webnovel

10. A Little Curious

Entah sudah berapa kali Arona mencoba aksi bolos sekolahnya lagi, dan berapa hukuman yang sudah ia jalani. Tapi gadis itu masih belum juga jera. Arona bahkan justru kesal karena guru konseling sudah tidak memanggil mamanya lagi untuk datang ke sekolah. Guru itu bilang karena Arona menurut untuk menjalani hukuman, maka pemanggilan orang tua sudah tidak lagi diperlukan.

"Sebentar, kalau aku mengepel ruang osis ini terus, berarti mama tidak akan datang. Lalu untuk apa aku melakukan semua ini?"

Arona berkacak pinggang. Ia jadi berang sekarang, akan tetapi untuk kabur begitu saja dan membiarkan ruangan osis ini kotor akan membuat si Wildan sialan itu memakinya lagi.

Apa yang harus Arona lakukan?

"Permisi, sedang dipel, ya? Aku harus meletakkan berkas ini di meja kak Wildan."

Arona menatap ke arah pintu dan menemukan seorang gadis lain, yang ia tahu persis kalau anak itu bernama Tania, kelas satu juga sepertinya. Bedanya, Tania adalah anggota osis baru, tidak seperti Arona yang justru menjadi buronan osis.

"Oh, Arona, ya? Rona, bisa tolong aku letakkan ini di meja kak Wildan?"

Arona menaikkan sebelah alisnya. "Tidak mau."

Tania bingung dibuatnya. "Kenapa, Rona? Apa aku mengganggumu?"

Arona menggembungkan pipinya, ia dapat ide bagus. "Masuk saja, tidak apa-apa, kok."

"Ta-tapi aku tidak enak masuk begitu saja, apalagi kamu sedang membersihkannya."

Arona berjalan mendekatu Tania dan memberinya tatapan tajam.

"Kalau begitu kamu masuk dan kamu sendiri yang bersihkan jejak sepatumu, oke?"

Arona meraih tangan Tania dan memberikan pel yang ada di tangannya.

Tania semakin bingung dan kalut. "Ta-tapi kak Wildan tidak mengizinkan siapapun membantumu. Dia bilang padaku tadi."

Arona menutup telinganya. "Argh, dari tadi kak Wildan kak Wildan terus. Aku tidak kenal siapa kak Wildan, jadi kerjakan saja tugasmu."

Arona beranjak dari ruang osis dan lari secepat kilat yang dia bisa. Sementara itu, Tania yang tidak punya pilihan lain, mau tidak mau harus mengepel bekas sepatunya yang mengotori ruang osis.

Tidak berselang lama, seorang laki-laki tampan memasuki ruang osis sembari membawa sebotol air mineral di dalam genggaman tangannya.

"Loh, Tania? Kenapa kamu di sini?"

"Kak Wildan, Arona menyuruhku mengepel ruang ini." Tania melepaskan kacamatanya dan mengusap air mata yang turun ke pipi. Jujur, ia sangat takut pada Arona.

Wildan menganga tidak percaya pada apa yang disaksikannya. Padahal dia kira Arona sudah mulai bisa dikendalikan, tapi nyatanya sama saja.

"Lalu sekarang ke mana Arona?"

Tania menggeleng. "Dia kabur begitu saja."

Wildan merotasikan bola matanya. "Hentikan, Tania. Kamu pergi saja. Aku akan mencari Arona."

Wildan segera lari keluar untuk mencari adik tingkatnya yang begitu di luar kendali itu. Anak itu benar-benar butuh pelajaran.

🫒🫒🫒

Di jam pulang sekolah ini, harusnya Wildan sudah bisa angkat kaki dari sekolah dan istirahat dengan nyaman di rumah, atau kadang kala ia ikut main basket bersama anak-anak lain yang masih betah bertahan di lapangan.

Tapi kali ini, Wildan justru harus lari-larian ke sana kemari untuk mencari Arona yang masih belum bisa ia temukan juga. Jangan-jangan gadis itu sudah pulang.

"Kalau aku mencari ke rumahnya, nanti akan jadi masalah besar."

Lelah berlari ke sana kemari, akhirnya Wildan melihat sosok yang dia cari tengah duduk manis di tepi lapangan basket. Gadis itu bersorak kegirangan melihat sekumpulan anak laki-laki yang tengah memperebutkan bola.

Ternyata bisa tertarik pada laki-laki juga anak ini.

"Di sini kamu rupanya."

Arona tidak nampak terkejut akan kehadiran Wildan, ia justru lanjut menonton basket dengan nyaman.

"Kamu suka basket?"

Arona berdecak. "Tidak juga. Tapi basket kelihatan menarik saat kamu tidak ikut main."

Wildan hampir tersedak mendengar perkataan Arona yang begitu menohok.

"Memangnya permainanku sejelek itu?"

Arona hanya menjawab dengan mengendikkan bahu.

"Kamu ini kenapa kabur lagi, sih? Padahal aku hanya pergi untuk membelikanmu minuman."

"Yang penting aku tidak bolos lagi, kan?"

"Tentu saja kamu tidak bolos, ini kan sudah jam pulang sekolah."

Arona lagi-lagi mengabaikan ucapan Wildan, ia lebih memilih untuk menguap.

"Arona, kamu tidak boleh melarikan diri dari tugasmu. Kasihan Tania, dia sampai menangis gara-gara kamu memarahinya."

Arona berdecak. "Hanya seperti itu saja sampai menangis? Cih, cengeng sekali."

Wildan berkacak pinggang. "Ayo cepat selesaikan tugasmu. Kalau kamu tidak mau, hukumanmu bisa ditambah."

"Tapi aku lelah. Lelah sekali. Bahkan sekarang anak-anak lain sudah menyebutku pembantu osis. Aku sudah muak dengan mengepel, biarkan aku istirahat sehari saja."

"Justru kalau kamu menyelesaikan pekerjaanmu dengan cepat, kamu bisa pulang tepat waktu. Kalau kamu masih tidak mau..."

Wildan dengan cepat menarik tas Arona yang ada di atas paha. "Aku akan menyita tasmu, jadi kamu tidak bisa pulang sama sekali."

"Argh, baiklah, baiklah. Aku akan kerjakan semuanya." Arona bangkit berdiri dan berjalan sambil menghentak-hentakkan kakinya.

Wildan diam-diam tersenyum melihat Arona yang kini sudah mulai menurut padanya. Sejauh yang Wildan perhatikan, gadis itu cukup menggemaskan saat marah. Wildan jadi penasaran, sebenarnya Arona itu orang seperti apa? Mengapa hanya kemarahan saja yang Arona tunjukkan pada Wildan sepanjang waktu, padahal gadis itu bisa bersorak riang untuk laki-laki lain di waktu yang sama?

---

Lampu yang menyala terang, dan pengunjung yang membaca dengan tenang. Malam ini, Arui duduk bersama Sora dan Merry di cafe perpustakaan lagi. Mata Arui terus bergerak ke sana kemari, mencari keberadaan seorang pekerja paruh waktu cafe ini.

"Aku senang sekali kamu putus dari Fian, Rui. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau kamu menikah dengan orang seperti itu." Merry menyandarkan kepalanya di bahu Arui sembari menepuk-nepuk lengannya.

"Itukah alasanmu mengajak kami kemari sepulang kerja? Kamu pasti sangat sedih tiba-tiba putus secara menyakitkan begitu, iya, kan?" Sora ikut menatapnya iba.

Arui tertawa canggung. "Tidak, tuh. Aku sudah tidak sedih lagi."

"Ayolah, Arui. Menangis tidak apa-apa, kok. Kami mengerti perasaanmu sekarang."

Arui tidak bisa menjawab lagi karena ia sendiri tidak mungkin menjelaskan bahwa kesedihannya sudah berakhir beberapa hari lalu. Sekarang ini Arui justru mengajak mereka ke sini agar bisa bertemu seseorang lain.

"Tapi tempat ini bukankah tidak cocok untuk kita yang berisik? Kenapa tidak memilih tempat lain saja?"

"Haha, aku suka di sini, kok. Makanannya murah dan enak." Arui mencoba menutupi niat aslinya.

Tidak berselang lama, seorang pelayan datang membawakan makanan mereka bertiga. Arui langsung berbinar-binar begitu tahu Chiko yang mengantarkan makanan ke mejanya.

Sementara Sora dan Merry sibuk dengan makanan masing-masing, Arui justru saling melempar pandangan dengan Chiko. Keduanya hanya tersenyum ke satu sama lain tanpa bicara apa pun hingga Chiko pergi dari mejanya.

Arui senang karena kedatangannya ke sini tidak sia-sia.

Tiba-tiba saja ponselnya berdering singkat, tanda ada pesan masuk.

Chiko : Kenapa kamu ke sini lagi, kak? Merindukanku, ya? Hehe.

Arui tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya ketika membaca pesan Chiko. Ia jadi lega bisa bertukar nomor ponsel dengan laki-laki itu, karena Chiko jauh lebih menggemaskan saat berkirim pesan dengannya.

Arui : Percaya diri sekali kamu ya, haha. Tapi memang aku penasaran melihatmu bekerja.

Sibuk senyum-senyum sendiri, Arui baru sadar jika Sora dan Merry memperhatikannya sedari tadi.

"Kenapa kamu senyum-senyum begitu? Siapa yang mengirim pesan padamu?"

Arui tergagap sebelum menjawab. "Ah, kakakku. Dia marah karena sudah memasak tapi aku makan di luar."

Arui harus minta maaf nanti pada Arin karena sudah berbohong dengan membawa namanya.

"Bilang saja kamu sedang butuh waktu untuk menyembuhkan patah hatimu. Kak Arin pasti mengerti, kan?"

Arui lagi-lagi tertawa canggung. "Tentu saja, dia kakak yang paling pengertian sedunia."

Arui kembali membuka ponselnya karena sudah ada pesan masuk lain sejak tadi.

Chiko : Shift kerjaku sudah hampir berakhir. Ayo pulang bersama, kak. Aku akan menunggumu.

Arui tersenyum makin lebar. Ternyata rasa penasaran yang membawanya ke sini untuk melihat Chiko membuahkan hasil yang sangat baik. Jantung Arui berdebar tidak beraturan dibuatnya.

-TBC-