webnovel

7. Preman Pintar

Keira membeku di tempat. Rupanya Zein benar-benar sempat melihatnya.

"Jangan-jangan, wallpaper di HP anak itu emang lo, ya?" Zein menahan pandangannya pada Keira.

"Kalau cewek rocker itu emang gue, apa lo bakal bilang-bilang ke orang lain?" tanya Keira gelisah.

Zein mengangkat satu alis. "Emang apa untungnya kalau gue bilang soal foto itu ke orang lain? Nggak ada urusannya sama gue, kan?" lanjutnya sambil meneruskan tulisan, tampak tak begitu peduli.

Keira terbengong-bengong. Tadinya ia pikir Zein bakalan heboh. Mengetahui cewek tipe serius sepertinya senang berpenampilan rocker Zein harusnya tertawa. Atau paling tidak, Zein akan bertingkah seperti Ryu, menggunakan rahasia itu sebagai senjata untuk mengancamnya. Zein tak seperti yang Keira kira. Ia justru netral. Cowok model berandalan seperti Zein ternyata ada sisi baiknya juga.

"Wah, sudah selesai?" Keira tampak terkejut saat melongok bukunya. "Cepat juga," ia berkomentar.

"Nih, diperiksa." Zein menggeser buku tulis itu ke depan Keira.

Keira hampir-hampir tak percaya. Setahunya Zein bahkan tidak membuka kamus sama sekali. Namun hasil kerjaannya sangat mencengangkan. Tulisan Inggris Zein benar semua. Entah itu penggunaan tensesnya, perangkaian kalimatnya, to be-nya, pokoknya ia menggarap karangannya dengan sempurna.

"Zein?" Keira memandangnya antara takjub dan curiga.

"Ada yang kurang tepat ya? Di bagian mana?" sahut Zein santai.

"Nggak ada kok," Keira menggelengkan kepala. "Tapi...."

Zein heran melihat sikap aneh Keira. "Tapi apa?"

"Lo bisa ngerjain cepat tanpa buka kamus. Lo nggak hafalin buku setebal kamus, kan? Pengetahuan kosa kata Inggris lo hebat banget."

Zein tertawa kecil. "Gue punya ingatan yang bagus. Sekali baca aja, mungkin gue bisa ingat selamanya."

Keira tak begitu mempercayai jawaban itu, namun ia tak bertanya lagi. Ia cuma berpikir ucapan Milli waktu itu memang tidak salah. Zein benar-benar tak boleh diremehkan dalam pelajaran. Dia preman sekolah yang pintar.

"Jadi tugas kelompok kita sudah selesai, kan?" tanya Zein kemudian.

"Untuk hari ini selesai," jawab Keira.

"Hari ini?" Zein menautkan kedua alisnya bingung.

"Tugas kita kan tiga lembar folio, paling-paling ini baru satu lembar. Kita nggak mungkin kan menyelesaikan hari ini juga? Keburu sore keburu petang. Gue bisa dimarahi Mama kalau pulang sekolah sampai malam," terang Keira.

"Yah, terserah lo deh." Zein sepertinya tak mau ambil pusing.

"Sekarang kita pulang," ajak Keira sambil mengemasi peralatannya. Ia lalu melihat jam. Sudah pukul setengah lima. Lumayan sore juga.

"Rumah lo daerah mana?" tanya Zein saat mereka keluar dari gedung perpustakaan.

"Di komplek Anggrek, dekat jalan Gajahmada." Keira menjawab cepat.

"Oh ya? Tetangga Oki, dong." Zein yang mengetahuinya tampak heran.

"Emang Oki tinggal di komplek Anggrek apa?" Keira malah baru kali ini mendengarnya.

"Iya, kan? Masak lo nggak tahu?" Zein tertawa tak percaya. "Dia di kompleks Anggrek, tepatnya di Blok B."

"Ooh pantas," Keira segera memakluminya. "Gue di Blok D sih."

"Lo mau ke mana?" tanya Zein saat melihat Keira berjalan lurus saja.

"Ya pulang lah. Busnya kan nggak masuk area perpustakaan juga," jawabnya sambil berhenti sebentar.

"Nggak pulang sama gue aja?" Zein seolah sedang menawari Keira untuk pulang dengannya.

"Nggak usah lah. Lo juga harus cepat pulang, kan? Entar malah repot."

"Siapa yang repot?" Zein melirik Keira aneh. "Ya sudah kalau nggak mau. Gue nggak mau maksa."

"Oke, gue pulang dulu ya." Keira segera berjalan cepat meninggalkan halaman perpustakaan sementara Zein pergi ke tempat parkir untuk mengambil motornya.

***

"Kei, kamu dari tadi malam bawa-bawa kamus melulu sih? Lagi ada tugas apa?" tanya Mamanya saat mereka sarapan pagi.

"Kei belum benar-benar menguasai kosa kata, Ma. Di kelas Keira sekarang, ada anak yang patut diperhitungkan. Dia jago Bahasa Inggris. Kei nggak mau kalah sama dia," jawab Keira sambil menyuap sesendok nasi goreng ke mulutnya.

"Wah, bagus dong! Kamu jadi punya saingan dalam meningkatkan prestasi di kelas," komentar Papa.

"Makanya itu, Pa. Keira harus belajar lebih keras," jawab anak itu semangat.

"Papa senang kamu berteman sama anak-anak pintar. Kamu bisa tambah semangat belajar sekaligus menambah wawasan," ujar Papanya lagi.

"Ya sudah Pa, Ma. Keira berangkat dulu ya?" Ia kemudian menyabet tas selempangnya dari atas meja.

"Nggak bareng Papa aja, Kei?" tanya Mama.

"Keira harus belajar mandiri. Dimulai dari berani berangkat sekolah sendiri. Naik angkutan umum bagus untuk melatih keberanian dan memupuk rasa percaya diri."

"Tapi kalau kamu naik bus takutnya nanti telat sampai sekolah," kata Mama lagi.

"Kenyataannya Kei nggak pernah telat kan, Ma? Tenang aja. Ini belum terlalu siang, kok." Ia pun segera berpamitan pada kedua orangtuanya. "Aku berangkat!" Keira berteriak saat keluar dari pintu, seperti biasanya.

"Dasar anak itu. Kalau anak-anak lain kan senang berangkat diantar pakai mobil. Dia dibeliin motor aja nggak pernah dipakai," gerutu Mama.

"Nggak apa-apa, Ma. Itu tandanya Keira mandiri. Biar pintar dan orangtuanya bisa menuruti apa yang dia minta, tapi Keira bersikap seperti anak biasa. Papa malah suka dia seperti itu," kata Papanya dengan bangga.

***

"Eeh, jadi itu yang namanya Keira?" bisik anak-anak saat Keira melewati koridor panjang. Anak itu mencapai sekolah seperempat jam sebelum bel masuk dibunyikan.

"Iya. Manis sih."

"Tapi benar dia pacaran sama Zein?"

"Enggak tahu ya. Gue juga penasaran."

Semua mata memandang ke arah Keira. Baik itu cewek, cowok, entah dari kelas apa. Mereka saling berbisik-bisik. Keira tak mempedulikan mereka. Ia hanya menatap depan. Kejadian seperti ini mengingatkannya pada saat SMP dulu. Ke mana pun ia pergi ia selalu jadi perhatian. Dan itu sangat tak disukainya.

"Hai, Keira!" Seorang cowok kelas 12 yang Keira ketahui bernama Febri tiba-tiba menyapanya.

"Pagi, Kak," Keira coba tersenyum pada Febri meski tidak yakin. Febri anggota OSIS. Keira cukup heran kakak kelas itu bisa mengetahui namanya.

"Eh, kamu sama Zein ada hubungan apa?"

"Zein?" Keira mengangkat kedua alisnya Febri menyebut nama Zein tiba-tiba. "Kami teman sekelas. Sama-sama 11-IPS-3, kan?" ucapnya bingung.

"Denger-denger kalian pacaran," Febri berceletuk.

"Kata siapa?" sahut Keira bingung.

"Kata anak-anak. Mereka bilang kemarin kamu pulang sama dia," jawab Febri sambil menatapnya.

"Ooh, kemarin aku sama Zein cuma ngerjain tugas kelompok bareng kok," jelas Keira. Ia pun segera mengerti penyebab kabar burung itu beredar. "Ya sudah Kak, aku ke kelas dulu," ucapnya kemudian.

"Oke." Febri tersenyum manis kepadanya.

Sesampainya di kelas, Keira belum mendapati Zein di bangkunya. Dia memang selalu datang terlambat masuk kelas. Malah tak jarang bolos seharian.

"Ciyeee, Zein belum berangkat ya?" Milli datang-datang langsung menggoda. Masalahnya begitu masuk kelas ia memergoki Keira menoleh ke bangku Zein saja.

"Masa ya, Mil, tadi Kak Febri nyamperin gue cuma mau nanyain hubungan gue sama Zein," ujar Keira sambil menoleh ke depan lagi.

"Seisi sekolah emang lagi gosipin kalian berdua kali," kata Milli santai. "Pasangan terheboh sepanjang sejarah SMA Pahlawan. Keira sang anak emas para guru, berkencan dengan Zein, si preman sekolah temperamental," lanjutnya diiringi tawa.

"Zein sebenarnya baik-baik aja kok. Kalau udah kenal, dia nggak seseram yang anak-anak bilang," ujar Keira.

"Ehem! Mulai ngebelain dia, nih."

"Nggak gitu, Mil. Menurut gue Zein sebenarnya biasa aja. Mungkin karena dia tukang bolos dan hobinya berantem, jadi kesannya ngeri aja," Keira membela diri karena terus digoda Milli.

"Tapi bukannya lo takut juga sama dia?" tanya Milli kemudian, seraya mengambil sebuah buku dari laci.

"Kadang-kadang iya sih," jawab Keira membuat keduanya tertawa.

Pelajaran pertama adalah Akuntansi. Minggu lalu diadakan ulangan bab pertama di kelas itu. Jadi hari ini dibagikanlah hasil ulangan para siswa.

"Kelas ini mendapatkan rata-rata paling tinggi daripada kelas IPS lain," ujar Guru Akuntansi sambil tersenyum. "Nilai terbaik di kelas ini mencapai angka 98."

"Pasti Keira."

"Kalau nggak ya Gina."

"Keira gue yakin."

"Nilai 98 didapat oleh Keira Azalea," sebut ibu guru. Anak-anak tak tampak terkejut. Keira memang pantas mendapatkannya. Dia selalu belajar setiap waktu.

"Bener kan kata gue?" Mereka yang tadi menebak Keira tersenyum menang.

"Dan satu lagi, siswa yang dapat nilai 98 adalah Raditya Alfahzan."

Kelas langsung sunyi senyap.

"Siapa sih? Emang ada di kelas kita yang punya nama kayak gitu?" kata seorang anak.

"Zein. Itu nama lengkap dia," ucap Milli membuat anak-anak kaget. "Zein itu nama panjangnya Raditya Alfahzan."

"Apa? Zein?"

"Kok dia bisa dapat nilai 98 sih?"

"Pasti dia nyontek!"

"Iya. Nggak mungkin kan Zein hampir dapat nilai sempurna? Ikut pelajaran aja jarang." Anak-anak sekelas ribut membahasnya. Sementara bagi Milli dan Shella yang waktu kelas 10 juga sekelas dengan Zein tak terkejut. Mereka sudah tahu bahwa Zein sering mendapat nilai bagus di berbagai pelajaran.

Sementara itu Keira terdiam. Sekali lagi ia dibuat takjub oleh anak itu. Tidak cuma Bahasa Inggris, Akuntansi pun Zein mampu menyamai nilainya. Benar-benar sulit dibayangkan. Seorang pembolos seperti Zein menandingi dirinya yang setiap hari belajar mati-matian. Ia sering memanggil Keira jenius tapi dirinyalah yang berotak mencengangkan. Orang seperti apa Zein sebenarnya?

Jam istirahat pertama tiba. Zein belum juga menampakkan diri di kelas. Padahal Keira ingin sekali melihat anak itu. Ia penasaran, bagaimana Zein bisa sepintar itu kalau sekolah saja semaunya sendiri? PR tak pernah ia kumpulkan. Rajin masuk kelas hanya jika ada ulangan. Apa dia ikut les privat di luar jam sekolah? Keira terus bertanya-tanya.

"Kei, bisa ikut aku sebentar?" Febri tiba-tiba mencegat saat Keira keluar dari kantin. Keira tak menolak. Ia ikuti saja saat Febri yang mengajaknya ke belakang gedung kelas 12 yang sepi.

"Ada apa ya, Kak?" tanya Keira begitu mereka sudah berhenti, tepat di bawah pohon mangga yang rimbun dan tinggi.

Belakang gedung kelas 12 adalah tempat yang tenang dan sepi. Di sebelah ada mushola sekolah yang membelakangi mereka. Selebihnya cuma ada pohon-pohon tua yang tak terurus di sana.

"Begini, Kei, ng... sebenarnya... selama ini aku sering memperhatikan kamu. Mungkin kamu nggak pernah sadar tapi..."

Keira menatap Febri lebih seksama karena ia menghentikan ucapannya.

"Aku suka sama kamu, Keira," ucap Febri, sukses membuat Keira terpana. "Jadi kamu mau nggak jadi pacar aku?"

Keira mendadak merasa sungkan. Ia berkali-kali menunduk karena tidak suka dengan keadaan ini. "Ehm, makasih Kak Febri sudah memperhatikan aku," ucapnya pelan. "Tapi maaf, aku nggak bisa jadi pacar Kak Febri," lanjutnya tak enak hati.

"Kenapa?" tanya Febri. "Kamu nggak punya cowok, kan?"

"Emang nggak ada, Kak. Tapi aku masih ingin fokus sama sekolah aja," jawab Keira apa adanya.

Muka Febri mendadak berubah ketus. "Jangan bohong, deh. Alasan kayak gitu udah basi kali. Bilang aja yang sebenarnya. Jangan-jangan, kamu emang ada hubungan sama bocah preman itu," katanya curiga.

"Apa?" Keira kaget. Perkataan Febri terdengar sinis sekali, kontras dengan suara manisnya saat menyatakan perasaan tadi. "Kami nggak ada hubungan apa-apa kok, Kak."

"Terus apa sebenarnya alasan kamu nolak aku?" Febri sepertinya tak terima mendengar penolakan Keira.

Selama beberapa lama Keira diam saja sampai tiba-tiba ia teringat Ryu. Jawaban Ryu saat menolak cewek waktu itu. Sebenarnya Keira tak suka berbohong, namun jika Febri tak percaya pada alasan sebenarnya maka tak ada pilihan lain.

"Sebenarnya ada orang lain yang aku suka," ucap Keira akhirnya.

"Siapa?" Febri langsung mengintrogasi.

Siapa? Keira sendiri juga bingung jawabannya siapa. Sepertinya ia tidak pernah menyukai siapa-siapa. Ia hanya menyukai para musisi rock yang memenuhi koleksi kasetnya.

"Zein, ya?" Febri menebak karena tak sabar menunggu jawaban Keira. "Lo suka bocah preman nggak jelas itu?"

"Zein bukan preman seperti kelihatannya kok," sahut Keira. Ia tak suka saja mendengar Febri menjelek-jelekkan Zein di depannya.

"Oh my God, jadi kamu beneran suka dia?" Febri menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Aku nggak tahu, tapi mungkin Kak Febri ada benarnya. Aku suka sama Zein," ujar Keira datar. Tidak apa-apa lah, pikirnya. Begini lebih baik, jadi kakak kelas muka dua itu tidak akan bertanya-tanya lagi.

"Kamu cantik, kamu pintar, tapi sayang selera cowok kamu nggak selevel sama kamu," kata Febri ketus. Ia lalu pergi dari sana tanpa kata-kata lagi.

Keira termenung di tempat. Selevel? Memang levelnya di mana? Ia menatap kepergian Febri dengan bingung juga kesal.

Kleteekk. Kleteekkk.

Tiba-tiba kulit kacang berjatuhan dari atas Keira. Sepertinya dari pohon mangga tua yang tinggi di dekatnya. Keira coba mendongak dengan heran. "Apa di sini ada monyetnya ya?" gumamnya waswas.

Dari cabang-cabang pohon mangga yang tinggi di sana, tampaklah beberapa kaki bersepatu menggantung. Kaki-kaki itupun bercelana panjang abu-abu, seperti warna seragam Keira Belum sampai rasa heran Keira terjawabkan, mendadak sepasang dari beberapa kaki yang menggantung itu terjun dari atas sana.

Bluukkk!

Sepatunya menghantam tanah dengan keras hingga terjadilah sedikit getaran. Orang itu jatuh berdiri tepat di depan Keira. Keira sampai menahan napas karena kaget.

"Jadi lo suka sama gue?" Sang pemilik kaki yang baru saja terjun itu bersuara. Suara yang tidak asing bagi Keira. Ia langsung mengalihkan perhatiannya dari sepatu ke muka orang yang terjun tadi.

Zein.

Bluukkk. Bluukkk.

Dua orang lain menyusul terjun dari pohon mangga yang sama. Mereka mengibas-ngibaskan seragam mereka seakan baru saja duduk di atas debu.

Alvin dan Oki. Rupanya mereka.

"Kalian ngapain anjlok dari sana?" Keira sampai tak berkedip melihat tiga cowok itu. Terjun dari pohon setinggi tiang listrik, dan mereka terlihat baik-baik saja.

"Lo belum jawab pertanyaan gue." Zein malah tak menanggapi Keira yang takjub dengan aksi mereka.

"Apa?" Keira segera sadar. "Pertanyaan yang mana?" Ia pun memandang Zein.

"Lo suka sama gue?" Zein balik menatap Keira dengan pandangan yang entah tak terbacakan.

"Suka sama lo?" Keira hampir membantah kalau saja, kalau saja ia tak segera ingat dengan apa yang sudah ia katakan pada Febri.

Aku nggak tahu, tapi mungkin Kak Febri ada benarnya. Aku suka sama Zein.

Keira membelalakkan mata. "Nggak, kok. Gue nggak suka sama lo. Seriusan!"

"Jangan malu, kami udah dengar sendiri lho pengakuan lo tadi," komentar Alvin.

"Nggak, itu nggak benar! Gue cuma cari alasan aja biar dia nggak nanya-nanya lagi," jelas Keira sambil menahan panas yang telah menyerang sekujur badan.

"Yah, kalau benar juga nggak pa-pa kok. Lo suka Zein kan bukan perbuatan dosa." Kali ini Oki yang angkat bicara.

"Nggak! Gue cuma pura-pura," sangkal Keira mati-matian. Ia memegangi kedua pipinya yang sudah matang. "Zein, lo jangan percaya yang tadi ya?"

Zein malah tersenyum miring. "Yah, terus gimana? Apa sebaiknya kita jadian aja?"

"Ih, ya ampun!" Keira berteriak histeris. "Gue bilang tadi itu nggak beneran, oke? Lo jangan salah paham. Itu cuma kata-kata buat nolak dia. Lo ngerti kan, Zein?"

"Santai aja kali, kok lo jadi grogi gini?" Zein berkata dengan ringan, membuat Keira tambah tidak jelas saja.

"Udah, Kei, jadian aja sama Zein. Kalau jadi pacar cowok yang lo suka, lo pasti mau, kan?" goda Alvin.

"Hihh, dibilangin nggak percaya!" Keira jadi malu dikeroyok mereka. "Terserah lo, deh." Tak punya pilihan, maka Keira pun ambil langkah seribu dari sana. Kenapa malah jadi begini sih? pikirnya. Ini sih namanya keluar dari kandang singa masuk lubang buaya.

"Kei!" Ryu yang sedang nongkrong di tangga antar gedung kelas mendadak menghampirinya. "Barusan lo ditembak Febri, ya?"

"Lo tahu dari mana?" Keira memicing heran.

"Di sekolah ini apa sih yang nggak cepat nyebar?" jawab Ryu. "Lo nolak dia dan bilang suka teman sekelas lo yang fenomenal itu. Emang benar kalian pacaran?"

"Arg, kenapa sih orang pada bikin berita sendiri?" keluh Keira, bagai orang tertekan.

"Kalau lo beneran pacaran sama dia, gue nggak tahu Mama lo bakal bereaksi kayak apa," Ryu berkata seolah-olah sedang mengancam.

"Lo....?" Keira langsung terjangkit emosi mendengar ucapan itu. "Lo nyebelin banget, sih? Urusan gue pacaran apa nggak bukan urusan lo juga, kan?"

"Tentu aja itu urusan gue," sahut Ryu. "Lo kan dengar sendiri Mama lo yang minta gue ngawasin lo selama di sekolah ataupun di luar rumah," pojoknya.

"Dan apa untungnya lo ngawasin gue? Apa lo dibayar sama Mama?" timpal Keira tajam.

"Gue sih nggak butuh bayaran. Gue senang aja disuruh ngawasin cewek yang gue suka. Apalagi bisa dekat sama keluarganya. Oh ya," Ryu menghentikan ucapannya sebentar. "Gue juga punya senjata kalau lo lupa."

"Senjata?" Tiba-tiba Zein dan gengnya sudah di belakang Keira, melirik ponsel Ryu yang disodorkan padanya.