webnovel

Bangsat Boys

Jeka pemuda badung ketua geng Bangsat Boys tengah mengalami patah hati akut. Pada suatu hari ia bertemu dengan gadis polos bernama Unaya. Kesepakatan yang tak terduga terjadi, terlibatlah mereka dalam sebuah hubungan pacaran kontrak. Hubungan yang mulanya hanya berlandaskan saling menguntungkan tiba-tiba berubah menjadi hubungan rumit dan menyesakkan. Dan disinilah titik balik leader Bangsat Boys bermula.

nyenyee_ · Urbano
Classificações insuficientes
69 Chs

Dunia Jeka

Semalam Unaya lupa memberi tahu Jeka untuk tidak usah menjemputnya hari ini lantaran hendak pergi ke rumah sakit. Jeka sudah berdiri di depan rumah Unaya sembari bersandar di mobil Jeep-nya seperti biasa. Pemuda itu mengirim pesan pada Unaya, mengatakan jika dirinya sudah menunggu dibawah.

Tak lama kemudian tirai jendela kamar Unaya terbuka menampikan wajah gadis itu yang terlihat terkejut melihat kedatangannya. Jeka mengulum senyum kemudian melambaikan tangannya kearah Unaya. Unaya memberi kode pada Jeka untuk menunggu di bawah. Gadis itu langsung berlari cepat menuju lantai bawah hendak menemui Jeka, namun kalian pasti sudah bisa menebak jika Suryo akan langsung menginterupsi.

"Duduk Una, makan! Setelah itu kita ke rumah sakit!". Kata Suryo tegas. Sejak kejadian kemarin, suasana rumah menjadi dingin dan Unaya sungguh membenci situasi seperti ini.

"Una mau nemuin Jeka Pa, sebentar aja. Nyuruh dia buat berangkat sekolah duluan, Una lupa bilang kalau hari ini ijin gak masuk". Pinta Unaya dengan wajah memelas. Tak ada yang berani membuka suara kecuali Suryo sendiri. Tiga bidadari cantik penghuni rumah memilih diam dan menyimak perdebatan antara Ayah dan Anak tersebut.

"Oke lima menit, setelah itu balik kesini buat sarapan". Tanda diduga Suryo memberikan ijin. Asal tahu saja, semenjak melihat kegigihan dan ketulusan dimata Jeka sebetulnya Suryo sudah mulai melunak. Namun buka Suryo namanya jika memberikan lampu hijau begitu saja, lelaki itu juga masih belum mengijinkan Unaya pacaran. Masa depan putri-putrinya masih panjang, pacaran hanya membuang-buang waktu saja. Apalagi kalau hubungan yang katanya berlandaskan cinta itu sudah salah jalur, ia pasti akan merasa menjadi ayah yang gagal dalam mendidik putri-putrinya.

"Siap Pa". Sahut Unaya dengan semangat kemudian berlari menuju pintu rumah.

"Anak cowok gak jelas itu sering jemput Una?". Tanya Suryo dengan gaya sok cuek padahal kepo dengan sosok Jeka.

"Namanya Jeka Mas". Sahut Irene dengan ketusnya, masih marah karena sikap Suryo kemarin.

"Oh? Oke Jeka. Sering jemput Una?". Tanya Suryo sekali lagi.

"Gak cuma jemput, tapi nganter balik juga. Emang dasarnya alay banget, dulu Jeka itu pacar Helen Pa". Ujar Helena tiba-tiba. Suryo sempat merasa kaget sedangkan Irene menatap Helena tidak suka. Helena itu suka sekali menambah masalah yang sudah terjadi.

"Pacar kamu? Gimana bisa pacar kamu sekarang jadi pacar-nya Una?". Helena meletakkan sendok dan garpunya sebelum menjawab pertanyaan Suryo.

"Iya, dulu Jeka itu pacarnya Helen Pa. Udah dua tahun malahan, tapi ya gitu Unaya tega ngerebut Jeka dari Helen". Kata Helena sok memelas. Sudah jelas jika gadis itu mengarang cerita, Irene-pun tahu jika Helena berencana menghasut suaminya.

"Len, kamu tuh jangan suka ngarang-ngarang cerita ya. Jelas-jelas pas Una pacaran sama Jeka, kalian udah putus. Kamu kan yang udah putusin Jeka gara-gara suka sama Mario". Kata Irene yang tidak mau jika sampai Suryo termakan bualan dari anak-nya.

"Mama gak usah sok tahu deh! Belain aja Unaya terus, udah jelas-jelas dia ngerebut Jeka dari Helen. Beneran Pa, Helen gak bohong kok. Helen juga gak tahu kenapa Unaya tega banget, dia juga jadi beda semenjak pacaran sama Jeka". Kata Helen mencoba mencari pembelaan dari Suryo. Suryo sebetulnya tidak mau ikut campur urusan anak muda, tapi kembali lagi jika itu menyangkut Unaya maka ia tidak bisa diam saja.

"Anak cowok gak jelas kayak dia direbutin? Papa gak peduli mau Una rebut dia dari kamu atau kamu cuma ngarang-ngarang cerita, emang siapa yang ngijinin kalian pacaran?!". Sahut Suryo sarkas membuat Helena mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Menghasut Suryo memang tidak mudah, apalagi jika berkaitan dengan anak kesayangannya itu. Helena semakin tidak menyukai Unaya, semua orang berpihak pada gadis itu.

++

Unaya membuka pintu pagar kemudian berjalan mendekati Jeka. Jeka-pun langsung menegakkan tubuhnya kemudian mengulas senyum semanis mungkin kearah sang pujaan hati. Mata Jeka kemudian menelisik penampilan Unaya pagi ini, tidak ada seragam sekolah. Gadis itu justru mengenakan celana jeans panjang dan jaket tebal berwarna putih.

"Selamat pagi". Sapa Jeka sembari mengecup lembut dahi Unaya.

"Kok belum siap-siap?". Lanjutnya yang dibalas gelengan kecil oleh Unaya.

"Hari ini gue gak masuk sekolah, mau cek darah di rumah sakit. Maaf ya lupa bilang". Ujar Unaya dengan suara lirih, takut sudah pasti. Sejujurnya ia belum siap jika seandainya kembali dinyatakan mengidap LCH. Tapi kata Suryo lebih baik diketahui sedari awal agar bisa segera ditangani dan kemungkinan kembali sembuh besar.

"Cek darah? Gue temenin ya?". Tawar Jeka, lebih tepatnya memang ingin ikut menemani Unaya cek darah pemuda itu tentu saja mencemaskan keadaan gadisnya. Di usapnya pipi Unaya dan disampirkan helaian rambut gadis itu kebelakang telinga.

"Gak usah Jeka kamu sekolah aja". Ujar Unaya dengan lembut. Ada satu kata yang membuat hati Jeka menghangat; kamu. Rasanya ia seperti dibawa ke awang-awang begitu Unaya memanggilnya dengan kata kamu.

"Kamu?". Tanya Jeka sembari menahan tawa. Unaya langsung menunduk lantaran malu sekali, agak aneh memanggil Jeka seperti itu. Tapi mereka kan sudah pacaran, terkesan aneh jika panggilan-nya masih loe-gue.

"Kenapa? Gak suka ya?". Cicit Unaya malu-malu. Jeka menggigit bibir bawahnya karena merasa gemas. Pemuda itu ingin sekali memeluk dan menciumi pipi Unaya berkali-kali saking gemas-nya namun diurungkannya karena tidak mau kena amuk si Om lagi.

"Suka, suka banget. Gu... eh aku suka kalau kita pakai aku-kamu, jadi kelihatan sayangnya". Sahut Jeka kemudian keduanya terkekeh geli.

"Ya udah gih kamu berangkat sekolah, nanti telat loh". Kata Unaya yang teringat jika sekarang sudah menunjukan pukul tujuh lebih lima belas menit. Jeka mengerucutkan bibirnya kedepan, pemuda itu merasa malas ke sekolah karena tidak ada Unaya.

"Kamu itu alasan aku semangat ke sekolah Unaya, kalau kamu gak berangkat buat apa aku ke sekolah?". Kata Jeka dengan gaya sok manja, Unaya berdecak tidak suka. Gadis itu bersedekap dada dan menatap Jeka dengan mata memicing.

"Biar pintar, kan aku suka cowok pintar. Suami idaman aku itu...".

"Eh? Stop-stop. Biar aku yang nanya". Jeka cepat-cepat memotong perkataan Unaya.

"Hah? Maksudnya?".

"Unaya tipe suami idaman kamu seperti apa?". Tanya Jeka dengan halus, Unaya terkikik geli lantaran tahu jika pertanyaan yang Jeka ajukan tengah viral akhir-akhir ini.

"Euumm... pintar, ganteng, rajin, gak suka berantem, rapi, gak ngerokok...". Unaya terus nyerocos menyebutkan tipe suami idaman-nya, yang jelas tipe yang disebutkan Unaya tidak ada didalam diri Jeka kecuali point; ganteng. Dan karena itulah Jeka menatap Unaya datar.

"Kamu tahu kan semua itu gak ada di dalam diri aku, kecuali ganteng". Kata Jeka memelas. Unaya terbahak begitu melihat wajah suram Jeka, lagian Unaya kan hanya bercanda. Ia suka Jeka yang begini kok, nakal tapi begitu menghargai seorang wanita.

"Emang. Aku kan sengaja biar kamu sedih". Sahut Unaya dengan begitu menyebalkan.

"Jahat emang ya. Liat aja gak aku kasih jatah cium!". Unaya reflek mencubit bibir Jeka begitu pemuda itu bicara tanpa difilter, kalau Papa-nya dengar kata; cium-cium bisa gawat.

"Bisa gak sih gak usah bahas itu? Aku gak suka!". Judesnya Unaya muncul, padahal di dalam hati berdebar juga kalau ingat ciuman yang diberikan Jeka hihi.

"Haha. Ya maaf, eh kamu gak mau gitu nanya tipe istri idaman aku seperti apa?". Tanya Jeka kemudian. Unaya mengubah mimik wajahnya sebelum bertanya.

"Emang tipe istri idaman kamu seperti apa?".

Dengan senyum lembut dan teduhnya Jeka menjawab "Seperti kamu, Unaya Salsabila". Tidak ada keraguan dalam ucapannya, meski banyak hal yang kadang membuat Jeka sebal dengan gadis di depannya ini, namun entah mengapa tak membuat perasaan pemuda itu berkurang sedikit-pun. Justru sifat menyebalkan Unaya lah yang membuatnya tambah sayang dan kadang juga membuat rindu.

--Bangsat Boys--

Jeka benar-benar bad mood hari ini, gara-gara apalagi kalau bukan karena Unaya yang tidak masuk sekolah. Selain karena Unaya tidak masuk, pemuda itu juga kepikiran dengan hasil cek darah Unaya. Meski gadis itu sudah berkata akan segera menghubungi jika sudah selesai cek darah, namun tetap saja Jeka tidak bisa tenang. Jeka duduk dibangku panjang depan kelas-nya sembari mengangkat satu kaki-nya keatas. Melirik ponsel-nya beberapa kali berharap Unaya segera menghubungi.

"Lesu amat sih Bos, nyebat mau?". Tawar Victor yang tiba-tiba muncul sembari mengulurkan sebungkus rokok, tentunya setelah memastikan jika tidak ada guru disekitar.

"Bercanda loe nawarin gue rokok, kayak gak mampu aja gue beli sendiri". Tolak Jeka dengan kalimat pedas yang menusuk relung jiwa Victor yang paling dalam. Niatnya kan mau menghibur, lha kok malah dihujat begitu.

"Yaelah salah mulu sih Bos gue dimata loe, diem aja deh gue". Victor menutup mulutnya rapat-rapat takut salah ngomong lagi. Kelas Jeka mendapatkan jam kosong lantaran guru-nya ijin tidak masuk, bukan Jeka namanya jika jam kosong digunakan untuk mengerjakan tugas. Pemuda itu lebih memilih nongkrong di depan kelas ketimbang mendengarkan suara bising teman-temannya.

"Suuuuitttt... suiiiiittt... cewek!". Goda Victor begitu melihat Ririn berjalan seorang diri melewati depan kelasnya. Ririn mendengus sebal kemudian memilih melanjutkan langkahnya.

"RIRIN!!! TIPE SUAMI IDAMAN KAMU SEPERTI APA?!". Teriak Victor yang tidak kira-kira, mungkin saja terdengar sampai kelorong sekolah. Ririn menghentikan langkahnya sebelum berbalik untuk menatap Victor yang tengah menunggu jawaban darinya.

"GAK MULUK-MULUK KOK, YANG PENTING GAK KAYAK LOE!". Sahut Ririn dengan sadisnya kemudian pergi begitu saja.

"BUAHAHAHAHA". Tawa mengejek dari teman-teman sekelasnya membuat Victor sebal setengah mati, apalagi Jeka juga ikut-ikutan. Begitu hina-nya Victor dimata Ririn, Jeka miris melihatnya.

"Udah ditolak berkali-kali ngapain sih masih aja dikejar? Cewek banyak noh yang ngantri". Kata Jeka sembari menepuk-nepuk pundak Victor.

"Doi boleh nolak gue sekarang Bos, tapi liat aja nanti. Doi pasti jadi istri gue". Sahut Victor dengan sangat yakin. Jeka terkekeh mendengar perkataan Victor, pemuda itu merasa bangga dengan sahabatnya. Tumben Victor yang dikenal cowok somplak tak jelas bisa memiliki pikiran seperti itu.

Bressss...

Hujan tiba-tiba turun dengan derasnya dan sontak membuat kedua pemuda itu menatap kearah langit. Langit yang tadinya cerah berubah menjadi mendung, hanya warna putih yang mendominasi. Seketika pikiran Jeka menjadi kalut, pemuda itu sangat mengharapkan kabar dari gadisnya.

"Kalau langitnya putih gini biasanya bakal awet Bos hujannya". Komentar Victor. Jeka diam saja, mata pemuda itu masih betah menatap kearah langit. Hujan ini apakah pertanda? Karena mendadak hatinya merasa risau.

Ririn menghentikan langkahnya di lorong sekolah hanya demi menatap hujan yang mendadak turun. Gadis yang tengah membawa setumpuk buku paket untuk mata pelajaran selanjutnya itu mengulum senyum tipis. Ia teringat sahabatnya yang sangat menyukai hujan, ya Unaya suka hujan. Katanya suara hujan itu menenangkan, dan katanya aroma tanah yang bercampur dengan air hujan itu membuat candu. Ah masa sih? Tapi Ririn tak begitu menyukainya, sebab hujan menghambat aktivitasnya.

Drtttt...

Belum genap satu menit Ririn diam mengamati tetesan air hujan, gadis itu meraih ponselnya dan langsung mengangkat telepon dari Unaya.

"Ha...".

"Rin gue sakit". Ujar suara dari seberang sana. Dan karenanya Ririn semakin tidak menyukai hujan, sebab hujan terkadang membawa duka.

++

Sesaat setelah mematikan sambungan telepon, Unaya meremas ponselnya kuat-kuat. Mencoba sekuat mungkin untuk tidak menangis tapi semuanya sia-sia. Air mata itu mengalir dan meluber begitu saja menyatu dengan suara derasnya hujan siang ini. Perkataan dokter terus terngiang dikepalanya;

"Sudah lama semenjak Unaya dinyatakan sembuh, dari hasil lab menunjukan jika sel kanker kembali tumbuh. Rutinitas Unaya seperti dulu harus dilakukan kembali, tidak perlu takut. Kamu sudah pernah menghadapi situasi seperti ini sebelumnya Unaya".

Unaya memejamkan matanya rapat-rapat, ya ia kembali dinyatakan sakit. Mungkin karena salahnya yang selama ini selalu meremehkan keadaannya. Berbuat sesuka hati sampai-sampai melupakan jika ia pernah sakit parah. Dan sekarang, penyakit itu kembali datang memporak-porandakan hatinya. Sebetulnya tidak ada yang harus ia khawatirkan, toh ia pernah menghadapi situasi seperti ini. Dokter juga berkata jika ditangani lebih cepat, maka kemungkinan sembuh lebih besar. Namun kalimat terakhir yang diucapkan dokter kembali mengganggu pikirannya;

"Akan lebih baik jika kamu ditangani oleh dokter yang lebih profesional, Singapura pilihan yang tepat".

Dan disaat itulah Papa-nya langsung mengangguk setuju, keberangkatannya ke Singapura mungkin akan segera dipersiapkan. Itu tandanya Unaya harus menunda sekolahnya, dan juga berpisah dengan orang-orang yang ia sayangi disini. Apa ia sanggup?

--Bangsat Boys--

Ririn berjalan tergopoh-gopoh sembari menangis sesenggukan kearah Jeka dan Victor yang masih betah duduk di depan kelas. Gadis itu bahkan sampai tersandung kakinya sendiri hingga jatuh, buku paket yang ia bawa berserakan dilantai. Jeka dan Victor reflek menghampiri Ririn dan hendak membantu gadis itu memunguti buku.

"Rin, loe kenapa?". Tanya Victor namun tak mendapat sahutan sama sekali dari Ririn. Gadis itu justru menunduk dan meletakkan kedua tangannya diatas lantai sambil menangis sesenggukan.

"Hiks... hiks...". Tangis pilu seorang sahabat yang bersahut-sahutan bersama dengan deru air hujan. Gadis itu adalah orang pertama yang hancur begitu mendengar kabar Unaya sakit.

"Rin?". Tanya Victor sekali lagi. Gadis itu mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata, Ia menatap Jeka dengan sendu seolah-olah mengatakan pada pemuda itu agar tetap kuat setelah mendengar ceritanya.

"Una, dia sakit".

Deg!

Deg!

Deg!

Satu kalimat yang lolos dari mulut Ririn sukses membungkam Jeka. Mendengar Unaya-nya sakit membuat dunia Jeka runtuh seketika. Mata pemuda itu mulai berembun, meski air mata hendak lolos dipelupuk matanya namun ia mencoba menahannya. Masih mengingat prinsip jika seorang pria tidak boleh menangis. Dan tanpa mengatakan apapun, Jeka berlari meninggalkan Victor dan Ririn. Menerobos hujan, hendak menyusul gadisnya. Ingin mendengar secara langsung pesakitan yang gadisnya rasakan, setidaknya Jeka ingin menjadi sosok pemuda yang dijadikan tumpuan saat gadis itu merasa lemah.

--Bangsat Boys--