webnovel

14. Make It Right

Arui membiarkan tangannya digandeng oleh Chiko yang entah membawanya ke mana. Tadinya Arui pikir Chiko akan mengajaknya duduk berdua di taman komplek seperti yang biasa keduanya lakukan saat perlu mengobrolkan hal penting. Tapi kali ini berbeda.

Chiko berdiri di depan rumah kontrakannya, ia membuka pintu dan meminta Arui masuk.

Arui menggeleng pelan. "Kakakmu pasti bingung melihatku masuk rumahmu, Chiko."

Chiko berbisik. "Kakakku sudah tidur dari tadi, kak. Ayo, aku akan mengajakmu ke atap rumahku."

Mendengarnya, Arui menurut saja saat Chiko lagi-lagi menggandengnya. Kali ini langkah Chiko mengendap-endap, tidak ingin membangunkan kakaknya yang sudah kelelahan karena seharian kerja. Arui mau tidak mau ikut mengendap karena takut ketahuan menyelinap.

Mereka menaiki tangga lantai pertama, menemukan kamar kosong di lantai 2 yang dijadikan gudang. Lalu, tangga lantai kedua juga mereka naiki, hingga sampailah keduanya di atap rumah.

Arui merapatkan cardigannya begitu angin malam menerpa tubuhnya. Ia keheranan melihat Chiko yang tidak nampak kedinginan sama sekali. Laki-laki itu justru memintanya untuk duduk di sebuah kursi kosong di tepian pagar pembatas atap ini.

Chiko melangkah menjauh untuk mengambil kursi lain di dekat tangga. Kini, keduanya duduk berhadapan di bawah langit malam yang gelap.

Atap ini memang gelap, seperti kata Chiko, tidak ada penerangan di atap ini karena memang pemilik rumah tidak memasangnya. Akan tetapi, pemandangan di sini justru sangat indah. Sorot lampu rumah-rumah lain yang ada di bawah membuat segalanya terlihat jelas, bahkan tembok bagian belakang minimarket juga terlihat lumayan jelas dari sini. Orang-orang di bawah sana justru tidak bisa melihat ke atas sini dengan jelas, kecuali jika orang yang ada di atas sini berdiri di tepian pagar pembatas seperti yang Chiko lakukan beberapa waktu lalu.

Arui kembali fokus pada Chiko yang menatapnya intens, tangan Chiko bahkan sudah menggenggam erat tangannya yang bebas di atas paha.

"Kenapa membawaku ke sini? Padahal kita bisa bicara di depan rumah."

"Aku perlu berbicara serius denganmu, kak. Jadi, aku tidak ingin ada orang lain yang mendengar kita."

Arui membalas tatapan Chiko di tengah kegelapan ini. Ia bisa merasakan tangan kanan Chiko yang mengelus pipinya pelan. Arui berdebar saat itu juga.

"Aku minta maaf, kak. Aku salah karena membatalkan janji kita kemarin. Tapi aku murni hanya mengerjakan tugas dengan temanku. Aku tidak bohong."

"Memang aku bilang apa?"

Chiko merengut sedih mendengar jawaban Arui. "Kamu kelihatan marah dari kemarin, bahkan smsku pun tidak kamu baca sama sekali."

Arui menghela napas panjang. "Aku tidak apa-apa kamu membatalkan janji kita, aku juga bisa mengerti kamu mengerjakan tugas. Tapi apakah kamu harus membawa dia ke rumahmu? Kamu bahkan tidak bilang kalau temanmu itu perempuan."

"Rumahnya jauh, jadi dia minta mengerjakan di rumahku saja. Tapi ada kak Mina, kok. Aku bersumpah tidak macam-macam dengan Cindy."

Arui hanya mengangguk paham.

"Lagipula aku tidak mungkin memperlakukan dia secara istimewa, kak. Buktinya hanya kamu yang aku bawa ke tempat favoritku ini." Chiko kembali mengelus pipi Arui, membuat perempuan di hadapannya itu tersenyum.

"Ini tempat favoritmu?"

Chiko mengangguk. "Seperti yang pernah aku bilang, aku suka memperhatikan banyak hal dari atas sini. Tapi aku lebih suka lagi saat orang lain tidak perlu memperhatikanku karena di sini gelap. Lumayan efektif juga untuk meredakan stres saat menatapi langit malam."

Arui seketika menatap ke atas, memperhatikan langit malam yang gelap, tapi masih ada sedikit cahaya rembulan yang samar. Chiko benar, di sini memang bisa membuat perasaan tenang. Tapi mungkin Arui tidak akan berani jika harus berdiri seperti ini sendirian saat hari sudah gelap.

"Kak, apakah kamu cemburu dengan Cindy?"

Arui menggeleng. "Aku tidak bilang cemburu. Memangnya aku siapa sampai harus cemburu?"

Chiko terkekeh pelan. "Tadi kamu mengakui kalau marah, marah artinya cemburu, dan cemburu artinya kamu menyukaiku."

Arui ikut tertawa, menertawai hal kekanakkan yang Chiko ucapkan.

"Baiklah, aku akui aku cemburu. Lagipula kamu juga cemburu kan waktu Fian mengantarku pulang waktu itu."

Chiko teringat masa-masa itu dan tertawa sendiri. Saat itu ia baru mengenal Arui, tapi bisa-bisanya dia sudah menunjukkan cemburu terang-terangan seperti itu. Chiko jadi merasa bodoh.

"Iya, aku cemburu waktu itu. Aku sudah menyukaimu sejak awal kita bertemu. Jadi, aku tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri."

"Sejak awal?"

Chiko mengangguk. "Sejak kamu membantuku merapikan buku di cafe waktu itu."

Arui menutup mulutnya tidak percaya. "Bagaimana bisa?"

"Mengalir begitu saja." Chiko kembali tersenyum malu.

Keduanya bertatapan intens kembali, dan debar di dada mereka sudah tidak mungkin terkendali lagi. Baik Chiko maupun Arui sudah menunggu waktu yang lama untuk hari ini, jadi mereka tidak ingin berhenti sampai di sini.

"Kak, kamu mau jadi pacarku? Aku mungkin tidak sehebat mantanmu yang sudah punya pekerjaan tetap, ataupun bisa menjanjikanmu pernikahan untuk saat ini, tapi aku suka sekali padamu. Aku ingin kamu melengkapi hidupku yang tidak berwarna ini, karena sejak bertemu denganmu, aku bisa melihat banyak warna-warna indah di sekitarku."

Arui terpana mendengar perkataan Chiko. Ia langsung saja bangkit dari duduknya dan mencium laki-laki itu tepat di bibirnya.

Chiko cukup terkejut dengan pergerakan Arui, tapi dia tidak mungkin menolak sama sekali. Keduanya memejamkan mata seiring dengan ciuman mereka yang semakin dalam.

Chiko meraih pinggang Arui, membuat tubuh perempuan itu tertarik ke depan dan membuatnya duduk di pangkuan Chiko.

Meski kaget, tapi Arui tetap melanjutkan kegiatannya. Ia bahkan tanpa ragu mengalungkan lengannya di leher Chiko, dan Chiko sendiri masih setia merengkuh pinggang perempuan yang lebih tua tiga tahun darinya ini.

Arui melepaskan ciuman mereka, dan menatap Chiko dengan tatapan sayu. "Aku mau, aku juga sudah lama suka padamu."

Di bawah langit malam, ditemani terpaan angin yang membelai kulit mereka, Chiko dan Arui melanjutkan ciuman yang sempat tertunda. Ciuman itu semakin menuntut dan tidak terkendali, membuktikan bahwa keduanya sudah saling menginginkan sama lain untuk waktu yang cukup lama. Dinginnya malam tidak menganggu sama sekali, karena mereka berdua sudah saling berbagi kehangatan dalam pelukan satu sama lain.

Arui sesekali tersenyum di sela-sela pagutan bibir mereka. Ia lega karena Chiko mengajaknya bertemu di sini. Kalau saja tadi Arui memaksa bicara di depan rumah, mungkin keduanya tidak akan sampai di tahap ini. Mungkin Chiko tidak akan segera memperjelas hubungan mereka.

Chiko pun tersenyum sembari mengeratkan rengkuhannya. Setiap tingkah Arui selalu membuat Chiko terkejut, apalagi saat perempuan itu berinisiatif untuk mencium Chiko lebih dulu tadi. Ia jadi mengerti sekarang mengapa orang bilang perempuan yang lebih tua biasanya lebih menggoda.

-TBC-

.

.

.

A/N : Seperti yang sudah kutulis di bioku, aku hanya mempromosikan ceritaku dari wp, jadi versi lengkap dari cerita ini bisa dibaca di wpku (starsinbottle) dengan judul yang sama. Sampai jumpa di sana dan selamat membaca. :D

Cukup sekian di sini dan terima kasih ^_^