webnovel

9. Talk It Out

Jika ada yang membuat Arui sedih saat ini, tentu saja jawabannya adalah Fian yang mengatakan bahwa dia sudah tidak menyukai Arui lagi. Lebih menyakitkan lagi saat tahu alasannya.

Kini, Arui merasa dia tidak ada bedanya dengan perempuan lain yang memaksa pacarnya untuk menikah. Padahal Arui kira dia jauh lebih baik dari itu, tapi ternyata sama buruknya.

Fian pasti menganggapnya menyebalkan. Di umur yang masih muda seperti mereka, apalagi Fian seorang laki-laki, pasti prioritas utamanya adalah meraih karir setinggi mungkin.

Betapa bodohnya Arui tidak memikirkan hal itu. Tapi di sisi lain, Arui bisa menjadikan ini pelajaran. Umurnya juga masih terlalu muda untuk menikah. Masih ada banyak hal juga yang ingin dia lakukan. Mungkin tidak berpacaran dulu untuk sementara waktu bisa memulihkan perasaannya yang kacau ini.

"Arui, kamu masih sedih?" Arin menatapnya penasaran.

Arui menggeleng.

"Lalu kenapa kamu tidak menyentuh sarapanmu?"

Arui menghela napas panjang. "Entahlah, aku baru sadar kalau aku ini tidak berguna, suka merepotkan orang lain, dan menyebalkan."

Arin dan Arona saling berpandangan bingung di meja makan.

"Wajar saja kalau kamu masih sedih, lagipula hubungan kalian bukannya baru satu atau dia minggu. Kami saja yang mendengar kalian putus ikut sedih."

Arui menggembungkan pipinya, tatapannya kosong. "Tapi gara-gara hubungan yang sudah lama itu aku jadi rakus dan menginginkan pernikahan. Padahal kalau dipikir-pikir, umurku masih terlalu muda untuk menikah. Bahkan kak Arin saja belum, kenapa aku harus menikah duluan?"

Arin tersenyum pilu mendengar adiknya bicara seperti itu.

"Apa kamu izin saja hari ini? Bukankah tidak nyaman masih harus bertemu Fian tiap hari, padahal kalian baru putus? Kantor kalian kan dekat sekali."

"Kami sudah bicara lagi, kok. Kemarin dia bahkan mengantarku pulang."

Arin mengerutkan dahi. "Dia mengantarmu? Kenapa?"

"Dia bilang ingin berpisah baik-baik. Dia hanya tidak ingin menikah terlalu cepat, makanya memilih untuk berhenti sampai di sini."

Arin mengangguk-angguk paham. "Yah, keputusan bijak, sih. Lebih baik berpisah daripada sudah tidak punya pemikiran yang sama. Fian juga ada benarnya. Menikah itu keputusan yang berat."

Arui memaksakan senyumnya, ingin menangis tapi ucapan Arin sangat benar. Anehnya, bukan Arui yang terisak, melainkan Arona.

"Berarti kak Fian tidak akan ke sini lagi ya, kak? Dia tidak akan mengajakku main game lagi seperti sebelumnya?"

Arui mengusak kepala Arona. "Maaf, ya, Rona. Sayangnya dia memang sudah tidak bisa ke sini lagi."

"Sayang sekali, padahal aku jadi bisa main game balapan karena diajari kak Fian. Sekarang siapa yang akan mengajakku main game lagi?"

Arui meringis sedih. Gara-gara dia, Arona harus kehilangan sosok kakak laki-laki yang sudah lama dia inginkan untuk hadir di hidupnya.

"Tenang saja, Rona. Kak Arin kan punya pacar baru. Minta saja dia main ke sini untuk main game denganmu suatu hari nanti."

Perkataan Arui membuat Arin menaikkan sebelah alisnya.

"Pacar apanya? Sudah kubilang dia hanya kenalan."

"Yah, sebentar lagi pasti pacaran, kan?"

Arin menatap tajam Arui yang hanya tertawa jenaka. "Sok tahu sekali."

"Pacar kak Arin yang mana? Maksudnya kak Joan yang kemarin jadi sumber keributan kakak dengan kak Hana?" Arona bertanya dengan polosnya.

Arin hampir menyemburkan makanannya. "Enak saja. Itu sudah masa lalu. Aku juga bisa dapat laki-laki lain. Tapi kali ini aku belum berani membawanya ke sini karena aku takut si Hana sialan itu akan merebutnya lagi."

"Kak, masih pagi sudah kasar sekali."

Ketiganya hanya bisa tertawa karena kebiasaan mereka yang unik ini.

---

Berjalan seorang diri berangkat kerja, Arui tanpa sengaja bertemu Chiko yang baru saja keluar dari minimarket. Chiko tersenyum tipis tanpa menyapanya seperti hari kemarin.

Selain sedih, Arui juga merasakan hal lain hari ini. Ia merasa gusar, terutama saat teringat kejadian tadi malam. Arui tahu betul bahwa Chiko menatapnya tanpa ekspresi di atap rumahnya saat melihat Arui pulang bersama Fian.

Apakah Chiko marah?

"Dia mantan pacarmu, kak?"

Arui agak terlonjak mendengar pertanyaan Chiko seiring dengan langkah mereka yang makin menjauh dari rumah.

"Maksudku yang semalam. Dia mantan pacarmu?"

"Ah, iya dia mantanku."

"Kalian pacaran lagi?" Chiko terkekeh pelan sambil menanyakannya.

Arui menggeleng. "Dia hanya mengantarku pulang. Kami sudah tidak ada hubungan lagi."

Chiko hanya mengangguk menanggapinya.

"Aku tidak mungkin pacaran dengannya lagi. Tadi malam tidak seperti yang kamu pikirkan. Dia hanya mengantarkanku untuk terakhir kalinya. Dia juga yang bilang sudah tidak menyukaiku lagi."

Selesai mengatakannya, Arui jadi bingung sendiri. Mengapa dia harus menjelaskan semua itu ke Chiko yang bahkan tidak memiliki status apapun dengannya?

Arui berkedip beberapa kali, merasa bicaranya kali ini agak berlebihan.

Tidak disangka, Chiko justru menyemburkan tawa. Arui kembali dibuat bingung karenanya.

"Kamu tertawa? Apa ada yang lucu?"

Chiko menggeleng. "Kamu lucu sekali, kak."

"Lucu kenapa?"

"Lucu saja. Kamu menjelaskan sedetail itu seperti baru saja ketahuan berbohong."

Arui menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, ia lega melihat Chiko sudah bisa tersenyum lagi. Semalam ia agak khawatir melihat Chiko yang diam saja. Ia pikir Chiko marah padanya.

Tanpa Arui sadari, Chiko tiba-tiba saja sudah menatapnya lekat-lekat. Wajah laki-laki itu bahkan maju beberapa senti mendekat ke wajah Arui.

Perempuan itu menelan ludah, merasa gugup. "Ke-kenapa, Chiko?"

"Dahimu merah. Apa kamu terluka, kak?"

Arui meraba dahinya sendiri. "Eh? Masih merah? Kupikir sudah hilang."

"Kenapa bisa memerah seperti itu?"

"Sepertinya gara-gara aku membenturkan kepalaku ke tembok semalam. Tapi kupikir sudah hilang."

"Membenturkan kepalamu? Untuk apa? Pasti sakit sekali."

Arui hanya meringis, malu mengatakan bahwa dia sedih dan merasa bodoh setelah hubungannya gagal.

"Kenapa kamu selalu saja terluka saat bertemu denganku, kak? Sebentar, aku akan kembali ke minimarket untuk membeli obat dan plester luka."

Arui menahan lengan Chiko. "Jangan, Chiko. Kamu bisa terlambat kuliah. Lagipula aku sudah beli plester luka sendiri kemarin. Aku akan memasangnya nanti."

"Benarkah? Syukurlah. Tapi jangan melakukannya lagi. Kenapa kamu harus rela kesakitan seorang diri untuk laki-laki yang sudah tidak suka padamu?"

Arui tertawa pelan. "Lalu aku harus rela kesakitan untuk laki-laki yang suka padaku?"

Chiko mau tidak mau ikut tertawa geli. "Tentu saja tidak. Laki-laki yang menyukaimu tidak akan pernah membuatmu kesakitan, apalagi membiarkanmu menanggung sakit seorang diri. Dia harusnya menyembuhkan lukamu."

Setelah mengatakannya, Chiko jadi gugup sendiri.

Arui menatap Chiko lekat-lekat. "Seperti kamu yang menyembuhkanku dengan plester lukamu?"

Chiko menelan ludah, semakin gugup. Arui mengingatkannya tentang perkataan Chiko di taman komplek beberapa hari lalu.

Chiko lantas membuang muka ke arah lain karena sudah tidak sanggup melanjutkan pembicaraan ini.

"Apakah kamu sedang menggodaku, kak?"

Arui tertawa mendengarnya. Ternyata Chiko punya sisi yang menggemaskan seperti ini saat sedang malu, membuat Arui ingin bisa melihatnya lebih sering lagi.

-TBC-