webnovel

4. Unexpected

Arui berjalan keluar rumah di malam hari. Ia menggandeng lengan Arona karena ingin mengajak adik bungsunya mencari es krim di minimarket depan komplek rumah, daripada mengurung diri di kamar terus.

Di sisi lain, Arin sedang gencar main ke rumah teman barunya. Arui sudah ke sana tadi bersama Arin, akan tetapi ia undur diri lebih dulu karena sepertinya keduanya langsung mengobrol akrab sekali. Arui sampai lelah sendiri meski hanya menjadi pendengar.

"Kamu masih marah dengan kak Arin?"

Arona menggeleng. "Kapan aku marah?"

Arui mengernyit. "Tadi sore. Kamu lupa? Kamu bahkan membanting pintu."

Arona menggaruk kepalanya. "Bukan begitu. Aku marah karena masalah lain di sekolah. Tapi karena kak Arin marah-marah, aku jadi ikut terpancing."

"Memangnya ada masalah apa di sekolah? Pelajaran? Gurumu menyebalkan? Atau ada yang merundungmu?"

Arona menggeleng. "Ada anak laki-laki yang menyebalkan."

Arui melepaskan gandengan tangannya pada lengan Arona, ia lantas menutup mulut dengan kedua tangan. "Wah, apa ini? Kamu sudah punya pacar?"

"Enak saja. Laki-laki menyebalkan seperti itu tidak akan pernah bisa menjadi pacarku."

Arui menepuk pelan kepala Arona. "Awas loh, benci bisa jadi cinta."

"Ih, kak Arui apa-apaan, sih?" Arona merengut sebal, sementara Arui terus menggodanya.

Sibuk bercanda, Arui sampai baru menyadari jika ada seorang laki-laki yang berjalan berlawanan arah dengannya. Laki-laki itu nampak tidak asing.

"Oh, kak-"

Laki-laki itu menyapanya lebih dulu.

Arui ikut tersenyum sumringah. "Oh, Chiko? Cafe perpustakaan?"

"Iya, kak. Ini aku."

Laki-laki itu lantas berhenti melangkah dan berdiri berhadapan dengan Arui. Ia tersenyum ramah.

"Kamu sedang apa di sini?"

"Aku mau pulang."

"Pulang? Rumahmu di sini?"

Chiko mengangguk. "Aku baru pindah kemarin ke kontrakan itu."

Melihat Chiko menunjuk rumah yang persis berdiri di sebelah rumahnya, Arui membelalak makin kaget.

"Ah, kamu penghuni kontrakan itu? Rumahku ada di sebelahnya. Kita bertetangga ternyata."

Chiko tidak menjawab banyak dan hanya tersenyum ramah seperti sebelumnya.

"Siapa, kak Arui?" Kamu kenal dia?" Arona menyikut perut Arui sambil berbisik.

"Ini Chiko. Aku pernah bertemu dia di cafe. Oh iya, Chiko. Ini adikku. Namanya Arona."

"Hai, Arona. Kamu kelas berapa?"

Bukannya menjawab pertanyaan laki-laki asing yang baru ditemuinya, Arona justru melangkah pergi.

"Kak, aku ke minimarket dulu. Sebaiknya kamu cepat menyusul."

Chiko mengedip heran karena dia baru saja diabaikan.

Arui tertawa pelan. "Maaf, ya. Adikku memang seperti itu ke orang yang tidak dia kenal."

"Tidak apa-apa, kak. Anak smp sekarang memang seperti itu."

"Tapi dia sudah sma, Chiko."

Chiko kehabisan kata-kata begitu mendengarnya.

"Kalau begitu aku pergi dulu, ya. Sampai bertemu lagi."

Chiko tidak menjawab dan hanya melambaikan tangan saat perempuan yang baru ia ketahui namanya itu menjauh dari hadapannya.

Chiko tersenyum samar. Lucu sekali, perempuan itu lupa memperkenalkan dirinya sendiri dan justru memperkenalkan adiknya lebih dulu.

Sembari kembali melangkah menuju rumah, Chiko teringat tentang malam kemarin saat ia baru saja selesai membereskan barang bawaannya ke kontrakan baru.

Ia sudah tahu lebih dulu bahwa Arui adalah tetangga barunya, karena kemarin malam ia melihat Arui dari atap rumahnya. Perempuan itu sepertinya baru pulang kerja di hari yang sudah gelap.

Jujur saja Chiko terkejut melihat perempuan yang menarik perhatiannya tiba-tiba masuk ke rumah sebelah. Benar-benar tepat di samping kontrakan yang baru ia tempati. Padahal ia tidak berharap banyak bisa bertemu Arui lagi sejak kejadian agak dramatis di cafe, karena ia pikir kecil kemungkinan untuk bertemu pengunjung yang sama dua kali. Biasanya pengunjung cafe tempatnya bekerja mudah bosan dengan konsep cafe yang seperti itu, karena tidak leluasa untuk bicara keras-keras.

Keberuntungan rupanya sedang berpihak padanya kali ini.

---

Arui merasa minggu ini cepat sekali berlalu. Tiba-tiba saja sudah hari minggu, ia sampai sudah kehabisan ide untuk menolak ajakan Fian untuk mengunjungi rumahnya.

Arui menelan ludah, begitu canggung. Ia berdiri di depan rumah bercat kuning itu bersama Fian. Ia sengaja tidak membawa apapun di tangannya meski akan menemui ibu dari pacarnya, karena ia berrencana mengakhiri semuanya hari ini. Ia akan menolak semua rencana Fian dan permintaan ibunya yang tidak masuk akal itu.

"Sudah siap? Ibuku sepertinya sudah di rumah sekarang." Fian menggandeng tangan Arui.

"Siap, kok." Arui memaksakan senyumnya meski gugup lebih menguasai dirinya.

Ini pasti tidak akan sulit. Arui hanya perlu tersenyum dan menolak dengan baik-baik.

"Sudah datang?"

Suara pintu yang dibuka, diiringi dengan munculnya wanita berusia 50an tahun dengan pakaiannya yang agak berdebu. Sepertinya ibu Fian baru saja pulang dari ladang. Itu yang ada di pikiran Arui.

"Masuk,"

Arui merasakan gelagat aneh ibu Fian yang tidak tersenyum sama sekali padanya, bahkan hampir tidak mau menatapnya.

Duduk dengan perasaan tidak nyaman, Arui hanya bisa diam. Fian justru masuk ke kamarnya karena ia bilang ponselnya kehabisan baterai. Kini hanya ada Arui dan ibunya saja.

"Jadi, bagaimana? Kamu setuju dengan permintaan ibu?"

Arui gelagapan ditanya terlalu tiba-tiba seperti itu. Dia bahkan tidak disuguhi minuman terlebih dulu.

"Sebenarnya harapan ibu tidak banyak. Ibu hanya ingin punya menantu yang patuh pada ibu dan Fian."

"Ah, iya." Arui memaksakan senyumnya.

"Ibu sudah bilang pada Fian, menikah harusnya dengan perempuan yang tidak bekerja kantoran. Perempuan yang bekerja seperti itu rawan sekali berselingkuh. Padahal harusnya fokus mengurus suami saja. Kalau misal membantu ibu di ladang kan lebih aman, karena ibu bisa ikut mengawasi."

Arui mendadak sesak napas mendengar ucapan ibu Fian yang keterlaluan.

"Lagipula, tugas perempuan memang di rumah. Ibu harap kamu mengerti, karena menurut ibu, seperti itulah contoh perempuan yang bisa menjaga dirinya."

Arui menganga, terasa sekali jika ibu Fian berusaha untuk menjatuhkannya. Arui jadi teringat ucapan Sora. Apakah ia harus mencoba disakiti dulu baru bisa sadar? Apa Arui benar-benar harus melaluinya, meski ini lebih buruk dari dugaannya?

"Apa maksud ibu? Saya bekerja tapi bisa menjaga diri, kok."

Ibu Fian merengut untuk sesaat. "Sekarang mungkin iya. Tapi saat menikah nanti, siapa yang tahu? Ujian orang menikah itu banyak sekali. Memangnya kamu tidak diajari ibumu tentang ini? Ah, benar. Ibumu sudah menikah lagi. Jadi, mungkin kamu baru tahu ini sekarang."

Telinganya terasa berdenging begitu ucapan ibu Fian terasa sangat menohok ulu hatinya. Arui tidak tahu jika akan seperti itu pandangan ibu Fian terhadap keluarganya. Seolah trauma yang sudah Arui tinggalkan jauh-jauh hari kini menghampirinya lagi.

Lebih lucunya, Fian adalah orang yang membantunya mengatasi trauma itu. Tapi ibunya justtu menghancurkan semuanya.

"Pas sekali, bukan? Kamu butuh sosok ibu yang bisa mengajarimu banyak hal. Nanti ibuku akan menjadi ibumu juga, Arui. Kita semua harus saling menyayangi dan membentuk keluarga yang rukun nantinya."

Arui menatap tajam Fian yang baru kembali dari kamarnya. Matanya memanas menahan tangis. Ia tidak menyangka bahwa Fian, orang yang ia anggap istimewa, yang selalu ia banggakan ke siapapun, justru menggunakan lukanya untuk mengatakan omong kosong seperti itu.

"Maaf, sepertinya saya tidak bisa."

Ucapan Arui barusan membuat Fian dan ibunya mengernyit bingung.

"Tidak bisa apa, Arui?"

Arui kembali menatap tajam Fian yang berpura-pura tidak bersalah.

"Aku tidak bisa menikah denganmu."

Arui berdiri dan melangkah menuju pintu. Sebelum benar-benar pergi, ia berbalik untuk menatap wanita yang begitu Fian sayangi itu.

"Maaf saya sepertinya tidak bisa mengabulkan permintaan ibu. Saya hanya perempuan yang tidak bisa menjaga diri, dan selamanya akan tetap seperti ini. Jadi, saya permisi. Ibu bisa mencari perempuan lain yang sesuai keinginan ibu."

Begitu berjalan keluar dari rumah itu beberapa langkah, Arui bisa mendengar Fian memanggil-manggil namanya. Laki-laki itu tiba-tiba saja sudah ikut keluar dan menarik lengannya.

Arui mau tidak mau menghentikan langkahnya.

"Kamu ini kenapa, Arui? Aku belum selesai bicara."

Arui menepis tautan tangan Fian. Ia segera saja menangis. "Kita putus saja. Aku tidak bisa menikah denganmu."

-TBC-