukah? Tapi.." Hadden melirik sedikit ke belakang. Tangannya masih mencengkram bahu Valias. "Kenapa anakku.."

Wajar jika Hadden bertanya-tanya. Frey Nardeen belum lama bertemu anaknya. Tapi di saat bahaya seperti itu, sang putra mahkota memilih anaknya daripada orang lain.

Apalagi anaknya masih begitu muda. "..Apa Yang Mulia mencurigai Valias? Yang Mulia Raja meninggal, tapi putraku selamat. Yang Mulia ingin menginterogasinya?" Hadden merengkuh tubuh Valias yang lebih kecil darinya. "Putraku tidak ada kaitannya dengan mereka. Aku mohon untuk berhenti menaruh curiga padanya."

Hadden menatap Frey tepat di mata. Tidak peduli dengan status pria berambut perak itu yang akan menjadi penguasa kerajaan Hayden selanjutnya.

"Orang tua itu benar. Orang kurus dan pucat itu bukan bagian kami."

Sebuah suara familiar tiba-tiba terdengar dari belakang tubuh Frey.

Si anak laki-laki di kelompok Kei ikut bicara. Entah sejak kapan Kei dan teman-temannya tiba di dekat mereka.

"Lindungi Count!" Sang komandan berseru dan seluruh pasukan berhamburan membentuk formasi di depan Hadden juga Frey. Mengeluarkan pedang mereka dan mengarahkan pedang-pedang itu ke arah sang kelompok yang dianggap sebagai ancaman.

"Ho. Kalian ingin berkelahi? Boleh. Aku akan bermain dengan kalian!" Si pria besar berseru.

Para pasukan semakin menguatkan kuda-kuda mereka. "Tidak. Ayah. Beritahu mereka untuk pergi. Mereka tidak perlu melakukan ini." Valias menatap Hadden dari bawah.

"Tuan Count. Yang Mulia. Silahkan pergi. Kami akan menahan mereka." Komandan yang berdiri di dekat mereka berbicara.

"Apa? Kalian pikir kalian bisa melakukan itu? Kalian belum pernah melihat kekuatan bos!" Si anak laki-laki berseru.

"..Tidak. Perintahkan mereka untuk menurunkan pedang."

Hadden tidak mengerti kenapa anaknya memintanya melakukan itu. Tapi wajah pucat dan darah yang mengotori baju anaknya membuatnya merasa kalau dia harus menuruti apapun permintaan putranya.

Para prajurit mendengar ucapan Hadden dan menurunkan pedang mereka. Frey maju dan berdiri di atara kedua kelompok itu. "Mereka orang-orang dari keluarga Valias. Tuan Count. Orang-orang ini akan berada di pihak kita. Putramu sudah berbicara dengan mereka dan aku akan membuat mereka tinggal di istana."

"Apa?? Tinggal di istana? Aku tidak sudi tinggal bersama orang munafik sepertimu! Bukan begitu Kei?"

Si pria besar berkata dengan suara keras. Melirik sang pemimpin kelompoknya.

Tapi Kei tidak merespon apa-apa. Bahkan dia bisa melihat bagaimana Kei melekatkan matanya pada sosok anak berambut merah yang berada jauh di belakang orang-orang yang tadi mengarahkan pedang pada kelompoknya.

Orang itu, Radja, tidak percaya dengan pemandangan yang baru saja dia saksikan "..Serius?"

"Aku minta maaf sudah membuat putramu harus terlibat dengan urusan ini. Aku akan membiarkanmu membawa Valias kembali. Dan aku akan menyiapkan hadiah sebagai bentuk terimakasih." Frey mengarahkan tubuhnya pada Hadden dan para prajurit menyingkir untuk memberi jalan. Hadden bisa melihat ekspresi sang calon raja dengan jelas.

Valias mendengarkan perkataan Frey dan menyetujui kalau perannya di situ sudah selesai. Hadden menoleh pada Valias dan anak itu memberinya senyum kecil.

Melihat senyumnya yang biasa itu hati Hadden mulai terasa lebih lega. "..Kita akan kembali. Kau harus istirahat."

"Maaf membuat Anda khawatir, Tuan Count. Anda dan orang-orang Bardevmu bisa kembali sekarang. Aku akan mengurus sisanya." Frey membawa pandangannya pada sang mage. "Bawa mereka kembali."

"Ya. Yang Mulia."

Lingkaran cahaya mengelilingi semua orang dan Frey menonton Valias dengan ayahnya menghilang dari lorong istana.

...Sekarang.

Frey membalikkan tubuhnya menghadap kelompok yang dipimpin saudara tirinya itu.

Bersuara setelah mempersiapkan diri. "..Hari sudah menjelang pagi. Di istana, atau kembali ke tempat tinggal kalian, terserah kalian."

Frey memandangi setap orang di kelompok itu sebelum melekatkan pandangannya pada Kei. Melihat Kei yang balas mengamatinya.

Kini hanya dirinya seorang menghadapi sekumpulan orang yang menyusup ke istana dan berniat membunuhnya.

Frey merasa tegang tapi memaksa dirinya untuk tetap tenang. Dia akan menjadi raja dan dia sudah melakukan apa yang dia bisa dengan bantuan Valias. Jika mereka tetap memutuskan untuk membunuhnya..

Keheningan berlangsung selama beberapa detik. Frey dan Kei terus berbagi tatapan hingga Frey mulai merasa canggung tapi tetap tidak mengalihkan pandangannya.

Tiba-tiba Kei bergerak ke arahnya. Tanpa Frey sadari saudaranya itu sudah berjalan melewatinya tanpa mengucapkan apapun. Kemudian orang-orang itu ikut bergerak mengekori pemimpin mereka.

"Tunggu!"

Frey hendak memanggil tapi sebuah pedang diacungkan ke arah lehernya.

"Bos akan kembali menemuimu kalau memang dia ingin. Diam dan jangan ganggu dia." Orang yang memakai penutup hidung dan mulut serta tudung itu menurunkan senjatanya dan berbalik meninggalkan Frey seorang diri.

Meski terasa memalukan, tapi Frey merasa lega dengan kepergian mereka. Mereka menghilang di balik belokan lorong dan kini Frey benar-benar sendirian di sana.

"..Ha.." Akhirnya bisa bernapas lega dan mengusap dadanya. Dia mengamati lorong tempat Kei dan kawananya menghilang sebelum berbalik memutuskan untuk kembali ke ruangannya.

***

Di tempat Valias, dirinya dan semua orang sudah kembali di depan mansion Bardev dan Hadden langsung membawa putranya masuk.

"Maaf sudah mengganggu istirahat kalian. Kalian bisa kembali. Nona mage."

Hadden memberi pandangannya pada sang mage perempuan dari istana. "Terimakasih." Dia berucap dengan sungguh-sungguh.

"..Sama sekali tidak, tuan Count."

Mareen, meski tak menyangka sang Count akan memanggilnya menerima ucapan terimakasih dari pria paruh baya itu merasa hatinya perih. Dia menontoni Hadden memasuki bangunan mansion dengan Valias di tangannya.

Dirinya dikirim dari istana untuk tinggal di Kediaman Bardev untuk melayani Valias Bardev. Dan belum lama setelah dia tinggal, dirinya sudah melihat kekhawatiran seorang ayah pada putranya bahkan dengan dirinya yang tidak tidur dan langsung mendatangi sang putra ketika mendengar kabar kalau istana diserang.

Bahkan meskipun Mareen harus terbangun di tengah tidurnya dan menerima seruan dari Hadden, Mareen tidak marah sama sekali. Mareen bisa membayangkan kekhawatiran seperti apa yang Hadden rasakan terhadap sang putranya itu.

"Ayah.. ayah istirahatlah. Aku akan pergi ke kamarku."

Valias bersuara begitu dirinya dan Hadden masuk ke dalam bangunan mansion dengan pintu yang kembali ditutup oleh si pria yang tadi disebut sebagai komandan oleh Hadden. "Biarkan ayah memeriksamu."

"Hadden."

Ruri berdiri di sisi lorong masih dengan gaunnya menunggu kepulangan sang suami dan anak tertuanya. Suaminya itu memberitahunya akan kekhawatiran yang dia rasakan dan langsung pergi ke istana dengan ksatria yang dilatih kediaman Bardev. Memberi tahu Ruri untuk tetap berada di mansion.

Ketika mereka kembali, pemandangan yang Ruri lihat adalah Valias yang bajunya ternodai darah hingga ke celananya. "Valias!"

Sama seperti Hadden, Ruri langsung memegang bahu Valias dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.

"Tabib.."

Hal yang langsung terbersit di benak Ruri adalah memanggil tabib.

Tapi hari masih gelap dan mereka tidak bisa memanggil tabib untuk memeriksa keadaan anaknya sekarang.

Valias mendapatkan dirinya berada di situasi yang sama lagi merasa ingin menghela nafas lelah. "Ayah.. Ibu.. Aku tidak apa-apa. Aku tidak terluka sama sekali. Tidak ada sakit. Ini hanya darah dari hidungku sebelumnya. Sekarang aku sudah baik-baik saja. Kalian istirahatlah. Aku juga akan ke kamarku untuk tidur. Oke?"

Valias merasa waktu tidurnya belum cukup meski sudah pingsan selama beberapa jam dan menginginkan istirahat. Apalagi Hadden dan Ruri yang Valias tebak belum tidur sama sekali. "Valias.." Hadden memanggil pelan tapi Valias mengangkat tangannya. Merasa sudah cukup dengan segala kepundungan tidak berujung itu. Valias akan pergi ke kamarnya.

"Aku akan ke kamarku. Selamat malam, ayah, ibu," Valias membungkuk dan melangkahkan kakinya pergi.

"Valias!" Hadden memanggil lagi tapi anaknya tidak berhenti.

"Hadden.." Ruri mulai menyentuh pundak suaminya. "Mungkin Valias juga tidak akan nyaman kalau kau bersikap seperti ini padanya. ...Biarkan dia bersitirahat. Kita tidak tahu apa yang terjadi tapi dia pasti lelah. Pagi nanti kita akan memanggil tabib memeriksa tubuhnya."

Hadden masih belum bisa membuat kekhawatirannya terangkat sama sekali. Tapi dia merasa perkataan Ruri ada benarnya. Kalau anaknya terus mengatakan kalau dia baik-baik saja, mungkin anaknya memang baik-baik saja.

Hadden merendahkan bahunya dan membiarkan Ruri mengajaknya ke kamar mereka.

Valias membuka pintu kamarnya dan menemukan sebuah baju tidur sudah terlipat di atas kasurnya yang rapih.

Valias tersenyum kecut.

Alister kah?

Tidak biasanya Alister meletakkan pakaian yang belum akan Valias pakai di kamarnya seperti itu. Tapi mungkin Alister memang pelayan yang terlalu peka daripada orang pada umumnya.

Valias mengganti pakaiannya dan kembali tidur tanpa mandi terlebih dahulu.

Hanya beberapa jam lagi dan matahari akan terbit. Valias memutuskan untuk mandi nanti pagi setelah dia bangun.

04/06/2022

Measly033