webnovel

8. True Feeling

Jam pulang kerja sudah lewat 15 menit lalu. Arui memijat tengkuknya begitu selesai dengan pekerjaannya hari ini. Entah mengapa satu minggu ini rasanya melelahkan sekali. Saat berangkat, Arui harus menghindari Chiko. Saat pulang, ia harus menghindari Fian.

Rasanya hidupnya seperti pelarian. Meski umurnya sudah 23 tahun, tapi nyatanya ia belum dewasa sama sekali. Ia selalu melarikan setiap kali ada hal yang mengganggunya.

Hari sudah mulai petang, Arui mungkin saja harus menunggu kereta untuk pulang lebih lama dari biasanya. Tapi mau bagaimana lagi? Hanya ini satu-satunya hal yang bisa Arui lakukan untuk menenangkan diri.

"Arui,"

Seseorang memanggilnya dari arah belakang. Arui langsung tahu siapa pemilik suara itu. Ia hanya terdiam di tempat tanpa menoleh sama sekali.

"Arui, kita perlu bicara."

Fian, si pemilik suara indah yang Arui kagumi selama 4 tahun terakhir. Orang yang menyembuhkan lukanya, tapi juga menyakitinya di kemudian hari. Laki-laki yang membuat Arui muak akhir-akhir ini.

"Bicara apa lagi? Bukankah kita sudah putus."

"Aku tahu, tapi ibuku menuntut maaf darimu. Ayo ikut aku."

Arui bersedekap, ia lagi-lagi dibuat kesal karena Fian menyebut nama ibunya.

"Atas dasar apa dia menuntutku untuk minta maaf?"

Fian mendelik tajam. "Kamu pergi begitu saja waktu itu, padahal ibuku sudah merencanakan banyak hal untuk kita. Kamu sangat tidak menghargai orang tuaku."

Lagi-lagi seperti ini. Arui kini jadi mengerti mengapa Fian pantas untuk ditinggalkan. Laki-laki itu terlalu menurut pada ibunya. Bukan berarti Arui bilang bahwa anak yang menurut pada orang tuanya adalah hal yang buruk. Akan tetapi, menikah dengan laki-laki seperti ini hanya akan menyiksanya. Bahkan jika Arui berselisih dengan wanita itu, Fian tetap akan lebih membelanya daripada Arui. Lebih buruknya, seluruh kehidupan rumah tangga mereka akan diatur sepenuhnya oleh ibu Fian.

Arui tidak akan sanggup menangani semua itu.

"Fian, jujur saja padaku."

Laki-laki dengan kemeja dan dasinya yang longgar itu mengernyit. "Apanya?"

"Kamu tidak pernah ingin menikah denganku, kan?"

Fian membuang muka ke arah lain.

"Kalau kamu tidak menginginkannya, kenapa harus memaksakan diri? Kenapa harus mempertemukanku dengan ibumu kalau pada akhirnya tidak akan pernah ada kesempatan untukku masuk ke dalam keluargamu?"

Fian mendengus. "Kenapa menanyakannya padaku? Kamu sendiri yang sering menyinggung tentang pernikahan akhir-akhir ini."

"Itu karena kita sudah berpacaran agak lama. Kupikir kamu pernah memikirkannya juga walau hanya sekali."

Fian terdiam untuk sesaat.

"Aku belum memikirkannya. Ibuku juga belum mengizinkanku menikah terlalu cepat, apalagi setelah ayahku tidak ada. Aku harus menghasilkan banyak uang dan membahagiakan ibuku karena dia satu-satunya orang yang aku punya. Tapi aku berusaha memahamimu, aku bicara pada ibuku agar dia ikut memberi jalan keluar untuk hubungan kita."

Arui ternganga mendengarnya. "Jalan keluar? Bisa-bisanya kamu menyebutnya begitu? Kamu bahkan bukan merencanakan pernikahan denganku, tapi kamu dengan jelas mencoba menendangku dari hidupmu. Kamu bahkan memanfaatkan lukaku untuk mempermalukanku."

Fian mengendikkan bahu. "Aku hanya mencoba yang terbaik, tapi aku sendiri tidak tahu ibuku akan bicara sekasar itu."

Arui mengepalkan tangannya, ingin sekali rasanya ia memukul wajah Fian. Tapi ia tidak mungkin melakukan itu di trotoar yang dipenuhi banyak pejalan kaki ini.

"Lalu kenapa kamu memacariku kalau akhirnya seperti ini? Apakah dulu kamu juga hanya kasihan padaku?"

Fian menggeleng. "Dulu aku benar-benar suka padamu. Tapi sepertinya sekarang sudah tidak lagi. Aku rasa masih terlalu dini bagiku untuk memikirkan pernikahan."

Arui langsung lemas mendengarnya. Ia terduduk di atas trotoar sambil menangis. Betapa menyakitkannya perkataan Fian terhadap perempuan yang sudah menjalin hubungan dengannya selama 4 tahun ini.

Tangisan Arui makin keras, membuat orang-orang di sekitarnya memperhatikan. Fian sendiri langsung kebingungan, ia bisa-bisa dikira baru saja melakukan kekerasan pada Arui.

"Arui, kenapa kamu menangis?"

Arui mengabaikan Fian, ia lebih memilih untuk menangis lagi.

"Hei, berhenti menangis. Semua orang memperhatikan kita."

Belum berhasil. Arui kini menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Air mata masih saja mengalir deras.

Fian terpaksa jongkok di depan Arui dan menepuk-nepuk pundaknya. Mau bagaimana pun, mereka pernah punya hubungan. Fian tidak bisa meninggalkan Arui begitu saja di jalanan seperti ini setelah apa yang ia katakan.

"Baiklah, aku tidak akan memaksamu untuk minta maaf pada ibuku. Aku akan bicara dengannya nanti."

Arui menghapus air matanya yang belum berhenti bercucuran. "Memang siapa yang peduli tentang itu? Aku menangis karena kamu bilang sudah tidak menyukaiku lagi. Kalau sudah tidak ada perasaan, kenapa tidak bilang dari kemarin? Kamu membuatku seperti orang bodoh di depan ibumu."

Fian kembali menepuk pundak Arui. "Maaf karena tidak jujur padamu. Aku kesulitan mencari cara untuk putus, apalagi karena kita tidak pernah punya masalah sebelumnya."

Arui mendelik tajam. "Kenapa kamu tidak selingkuh saja? Aku pasti akan langsung meminta putus kalau kamu suka dengan perempuan lain."

Fian terkekeh geli. "Jangan bodoh. Selingkuh tidak menyelesaikan masalah. Sudahlah, berhenti menangis. Ayo, aku antarkan kamu pulang."

"Kenapa kamu ingin mengantarku padahal sudah tidak ada perasaan padaku?"

"Untuk terakhir kali ini saja. Anggap ini sebagai permintaan maafku. Aku hanya tidak ingin kita berpisah sambil membawa dendam."

---

Berdiri di atap rumah tanpa penerangan, di bawah langit malam. Chiko menatap banyak hal dari sini. Kereta komuter yang lewat, lampu-lampu toko yang beberapa padam lebih cepat dari yang lain. Seorang kakek tua yang mencari kucing kesayangannya.

Dari sini, Chiko merasa damai. Ia bisa memperhatikan banyak orang dalam kegelapan, jadi tidak perlu ada yang balik memperhatikannya sama sekali.

Sesekali Chiko perlu waktu untuk menyendiri seperti ini, karena dia lelah setelah seharian kuliah dan bekerja paruh waktu. Kak Mina juga punya kesibukan sendiri setelah bekerja. Kadang mampir ke rumah tetangga barunya, kadang juga pergi dengan pacarnya.

Tatapan mata Chiko seketika jatuh pada seorang perempuan yang familiar baginya sedang berjalan menuju rumahnya sendiri, akan tetapi perempuan itu tidak sendirian. Chiko bisa melihat ada seorang laki-laki yang berjalan bersamanya.

Chiko memperhatikan gerak-gerik keduanya tanpa berkedip.

"Terima kasih sudah mengantarku, sana pulang."

"Tapi aku belum menyapa kakak dan adikmu."

"Tidak perlu. Aku sudah menceritakan semuanya pada mereka, jadi mereka sudah tidak ingin bertemu lagi denganmu."

"Ah, baiklah. Titipkan salamku untuk mereka. Aku pulang dulu. Jaga dirimu baik-baik, ya."

Chiko tahu persis apa yang dia rasakan saat ini. Perasaan marah, cemburu, bercampur jadi satu, terlebih saat perempuan itu melambaikan tangan ke arah si laki-laki yang mulai menjauh.

Oh, jadi itu mantan pacar yang sudah membuat Arui menangis. Tapi mengapa mereka bersama lagi?

Sedetik kemudian, Arui mendongakkan kepalanya. Sepertinya perempuan itu menyadari keberadaan Chiko di atas sini.

Arui nampak terkejut, tapi Chiko yang sudah terlanjur terluka tidak memiliki tenaga untuk menyapa Arui. Pada akhirnya, Chiko hanya diam saja sampai Arui memasuki rumahnya sendiri.

Laki-laki itu menghela napas panjang. Padahal ia kira tatapan malu-malu Arui padanya sejak kemarin adalah pertanda bahwa Chiko punya kesempatan untuk mendekatinya.

Sepertinya Arui hanya menganggap ucapannya tempo hari sebagai angin lalu saja.

-TBC-