webnovel

05

"Wah aku tidak menyangka bahwa gadis itu sangat kuat, tanganya bak besi gligen." Desis Adigama, sembari mengusap - usap pipinya yang ditampar tadi oleh Ayu Nilamsari.

"Mungkin jika amarahnya tidak cepat mereda, mungkin aku sudah dibuat babak belur, hehehe..." Lanjut Adigama, yang kemudian melangkah ke pakiwan.

Tidak berapa lama kemudian, bunyi suara guyuran air pun terdengar dari dalam pakiwan.

Sementara itu di ruang depan, tampak Ki Mahesa Anabrang dan Empu Citrajati duduk dengan beralaskan tikar.

"Apakah Adigama belum terbangun dari tidurnya, Ki Mahesa.?"

"Sudah Empu. Mungkin sekarang dia berada di pakiwan." Jawab ki Mahesa Anabrang.

Orang tua itu manggut - manggut, dia masih teringat dengan jelas cerita yang pernah diceritakan oleh Resi Chandakara.

"Ki Mahesa Anabrang, maafkan apabila pertanyaanku terlalu lancang, apakah Ki Mahesa pernah mengatakan bahwa sebenarnya Adigama adalah cucu Begawan Bancak.?" Tanya Empu Citrajati.

"Begitulah Empu, aku pernah menceritakannya. Tetapi aku juga tidak mengatakan bahwa sebenarnya Adigama juga merupakan cucu dari Tumenggung Lembu Kumbara."

"Ah.... Apakah itu benar, ki Mahesa.?" Ucap Empu Citrajati, kaget.

Ki Mahesa Anabrang mengangguk-anggukan kepalanya perlahan.

"Pantas saja wajah anak itu mirip sekali dengan senapati Demak yang berjuluk Banteng Bintoro itu."

"Benar Empu, Tumenggung Lembu Kumbara dalam medan peperangan selalu berhasil membuat lawan - lawannya jerih dan kecut. Dan dia pun disegani oleh kawan serta lawannya, sehingga dia cukup dekat dengan Sultan Jimbun." kata Ki Mahesa Anabrang.

"Namun suatu ketika dia mendengar bahwa putri tunggalnya tewas mengenaskan bersama suaminya, maka Tumenggung Lembu Kumbara pun mendadak jatuh sakit dan tidak lama ajal menjemputnya." Lanjut Ki Mahesa Anabrang, "Karena itulah Adigama Bayu Chandakara aku rawat sampai sekarang dan telah aku anggap sebagai anak sendiri."

"Oh jadi ki Mahesa sebenarnya berniat untuk mengembalikan anak itu kepada kakeknya.?"

"Iya, Empu."

Keduanya memadang halaman yang dihiasi dengan bermacam - macam bunga serta tumbuhan, walau sebenarnya Ki Mahesa Anabrang dan Empu Citrajati merasa kasihan terhadap anak yang sebenarnya masih keturunan bangsawan Demak, dan kini tinggal sebatang kara. Sedangkan kakek dari jalur ayahnya, tak diketahui keberadaannya dan kalaupun diketahui keberadaannya, masih di sangsikan apakah kejiwaan sang kakek yang seperti orang yang mempunyai dua kepribadian itu sudah sembuh atau belum.

"Baiklah Ki Mahesa, aku tinggal dahulu. Hari ini aku akan memulai menempa wesi aji itu." Kata Empu Citrajati, sembari berdiri dari duduknya.

"Oh silakan Empu, aku pun akan pergi menemui Adigama." Balas Ki Mahesa Anabrang.

"Adigama, marilah kita menghadap eyang Resi Chandakara." Ajak ki Mahesa Anabrang.

"Baiklah ayah." Ucap Arya Dipa.

Keduanya kemudian melangkahkan kaki mereka menuju ke sanggar pertapaan Pucangan.

Dari dalam sanggar yang tidak terlalu luas itu, Resi Chandakara yang sudah menunggu kedatangan Ki Mahesa Anabrang dan anak angkatnya itu, segera mempersilahkan keduanya masuk saat keduanya berada didepan pintu sanggar dan mengetuk pintu sanggar.

"Baiklah Ki Mahesa dan anak mas Adigama Bayu Chandakara, sekarang aku ingin mengatakan kepada kalian berdua, khususnya kepada angger Adigama." Kata Resi Chandakara, mengawali perkataannya.

Dengan bersungguh - sungguh Adigama Bayu Chandakara dan Ki Mahesa Anabrang, menunggu apa yang akan diutarakan oleh Resi Chandakara. Suasana menjadi hening untuk beberapa saat dan hanya terdengar desir halus suara angin saja yang samar-samar terdengar.

Dengan suara yang pelan Resi Chandakara berkata, "Anak mas Adigama, bukankah anak mas mengetahui jika sebenarnya Ki Mahesa Anabrang hanyalah orang tua angkatmu.?"

Mendengar pertanyaan itu, Adigama mengangkat kepalanya dan sesaat memandang orang tua itu, dan kembali Adigama menundukkan kepalanya.

"Benar, eyang Resi. Ayah Mahesa sudah menjelaskan jati diriku lima tahun yang lalu, kalau sebenarnya diriku ini adalah anak dari seorang yang bernama Arya Sawila dan beribukan seorang wanita yang bernama Retnowati, dan eyangku adalah seorang begawan dari gunung Bancak, yang bernama Begawan Bancak, orang tua dari ayah Arya Sawila." Jawab Adigama, yang tampak murung dan sayu menahan kesedihan.

Melihat keadaan dan kondisi anak angkatnya itu, Ki Mahesa Anabrang dengan lembut memegang pundak Adigama itu.

"Tabahkan dan sabarkan hatimu Adigama, eyang Resi bukan bermaksud untuk mengingatkanmu dengan kesedihan dan kemalangan yang telah berlalu itu."

Adigama hanya mengangguk perlahan, dan sekuat tenaga menahan air matanya yang ingin menyeruak keluar dan jatuh.

"Kemalangan dan kepahitan anak ini memang sangat besar, jika yang membunuh orang tuanya itu adalah orang lain, mungkin Adigama masih bisa untuk menuntut balas. Tetapi pada kenyataannya, pelaku pembunuhan adalah eyangnya sendiri." Desis Resi Chandakara dalam hati.

"Angger Adigama, tabahkan dan sabarkan hatimu dan untuk sekali lagi aku akan bertanya. Jika pada suatu hari kau berjumpa dengan eyangmu dan dirimu mempunyai ilmu kanuragan, apa yang akan kau perbuat ngger.?"

Pertanyaan itu bak petir di siang bolong bagi Ki Mahesa Anabrang. Orang tua angkat Adigama itu tak mengetahui apa yang ada di dalam hati Resi Chandakara, sehingga menanyakan pertanyaan yang bisa menimbulkan sesuatu yang diinginkan dan mempengaruhi jiwa Adigama.

Di sampingnya, Adigama semakin menunduk makin dalam. Tewasnya bopo dan biyung ditangan eyangnya sendiri sudah merupakan pukulan yang begitu berat. Ingin sekali rasanya apabila dia memang mempunyai kemampuan ilmu kanuragan, tentu saja dia akan membalas dendam. Tetapi sayangnya hati kecilnya berkata lain.

"Bila keinginanku untuk membalas dendam terwujud, bukankah aku sama saja dan tidak ada bedanya dengan perbuatan kotor yang dilakukan olehnya ? Dan apakah bopo dan biyung akan hidup kembali.? Ah tidak..!! Tidak.. !! Tidak.. !!, aku harus menghapus niat buruk, dan menghilangkan rasa dendam itu..!"

Dan Adigama itu pun mengangkat kepalanya secara perlahan, dan terlihat sebuah senyum mengembang menghiasi bibir pemuda itu.

"Tidak eyang Resi, untuk apa aku harus mengulang kembali dan membalas.? Jika aku berbuat hal yang serupa, tentu aku pun akan di cap sebagai cucu yang durhaka dan akan terkutuk seumur hidupku serta mendapatkan karma yang serupa."

Jawaban itu bagaikan air sewindu yang segar dan sejuk di hati Resi Chandakara. Dan tentunya Ki Mahesa Anabrang, yang tidak menduga ternyata jiwa pemuda di sampingnya berjiwa lapang dan kesatria. Karena itu secara naluri maka Adigama telah di peluknya dengan erat.

Suasana itu terasa menyejukkan ruang sanggar Pertapaan Pucangan, sehingga kemudian Resi Chandakara mendehem.

"Semoga yang kau katakan itu selalu tersimpan didalam sanubarimu, angger Adigama. Sekarang mendekatlah kepadaku dan menghadap ke arah ayahmu."

Adigama pun menggeser duduknya sehingga mendekat ketempat duduk Resi Chandakara, lalu Adigama menghadapkan punggungnya ke arah Resi Chandakara dan badan bagian depan menghadap ayahnya Ki Mahesa Anabrang. Setelah itu resi Puspanaga mengangkat pakaian Adigama dari belakang, tepat di tengah-tengah punggungnya terdapat sebuah tanda samar-samar berbentuk cakra.

"Oh Sang Hyang Widi. Ternyata benar, tanda yang berbentuk cakra ini sama persis seperti tanda yang ada di dalam Kitab peninggalan Prabu Arilangga yaitu Cakra Peksi Jatayu." Desis Resi Chandakara.

"Apa Resi.?, Cakra Peksi Jatayu..." Jawab ki Mahesa Anabrang.

Dan pakaian Adigama pun diturunkan kembali .

"Apakah Ki Mahesa Anabrang mengetahui kitab itu.?"

"Hmm, ya Resi, aku sedikit kurangnya mengetahui tentang Cakra Peksi Jatayu, tetapi ceritanya cukup panjang Resi." Jawab Ki Mahesa Anabrang, yang kemudian diceritakanlah pengalaman Ki Mahesa Anabrang yang rasa-rasanya sangat aneh dan tidak nyata itu.

Orang tua dari Pertapaan Penanggungan itu mendengar dengan sangat saksama, yang terkadang mengangguk-agukan kepala bila cerita itu menyinggung sebuah burung yang sangat besar serta bermahkota, lalu raut wajah Resi Chandakara tampak tegang manakala cerita Ki Mahesa menceritakan suara burung itu mencuit dan suara cuitannya mengakibatkan getaran layaknya Aji Gelap Ngampar dan kepakan sayapnya bagaikan sebuah angin yang sangat besar. Dan ketika ki Mahesa Anbrang menyebut putra Prabu Mahendradatta, maka makin yakinlah hati resi Chandakara, bahwa Adigamalah anak pilihan itu.

"Begitulah Resi." Kata Ki Mahesa Anabrang, mengakhiri pengalaman yang seolah itu hanya mimpi.

Mendengar cerita Ki Mahesa Anabrang itu, Adigama tampak bingung. Apakah benar bahwa sosok burung raksasa itu keluar dari ubun - ubunnya.

"Syukurlah, ternyata Sang Hyang Widi memberikan kemudahan kepadaku." Ucap Resi Chandakara.

"Semua itu benar Ki Mahesa, memang Adigamalah yang mendapat anugerah serta karunia dan sekaligus ujian dalam masa peralihan ini." kembali Resi Chandakara berkata.

"Angger Adigama, apakah angger sudah siap mengabdikan diri angger untuk berusaha semampu angger untuk berbuat kebajikan di atas bumi jawa ini..?" Tanya Resi Chandakara.

Pemuda belia itu tampak kebingungan, hal itu terlihat dari raut muka serta tatapan matanya.

"Hahaha, betapa bodohnya aku ngger. Maafkan eyangmu ini angger Adigama, lupakanlah pertanyaanku tadi, kini aku ingin kau mempelajari sebuah kitab. Apakah angger bersedia..?"

Mendengar kalau dirinya ditawari untuk mempelajari sebuah kitab, Adigama mengganggukkan kepalanya.

"Baiklah, tunggulah disini. Aku akan mengambil kitab itu." Kata Resi Chandakara, sambil berdiri dan beranjak mengambil sebuah kitab yang terbungkus dengan kain putih bersih dan dibawa kembali ke tengah sanggar.