webnovel

5. Meet You Again

Dalam perjalanan menuju rumah, Arui sesekali mengusap pipinya yang penuh air mata. Kerikil kecil ia tendangi karena perasaan yang berkecamuk. Entah mengapa ia tidak mendengarkan ucapan Sora dan lebih memilih untuk bertemu ibu Fian terlebih dulu.

Akan tetapi, jika dia tidak memutuskan untuk bertemu ibu Fian, ia tidak akan tahu sifat asli Fian yang seperti itu. Laki-laki itu bahkan dengan lantang bicara sembarangan tentang luka Arui. Fian memanfaatkan kelemahan Arui, dan itu sangat tidak sopan.

Kak Arin pasti marah besar jika tahu Fian seperti itu. Bisa-bisa Fian dipukuli habis-habisan.

Duduk di depan rumahnya, Arui menyembunyikan wajah di balik tas selempangnya yang ada di atas lutut.

Entah mengapa ia belum ingin masuk ke rumah. Ia belum siap jika Arin bertanya banyak tentang matanya yang sembab.

Derap langkah kaki tiba-tiba terdengar dari kejauhan, dan langkahnya semakin mendekat dan berhenti tepat di depan Arui. Arui langsung mendongak untuk mendapati tetangga barunya yang berbalutkan celana jeans hitam selutut dan kaos putih polos pendek. Laki-laki itu memandanginya penasaran.

"Kenapa kamu di luar malam-malam begini, kak? Apa tidak dingin?"

Arui merapikan helaian rambutnya yang berantakan dan menggeleng pelan.

Chiko berjongkok dan semakin memperhatikan lekat-lekat mata Arui yang memerah dan bengkak.

"Kamu menangis? Ada masalah apa?"

"Tidak, aku baik-baik saja." Arui terkekeh pelan sembari mengusap matanya, berharap bengkaknya segera hilang meski tidak mungkin.

Chiko lantas berpindah untuk duduk di tempat kosong samping Arui. Mereka bersisian di teras rumah bercat biru ini.

"Tidak apa-apa kalau kamu mau menangis lagi, kak. Tapi jangan terlalu lama. Dunia akan lebih indah kalau kita banyak tersenyum."

Arui makin merasa suram saat disemangati seperti itu. Sayang sekali, dunia indahnya sudah tidak bisa Arui pijak lagi. Fian bukan lagi orang yang menyayangi Arui seperti dulu. Bagaimana caranya Arui bahagia di saat seperti ini?

Arui beralih menatap Chiko yang masih setia duduk di sampingnya. "Kamu sendiri sedang apa di sini? Mau ke mana?"

"Tidak ke mana-mana. Aku hanya tidak sengaja melihatmu dari atap rumahku tadi, lalu aku ke sini."

Arui mengernyitkan dahinya. "Kamu memperhatikanku dari atap rumahmu?"

"Bukan begitu, kak. Hanya tidak sengaja. Memang sudah kebiasaanku menyendiri di atap. Rasanya menyegarkan terkena angin."

"Tapi angin malam tidak bagus untuk tubuh."

Chiko menggaruk kepalanya sembari terkekeh pelan. "Iya, sih. Tapi menyenangkan juga, bisa melihat banyak orang lewat dari atas sana. Kadang aku melihat pasangan yang bertengkar di jalan. Kadang juga melihatmu yang sering pulang malam."

Mendengarnya, Arui jadi teringat ucapan ibu Fian tadi.

"Kenapa? Kamu juga tidak suka melihat perempuan kerja sampai malam? Kamu pikir perempuan yang bekerja sampai malam tidak bisa jaga diri?"

Tanpa sadar Arui menaikkan nada bicaranya, dan itu membuat Chiko kebingungan.

"Kamu kenapa, kak?"

Arui menghela napas lelah. "Maaf, aku bukan bermaksud membentakmu."

Chiko curi-curi pandang ke arah Arui. "Apa ada yang bicara seperti itu padamu, kak? Apa itu alasanmu menangis tadi?"

Arui diam saja. Ia mengangguk pelan setelahnya.

"Apa kamu juga berpikir begitu, Chiko? Apakah semua laki-laki berpikir kalau perempuan tidak boleh bekerja?"

Chiko menggembungkan pipinya. "Kenapa kamu berpikir semua laki-laki punya pikiran yang sama, kak? Tentu saja setiap manusia punya jalan pikiran sendiri."

Arui baru menyadari jika pikirannya menyempit gara-gara kemarahannya sendiri. Ia lupa jika masih ada banyak laki-laki baik di luar sana.

"Benar, ada banyak laki-laki yang tidak berpikir seperti itu. Hanya aku saja yang kurang beruntung."

Chiko tertegun melihat Arui yang nampak rapuh. "Kenapa kamu berhubungan dengan laki-laki seperti itu, kak?"

Arui tergelak. "Aku sudah putus darinya, kok. Dia langsung setuju seolah-olah sudah menunggu hari ini tiba."

"Lalu, kamu baik-baik saja sekarang?"

Arui mengangguk pelan. "Masih sakit, tapi aku yakin akan membaik nanti."

Melihat senyum Arui, membuat perasaan Chiko membaik. Meskipun senyuman itu nampak menyedihkan karena masih ada sisa air mata di pelupuk mata perempuan cantik itu, Chiko tetap menyukainya.

"Ah, aku lupa. Aku belum memperkenalkan diriku. Padahal kita bertetangga sekarang. Namaku Arui. Aku punya kakak dan adik perempuan. Kami hanya tinggal bertiga di rumah."

Chiko menarik sudut-sudut bibirnya, senang karena Arui tidak lagi membicarakan laki-laki lain.

"Lalu di mana orang tuamu?"

"Mereka sudah menikah lagi, dan rumah ini diberikan ke kami karena mereka sama-sama memilih tinggal di rumah pasangan baru mereka."

Senyum Chiko luntur seketika. "Orang tuamu meninggalkan kalian bertiga? Apa kamu tidak sedih?"

Arui menggeleng. "Sudah lima tahun terlewati, jadi aku sudah baik-baik saja sekarang."

Chiko ingin sekali mengulurkan tangan dan menepuk pundak perempuan itu, namun ia tahu ia tidak boleh melakukannya, apalagi mereka ini baru saling mengenal.

"Kamu sendiri, kenapa kamu pindah ke sini? Kakakmu bilang kamu masih kuliah, tapi kenapa kamu bekerja di cafe itu?"

"Iya, aku masih kuliah. Sekarang semester empat. Aku pindah ke sini karena kakakku mengajakku tinggal bersama. Dia bilang lebih hemat biaya kalau tinggal serumah. Tapi karena biaya kontrakan tidak murah, jadi aku bekerja paruh waktu untuk ikut membantu membayar kontrakan ini."

Arui mengangguk paham. Ternyata benar apa yang dikatakan kakaknya belum lama ini. Laki-laki ini masih anak kuliahan.

"Wah, kamu masih muda tapi sudah jadi pekerja keras."

Chiko tersenyum malu. "Kalau tidak begini, aku akan merasa bersalah pada kakakku."

Sibuk mengobrol, keduanya dikejutkan oleh pintu rumah Chiko yang dibuka dari dalam. Muncul 2 perempuan yang sedang tertawa-tawa bersama.

"Kak Arin?"

Arui berdiri begitu melihat kakaknya. Ia kira kakaknya ada di dalam rumah sedari tadi, tapi ternyata agenda mencari teman barunya masih belum berakhir.

"Oh, hai, Rui. Kamu sedang apa di luar? Eh, ada Chiko juga. Kalian di sini dari tadi?"

"Hanya sebentar kok, kak. Kalau begitu aku permisi dulu." Chiko tersenyum pada semua orang dan masuk ke rumahnya.

"Aku masuk dulu ya, Rin." Kak Mina melambaikan tangan sebelum menutup pintu.

Kini tersisa Arui dan Arin di depan rumah mereka.

"Kamu kenapa tidak masuk dari tadi? Kenapa juga baru pulang malam-malam begini? Kamu ke mana saja?" Arin membuka pintu rumah yang tidak dikunci.

Arui menghela napas panjang. "Kakak sendiri kenapa main terus di rumah kak Mina? Memangnya dia tidak lelah menemui kakak setiap hari?"

"Ini kan hari minggu, semua orang libur kerja. Lagipula dia yang menawariku mampir tadi. Oh, ya, kamu sudah makan malam? Aku dan Rona sudah makan dari tadi."

Arui menggeleng.

Arin melotot. "Fian tidak mengajakmu makan? Laki-laki macam apa yang tidak menawari makan saat kencan?"

Arui mendengus. "Kencan apanya? Kami sudah putus."

"Hah? Putus? Kamu dan Fian putus? Tiba-tiba sekali?"

Arui menutup mulut Arin karena tidak ingin Arona yang ada di kamar terganggu.

"Aku belum bisa membicarakannya sekarang. Aku lapar sekali. Buatkan aku makan."

Arin berdecak sebal. "Tapi aku penasaran, kalian sudah empat tahun pacaran, kenapa tiba-tiba putus?"

"Dia tidak menyukaiku lagi."

-TBC-