webnovel

11. Missing You Like Crazy

Ruang kelas yang penuh mahasiswa, sebentar lagi kelas akan dimulai, akan tetapi dosen yang mengajar belum juga masuk. Chiko menyenderkan kepalanya di meja, menggulir layar ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kehidupan.

Sudah satu minggu ini ia jarang berkomunikasi dengan Arui. Berkirim pesan hanya ia lakukan saat malam menjelang tidur saja, bertatapan muka pun tidak karena Arui sibuk bekerja lembur.

Laki-laki lain yang duduk di sebelahnya menatap penasaran. Laki-laki itu, Leo, menyipitkan mata saat menyadari Chiko hanya melakukan hal tidak berguna pada ponselnya.

"Sedang apa kamu? Kenapa lemas sekali? Oh, kakak cantik tetangga barumu itu belum memberi kabar hari ini, ya?"

Leo cekikikan, membuat Chiko bangkit untuk duduk kembali.

"Begitulah. Dia sibuk sekali akhir-akhir ini, padahal baru juga kemarin komunikasi kami mulai bagus."

Leo menaikkan sebelah alisnya. "Jadi, kamu berhasil merebut dia dari pacarnya?"

Chiko mendelik tajam. "Sudah kubilang aku tidak merebutnya. Dia sendiri yang tiba-tiba saja sudah putus dengan pacaranya saat awal kami berkenalan. Itu artinya dia memang ditakdirkan untukku."

Leo terbahak begitu mendengar ucapan Chiko. Suara tawanya membuat anak-anak lain di kelas terkejut.

"Bocah gila ini, baru pertama kali ini kenal cinta langsung bicara tentang takdir."

Chiko hanya balas tertawa, tidak protes sama sekali meski dikatai gila. Mungkin saja Leo benar, mungkin Chiko memang sudah gila sejak merasakan jatuh cinta untuk yang pertama kali sepanjang hidupnya.

"Lalu, bagaimana kelanjutannya? Dia juga suka padamu? Atau dia diam-diam kembali dengan mantannya? Kamu sudah tanyakan itu atau belum? Jangan sampai kamu patah hati duluan karena dia belum bisa move on."

Chiko meresponnya dengan tawa. "Tentu saja aku sudah melakukannya. Mana mungkin dia mau berkirim pesan denganku kalau masih memikirkan mantan pacarnya?"

Leo menatap bangga pada sahabatnya yang mampu bergerak cepat meski ini kali pertamanya mengenal cinta.

"Kapan-kapan kenalkan padaku, ya."

Chiko jadi tersenyum malu, ia belum sanggup membayangkan Arui akan jadi pacarnya. Chiko merasa masih terlalu jauh untuk semua itu, tapi tetap saja membayangkannya sudah terasa menyenangkan.

Keduanya terus membicarakan tentang calon pacar Chiko tanpa henti, tanpa sadar bahwa ada perempuan bersurai sebahu di kursi paling depan memperhatikan mereka dengan tatapan penasaran.

---

Arui baru keluar jam 20.00 dari kantornya. Ia membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk sampai rumah. Rasanya melelahkan sekali diminta lembur untuk satu minggu penuh. Beruntungnya ini hari terakhir ia lembur, dan besok adalah hari minggu, jadi ia akan hibernasi sepuasnya.

Tentu saja ia tidak lembur sendiri, melainkan bersama seluruh timnya. Kantor memaksa lembur karena ada target yang harus mereka capai untuk klien dari luar negeri yang memiliki perbedaan waktu lumayan jauh, sehingga mereka harus bekerja dengan cepat.

Pukul 21.15, Arui berjalan menuju komplek rumahnya. Di jam-jam ini, komplek rumah mulai sepi. Hanya ada para pegawai yang baru pulang sepertinya. Anak-anak kecil sudah jelas ada di dalam rumah mereka sejak petang tadi.

Arui melangkah gontai melewati taman komplek, tapi tanpa sengaja tatapan matanya bertemu dengan seorang laki-laki yang duduk sendirian di atas ayunan. Arui menghentikan langkahnya.

"Chiko?"

Laki-laki itu tersenyum dan melambaikan tangannya. "Hai, kak."

Arui berjalan mendekat dan duduk di ayunan satunya yang kosong.

"Sedang apa kamu di sini malam-malam begini?"

"Menunggumu."

Arui tidak bisa menyembunyikan senyumnya. "Menungguku?"

Chiko mengangguk. "Kamu selalu pulang malam akhir-akhir ini, jadi aku khawatir. Apakah masih akan terus begini ke depannya, kak?"

Arui sendiri tidak tahu mengapa ia bisa merasakan hal seperti ini lagi meski baru kemarin patah hati. Ia jadi harus melanggar janjinya sendiri untuk tidak memikirkan tentang cinta untuk sementara waktu, karena pada kenyataannya ia kini sudah sering berdebar karena laki-laki yang ada di sebelahnya.

Apakah ini terlalu cepat untuk move on? Ataukah Arui yang sudah lama tidak merasakan cinta hadir di hatinya? Karena selama pacaran 4 tahun dengan Fian, perlahan-lahan ia bisa merasakan cinta Fian pudar untuknya.

"Tenang saja. Ini sudah hari terakhir. Besok senin sudah bekerja normal lagi."

Chiko tersenyum lega. "Syukurlah. Kamu bisa istirahat lebih banyak setelah ini."

Arui meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. "Iya, aku juga berrencana istirahat total besok. Untung saja hanya sesekali lembur seperti ini, kalau tiap hari mungkin aku bisa pingsan di kantor."

Chiko tertawa pelan mendengarnya.

"Sudah lama kita tidak mengobrol seperti ini, ya, kak. Aku lumayan merindukanmu."

Arui terdiam beberapa saat untuk memproses perkataan Chiko.

"Aku juga merindukanmu."

Keduanya sama-sama mengalihkan pandangan karena malu. Debar di dada mereka tidak mau memelan sama sekali, seperti ingin melompat keluar dari tempatnya.

Chiko akhirnya memutuskan untuk bangkit berdiri. Ia mengulurkan tangan pada Arui yang kebingungan.

"Kenapa?"

"Ayo, pulang. Kamu pasti lelah. Kakak dan adikmu juga sudah menunggu sejak tadi."

Arui tanpa ragu meraih tangan Chiko, menggenggamnya erat. Debaran di dada mereka semakin kuat, dan di saat yang sama membuat genggaman mereka makin erat.

Keduanya berjalan dengan hati yang menghangat.

"Kapan-kapan datanglah ke cafe perpustakaan lagi, kak. Aku akan mentraktirmu."

"Benarkah? Kalau begitu aku akan menghubungi temanku."

"Jangan dengan temanmu, kamu sendiri saja. Lalu, kita bisa pulang bersama setelahnya."

Arui menyemburkan tawa. "Apa kamu sedang mengajakku berkencan?"

"Mungkin." Chiko mengusak tengkuknya sendiri begitu mengatakannya.

Meski hubungan keduanya belum pasti, tapi Arui sudah merasa bahagia. Ia masih dalam proses melupakan Fian, tapi di saat yang sama ia tidak mungkin menolak pesona Chiko yang selalu membuatnya terbayang-bayang tiap hari.

Seperti ini saja sudah cukup untuk hari ini.

---

Baru beberapa jam Arui mengatupkan mata, ia sudah harus terbangun gara-gara teriakan Arona yang menggelegar dari ruang tamu.

Arui buru-buru menyibakkan selimut dan segera keluar dari kamar. Hampir saja Arui memarahi Arona yang mengganggu jam tidurnya. Tapi ia justru melihat ibunya ada di ambang pintu sambil menenteng banyak kantong plastik di tangan.

Arin juga baru bangun dan menggaruk kepalanya dengan tatapan mata yang menyipit.

"Mama, mama akhirnya ke sini." Arona kembali bersorak girang.

Mamanya justru berdecak beberapa kali. "Anak-anak gadis ini kenapa baru bangun padahal matahari sudah tinggi?"

"Mama, aku rindu sekali. Ayo masuk, ma."

Wanita itu mengelus wajah anak bungsunya, tapi lama-lama menjewer telinganya, membuat Arona mengaduh kesakitan.

"Kamu ini, mama ke sini karena harus memarahimu yang suka bolos."

Arona hanya cengengesan saja, seperti anak kecil yang begitu merindukan afeksi orang tuanya.

Arui sebenarnya senang-senang saja ibunya ke sini, akan tetapi sepertinya rencananya untuk hibernasi akan gagal total.

"Arin, Arui, ayo bantu mama memasak. Mama sudah belikan banyak bahan makanan untuk kalian."

Entah Arui harus senang atau sedih di saat seperti ini.

-TBC-