webnovel

7. Emotionally Attacked

Berdiri di depan cermin, Arui menatap pantulan dirinya sendiri. Ia sedang bersiap untuk berangkat ke kantor. Bajunya sudah rapi, roknya pun sudah disetrika dengan halus. Polesan bedak tipis dan pewarna bibir sudah membuat penampilannya sesegar angin pagi. Akan tetapi, ada satu hal yang mencuri perhatiannya di depan cermin ini.

Arui meraba pipinya, di sana masih ada lukanya yang belum mengering sejak kemarin. Plester luka yang diberikan oleh Chiko sudah ia lepas, tapi belum ia buang dan masih ada di atas meja riasnya. Arui memandangi plester luka itu, lalu tiba-tiba gugup sendiri.

Buru-buru ia menggeleng keras. Ini bukan saatnya untuk Arui tersipu akan perkataan Chiko. Lagipula mereka belum lama saling kenal. Bisa saja Chiko memang bercanda, hanya saja dia tidak mengungkapkannya pada Arui.

"Lebih baik aku mencari plester baru di minimarket."

Arui keluar dari kamar dan bersiap untuk pergi kerja. Ia melihat Arona yang masih belum selesai sarapan. Arin entah ada di mana, tapi sepertinya masih sibuk berdandan di kamarnya.

"Rona, belajar yang benar hari ini. Jangan sampai membolos lagi. Kakak berangkat dulu." Ucapnya sembari mengambil sepatu.

Arona hanya berdecak mendengarnya.

"Kak Arin, aku pergi duluan, ya." Teriakan Arui langsung dibalas dengan cepat oleh Arin di kamarnya.

Selepas berpamitan, Arui membuka pintu rumah. Ia selalu berangkat seperti ini, berjalan kaki sampai stasiun dan naik kereta sampai depan kantornya.

Akan tetapi Arui dibuat tersentak saat melihat Chiko yang baru saja keluar dari rumahnya juga. Arui berjalan mundur dan bersembunyi di balik tembok rumahnya.

Jantungnya berdetak begitu cepat, entah untuk alasan apa. Tapi yang jelas, Arui merasa canggung jika harus bertemu Chiko sekarang.

Arui mengintip jalan kompleknya, siapa tahu Chiko masih ada di sana. Tapi rupanya laki-laki itu sudah berjalan lumayan jauh. Arui menghela napas lega. Akhirnya dia bisa pergi ke kantor dengan perasaan tenang.

Oh, sebelum itu, Arui harus ke minimarket untuk membeli plester luka sesuai rencananya. Maka dari itu ia berbelok ke minimarket di depan komplek yang sudah biasa ia kunjungi. Tapi alangkah terkejutnya Arui ketika ia mendapati Chiko sedang berdiri di depan meja kasir.

Chiko langsung menyadari kehadirannya, membuat Arui memaksakan senyum untuk menyapanya.

"Hai, kak. Berangkat kerja?"

"Iya. Kamu berangkat kuliah?"

"Iya, aku ada kelas pagi."

Selesai mengobrol sebentar, Arui langsung berjalan menuju rak-rak yang menjulang. Ia jadi bingung mengapa Chiko tiba-tiba ada di sini, padahal jelas-jelas tadi Arui melihat Chiko sudah berjalan menjauh. Apakah Arui salah orang?

"Kak, aku duluan, ya."

"Oh, iya, duluan saja."

Arui melihat Chiko yang berjalan keluar  minimarket. Entah mengapa laki-laki itu terlihat santai sekali setelah mengatakan hal yang aneh seperti kemarin. Justru Arui yang gusar sendiri.

Tapi baguslah, itu artinya Chiko memang hanya bercanda.

---

Duduk di kursi sembari mengetuk-ngetukkan kakinya, Arona tengah berpikir keras. Andai saja si ketua osis jelek itu tidak melaporkan dia yang bolos ke guru konseling, pasti tidak akan ada drama ia dimarahi Arin.

Sekarang, Arona sedang memikirkan cara paling jitu untuk balas dendam. Tapi sebelum itu, sepertinya dia harus membolos lagi, karena hukumannya akan dimulai hari ini. Arona tidak mau disuruh menggosok toilet berkali-kali. Lebih baik kabur menurutnya.

"Rona, jangan bilang kamu sedang berpikir untuk bolos lagi."

Emy, teman sebangkunya duduk manis sambil membaca buku biologi tanpa menatap ke arah Arona sama sekali.

Arona terkekeh pelan. "Satu kali ini saja, Emy. Aku malas sekali kalau harus menggosok toilet lagi."

Emy menutup bukunya. "Coba bicarakan baik-baik dulu dengan kak Wildan. Dia orangnya baik, kok. Aku yakin dia pasti akan mengerti."

Arona mencebikkan bibirnya. Gadis bersurai panjang dengan ikat rambut berbentuk pita warna putih itu hanya bisa meraup wajahnya kasar.

"Aku justru paling benci dengan dia. Kenapa ketua osis seperti dia harus berurusan denganku? Apakah dia tidak sibuk? Tidak ada kerjaan sampai main kejar-kejaran denganku?"

Emy menggaruk pelan kepalanya. "Dia tidak separah ini sih saat menjadi ketua osis di smp kami dulu. Mungkin saja dia diminta lebih tegas oleh guru di sini?"

Arona hanya bisa menatap datar Emy yang begitu polos. "Mana mungkin seperti itu, sayangku? Dia pasti hanya kurang kerjaan saja, atau dia kesepian, makanya suka cari perhatian."

Emy kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Cari perhatian? Bukankah itu kamu? Kamu bilang sering bolos karena ingin diperhatikan orang tuamu."

Arona tiba-tiba terbatuk, merasa ucapan Emy sangat menohok ke ulu hatinya. Tapi tidak salah, sih. Arona sendiri yang bilang itu ke Emy tempo hari.

Arona tanpa sengaja melihat orang yang sedang mereka bicarakan berada di ambang pintu. Ia melotot dan segera bersembunyi di bawah meja.

Si ketua osis itu masuk ke ruang kelas Arona dan segera saja menghampiri Emy.

"Emy, kamu lihat Arona?"

Emy gelagapan menjawab pertanyaan kakak kelasnya itu. Ia menengok ke bawah meja, tapi Arona sudah tidak ada di sana. Entah ke mana dia pergi begitu cepatnya.

Memperhatikan tatapan Emy yang tertuju ke bawah meja, Wildan langsung paham. Si gadis licik itu ingin main kejar-kejaran lagi dengannya.

Wildan beranjak dari meja Emy dan melangkah ke bangku paling belakang. Laki-laki itu langsung menemukan si pembuat masalah yang tengah jongkok dan menyapanya dengan senyuman lebar.

"Hai, Arona."

Arona berdecak sebal. Ia segera saja keluar dari tempat persembunyiannya. Padahal hari masih pagi, Arona juga baru saja mencerna sarapannya, tapi si osis sialan ini sudah membuat pencernaannya terganggu.

"Ayo ikut aku," Wildan langsung saja menyeret Arona keluar dari ruang kelas.

Semua anak-anak di sekolah ini terheran melihat Arona yang lagi-lagi menjadi bulan-bulanan ketua osis. Beberapa yang lain mungkin justru merasa kesal pada Arona karena terlalu menempel ke kakak ketua osis ganteng ini.

Arona berdecih dalam hati. Siapa juga yang mau suka pada laki-laki kejam seperti Wildan? Atau mungkin anak perempuan di sekolah ini masokis semua, makanya rela disiksa hanya untuk mendapatkan perhatian si tinggi menjulang ini.

Berhenti di depan ruang osis, Arona melepaskan cengkeraman tangan Wildan dari lengannya. Ia lantas buru-buru merapikan seragamnya yang agak acak-acakan.

"Di mana ini?" Arona bertanya sewot.

"Kamu tidak bisa baca? Jelas-jelas ada tulisannya." Wildan membalas tidak kalah sewot.

"Iya, aku tahu. Tapi kenapa kita ada di sini? Kenapa tidak ke toilet perempuan?"

Wildan mendengus pelan. "Sesuka itu ya kamu dengan toilet? Hari ini tugasmu berbeda. Pel ruang osis sampai bersih. Itu pesan dari guru konseling."

Arona melotot tidak terima. "Mengepel ruang osis? Yang sebesar ini? Kamu pasti sudah gila."

Wildan hanya mengendikkan bahu.

"Ini pasti akal-akalanmu saja, kan? Kamu sengaja menyiksaku." Arona semakin sewot.

"Kamu yang menyiksa dirimu sendiri, Arona. Kalau kamu tidak membuat onar, kamu tidak perlu melakukan ini. Cukup duduk manis saja di kursimu dan ikuti pelajaran dengan rajin."

Arona mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia semakin kesal dengan Wildan. Andai saja ada cara untuk Arona membalas laki-laki sok keren ini.

-TBC-