webnovel

BE THE LIGHT

Benar kata orang. Terkadang ada orang lain yang lebih peduli kepada kita, dibanding keluarga kita sendiri. Alena dan Alina memanglah saudara kembar. Tapi nasib kehidupan mereka sangat berbeda. Alina selalu mendapatkan perlakuan lembut dan penuh kasih sayang oleh kedua orangtuanya. Berbeda dengan Alena. Gadis itu mendapatkan perilaku yang sangat memprihatinkan. Alena di benci dan tidak dianggap oleh kedua orangtuanya. Namun, Tuhan sangat menyayangi Alena. Tuhan mengirimkan orang berhati malaikat untuk Alena. Hidup Alena diselamatkan oleh oranglain. Alena juga bertemu dengan lelaki tampan yang sangat mencintainya. Lalu, bagaimana perjalanan hidup Alena? Apakah kedua orangtua Alena akan menyesal dengan perlakuannya? Atau ... Alena yang akan menyerah dengan hidupnya? Lalu, bagaimana dengan kisah cintanya? * * * "Tidak ada yang sia-sia, Alena. Kita harus optimis! Meski kamu di vonis bertahan hidup 6 bulan, 7 bulan, 1 tahun, bahkan 10 tahun. Tapi bagaimana jika Tuhan .mengabulkan doa mu untuk sembuh dan tetap bertahan hidup?"

Errenchan · Adolescente
Classificações insuficientes
146 Chs

Dugaan

"Udah, sana tidur. Istirahat," titah Kevan. Sedangkan, Alena hanya mengangguk, dan merubah posisinya menjadi tidur.

"Selamat malam."

Saat hendak pergi, tangan Kevan di tahan oleh Alena. Lelaki itu membalikkan badannya dengan menatap adiknya dengan lekat.

"Kenapa, Na?" tanya Kevan.

Alena tersenyum, "Makasih, Kak, selalu baik sama aku, makasih selalu ada untuk Alena, makasih udah mau menjadi kakak Alena yang paling terbaik. Maaf kalau nanti aku mengecewakan kakak, maaf kalo aku nanti pergi ninggalin kakak."

Mata Alena sudah berkaca-kaca, dia takut untuk pergi dari dunia ini dalam waktu dekat. Dia takut pergi tanpa bisa dekat dengan keluarganya, yang dia ingin adalah di hari terakhirnya semua tidak membencinya lagi. Hanya itu.

Kevan tersenyum samar, ia tidak paham maksud dari perkataan Alena. Kenapa dia sejak tadi membicarakan kematian?

Hidup dan mati memang sudah diatur oleh Tuhan, dan kita sendiri tidak tahu kapan datangnya. Tapi, kenapa Alena seolah tahu kalau dia akan pergi dari dunia ini? Apa dia menyembunyikan sesuatu seperti di film-filmyang pernah dia lihat?

Kevan menghela napas untuk mengalihkan pikiran negatifnya itu, tangannya mengelus ujung rambut Alena dengan lembut. Bibirnya mengecup kening Alena.

"Kamu jangan bicara seperti itu, sudah tidur sana. Kamu harus istirahat, kalau kepala mu pusing bisa langsung telpon kakak!" pesan Kevan seraya berjalan keluar kamar. Alena menatap punggung Kevan yang semakin tak terlihat.

"Aku sayang sama kakak, semoga kakak nggak berubah ya nanti."

•••

Gadis itu membasuh wajahnya setelah ia selesai memuntahkan cairan kental kemerahan dari dalam perutnya. Muntah darah lagi, pikir Alena.

Akhir-akhir ini memang perutnya sering sakit dan juga beberapa kali gadis itu muntah darah. Pagi ini ia sudah empat kali terbangun dari tidurnya karena harus memuntahkan yang keluar dari dalam perutnya.

Namun, tak ada yang tau soal itu. Gadis itu menyalakan shower ketika muntah, karena kamar Alena bersebelahan dengan kamar Kevan. Ia tak mau Kevan terbangun hanya karena mendengar suara muntahnya.

Baru saja gadis itu membuka pintu kamar mandi, ia langsung terkejut dengan sosok yang berdiri di depan pintu sambil memandangnya lekat, bahkan Alena sampai memundurkan tubuhnya tiba-tiba karena terkejut.

"Kak Kevan? Ada apa kak?"

"Kamu kenapa, Na?" tanya Kevan yang berjalan mendekat. Alena hanya berpura-pura bingung, alisnya ia angkat dengan sedikit memiringkan kepalanya.

"Maksudnya, Kak?" tanya Alena bingung.

"Kamu kenapa menyalakan shower sampai empat kali?" tanya Kevan khawatir.

Alena menggigit bibir bawahnya, matanya melirik ke kanan, kiri untuk mencari alasan yang masuk akal.

Sial, Alena tidak bisa mencari jawaban yang pas.

Gadis itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah lima, matanya sedikit terbelalak. Ia belum masak, juga membereskan semuanya.

"Udah jam segini kak, aku mau masak, sama beres-beres rumah. Kakak tidur lagi aja, nanti aku bangunkan," ucap Alena tersenyum.

"Baiklah, kakak akan membantu mu."

Alena mengangguk pelan, ia bernapas lega karena Kevan tidak memaksanya untuk menjawabnya sekarang. Kevan sendiri takut kalau Alena akan di marahi Mamanya lagi karena belum beberes rumah, juga masak.

Alena berjalan keluar kamar, dan menuruni anak tangga diikuti oleh Kevan di belakang.

Seperti biasa Alena masak nasi goreng untuk sarapan keluarganya. Bahkan, Alena sendiri tidak pernah memakan masakannya sendiri.

Kevan membantu Alena memotong bahan-bahan, setelah semua bahan sudah siap. Alena mulai memasak nasi goreng itu, Kevan yang melihat itu hanya tersenyum.

Kevan akui masakan nasi goreng Alena sangat enak. Namun, mereka semua menganggap kalau masakan itu adalah masakan Kevan.

Tak waktu lama, empat porsi nasi goreng sudah matang, dan sudah di tuang di piring. Kevan membantu Alena untuk meletakan di meja makan.

"Na, kakak ke kamar dulu ya. Mau ngerjain tugas," pamit Kevan.

Alena hanya mengangguk sambil tersenyum, ia sangat menikmati pagi ini. Memasak bersama Kevan, sudah lama ia tidak bercandaan dengan kakaknya itu.

Setelah memasak, Alena menyapu, mengepel lantai, juga mengelap kaca yang kotor itu. Itu adalah rutinitas Alena di pagi hari. Setelah semuanya sudah bersih, Alena kembali ke kamarnya untuk mandi, dan bersiap-siap ke sekolah.

***

"Ma, Dion berangkat dulu ya."

"Ma, Rei mau sekolah! Rei enggak mau di sini terus, Ma," rengek Rei pada Ratna. Sejak tadi Rei memang meminta untuk berangkat sekolah bersama Dion, ataupun meminta untuk pulang.

Namun, kondisi Rei sendiri belum pulih. Bahkan, ia harus menjalani pemeriksaan intensif.

Rei terkena paru-paru basah, dan hal itu membutuhkan perawatan khusus untuknya. Ratna tidak ingin terjadi apa-apa dengan Rei kalau menuruti keinginan untuk pulang.

"Ma, ayo pulang. Rei nggak mau di sini!" ngambek Rei yang cemberut.

"Sayang, dengar Mama. Kamu mau sembuh tidak?"

Rei mengangguk pelan.

"Makanya nurut sama Mama!" timpal Dion yang masih berdiri di ambang pintu.

"Kakakk!!" teriak Rei yang memanyunkan bibirnya.

Dion tertawa melihat Rei yang ngambek dengannya, kaki berjalan mendekati adiknya itu. Rei hanya membuang mukanya, adik kecilnya itu terlihat marah pada Dion. Namun Rei malah terlihat lucu, juga imut.

"Yakin marah sama kak On?" tanya Dion yang tersenyum menggoda pada Rei.

"Iya!"

"Kak On belikan es krim deh, gimana?"

"Nggak!"

"Beli makanan kesukaan—"

"Nggak!"

"Kakak ajak Kak Len ke sini, deh. Gimana?"

"Ngg—mau! Janji?" seru Rei yang kembali bersemangat.

"Udah nggak marah sama Kak On?" tanya Dion yang mencolek hidung Rei. Adiknya itu menggeleng, ia tersenyum pada Dion.

"Nggak," jawab Rei.

"Ya udah, kakak berangkat dulu, ya!" pamit Dion lagi.

Dion melangkahkan kakinya keluar dari kamar inap Rei, Ratna menatap punggung Dion sampai anak itu menutup pintu. Ratna tersenyum, dia salut padanya karena bisa membujuk Rei.

Dion berjalan di koridor rumah sakit yang masih sepi, ia melihat jam alrojinya yang menunjukkan pukul enam pagi. Ia sengaja berangkat sepagi ini, karena dia mau jemput Alena. Entah kenapa, sejak tadi malam ia khawatir pada gadis itu sampai tidak bisa tidur.

Pikirannya pun masih teringat pada kejadian tadi malam, menurut Dion. Alena adalah gadis yang pandai menutupi semuanya.

Yang Dion tahu, Alena tidak mempunyai teman sama sekali, dan sekarang ia mengetahui satu fakta tentang dia. Yaitu, dia juga tidak mempunyai keluarga.

Sekarang, cowok itu tersadar. Kalau di dunia ini ada orang yang merasakan penderitaan di hidupnya. Hanya saja, tidak semua orang tahu. Orang-orang hanya melihat sampulnya saja, tanpa mengetahui isinya.

Orang-orang lebih percaya dengan ucapan orang yang masih 'katanya' tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. Miris memang hidup di dunia yang kejam ini.

Dion melajukan motornya dengan sedikit lebih cepat menuju rumah Alena. Dion berdoa agar Alena belum berangkat, cowok itu tahu kalau gadis kepang itu selalu berangkat pagi hari.

Hanya membutuhkan waktu lima belas menit, motor Dion terhenti di depan rumah Alena. Pagar tinggi itu masih tertutup rapat, bahkan gemboknya masih terpasang di pagar.

Cowok itu melirik pos satpam itu yang kosong. Dion menghela napas, ia malas untuk mengeluarkan tenaganya untuk berteriak memanggil Alena. Apalagi kalau yang keluar Mamanya, sangatlah malas.

"Gue belum sarapan, males banget teriak-teriak," ucap Dion bergumam. Dion mengeluarkan kembali kunci motornya, dia mengetuk pintu pagar dengan kuncinya. Awalnya pelan, namun pada akhirnya dia mengetuknya dengan kencang.

Sedangkan orang yang ada di dalam rumah itu sedang menikmati sarapannya, tidak ada pembicaraan apapun diantara mereka.

Di sisi lain, Alena yang sedang merapikan kamarnya itu pun terhenti, ia berjalan mendekati jendela untuk melihat orang yang berisik di luar.

"Dion?" gumam Alena.

"LENN, ITU DI LUAR ADA ORANG, SANA KAMU KELUAR!" teriak Meika.

Alena mengambil tasnya dan berjalan keluar kamar. Kakinya melangkah menuruni anak tangga dengan cepat. Meika sudah berdiri, sambil menatap tajam Alena.

"Kamu punya telinga, kan?! Kenapa lama sekali?!" tanya Meika dengan membentak.

"Maaf, Ma."

Alena berjalan keluar, dan berlari kecil ke pintu pagarnya. Ia membuka gembok itu dengan cepat dan membuka pagar itu dengan cepat. Dion menghela napas lega, dan memasukkan kembali kuncinya ke kantong celananya.

"Kenapa? Panggil bisa kan? Berisik tau nggak, si?" kesal Alena karena hampir tersandung di tangga.

"Maaf, gue hemat tenaga."

"Bilang aja males."

"Itu tau, kenapa si sewot? Lagi PMS lo? Oh, tau kepribadian lo berubah gara-gara luka di kening lo itu?" ujar Dion yang menyentil kening Alena.

Alena merintih sakit, karena Dion tepat mengenai lukanya.

"Sakit!" protes Alena.

"Lagian itu kening kenapa? Sampe di perban gitu?" tanya Dion dengan berpura-pura tidak tahu.

Alena tersenyum tipis. "Jatuh, biasa lah," bohong Alena tersenyum paksa.

Di sini lain, Alina penasaran dengan orang yang datang pagi-pagi, dia celingukan melihat dari jendela, namun tetap saja tidak terlihat.

"Siapa sih, Ma, yang datang pagi-pagi gini?" tanya Alina yang penasaran.

"Ya udah, kita cek."

Meika dan Alina beranjak dari duduknya, mereka berjalan ke depan menyusul Alena yang sedang mengobrol dengan seorang cowok.

Alina terkejut melihat Dion yang sangat akrab dengan Alena, padahal Dion dikenal dengan orang yang pendiam, dingin, juga tidak banyak bicara. Tapi, kenapa saat dengan Alena dia berbeda? Pikir Alina.

Meika pun tentu berpura-pura baik dengan Alena di depan Dion. Wanita itu berjalan mendekat, dan langsung merangkul Alena. Seolah-olah mereka baik-baik saja.

Dion tidak bodoh, dia tahu sikap Mama Alena yang sebenarnya. Hanya saja, Dion lebih berpura-pura di depan mereka.

"Siapa, Na? Teman kamu? Kok nggak pernah cerita si kalau punya teman," ujar Meika dengan lembut. Alena hanya terdiam dan sedikit tersenyum kikuk.

Alena bingung dengan sikap Mamanya yang menjadi baik dan mau merangkulnya seperti ini.

"I-iya mah," jawab Alena.

Alina berjalan maju mendekati Dion dengan tersenyum, "Dion, mau jemput aku ya?" tanya Alina menggandeng tangan Dion.

Dion pun terkejut melihat Alina yang satu rumah dengan Alena, apa mereka adik kakak? Apa mereka saudaraan saja? Pikir Dion.

"Nggak. Gue nggak jemput siapa-siapa," sahut Dion ketus sambil melepas gandengan Alina.

"Terus ngapain pagi-pagi ke sini?" tanya Alina yang mulai kesal dengan Dion.

"Kepo," sahut Dion dingin.

"Saya tidak mengizinkan Alena berangkat dengan mu, yang saya izinkan hanya—"

"Saya tidak dengan keduanya! Permisi!" potong Dion cepat dengan nada dinginnya.

Dion berjalan ke motornya dengan memakai helm-nya, dia naik ke motor besarnya itu, dan menyalakan mesin motornya. Dion melirik sekilas gadis yang terdiam itu. Ralat, bukan Alena yang dia lihat. Melainkan rangkulan, yang lebih tepatnya adalah cengkraman di bahu Alena.

Dion tahu itu, Meika hanya berpura-pura baik pada Alena di depannya.

Dion yakin, dalam hitungan ketiga, Alena akan di dorong oleh Mamanya. Dion menghentikan motornya di tepi, dan melihatnya dari spion. Jarak motor Dion dengan rumah Alena tidak terlalu jauh. Mata terfokus pada spion motor.

Satu … Dua ... Tiga …

Benar dugaan Dion, Alena tersungkur di depan pintu pagar. Hanya saja, Dion tidak bisa mendengar ucapan Meika pada Alena.

Tak lama, Alena berjalan meninggalkan rumah itu dengan tas sekolahnya. Dia terlihat menangis, namun saat itu juga ia langsung menghapusnya.

Alena berjalan melewati Dion, tanpa menyadari kalau Dion masih ada di sana.

"Lo nggak nyapa gue? Karma loh entar nggak nyapa cowok ganteng kaya gue."

Alena menghentikan langkahnya, dan membalikkan badannya. Gadis itu tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu.

"Maaf, beneran nggak liat!"

"Ayo, bareng sama gue."

Alena menggeleng cepat, ia tak ingin menjadi pembicaraan di sekolah, ataupun menjadi pusat perhatian mereka semua.

"Len, lo nggak tau ini jam berapa?" tanya Dion yang melepas helm-nya.

"Jam enam kan?"

"Setengah tujuh, bego! Lo kalo nggak bareng gue bakalan telat!" ucap Dion dengan mengintimidasi.

Alena terdiam, dan tampak berpikir. Benar juga kata Dion, kalau dia tidak bareng dengannya, ia bisa terlambat. Bel sekolah akan berbunyi jam tujuh. Jarak rumah Alena dengan sekolah membutuhkan waktu 20-25 menit.

"Ya udah kalo nggak mau," pasrah Dion memakai helm-nya kembali. Ia menyalakan mesin motornya, dan hendak melajukan motornya. Namun, tangan Alena menahan lengan Dion dengan lembut.

Dion hanya melirik Alena sekilas, raut wajahnya terlihat dingin seperti biasanya, "Apa? Lepasin gue. Gue tau lo risih sama cowok kaku kayak gue ini," ucap Dion dingin.

Perlahan pegangan tangan Alena melepas, senyumnya luntur seketika. Alena tersadar kalau ia memang tidak bisa dekat dengan cowok itu.

"Maaf," lirih Alena dengan berjalan meninggalkan Dion yang masih mematung di motornya, Alena sedikit merasa kecewa, tidak kecewa dengan Dion. Tetapi, ia kecewa dengan dirinya sendiri.

"Len!" teriak Dion yang membuat Alena terkejut, gadis itu membalikkan tubuhnya.

"Apa lagi? Gue naik bus aja, lo berangkat ke sekolah sana. Entar telat," sahut Alena dengan sedikit berteriak.

Dion tersenyum dengan penuh kemenangan, ia memajukan motornya dengan bantuan kaki. Alena sendiri bingung dengan Dion yang menjadi aneh seperti itu.

"Lo, sehat kan?" tanya Alena memastikan.

Dion menyodorkan helm-nya yang berwarna pink itu, Alena mengerutkan keningnya menatap helm itu.

"Apa? Gue naik bus, ya kali pakai helm."

Dion sendiri tertawa kecil sambil menarik tangan Alena untuk menerima helm-nya, "Di pake dodol! Naik ke belakang," ucap Dion yang mengelus jok belakang motornya yang kosong.

"Buruan! Gue tinggal beneran loh ini!" suruh Dion yang gemas dengan Alena yang masih berdiri di samping Dion.

"Lo nggak lagi bercanda, kan?" tanya Alena memastikan.

Dion menghela napas panjang, "Nggak, Alena! Buruan!"

Saat gadis itu hendak naik, Dion kembali menoleh. "Eh, bentar," cegah Dion memegang tangan Alena yang hendak naik. Gadis itu hanya menghela napas pasrah dengan tersenyum paksa.

"Apa? Katanya takut terlambat?"

Dion tidak menjawab, dia melepaskan jaket yang dikenakan, lalu meletakan jaket itu di bahu Alena dengan tersenyum memperlihatkan gigi. "Cuacanya agak dingin, lo pakai jaket gue. Udah, ayo naik."

Alena tersenyum mengangguk dan bergegas naik ke atas motor besar milik Dion itu.

Dion melirik Alena yang terlihat sedikit tegang saat naik di motornya, dia tersenyum tipis. Tangannya bergerak ke belakang, dan langsung narik tangan Alena ke pelukan melingkar pinggang Dion.

"Pegangan, Len."

Alena sedikit terkejut, dia hanya diam sampai motor Dion kembali dilajukan.

Dion melajukan motornya dengan sedikit cepat, tidak ada pembicaraan diantara keduanya. Dion yang fokus menyetir, juga Alena yang terdiam dengan pikirannya sendiri.

Tiba-tiba saja Alena teringat dengan masa lalu dokter Ryota yang diceritakan sendiri olehnya, ia sangat ingin memberitahu hal ini pada Dion. Namun, Alena takut kalau ia dianggap mencampuri urusan keluarganya.

Maaf kalau ada typo :(