webnovel

3. Weird People

Arui tidak bisa tidur setelah mendapatkan kejutan dari laki-laki yang ia pikir sudah menjadi pacar terbaiknya selama ini. Kini Arui harus memutar otak, mencari cara untuk mengakhiri rasa cintanya pada Fian.

Tapi Arui berakhir menangis, karena ia sangat menyukai Fian selama ini. Kalau tidak ada Fian di sisinya selama ini, Arui mungkin sudah menyerah pada hidupnya. Orang tua yang bercerai dan menikah lagi, dan ia yang tinggal hanya bertiga dengan kakak dan adik perempuannya di rumah lama mereka. Arui begitu stres hingga berpikir tidak akan ada laki-laki yang mau mencintainya, apalagi ketika laki-laki itu tahu keadaan keluarganya yang berantakan.

Akan tetapi, Fian tidak seperti itu. Laki-laki itu selalu bertahan hingga sekarang. Fian tidak pernah menjauh meski Arui tidak sempurna. Maka dari itu, Arui bingung ketika harus melepaskan Fian.

Ini keputusan yang sulit.

Sebuah panggilan telepon tiba-tiba masuk ke ponselnya ketika Arui sedang dalam perjalanan pulang dari kantor.

Kebetulan sekali, Fian meneleponnya. Apakah Fian bisa membaca pikirannya?

"Halo, Fian?"

"Arui, kamu sudah pulang? Kenapa tidak mengabariku?"

Langkah Arui terhenti, ia tergagap sebelum menjawab. Arui tidak ingin Fian sadar jika ia sedang menghindari laki-laki itu.

"Oh, maaf, aku buru-buru pulang karena adikku berulah. Kita bisa pulang bersama besok, Fian."

"Baiklah. Tapi sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan. Ibuku ingin bertemu denganmu akhir pekan nanti. Kamu bisa, kan?"

Jantung Arui terasa seperti melompat keluar dari tempatnya.

"Akhir pekan ini? Apa tidak terlalu cepat, Fian?"

"Justru kita harus secepatnya mengurus ini semua, agar pernikahan kita juga bisa segera terwujud."

"Aku bahkan belum bilang setuju untuk berhenti kerja."

"Kita bisa bicarakan itu dengan ibuku nanti. Sudah dulu, ya. Aku harus mengejar kereta."

Belum sempat Arui protes lagi, panggilan telepon itu sudah ditutup sepihak. Arui jadi harus mengacak rambutnya kasar, ia bingung sekali menghadapi situasi ini.

Harusnya ia tidak perlu menghindar dan langsung meminta putus saja tadi.

"Argh, tolong!"

Arui begitu terkejut saat mendengar teriakan perempuan minta tolong. Suara itu semakin jelas menuju ke arahnya, dan kemudian berlari melewatinya begitu saja.

Untuk beberapa saat, Arui berkedip bingung. Ia menatap perempuan berseragam sma itu yang lari-larian dan masuk ke rumahnya. Itu adalah Arona, adik perempuannya yang baru saja berulah di sekolah hari ini.

Saat hampir melangkah kembali, lagi-lagi ada perempuan lain yang berlari melewatinya. Perempuan itu nampak marah besar.

"Arin? Ah, sepertinya akan terjadi keributan lagi malam ini." Arui merotasikan bola matanya, ia menghentak-hentakkan langkah hingga masuk ke rumah.

---

Arui sedang duduk di sofa bersama Arin, sementara Arona duduk di atas karpet sambil menunduk.

"Kamu masih belum menyesali perbuatanmu, Rona? Sebegitu bosannya kamu sekolah?"

"Kak, sudahlah. Jangan marah-marah terus, nanti kamu cepat tua." Arui mengelus pundak kakaknya.

"Diam, Arui. Anak ini benar-benar butuh pelajaran. Dia lagi-lagi bolos kelas terakhir. Guru di sekolahnya menelepon mama, dan kamu tahu siapa yang disalahkan atas tindakan Arona yang begitu? Aku. Mama marah karena aku tidak bisa mendidik Arona dengan baik."

"Kenapa mama harus memarahi kak Arin karena tidak bisa mendidikku dengan baik? Bukankah itu harusnya jadi tugas mama?"

Ucapan Arona membuat kedua perempuan di atas sofa tersentak. Setelahnya, Arona balik menatap marah pada Arin dan berjalan menuju kamarnya sendiri.

Tidak lupa Arona membanting pintu kamarnya untuk menekankan bahwa dia juga berhak marah.

"Selalu seperti ini ya, kak." Arui mencoba tertawa untuk memecahkan suasana meski canggung.

Tiba-tiba saja Arin menggenggam tangan Arui. "Aku senang karena kamu sudah bisa melewati masa-masa sedih karena mama dan papa yang bercerai. Sepertinya jatuh cinta benar-benar berefek besar padamu, ya."

Arui lagi-lagi tersenyum canggung. Ia tidak bisa menjelaskan situasi hubungannya dengan Fian, apalagi ketika suasana di rumahnya sendiri sedang memburuk.

"Kak Arin sendiri bagaimana? Kakak baik-baik saja?"

Arin tertawa pelan. "Aku yang paling tua di antara kalian, Arui. Walaupun umur kita tidak berbeda jauh, tapi aku sudah bersama mama dan papa lumayan lama. Aku sekarang hanya kasihan pada Rona, mama dan papa bercerai saat umur Rona masih muda. Harusnya di masa pubertasnya ini, mama dan papa mendampingi Rona, melihat perubahannya dari anak-anak menjadi dewasa, tapi mereka tidak bisa. Mereka hanya mengirimi uang tanpa tahu apa yang kita bertiga lalui selama lima tahun ini."

Arui kembali menepuk pundak Arin. "Kamu benar, kak. Aku tiba-tiba jadi teringat lagi awal mula kita pindah ke sini. Sangat kesepian."

"Aku juga. Apalagi Rona. Dia waktu itu sangat frustasi dan menelepon mama dan papa berkali-kali, meski jarang diangkat."

Arui tertawa. "Iya, benar. Dia gigih sekali. Entah sekarang masih seperti itu atau tidak."

"Aku bisa dengar kalian dari sini, tahu!"

Suara Arona menggelegar dari dalam kamar, membuat Arin dan Arui makin tertawa lebar.

Ini sudah jadi hobi mereka untuk menjahili adik bungsu yang begitu tempramental itu.

Jarak umur Arona adalah yang paling jauh dari kedua kakaknya. Arin berusia 25 tahun. Arui berusia 23 tahun. Sementara Arona 16 tahun. Terkadang rasanya sulit sekali menghadapi masa-masa labil adik bungsu mereka itu.

Arui kembali melirik ke arah Arin yang tengah diam saja sembari menggulir layar ponselnya, ia sebenarnya punya keinginan besar untuk menceritakan masalahnya pada kakaknya itu, tapi sepertinya tetap saja sulit. Seperti yang Arui bilang, ia tidak ingin membebani Arin, apalagi karena Arin sibuk sekali bekerja sebagai agen properti sekaligus mengurus Arona yang bandel.

Arui tidak sesibuk Arin karena dia hanya bekerja sebagai penulis artikel di kantornya dengan gaji yang tidak seberapa.

"Kak,"

"Arui, kamu sudah tahu?"

Lagi-lagi ucapan Arui terpotong.

"Tahu apa, kak?"

"Kontrakan sebelah sudah ada penghuni barunya. Aku tadi mampir ke sana, dan ternyata penghuninya perempuan seumuranku. Kebetulan sekali, aku jadi punya teman baru."

"Perempuan? Apa dia tidak takut tinggal di kontrakan sendirian?"

"Dia bersama adiknya, kok. Laki-laki. Katanya adiknya masih kuliah dan dia sendiri bekerja sebagai staff rumah sakit."

"Wah, tiba-tiba sekali. Kapan mereka pindahnya?"

"Kemarin sore. Kamu pulang malam sih, jadi tidak melihat teman baruku."

Arui menyipitkan matanya. "Kamu yakin dia akan jadi teman barumu, kak? Bagaimana kalau dia justru berteman dengan kak Hana?"

Arin melotot tajam begitu mendengar nama musuh bebuyutannya disebut Arui.

"Enak saja. Aku duluan yang mengunjungi rumahnya. Dia akan jadi temanku, lihat saja."

"Kenapa kak Arin begitu yakin?"

"Karena aku orang baik, Arui. Sementara Hana orang jahat."

Arui tergelak sekali lagi. Ia bahkan sudah lupa akan masalahnya sendiri. Sekarang ini lebih menyenangkan menjahili Arin dengan membahas musuh bebuyutannya dalam memperebutkan laki-laki idaman mereka.

-TBC-