webnovel

12. It was Shocking

Pagi ini cuacanya cerah sekali, membuat Arin bersemangat untuk menyiram bunga di taman kecil yang ia miliki. Arin selalu berangkat lebih siang daripada Arui, jadi ia punya lebih banyak waktu untuk merawat anak-anaknya yang wangi semerbak ini.

Arin baru ingat jika Mina masuk kerja shift sore hari ini, maka dari itu ia segera masuk ke rumah dan membuka kulkas. Kemarin mamanya membawa makanan terlalu banyak, jadi Arin ingin berbagi beberapa lauk untuk Mina dan adiknya.

Beres meletakkan lauk di kotak plastik transparan, Arin membawanya keluar. Akan tetapi, langkah Arin harus terhenti saat berpapasan dengan si tetangga yang ia benci.

Hana.

Mata Arin melirik tajam pada Hana yang tengah berjalan menuju rumahnya sendiri sembari membawa barang belanjaan. Arin lupa kalau di jam-jam ini Hana selalu mondar-mandir untuk mencari bahan membuat roti. Hana sendiri memiliki toko roti di samping minimarket depan komplek rumah.

Arin berusaha mengabaikan Hana dan melanjutkan langkahnya ke rumah Mina, akan tetapi perempuan jahat itu mencoba mengajaknya bicara.

"Kamu mendekati Mina karena butuh teman untuk membenciku?"

Langkah Arin kembali terhenti. Ia berbalik menatap Hana.

"Apa maksudmu?"

Hana mengendikkan bahu. "Sepertinya Mina tahu sekali jika aku merebut calon pacarmu. Dari siapa lagi dia tahu kalau bukan dari mulutmu? Dasar penggosip."

Arin berdecak kesal. "Aku hanya mengatakan fakta, bukan bergosip. Jangan memfitnahku padahal kamu orang jahatnya, Hana."

Hana berjalan mendekati Arin. "Kamu yakin aku orang jahatnya? Apa kamu bahkan tahu kalau aku lebih dulu menyukai Joan daripada kamu?"

Arin menatap Hana kebingungan. "Apa kamu bilang?"

"Saat dulu kita berteman di kampus, kamu bilang kamu suka Joan sejak ospek. Tapi kamu bahkan tidak tahu kalau aku dan Joan satu sma dulunya. Aku lebih dulu menyukainya, Arin. Tapi kamu dengan egois selalu bercerita tentang Joan padaku. Kamu orang jahatnya."

Arin bisa merasakan bahunya merosot. Apa-apaan perempuan licik ini?

"Bohong, kamu hanya cari alasan agar tidak disalahkan."

Hana mendengus kasar. "Kalau memang kamu pikir aku hanya terobsesi pada laki-laki yang dekat denganmu, kenapa aku dekat dengannya lagi sekarang? Harusnya aku terobsesi dengan pacar barumu yang lain, bukankah begitu?"

Arin semakin merasa terpojok, rasanya lemas begitu diberitahu fakta yang tidak pernah ia tahu ini. Akan tetapi tangannya harus tetap memegang kotak plastik berisi lauk untuk Mina. Arin tidak ingin makanan berharga dari ibunya itu jatuh begitu saja dari tangannya.

"Kamu bahkan tidak tahu aku punya cerita sendiri dengan Joan. Aku dekat dengan dia sejak kelas tiga, tapi karena kami sama-sama memutuskan untuk tidak pacaran untuk fokus ujian dan masuk universitas, akhirnya aku mengalah untuk menunda hubungan kami. Tapi kamu tahu apa? Kamu justru mendekatinya dan mengajaknya ke sana kemari. Lagi-lagi aku yang harus mengalah. Kamu pikir mudah jadi diriku? Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri, Arin. Kamu selalu merasa jadi pemeran utama, padahal kamu hanya egois dan tidak mau mendengarkan ceritaku."

Air mata Hana mengalir deras, tapi perempuan itu menghapusnya dengan kasar dan segera pergi dari hadapan Arin.

Arin hanya bisa memegangi kepalanya, pusing dengan situasi ini. Merasa tidak ada yang bisa ia lakukan, ia lantas berjalan kembali ke rumah Mina.

Begitu pintu rumah Mina dibuka, Arin langsung saja menangis. Mina sampai bingung dengan Arin yang tiba-tiba sesenggukan.

"Arin, kamu kenapa?"

Mina menuntun Arin untuk masuk ke rumahnya, dan mereka duduk di sofa. Arin meletakkan lauk yang ia bawa di atas meja, dan ia langsung memeluk Mina masih sambil sesenggukan.

Mina mengelus punggung Arin pelan hingga Arin berhenti menangis dengan sendirinya.

"Arin, ada apa? Kamu ada masalah?"

"Mina, sepertinya aku melakukan kesalahan besar pada Hana."

---

Atap sekolah, bising pesawat yang melintasi langit dari kejauhan, dan cuaca yang lumayan panas.

Arona duduk bersandar pada tembok pembatas seorang diri. Sebenarnya ia ingin mengajak Emy ke sini untuk makan bekal bersama, karena ia ingin Emy makan lauk yang dimasak mamanya, akan tetapi teman sebangkunya itu sudah diajak pergi oleh kakak kelas yang mengaku naksir padanya.

Alhasil, Arona hanya bisa menikmati keseruan ini sendirian. Sesekali ia meregangkan tubuhnya setelah bekal makan siangnya habis. Ia juga menepuk-nepuk perutnya yang sudah kenyang.

Arona tiba-tiba mendengar derap langkah kaki orang lain yang naik ke atap. Arona menantikan orang itu tiba, karena ia pikir Emy akhirnya ke sini setelah urusannya dan Lukas selesai.

Akan tetapi, dugaan Arona salah. Bukan Emy yang naik ke atap, melainkan orang yang paling tidak ingin dia lihat sepanjang hari.

"Hai, Arona."

Laki-laki tinggi dan berkulit kuning langsat itu tersenyum manis, entah untuk alasan apa. Arui hanya mengabaikannya seperti biasa.

Tanpa diminta, Wildan sudah duduk tepat di sebelah Arona.

"Kenapa kamu ke sini? Bukankah aku sudah tidak bolos lagi? Hukumanku juga sudah selesai."

Wildan menekuk lututnya. "Justru karena itu aku jadi penasaran kamu ada di mana. Emy bilang kamu ingin menyendiri di atap, jadi aku ke sini."

Arona mengernyit. "Kamu sengaja mencariku?"

Wildan hanya terkekeh sebagai jawaban.

Arona semakin malas, ia berniat untuk bangkit berdiri, akan tetapi Wildan justru menahan lengannya.

"Eh, mau ke mana?"

"Kembali ke kelas lah, memangnya kamu tidak ikut pelajaran?"

"Jam istirahat masih sepuluh menit lagi. Bisakah kamu duduk di sini lebih lama denganku?"

"Untuk apa? Kita bahkan bukan teman. Cari sendiri saja temanmu sana."

Arona merengut diam-diam. Sepertinya benar firasatnya yang mengatakan kalau Wildan ini hanyalah orang kesepian yang suka cari perhatian.

"Kenapa kamu tidak bolos lagi? Apa kamu sudah menyatakan kalah dariku sekarang?"

Arona tertawa geli. "Kalah darimu? Aku? Siapa yang bilang seperti itu? Aku hanya sudah mendapatkan keinginanku, jadi sudah cukup bolosnya."

"Memangnya apa keinginanmu?"

Arona duduk kembali. Ia menerawang ke depan dan tersenyum tipis. "Mamaku. Aku ingin mamaku datang menjengukku ke rumah. Kalau aku tidak berulah, dia tidak akan peduli padaku."

Wildan cukup terpana melihat Arona tersenyum untuk kali pertama di hadapannya.

"Memangnya kenapa dengan mamamu?"

"Dia menikah lagi, jadi pasti lebih sayang dengan anak hasil pernikahannya yang sekarang. Yah, sebenarnya papaku juga menikah lagi, sih. Tapi aku tidak terlalu peduli."

Mendengar kisah semenyedihkan itu, Wildan jadi tertegun. Kini ia mengerti mengapa Arona bertingkah semaunya sendiri. Rupanya dia kekurangan perhatian orang tuanya. Pasti menyakitkan ditinggalkan orang yang paling disayang di usia yang masih semuda ini.

Arona lantas menggelengkan kepalanya beberapa kali, bingung sendiri. "Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi bercerita masalahku padamu?"

"Kamu bisa cerita lagi padaku kalau kamu mau, kok. Aku siap mendengarkan."

Arona berdecih. "Tidak mau. Aku tidak suka orang lain mengasihaniku. Aku tidak masalah dibenci, asalkan jangan menganggapku gadis lemah yang harus dilindungi. Aku sudah cukup kuat untuk melindungi diriku sendiri."

Wildan tidak kuasa menahan senyumnya mendengar Arona lagi-lagi banyak bicara. Ia semakin tertarik.

"Aku tidak mengasihanimu, tidak juga menganggapmu lemah, tapi aku ingin melindungimu."

Arona menganga hingga rasanya rahangnya bisa jatuh kapan saja. Ia tidak mengerti mengapa si sok keren ini tiba-tiba bicara tidak masuk akal padanya.

"Kenapa buang-buang waktu untuk hal seperti itu? Sudah kubilang aku cukup kuat untuk melindu-"

Kalimat Arona terputus begitu bibir Wildan dengan cepat menyentuh permukaan bibirnya. Ia membelalak lebar saat ciuman tiba-tiba itu terlepas.

Arona berteriak tertahan sembari memegangi bibirnya. "Apa yang kamu lakukan, osis mesum?"

Wildan diam saja, ia juga bingung atas perbuatannya. Dia hanya berniat menunjukkan ketulusannya pada Arona yang kurang paham tentang percintaan. Akan tetapi ia tidak sadar sudah melakukannya terlalu berlebihan.

"Arona, maaf ak-"

"Argh, bibirku sudah tidak suci lagi. Sialan kau osis mesum."

Arona bangkit berdiri dan berlari turun dari atap. Sementara itu, Wildan merasa kalut. Ia ingin mengejar Arona, akan tetapi bel masuk sudah berbunyi lebih dulu.

"Ah, sial." Wildan menggerutu seorang diri.

-TBC-

A/N : Selingan dulu ga ada pemain utamanya :"