webnovel

03

Malam mulai menyelimuti langit di sekitar aliran sungai itu. di dalam gelapnya malam, sinar dian yang jelas muncul dari sela - sela dinding tempat tinggal yang terbuat dari anyaman bambu kuning itu.

di dalamnya terdapat tiga orang yang terdiri dari dua laki-laki serta seorang perempuan duduk pada ambin menikmati ganyong serta wedang.

"Adi Jika besok kau akan berangkat, lewatlah pada sisi selatan Kadipaten Panarukan dan mampirlah di pedepokan Lemah Jenar." Ucap Damar.

"Baik kakang, apakah kakang akan menitipkan pesan pada Ki Ajar Lodaya.?" kata Menak Cokro menjawab ucapan Damar.

Tampak Damar untuk sesaat termenung dan menghela napas, kemudian berkata.

"Katakan pada Ki Ajar Lodaya, jika aku secara tidak sengaja berpapasan dengan seseorang yang bernama Ki Wilis. Mungkin orang itu berada di sekitar Kadipaten Japanan saat ini."

"Baik kakang." Sahut Menak Cokro, sembari meminum wedang yang masih mengepulkan asap dari wadahnya.

"Kakang, aku tidur dahulu, mata ini sudah tidak mampu untuk bekerja sama serta selalu ingin terpejam." suara Sekar yang halus itu, terdengar.

"Oh baiklah, memang alangkah baiknya kau segera tidur setelah hampir seharian lelah dalam perjalanan" Jawab Damar.

setelah kepergian Sekar, Damar serta Menak Cokro makin berbicara bersungguh - sungguh tentang keadaan yang mereka lihat saat ini.

"Kakang, Jika kau ingin mencari hubungan di Kadipaten Japanan ini, carilah seorang pedagang kuda pada pusat kota. Namanya Ki Ganjur, dia masih termasuk kerabat jauhku." kata Menak Cokro.

"Oh... Baiklah adi Menak Cokro, terima kasih atas saranmu."

Di luar rumah, suara serangga malam riuh terdengar. Dan disatu tempat yang jaraknya beratus ratus tombak, tempat yang berada di bawah lereng Gunung Penanggungan, suasana yang penuh dengan kehangatan dan rasa gembira memenuhi ruangan di bangunan utama Pertapaan Pucangan.

Resi Chandakara yang disertai Empu Citrajati dan Ki Ireng, menyambut kedatangan Ki Mahesa Anabrang, Ki Wilis serta Adigama Bayu Chandakara.

Usai menanyakan berita masing - masing serta kesehatan mereka, maka pembicaraan berlanjut dengan senda gurau ringan.

"Ah malam sudah makin larut, bukankah akan lebih baik bila kalian membersihkan badan kalian serta segera beristirahat di gandok kiri yang sudah aku persiapkan ?." Tanya Resi Chandakara.

"Baiklah resi, kami pamit undur diri." Jawab ki Mahesa Anabrang.

Ketiga orang yang baru datang dari KaAdigamaten Prana Raga itu lalu berdiri dan segera beranjak ke pakiwan.

ketika Adigama Bayu Chandakara berjalan diurutan paling belakang, Resi Chandakara dengan saksama memperhatikan punggung anak muda yang masih terhitung muda itu.

"Adi, itulah anak muda yang aku ceritakan."

"Maksud kakang resi, anak yang kakang temukan di samping sepasang suami istri yang sudah tidak bernyawa pada puncak Gunung Bancak itu.?" Tanya Empu Citrajati.

"Iya adi. Malang sekali nasib anak itu, kedua orang tuanya tewas di tangan Begawan Bancak, kakek dari anak itu sendiri."

"Memang Begawan Bancak seakan akan mempunyai kepribadian yang seringkali berubah - ubah. aku sendiri pernah suatu waktu di selamatkan oleh Begawan Bancak, tetapi di lain waktu dan tempat aku pun hampir tewas ditangan Begawan yang sakti itu. Apakah Kakang Resi bertemu dengan orang itu.?"

"Iya, kami bertemu serta bertarung hampir seharian penuh. dan anehnya hal yang membuat kami berhenti bertarung adalah sang Begawan mendengar suara tangis cucunya yang masih bayi yang tergeletak di dekapan menantunya. Dan Begawan Bancak tiba-tiba kembali berubah kepribadiannya menjadi seseorang yang lembut hati dan langsung meloncat mendekati menantunya yang sudah tidak bernyawa lalu mengambil cucunya dan menggendongnya dengan kelembutan agar cucunya berhenti menangis." Kata Resi Chandakara.

Mendengar keterangan Resi Chandakara, Empu Citrajati hanya menggeleng gelengkan kepalanya serta menghela napas, begitupun dengan Ki Ireng.

"Kemudian seperti orang yang baru sadar dari tidurnya, ketika Begawan itu memandang anak dan menantunya, sang Begawan kaget dan terlihat pucat, lalu bertanya kepadaku mengapa anak dan menantunya hanya terdiam tidak bergerak serta bersimbah darah. Tentu saja aku menceritakan peristiwa sebenarnya, jika sang Begawan sendirilah yang membuat anak dan menantunya dalam kondisi seperti itu. Perasaan duka yang tidak terhingga telah memenuhi hati Begawan itu dan dia lalu menyerahkan cucunya yang masih bayi itu kepadaku, kemudian dengan cepatnya sang Begawan menyambar tubuh anak serta menantunya dan dibawa pergi dari puncak Gunung Bancak. Tetapi setelah sekian lama aku menunggu sang Begawan, sang Begawan tidak kunjung kembali. Maka aku pun memutuskan untuk pergi dari tempat itu dengan membawa cucu sang Begawan serta ku titipkan pada Ki Mahesa Anabrang." kata Resi Chandakara.

"Dan sejak peristiwa berdarah itu aku belum pernah berjumpa kembali dengan sang Begawan." Ucap Resi Chandakara.

"Oh iya adi, apakah bahan yang kuberikan kepadamu telah kau bentuk.?"

"Bahan itu sulit ditempa, Kakang resi. Malam ini aku akan coba melakukan semadi untuk meminta petunjuk kepada sang Hyang Widhi, mudah - mudahan usahaku berhasil serta mendapat petunjuk untuk membentuk bahan yang kau berikan kakang." Jawab Empu Citrajati.

"Baiklah jika begitu aku pun akan menemani kau bersamadi adi."

"Terima kasih, kakang resi."